Lu Shouyan sudah berjanji akan segera kembali dan menemani Chu Wan saat persalinan, namun Chu Wan malah keburu kontraksi lebih awal.
Sekitar pukul tujuh malam, saat mereka membuat pangsit dan Chu Wan sedang makan, tiba-tiba ia merasa agak sakit, rasa nyeri yang tertarik-tarik.
Awalnya tidak terlalu dihiraukan, tapi kemudian sakitnya kambuh lagi.
Ia memberitahu ipar ketiga Shang Bai Feng: "Perutku kayaknya agak sakit."
Shang Bai Feng langsung sigap: "Sakit? Sakitnya gimana?"
Ipar kelima Ding Ziyin di sampingnya juga ikut tegang.
Chu Wan menjelaskan sensasi sakit tadi, kedua ipar itu saling memandang lalu paham - ini pertanda harus segera melahirkan.
Shang Bai Feng yang bekerja di rumah sakit, berpengalaman, langsung bertindak cepat: "Ziyin, kamu sekarang telepon Shouyan, bilang Wan-wan mau melahirkan, suruh dia pulang secepatnya. Aku akan segera mengurus barang-barang, antar Wan-wan ke rumah sakit."
Ding Ziyin mengangguk cepat-cepat, pergi menelepon Lu Shouyan.
Di sisi lain, Shang Bai Feng buru-buru mengemas barang. Lu Jianjing juga sudah tahu, bergegas datang dengan wajah tegang: "Bu, lihat perut Bibi Ketujuh sakit sekali kayaknya!"
Tahun ini baru menikah, soal melahirkan hanya tahu sedikit. Tapi dia sendiri juga berencana punya anak, jadi melihat Chu Wan begini jadi ikut gugup.
Shang Bai Feng langsung melototi: "Jangan berteriak-teriak di sini! Ibumu ini bukan belum pernah melahirkan. Proses dari mulai sakit sampai melahirkan masih lama. Aku siapkan dulu, kamu temani Bibi Ketujuhmu. Urus apa yang perlu dimakan atau diminumnya!"
Lu Jianjing cepat-cepat mengangguk, lalu mendampingi Chu Wan.
Chu Wan duduk di sofa, awalnya tidak begitu terasa, tapi kemudian rasa sakit semakin menjadi-jadi.
Sebelumnya dia pernah dengar penjelasan dokter tentang proses persalinan, tahu bahwa awalnya kontraksi terjadi tiap tujuh delapan menit, lalu makin rajin. Ia mencoba menghitung sendiri, menyadari kontraksinya lebih cepat dari prediksi dokter, sepertinya proses kelahiran sudah dekat.
Untungnya saat itu Shang Bai Feng sudah siap sedia, Kakek Lu juga sudah datang.
Melihat situasi ini, Kakek Lu langsung panik, berteriak minta segera dibawa ke rumah sakit.
Tapi Chu Wan sudah terlalu kesakitan sampai tak bisa berdiri, harus ditopeng oleh Lu Jianjing dan Shang Bai Feng sementara Ding Ziyin membawa koper.
Kakek Lu yang melihat pemandangan ini langsung memanggil beberapa cucu lelaki yang sudah berkerumun di luar setelah mendengar kabar.
Lu Jianshi sebelumnya sibuk sampai tak sempat pulang saat Tahun Baru. Kini karena Meng Xiangyue sudah mau melahirkan, dia akhirnya memaksakan diri pulang. Sekarang diam seribu bahasa, berusaha menjaga sikap agar tak membuat marah sang kakek.
Lao Ye memandangi para cucunya, langsung melototi sambil melambaikan tangan memerintahkan: "Bengong apa? Ayo cepat sanggaga bibi ketujuh kalian!"
Lu Jianzhao dan Lu Jianhui mendengar langsung panik, mana pernah lihat formasi begini, buru-buru maju menyangga.
Lu Jianshi agak linglung, istrinya juga hamil dengan perut sangat besar, sebentar lagi melahirkan, tapi dia kurang paham harus bagaimana menghadapi situasi ini.
Lao Ye semakin meremehkan cucu ini, melihat wajah bego-nya: "Kau pergi angkut koper!"
Lu Jianshi buru-buru manggut, lari merebut koper dari tangan Ding Ziyin lalu memikulnya.
Setelah memikul, langkahnya langsung mantap - ada tugas yang harus dikerjakan.
Maka seluruh anggota keluarga, ada yang menyangga, ada yang membawa koper, ada yang mengkomandoi, dengan gegap gempita menuju rumah sakit.
Di rumah sakit sudah dipesan ahli bersalin terbaik yang berpengalaman. Setelah memeriksa kondisi, ahli tersebut mengatakan serviks sudah terbuka tiga jari dengan lancar, kondisi serviks juga sangat baik dan lunak sehingga proses persalinan diperkirakan akan mudah.
Setelah tiba di rumah sakit, Chu Wan ternyata tidak merasakan sakit yang berarti. Dokter menyarankannya untuk tidak terburu-buru dan menunggu dengan tenang.
Saat itu sudah pukul sepuluh malam. Semua orang masih berkumpul. Chu Wan mencoba membujuk Kakek Lu untuk pulang, tapi sang kakek menolak.
Kakek Lu menghela napas khawatir: "Kamu mengandung bayi kembar. Aku takut... Seandainya terjadi sesuatu, bagaimana aku bisa menghadapimu kakekmu nanti!"
Awalnya kabar kehamilan kembar membuatnya gembira, tapi kini kekhawatiran menyergap. Garis keturunan keluarga Chu tinggal tersisa ini. Bila terjadi musibah, tanggung jawabnya terlalu besar.
Chu Wan sendiri tidak terlalu khawatir. Sebagai wanita muda yang ditangani ahli terbaik di rumah sakit ternama, dia yakin semuanya akan baik-baik saja.
Melihat situasi ini, Shang Bai Feng berkata, di rumah sakit pasti tidak boleh ada terlalu banyak orang. Keramaian akan mengganggu orang lain. Di sini hanya boleh tinggal dua orang untuk meneman. Seandainya ada sesuatu, bisa telepon.
Kakek Lu mendengarkan, berpikir sebentar lalu mengangguk. "Benar, jangan sampai mengganggu keluarga lain."
Dengan putus asa, mereka berdiskusi: Shang Bai Feng dan Ding Ziyin yang tinggal. Sementara Lu Jianzhao dan Lu Jianhui menunggu di luar, siap mengantar barang jika diperlukan.
Kakek Lu kembali berpesan panjang lebar sebelum akhirnya pergi. Orang-orang lainnya juga membubarkan diri.
Di sisi Chu Wan kini hanya ada Shang Bai Feng dan Ding Ziyin yang hati-hati merawatnya.
Serangan sakit Chu Wan datang dan pergi. Kini terbaring di tempat tidur, tanpa rasa sakit, hanya bisa menunggu.
Ding Ziyin yang tak ada kerjaan mulai bercerita tentang telepon tadi ke Lu Shouyan: "Begitu dengar kabarnya, nada suaranya langsung berubah. Langsung bilang 'baik, baik, aku segera pulang!'"
Shang Bai Feng tersenyum: "Kudengar, Shouyan biasanya sangat menyayangi Wan-wan. Sudah lama berjanji akan menemani persalinannya. Tiba-tiba kejadian seperti ini, pasti membuatnya panik."
Ding Ziyin: "Aku sebelumnya tidak tahu, Shouyan bisa sebegitu tidak bijaksana."
Shang Bai Feng hanya tersenyum tanpa berkata-kata.
Sebagai penduduk Beijing, ia paham betul bagaimana Lu Shouyan memperlakukan menantu kecilnya bagai harta karun yang sangat berharga.
Ding Ziyin yang tinggal di luar kota tidak mengerti dinamika hubungan ini, sehingga terkejut mendengarnya.
Mengobrol sampai di sini, Chu Wan mulai terlihat lelah. Shang Bai Feng segera menyuruhnya beristirahat, sementara ia dan Ding Ziyin tidur di ranjang lipat sebelah.
Kakek Lu memesan kamar single khusus untuk Chu Wan, dengan menyediakan ranjang lipat agar pengasuh ibu hamil bisa beristirahat.
Meski kamar tunggal, tapi ini tetap rumah sakit. Berbaring di situ, dia bisa mendengar suara di koridor. Sepertinya ada yang melahirkan, tangisan lemah "waa waa waa" bayi terdengar, sementara perawat memanggil nama istri perwira.
Dalam riuh suara ini, dia kira takkan bisa terlelap. Tapi siapa sangka, akhirnya tertidur juga.
Terbangun kembali di tengah malam. Rasa sakit yang membangunkannya. Buru-buru dia memanggil. Shang Bai Feng dan Ding Ziyin langsung terbangun, cepat-cekat memanggil perawat. Perawat dan dokter bergegas datang.
Semua yang terjadi selanjutnya bagi Chu Wan seperti mimpi. Sakit. Dibawa tergesa ke ruang persalinan. Belum sempat menyadari keadaan, tiba-tiba sensasi aliran deras di bawah. Lalu dokter menyuruhnya cepat mengejan.
Dia segera menerapkan teknik pernapasan yang pernah dipelajari. Beberapa kali mengejan, tangisan bayi pun pecah. Sekelilingnya riuh dengan kejutan, berseru: "Sudah lahir!"
Dia masih berkunang-kunang, merasa lemas tak bertenaga, belum paham apa yang terjadi.
Katanya melahirkan harus sakit lama? Dia hampir tidak merasakan sakit, sekarang anak sudah lahir? Semua selesai?
Saat itu, Shang Bai Feng berseru antusias: "Kembar naga dan phoenix, kembar naga dan phoenix! Bagus sekali, melahirkan kembar naga dan phoenix!"
Chu Wan mendengarnya, merasa ini hal baik. Anak laki-laki dan perempuan lengkap.
Anak?
Mendengar sebutan itu, dia merasa asing. Dirinya sekarang sudah menjadi ibu, punya anak laki-laki dan perempuan.
Semuanya terasa tiba-tiba.
Dokter kemudian mengangkat bayi ke hadapannya. Chu Wan menoleh, hanya melihat warna merah basah yang samar. Tapi dokter langsung mendekatkan bayi ke matanya, dia pun mengangguk.
Setelah pemeriksaan singkat, kedua bayi mendapat nilai sangat bagus. Tapi karena kembar, beratnya agak ringan. Harus diberikan nutrisi ekstra.
Kedua bayi langsung dibawa kembali ke kamar. Chu Wan tetap di ruang bersalin untuk observasi. Setelah beberapa lama dipantau dan dikonfirmasi tidak ada masalah, Chu Wan kemudian didorong kembali ke kamar.
Di dalam kamar, kedua anak itu telah dikemas rapi, dibungkus tas, berbaring di ranjang bayi dengan tidur tenang.
Shang Bai Feng menelepon ke rumah. Lao Ye sangat antusias dan ingin langsung datang. Namun Shang Bai Feng menyarankannya untuk beristirahat dulu, karena kedatangan sekarang justru akan mengganggu bayi. Cukup kirim pembantu saja, sementara anggota keluarga lain bisa datang besok pagi.
Pada tahap ini, Lao Ye tidak bisa lagi membantah. Hanya bisa mengangguk setuju.
Chu Wan tidak berencana menyusui. Kedua anak juga tidak bisa menerima ASI. Tak perlu dipermasalahkan. Pembantu yang datang segera membantu merawat kedua bayi, menyiapkan botol susu agar bisa langsung memberi makan saat bayi menangis.
Chu Wan memandang pemandangan ini dengan lega, dia merasa agak lelah, rasa kantuk menyerang, lalu memejamkan mata bersiap tidur.
Namun tepat sebelum terlelap, sebuah kesadaran samar-samar muncul.
Apakah Lu Shouyan tahu dia sudah melahirkan?
Entah bagaimana reaksinya nanti saat melihat, pasti akan sangat senang.
Di dalam hatinya muncul harapan manis, bahkan hampir tak tertahan untuk tersenyum.
Chu Wan bermimpi.
Dalam mimpinya, Lu Shouyan sedang menunduk memandanginya dengan sorot mata yang dingin dan acuh.
Dia pun menjadi tidak senang, dalam hati bergumam "Aku sudah bersusah payah, kamu malah tidak mau merayuku atau menghiburkanku."
Dia mengulurkan jarinya menyentuh bibirnya, menyiratkan keluhan.
Namun pria itu justru menangkap tangannya, bertanya kenapa berulah seperti ini.
Perasaan sedih pun muncul dalam hatinya, ingin sedikit manja, ingin berulah semaunya, ingin dihiburnya.
Siapa sangka raut wajahnya masih tetap dingin. Dia terkejut, memfokuskan pandangan. Di depan matanya yang masih samar-samar, sosok Lu Shouyan terlihat tenang dan dingin. Bibir tipisnya mengerut halus, sudut mata menunjukkan garis-garis halus yang mengisyaratkan usia.
Matanya membesar. Dia mengamati dengan seksama, semakin dilihat semakin yakin ini adalah Lu Shouyan versi dewasa nanti.
Dia memperlakukannya dengan sikap dingin, tak mau menghiburnya!
Saat Chu Wan masih bingung, kesadarannya perlahan pulih. Matanya terbuka perlahan. Sinar matahari menyelinap lewat celah tirai jendela, membentuk berkas-berkas benang emas yang jatuh di dinding hijau muda kamar rumah sakit.
Bola mata Chu Wan bergerak-gerak, menyapu pandangan ke seluruh ruangan.
Di samping ranjang bayi hijau muda, seorang pria sedang berdiri membungkuk mengamati.
Rambutnya dipotong pendek, mengenakan kemeja hijau tentara dengan postur tubuh tegap dan berotot.
Chu Wan mengerutkan bibirnya, diam-diam memandanginya.
Ada satu saat di mana pandangannya berkunang-kunang, tidak tahu apakah ini orang dari kehidupan sebelumnya atau kehidupan ini.
Saat dia menoleh, kelopak mata tipisnya terangkat. Di dasar sorot matanya terpancar sesuatu - apakah itu sikap dingin yang serius, atau kelembutan yang penuh senyuman?
Saat dia tertegun memandang, Lu Shouyan seolah merasakan tatapannya dan menoleh ke arahnya.
Dalam jalinan cahaya yang terang dan redup, pandangan mereka bertemu.
Pada detik ini, hati Chu Wan merasa tenang.
Ini hanya mimpi belaka. Tak ada yang berubah. Dia tetap dia, sang kekasih yang selalu menemani, pria yang akan memeluk dan memanjakannya.
Lu Shouyan tampak merasakan kegelisahannya. Dia menghampiri ranjangnya, duduk di sampingnya, lalu dengan lembut membelai pipinya sambil berbisik: "Wan-wan, kamu tidak enak badan? Ada apa?"
Chu Wan merasakan kehangatan kasar di antara jari-jarinya, menggesekkan pipinya dengan lembaran itu sebelum berkata: "Baru bangun tidur, agak linglung."
Lu Shouyan memandangi wajah polosnya, sorot matanya berbinar: "Lapar? Ayah tadi datang, tapi melihatmu terlelap, tidak berani membangunkanmu. Bibi Tiga sudah menyiapkan sarapan, mau makan?"
Mendengar ini, Chu Wan baru menyadari perutnya memang keroncongan, lalu mengangguk.
Lu Shouyan segera membuka kotak makan termos di samping: "Ada telur kukus, bubur millet, dan sup merpati. Kamu mau yang mana?"
Chu Wan: "Bubur millet saja."
Lu Shouyan: "Baik, suhunya pas sekarang."
Dia membuka wadah dan mengambil sendok logam.
Chu Wan memalingkan pandangan ke dua ranjang bayi yang berjejer, di dalamnya terbaring bayi kecil yang sedang terlelap.
Lu Shouyan membawa bubur millet hendak menyuapinya, melihat pandangannya mengarah ke sebelah, tersenyum: "Pagi tadi sempat bangun, dua makhluk kecil ini sudah minum susu sedikit, buang air kecil sekali, sekarang terlelap lagi."
Chu Wan: "Lumayan penurut ya..."
Sebenarnya dia ingin melihat anak-anaknya. Di ruang bersalin dulu, warnanya masih merah dan melekat, tidak jelas bentuknya. Sekarang rasa ingin tahunya muncul.
Melihat ekspresinya, Lu Shouyan menaruh kembali bubur millet, perlahan mendorong salah satu kereta bayi ke sisi ranjangnya: "Lihat, ini anak perempuan kita."
Kembar naga dan phoenix, satu laki-laki satu perempuan, yang ini putri.
Chu Wan mendekatkan diri, mengamati dengan seksama.
Alisnya tipis, mata sipit memanjang, hidung mungil masih ada bengkak tersisa sehingga tampak lebih mancung, bibir mungil berwarna merah segar.
Dia mengangguk puas: "Lebih baik dari waktu baru lahir, semakin cantik juga, cuma masih terlalu kurus."
Ia menghela napas: "Bukankah bayi kecil seharusnya montok, bibir merah gigi putih?"
Lu Shouyan langsung meliriknya dengan sorot mata menyalahkan: "Kau ini Bisa dipercaya tidak? Penjelasan dokter sebelumnya sia-sia?"
Chu Wan merasa bersalah: "Aku cuma berkomentar saja."
Tak disangka, bayi kecil itu tiba-tiba mengernyitkan alis, membuka bibir mungilnya yang merah sambil mengerang, wajahnya seolah hendak menangis.
Chu Wan langsung menahan napas.
Lu Shouyan juga mengawasi dengan hati-hati.
Dalam ke-was-wasan berdua, akhirnya bayi itu memperlambat tempo, mendecak bibir kecilnya, hampir terlelap.
Lu Shouyan memandang Chu Wan dengan sorot datar. Chu Wan saat ini mana berani bicara, hanya bisa merasa bersalah.
Lu Shouyan dengan hati-hati mendorong kereta bayi ke sudut ruangan, lalu berjingkat-jingkat mendekati ranjang, mengambil bubur millet untuk menyuapinya.
Dia berbisik: "Lihat, tidak boleh bicara keras-keras, nanti bayi terbangun."
Chu Wan: "Kalau terbangun gimana?"
Lu Shouyan: "Ya pasti nangis."
Chu Wan mendengarkan, teringat suara tangisan di ruang bersalin, tangisan rapuh dan polos yang terdengar sebentar-sebentar seperti anak kucing malang.
Membayangkan tangisan itu, hatinya ikut tersayat. Kasihan sekali si kecil ini, bahkan tangisannya pun terlihat tak bertenaga.
Lu Shouyan menyuapi Chu Wan dengan sendok bubur millet: "Lagipikir apa?"
Bubur millet ini dimasak sampai benar-benar lunak, wanginya semerbak.
Chu Wan makan dengan puas, tersenyum: "Nggak mikir apa-apa."
Lu Shouyan: "Sorot matamu itu penuh niat jahat. Apa kamu masih penasaran ingin dengar suara tangisan mereka?"
Chu Wan: "Nggak ada sama sekali!"
Sesaat dia memandangi suaminya dengan kesal: "Sekarang punya anak laki-laki dan perempuan, mulai menghina aku? Aku cuma ingin dengar tangisan anak sendiri, toh aku yang melahirkannya!"
Pipi Chu Wan menggembung, ekspresinya jelas-jelas tidak terima. Di bibirnya tersisa sedikit butiran nasi.
Lu Shouyan tiba-tiba tertawa terbahak, lalu sedikit menunduk.
Chu Wan tak menyangka gerakannya yang tiba-tiba ini, matanya membelalak kaget.
Sebelum sempat bereaksi, bibir hangatnya sudah menyergap bibirnya, menghisap lembut sekali.
Seketika separuh badan Chu Wan terasa lemas seperti keju cair.
Pipinya memerah sampai ke telinga. "Keterlaluan!" hardiknya dengan sorot mata menyala.
Lu Shouyan tetap tenang seolah tak terjadi apa-apa. Sendok bubur diarahkannya ke mulut istrinya: "Makanlah selagi hangat."
Dengan patuh Chu Wan membuka mulutnya.
Melihat ketaatannya, kerling mata Lu Shouyan berbinar lembut: "Kok segar bugar begini? Tak seperti baru saja melahirkan."
Chu Wan mendongkol bangga: "Aku memang tak merasa kesakitan! Anaknya lahir begitu saja sambil setengah mengantuk!"
Sambil berkata, dia mulai bercerita tentang pengalamannya semalam: "Aku sudah siap bertarung menahan sakit untuk melahirkan, tapi ternyata anaknya sudah lahir begitu saja, aku sampai tidak sempat bereaksi!"
Lu Shouyan: "Bukankah ini bagus?"
Dia tersenyum: "Ini membuktikan tubuh Wan-wan sehat, harus tetap dijaga. Ayo, buka mulut."
Chu Wan pun melanjutkan makan dengan bantuan tangannya.
Sambil menyuapinya, Lu Shouyan bercerita: "Semalam setelah menerima telepon Bibi Kelima, aku langsung buru-buru kembali. Sayangnya ketika sampai di rumah sakit, kamu sudah melahirkan, tidak sempat menemanimu."
Chu Wan: "Tidak apa-apa."
Lu Shouyan memandanginya, bola mata hitamnya memancarkan kelembutan yang tak biasa: "Saat tiba di rumah sakit, kulihat kamu terlelap, si kecil juga tidur nyenyak, semua terlihat damai."
Chu Wan merasakan sorot matanya yang hangat bagai sinar matahari pagi, membuat hati terasa hangat dan nyaman.
Dia teringat mimpi tadi pagi, tentang sosok Lu Shouyan yang terkesan dingin dan menjaga jarak dalam mimpinya.
Semuanya berbeda dengan kehidupan sebelumnya, Lu Shouyan yang ada di depan mata adalah suaminya sendiri, mereka memiliki sepasang anak.
Sementara itu, tubuh dan hati terasa lembut, seolah dirinya adalah awan kapas yang dipeluk lembut dalam telapak tangan.
Lu Shouyan menyuapinya sendok demi sendok, sekitar setengah mangkuk, lalu menghidangkan telur kukus sambil membahas rencananya: "Aku sudah mengambil cuti beberapa hari, bisa menemanimu dengan baik."
Chu Wan memuaskan diri, menyantap telur kukus yang harum dan lembut sambil mengangguk: "Baik."
Sorot mata Lu Shouyan memancarkan kelembutan yang luar biasa: "Semalam aku terus terburu-buru ke sini, khawatir memikirkan berbagai kemungkinan, syukurlah semuanya berjalan lancar."
Bisa dikatakan, skenario terburuk telah kupikirkan. Di tengah penerbangan malam, aku mengalami mimpi buruk tentang hubungan kami yang hidup bagai orang asing, hingga terbangun kaget.
Sebenarnya setelah terbangun, mimpi itu sudah samar-samar, tapi perasaan itu masih tersisa di dalam hati, hingga menimbulkan panik, rela memberikan apapun untuk segera terbang ke hadapannya.
Setelah buru-buru tiba di rumah sakit, melihatnya tidur dengan tenang, menyaksikan dua bayi kecil lunak penurut tidur di ranjang bayi, barulah hatinya benar-benar lega.
Setelah lega, hanya merasakan kepuasan.
Bahkan ia agak berkunang-kunang, merasa segala yang ada di depan mata ini sangat berharga, seandainya roda waktu sedikit bergeser arahnya, mungkin ia takkan mendapatkan apapun.
Saat itu, setelah menghabiskan telur kukus, ia kembali menyuapinya minum air gula merah.
Setelah minum air gula merah, ia meletakkan mangkuk lalu tak kuasa memeluk eratnya.
Chu Wan tak menyangka ia berbuat demikian, lalu lemah bersandar di dadanya: "Sudah tahu kau yang paling merindukanku..."
Lu Shouyan mendengar ucapannya, merasa manis namun iri, menunduk memandanginya: "Benar, yang paling kurindukan adalahmu, sekalipun kita sudah punya bayi, tetaplah kaulah yang paling kusayang——"
Sambil berkata demikian, dia melirik ke sebelah itu.
Dua bayi kecil sedang terlelap, tak bisa mendengar——tapi sepertinya meski terbangun juga tak mengerti.
Chu Wan melihatnya, hampir tersenyum, lalu merapat di pelukannya: "Nanti ingat beri mereka nama."
Lu Shouyan: "Tunggu sampai pulang, kita berdiskusi pelan-pelan."
Tak lama, tiba-tiba terdengar suara "aowu" dari sebelah.
Suara mungil yang lembut dan kekanakan.
Keduanya tertegun sebentar, lalu saling memandang——keterkejutan terpancar dari sorot mata.
Di balik keterkejutan itu, bercampur emosi: kejutan, rasa ingin tahu, geli, dan kasihan.
Chu Wan mendesak: "Cepat periksa, gendong kesini!"
Lu Shouyan meliriknya: "Ini bukan brengsek, ini bayi kita."
Meski begitu, dia mengundurkan diri dan mengangkat benda kecil itu.
Saat menggendong, gerakannya terlihat kaku.
Meski sebelumnya sudah belajar dan paham, bahkan pernah menggendong keponakan kecil, tapi sekarang berbeda. Ini adalah anak kandung sendiri, apalagi masih sangat kecil.
Lu Shouyan dengan hati-hati menggendongnya: "Si kecil ini ringan sekali."
Chu Wan: "Mereka kan kembar, tentu ringan! Nanti harus banyak minum susu formula biar nutrisinya tercukupi."
Lu Shouyan tak menghiraukannya, terus menepuk-nepuk dengan lembut. Tapi percuma, semakin dihibur, si kecil malah makin keras menangis. Suara hoo hoo-nya nyaring, bahkan mulai menggelepar-geleparkan kaki kecil penuh semangat.
Melihat ini, Lu Shouyan hampir tersenyum tapi juga mengasihani. Buru-buru digendong dan dihibur: "Mau minum susu? Kamu pasti mau susu ya?"
Sementara mereka berbicara, sang pembantu sudah mendengar suara. Sebenarnya dia sedang beristirahat di luar.
Begitu mendengar keributan, buru-buru berkata: "Waktunya menyusu!"
Langsung mengambil botol dan menyiapkan susu.
Saat itu, bayi satunya juga terbangun. Kedua bayi saling menyaingi, bersama-sama menggelepar-geleparkan kaki mungil dan membuang-buang tenaga dengan lengan kecil sambil "auuu-auuu".
Situasi di lokasi pun jadi agak kacau. Chu Wan sudah kehilangan ketenangannya tadi, mulai mendesak: "Cepatlah, beri mereka minum! Lihat air matanya sudah mulai menetes!"
Butiran air mata kecil mulai mengalir dari celah mata mereka, mulut mungil terbuka lebar-lebar, wajahnya menangis tersedu-sedu tak karuan.
Lu Shouyan juga tak tega melihatnya. Untungnya susu formula sudah siap. Ia dan sang pengasuh masing-masing menggendong satu bayi untuk menyusuinya.
Begitu mulut kecil mereka menyentuh dot botol, tangisan langsung berhenti. Dengan serakah mereka menyedot susu hangat, wajah puas dan fokus sepenuhnya.
Chu Wan semakin penasaran, matanya berbinar-binar mengamati penuh perhatian.
Melihat itu, Lu Shouyan pun mendekatkan bayi yang digendongnya ke tepian ranjang, memperlihatkannya pada sang ibu.
Chu Wan mendekat, mengamati penasaran, melihat si kecil yang sepenuh hati menyusu, ia tak bisa menahan helaan napas: "Dia benar-benar mengerahkan tenaga maksimal!"
Lu Shouyan: "Tentu saja, bukankah ada pepatah 'menggunakan semua tenaga saat menyusu'? Menyusu memang membutuhkan banyak tenaga."
Chu Wan semakin merasa lucu. Di kehidupan sebelumnya saat melihat anak-anak saudari ipar dalam keluarga, ia hanya merasa tidak tertarik, rewel, dan merepotkan. Tak disangka kini, setelah melahirkan sendiri, betapa pun dilihat tetap menyenangkan, bahkan air mata kecil itu terlihat menggemaskan.
Saat mengamati, tiba-tiba melihat keringat halus mengembang di dahi si kecil yang sedang menyusu, hatinya kembali tersayat: "Kasihan sekali, sampai berkeringat hanya untuk menyusu."
Lu Shouyan mengangkat pandangan, tersenyum pasrah padanya: "Kau justru asyik menikmati penderitaannya."
Chu Wan membela diri: "Ini namanya mengasihani."
