Sambil berbicara seperti itu, si kecil juga sudah kenyang minum. Sesuai yang dikatakan dokter, perlu menepuk-nepuk untuk mengeluarkan sendawa. Maka Lu Shouyan dan pembantu masing-masing menggendong satu bayi, menepuk-nepuk punggung kedua bocah kecil itu.
Chu Wan berbaring beristirahat, melihat makhluk mungil itu bahkan tak mampu menegakkan kepala, hanya bisa lemas bersandar di bahu Lu Shouyan.
Postur tubuh Lu Shouyan yang tinggi besar dengan bahu bidang berotot, membentuk siluet maskulin yang kokoh - aura baja kelelakian yang tak tergoyahkan. Tapi kini, sesosok kecil yang dibungkus selimut merah muda, kepala mungilnya tak lebih besar dari kepalannya, terkulai lembut dan penuh ketergantungan di pundaknya.
Telapak tangan besar yang biasanya perkasa itu kini menepuk-nepuk dengan lembut, menggunakan tenaga paling halus yang bisa dihasilkan seorang pria.
Melihat pemandangan ini, dada Chu Wan tiba-tiba menggelora oleh desakan emosi yang membara dan bergolak.
Ini adalah ayah yang gagah perkasa dan kehidupan kecil yang baru lahir, bagaikan sehelai daun yang baru mengeluarkan tunas di bawah pohon pinus yang kokoh dan rimbun. Ini tentang ketergantungan total, warisan dan kelangsungan kehidupan.
Matanya bahkan sedikit melembab, dia pun memalingkan wajah perlahan untuk menenangkan emosinya.
Lu Shouyan dan pembantu menghibur cukup lama, akhirnya kedua bayi kecil itu mengeluarkan sendawa susu kecil masing-masing sebelum terlelap dengan nyenyak.
Lu Shouyan mengangkat anak itu dan memperlihatkannya pada Chu Wan.
Chu Wan mendekat.
Lu Shouyan: "Hidungnya sepertiku, tapi menurutku matanya sangat miripmu."
Dia mengangkat kelopak mata, sorot mata hitamnya berbinar: "Sepertimu waktu kecil, polos sekali."
Chu Wan: "Mana ada yang polos! Jelas-jelas cantik dan menggemaskan, persis sepertiku!"
Lu Shouyan hampir tertawa, tapi dia mengerutkan bibir menahan suara, khawatir membangunkan anak-anak.
Pasangan suami-istri itu menunduk memandang lama, berbisik beberapa patah kata. Untuk sementara, hati keduanya dipenuhi rasa manis.
Dua orang anak, seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan, adalah milik mereka.
Dia teringat hari itu di dalam kiln bakar kayu, tangan kasar Zhang Yuxin membelai lembut keramik yang dibuatnya sendiri.
Inilah nyawa, kehidupan yang sama sekali baru.
Mengorbankan segala upaya, memberi daya hidup, menganugerahkan jiwa.
Menjelang malam, seluruh keluarga Lu datang. Kakek Lu sebenarnya sudah datang pagi tadi saat Chu Wan masih terlelap. Tidak berani membangunkannya, hanya menyuruh orang membawa anak keluar untuk dilihat sekilas.
Kini sengaja datang lagi. Melihat Chu Wan sudah sadar, dengan penuh kasihan menanyakan macam-macam. Saat itu anak-anak sedang tidur pulas. Tidak berani bersuara keras, hanya memandang dari samping sambil tersenyum lebar tak bisa menutup mulut.
Menyukainya? Tentu saja menyukainya.
Meski keluarga Lu memiliki banyak cucu-cucu, seharusnya tidak sampai segitu menyayangi. Tapi ini adalah anak Chu Wan dan Lu Shouyan, Kakek Lu tentu lebih memanjakan. Apalagi ini adalah kembar naga dan phoenix yang sangat menggemaskan, pasti semakin disukai.
Saat itu beberapa menantu perempuan juga hadir. Mereka berkumpul mengelilingi bayi sambil terus memuji-muji.
Setelah mengobrol sebentar, tiba-tiba bayi-bayi itu terbangun. Kakek Lu yang sangat menyukainya langsung menggendong dan menghibur. Si kecil ini, mungkin baru saja tidur nyenyak dan tidak terlalu lapar, membuka mata lebar-lebar penasaran memandangi orang dewasa.
Kakek Lu terhibur: "Lihatlah! Dia mendengar suaraku, sedang memperhatikanku!"
Saat beliau tertawa, sang bayi pun tersenyum lebar memperlihatkan gusi merah muda yang mungil. Para anggota keluarga Lu yang menyaksikan adegan ini pun ikut terhibur.
Setelah menghibur cukup lama, Kakek Lu masih enggan meletakkan si kecil. Namun melihat bayi itu mulai menguap dan mengeluarkan air mata, Shang Bai Feng di sampingnya berkata bahwa waktunya menyusui dan tidur, barulah Kakek Lu meletakkannya.
Setelah ditaruh, bayi itu dihibur oleh pembantu. Kakek Lu malah memanggil Lu Shouyan keluar ruangan, berpesan panjang lebar agar ia tak perlu memikirkan pekerjaannya: "Ini anak kembar. Saat Wan-wan hamil kau juga tidak terlalu merepotkanmu. Kini setelah mereka lahir dengan selamat, langsung jadi ayah. Letakkan semua urusanmu sekarang, temani Wan-wan dengan baik."
Lu Shouyan tentu tidak bisa membantah. Sambil itu, ia mengangkat masalah pemberian nama.
Kakek Lu berkata: "Aku juga tidak punya ide nama bagus. Wan-wan itu berpendidikan, biar dia saja yang memberi nama."
Lu Shouyan menambahkan: "Sebelumnya saat tahu ini kehamilan kembar, Wan-wan pernah bilang ingin satu anak bermarga Chu, satu lagi bermarga Lu. Bagaimana pendapat Ayah?"
Kakek Lu mendengar, lalu berkata: "Ini tidak perlu. Pertama, keluarga Chu memang sudah sedikit anggotanya, hanya tinggal Wan-wan. Bermarga Chu ini kan bagus. Kedua, kedua anak ini laki-laki dan perempuan. Kalau marga berbeda, saat besar nanti malah bisa timbul persepsi yang bermacam-macam. Lebih baik sama-sama bermarga Chu saja."
Lu Shouyan: "Baik."
Kakek Lu memandangi putranya: "Kau ini pria, tak perlu mempermasalahkan hal begini. Mau bermarga apa tidak penting, kan tetap anakmu! Lihatlah pemimpin besar kita, anak-anaknya ada yang bermarga macam-macam. Tak perlu memaksakan ikut marga sendiri."
Mendengar ini, Lu Shouyan antara ingin tertawa dan menangis, tapi tetap menjawab: "Ayah, aku tidak punya persepsi khusus. Aku sebutkan ini juga ingin berdiskusi denganmu. Lebih baik kedua anak bermarga sama."
Kakek Lu: "Nah begitu dong. Biar Wan-wan yang memberi nama. Wan-wan kan tingkat literasi budayanya tinggi. Biar dia yang beri nama bagus untuk cucu-cucuku."
Lu Shouyan mengangguk: "Baik."
Kakek Lu melihat situasi di sini, lalu mengatur sebuah kamar tambahan. Dengan demikian, kedua anak dan Chu Wan bisa dipisahkan. Dua pembantu merawat anak-anak di sebelah sana, sementara satu pembantu bersama Lu Shouyan berada di sini untuk merawat Chu Wan. Ini agar jika anak menangis, tidak akan mengganggu istirahat Chu Wan.
Setelah pengaturan selesai, ia kembali berpesan kepada Lu Shouyan dan Chu Wan, baru kemudian memimpin rombongan besar keluarga Lu untuk pergi. Bagaimanapun, terlalu banyak orang akan mengganggu istirahat ibu melahirkan dan bayi.
Kedua anak kembali minum susu bubuk sampai kenyang, masing-masing buang air kecil sekali, lalu ditinabobokan dan diletakkan di kereta bayi. Mereka didorong ke sebelah, menyisakan hanya Lu Shouyan dan Chu Wan di dalam kamar.
Lu Shouyan membantu Chu Wan membersihkan tangan dan wajahnya dengan air hangat, menyuapinya sedikit sup ayam, kemudian membantunya berkumur dengan air. Barulah ia menyangganya berbaring: "Tidurlah sebentar. Dokter bilang meski kamu tidak merasa lelah, tapi tubuhmu sebenarnya kelelahan. Harus istirahat yang cukup."
Chu Wan sebenarnya juga sudah lelah, lalu berbaring.
Namun setelah berbaring, dia agak sulit tidur.
Melihat ini, Lu Shouyan pun ikut setengah berbaring di ranjang sambil memeluk dan menepuk-nepuk lembut untuk menghiburnya.
Chu Wan menyembunyikan wajah di lekuk bahunya, menghirup aura terbaik itu, merasakan hati dipenuhi rasa nyaman dan tentram.
Lu Shouyan merangkulnya, menunduk dan berbisik di telinganya: "Wan-wan, kamu sudah bekerja keras."
Suara beratnya masuk ke telinga bagai anggur terbaik, membuat gendang telinganya terasa lemas.
Chu Wan memejamkan mata, dengan serakah membungkukkan tubuh lebih dalam dalam dekapannya.
Mungkin karena baru menggendong bayi, aroma susu yang lembut di bajunya membuat Chu Wan sangat menyukainya.
Lu Shouyan melihatnya terus-menerus membungkuk, sebenarnya juga sangat menyukainya. Dia menunduk mencium rambutnya, sekali lagi, lalu berbisik: "Wan-wan, dalam hatiku sangat bahagia. Kita punya dua bayi kecil, mereka sangat baik. Nanti kita akan membiayai mereka dengan baik."
Chu Wan mendengus puas "Ya", tak tahan mengulurkan tangan merangkul pinggangnya.
Setelah itu, teringat sesuatu, wajahnya menempel pada kerah bajunya bergumam: "Kamu punya dua bayi kecil, mereka jelas sangat menggemaskan."
Lu Shouyan tertegun sejenak, lalu tertawa terbahak, mengusap rambutnya pelan: "Ini iri ya?"
Chu Wan berbisik: "Tidak sama sekali!"
Lu Shouyan memeluk eratnya, berbisik di telinganya: "Mereka berdua bayi kecil, kamu bayi besar, semuanya adalah hartaku."
Kata-kata ini mengalir ke telinga Chu Wan, hatinya langsung meleleh. Dengan penasaran ia mengangkat wajah memandangnya.
Siapa sangka dia malah mengangkat tangan, menutup matanya.
Dia meraih tangan pria itu, merajuk lemhat: "Mau apa?"
Lu Shouyan: "Sudah-sudah, pejamkan mata dan tidurlah."
Chu Wan: "Mengapa?"
Lu Shouyan segera mendudukkan tengkuknya, membuatnya terjatuh dalam dekapan: "Banyak tanya. Tidur."
Chu Wan yang terjatuh di dadanya tak tahan tertawa: "Kamu malu!"
Dia tertawa mendengus kesal: "Cuma bicara sedikit saja sudah malu, kulit wajahmu tipis sekali! Tidak boleh! Aku harus latih kamu setiap hari. Sehari tidak dengar omongan manisku, aku tidak senang! Begini baru bisa membentuk karaktermu!"
Lu Shouyan menunduk, menggigit lembut telinganya: "Omong kosong? Aku tidak malu sama sekali."
Chu Wan: "Masih sok keras kepala. Biar kulihat, apakah pipimu memerah——"
Dia menatap ingin melihat, tapi pria itu langsung mendudukkannya, menunduk memberikan ciuman yang menggigit bibirnya.
Gigi dan bibir saling terkait, begitu membara, tapi hanya sebentar, dia sudah melepaskannya.
Bagaimanapun ini waktu khusus, lagi di rumah sakit, dia pun tak berani berbuat sembarangan.
Chu Wan menatap wajahnya, aura mereka saling melingkupi, napas masing-masing mengepul di wajah, terasa kepanasan.
Dia melihat ujung alisnya memang memerah, pangkal telinganya merah, sorot mata hitamnya bergolak penuh emosi.
Chu Wan juga pipinya memerah, berbisik: "Aku ini apa bagimu?"
Lu Shouyan jelas malu, memalingkan pandangan: "Kamu baru melahirkan, istirahatlah, jangan nakal."
Tapi Chu Wan bersikeras, ingin mendengar: "Tidak, kalau tidak kaukatakan aku takkan tidur!"
Lu Shouyan kembali menundukkan kepalanya, menempelkannya di dadanya, lalu berbisik lirih: "Bayi besar harus patuh, jadi baik, tidur."
Chu Wan mendengarnya, hatinya bergetar lembut seperti keju cair yang meleleh jadi air.
Ia merebahkan diri di pelukan suaminya, menempelkan wajah dengan penuh ketergantungan di dadanya, lalu berbisik manja: "Kamu harus menepuk-nepukku, seperti saat menghibur mereka."
Lu Shouyan tersenyum kecut, semakin erat memeluknya sambil membujuk: "Pejamkan matamu."
Chu Wan patuh menjawab: "Uhuk, aku sudah memejamkan!"
Maka pria itu mengayun-ayunkan tubuhnya perlahan, menenangkannya dengan tepukan lembut bak mengasuh bayi.
Dalam dekapan yang menenangkan itu, seluruh jiwa raga Chu Wan berangsur rileks hingga akhirnya terlelap dalam mimpi indah.
