Chu Wan merapikan barang-barangnya dan memutuskan untuk menjual dua keramik yang sebelumnya dibeli di balai lelang Swedia. Keduanya berasal dari Dinasti Qing, bukan barang premium, jadi tidak perlu disimpan. Dia mempercayakan pada balai lelang lokal dengan modal total 18.000 dolar AS. Kini harga psikologis Chu Wan adalah minimal laku 20.000 dolar AS.
Awalnya kedua barang ini hanyalah skenario pengalihan untuk membeli Stempel Wei Zhao Lingfei. Asal tidak rugi atau untung sedikit pun, dia sudah puas.
Namun setelah terjual di lelang, yang mengejutkannya, kedua keramik itu laku 22.000 dolar AS - keuntungan bersih 4.000 dolar. Pembawa acara lelang juga puas, menganggap "narasi pengantar untuk keramik ini sangat memikat".
Chu Wan mendengarkan, langsung paham. Penjelasan kondisi dua keramik ini ditulisnya sendiri untuk presenter lelang. Di Barat, pembeli keramik terbagi dua: sebagian ahli, sebagian lagi setengah paham. Dengan deskripsi yang menarik, tentu banyak yang tertarik sehingga harganya bisa naik di luar perkiraan.
Harga karya seni memang tidak ada patokan pasti. Semua tergantung apakah pembeli menyukainya. Bagi kolektor, kehilangan satu karya berarti kehilangan selamanya. Mereka rela menahan sakit membayar lebih, apalagi bagi kalangan penggila seni, 10-20 ribu dolar bukanlah hal berarti.
Keberhasilan ini memacu semangat Chu Wan. Ia semakin yakin pasar Amerika menjanjikan. Asal pandai menambah bumbu cerita dan memuji-muji keramik sendiri, bahkan barang Dinasti Qing biasa pun bisa dijual kembali dengan laba 5.000 dolar.
5.000 dolar itu setara dengan sekitar 20.000 Renminbi di dalam negeri. Di Tiongkok saat ini, gaji 200 keping per bulan sudah dianggap sangat baik. Artinya, dengan sekali transaksi biasa, hasilnya setara dengan gaji 10 tahun orang biasa di dalam negeri.
Barang antik adalah industri pencari emas, dan pasar barang antik Amerika adalah ladang emas terbaik. Hasil uangnya terlalu mudah.
Chu Wan mulai bersemangat, sering mengunjungi berbagai balai lelang di Amerika untuk mencari barang menguntungkan. Sayangnya, standarnya terlalu tinggi. Setelah bolak-balik meneliti, tak ada yang benar-benar ingin dibeli - terlalu mahal atau kualitas buruk. Kadang sehari mengunjungi dua balai lelang, tapi akhirnya tak satu pun transaksi terjadi.
Saat dia mulai frustrasi, pada suatu hari dia melihat Lu Shouyan membaca koran yang memuat kabar terbaru dari Meksiko.
Tiba-tiba dia teringat, di kehidupan sebelumnya pernah ada berita tentang peta Meksiko yang tersembunyi dalam karpet tua.
Chu Wan agak ingat kejadian itu. Karpet tersebut muncul di lelang karpet dekat kampus, waktunya juga mirip dengan sekarang.
Dia segera bertindak, mengemudi ke sekitar kampus untuk menanyakan kabar lelang karpet. Sayangnya, tidak ada lelang karpet terdekat, dan tidak ada tempat membeli karpet bekas, membuatnya sangat kecewa.
Faktanya, meski tahu sejarah ada peristiwa seperti ini, tapi datang di waktu yang tidak tepat tetap percuma.
Atau mungkin, dunia ini sudah sedikit berbeda dari yang dia ketahui sebelumnya. Dia tidak bisa mencari pedang dengan mengukir perahu atau mencari kuda dengan peta.
Tapi dia juga tidak buru-buru pulang. Karena sudah sampai sini, lebih baik jalan-jalan. Dekat kampus ada pasar loak, meski tentu tidak ada barang bagus—hanya kasur asrama dan peralatan dapur seperti panci, mangkuk, piring yang dijual mahasiswa.
Dia tentu tidak tertarik, hanya melihat-lihat buku bekas. Di sini juga ada buku bekas perpustakaan yang diurus.
Ia berjalan santai hingga tiba di sebuah toko barang bekas. Di jendela etalase toko tergantung papan tulis kecil dengan tulisan kapur coretan tak beraturan: "Menerima buku dan barang kebutuhan sehari-hari". Mungkin toko ini membeli barang-barang berkualitas baik dari mahasiswa dengan harga murah, lalu menyimpannya untuk dijual perlahan.
Meski tidak terlalu berharap banyak, ia tetap masuk. Saat itu jam makan siang. Aroma kue daging sapi menyeruak dari dalam toko yang penuh dengan berbagai barang hingga hampir menumpuk sampai ke atap - mulai dari koper, rak buku, meja kursi, hingga kasur dan seprai, kebanyakan barang bekas yang dikumpulkan.
Pemilik toko adalah pria kulit putih paruh baya botak dan berperut besar. Melihat Chu Wan masuk sambil mengunyah kue daging sapi berminyak, ia menyambutnya dengan ramah: "Silakan pilih sendiri!"
Jelas dia mengira Chu Wan adalah mahasiswa asing yang baru datang, ingin membeli barang bekas.
Chu Wan bertanya sambil lalu apakah ada karpet di sini, dia ingin yang cantik dengan pola indah. Pemilik toko langsung berseru: "Karpet? Baru saja menerima setumpuk! Kamu datang di saat yang tepat!"
Sambil mengusap tangan sembarangan, dia mengais-ngais tumpukan seprai dan akhirnya menemukan setumpuk perlengkapan ranjang.
Itu jelas barang bekas mahasiswa internasional yang dijual murah saat wisuda, dengan berbagai warna dan pola seperti sidang PBB.
Mata Chu Wan langsung tertarik pada sebuah karpet bergambar daun berbentuk sabit dengan pola geometris aneh. Karpet itu begitu usang sampai menghitam, disertai jejak perbaikan kecil di tengahnya yang tampak sangat lapuk.
Namun terlihat jelas bahan karpet ini sangat berkualitas, terbuat dari wol dan sutera, bahkan terjalin benang emas dan perak sehingga masih berkilau samar meski pencahayaan toko bekas ini buruk.
Yang paling memikat perhatian Chu Wan adalah lambang keluarga kerajaan Polandia yang ternyata terpajang di atasnya.
Chu Wan secara samar merasa, benda ini seharusnya cukup berharga, setidaknya bukan sekadar barang bekas biasa.
Ia langsung menanyakan harga ke pemilik toko. Melihat Chu Wan memilih karpet paling usang di antara banyak karpet bekas, sang pemilik toko mengira dia tidak punya uang: "Sepuluh dolar AS saja."
Chu Wan berterima kasih, dengan membahagiakan membayar sepuluh dolar AS, lalu pergi membawa karpet itu.
Karpet itu sangat kotor. Dia membungkusnya dengan selembar kain, menaruhnya di bagasi mobil, lalu mencari kamar mandi untuk mencuci tangan sebelum akhirnya merasa lebih baik.
Saat itu waktu makan siang. Aroma berbagai makanan di jalanan terbawa angin, bahkan ada wangi popcorn. Chu Wan yang lapar langsung membeli burger dan kopi di pinggir jalan, lalu menyantapnya cepat-cepat di dalam mobil.
Setelah itu, dia sengaja pergi ke area ski, mengambil sekantong salju dengan berbagai cara, memasukkannya ke bagasi mobil, baru kemudian pulang ke rumah.
Setibanya di rumah, ia segera menaruh es di kulkas. Saat itu si kecil langsung menyambut dengan riang sambil bertanya kenapa ibu tidak pulang untuk makan siang.
Chu Wan memencet lembut pipi mungil kedua anaknya sambil tersenyum: "Ibu sudah makan di luar. Kalian makan apa yang enak?"
Hari ini mereka makan steak daging sapi goreng. Sang pembantu memasaknya dengan dipotong kecil-kecil hingga empuk, sehingga mudah dikunyah anak-anak yang menyantapnya dengan lahap.
Mendengar itu Chu Wan jadi ngiler. Burger yang dimakannya tadi rasanya tidak enak, hanya sekadar mengganjal perut.
Setelah menemani mereka bermain sebentar dan melihat tanda-tanda mengantuk di mata berair mereka, ia pun menidurkan kedua anak itu.
Setelah anak-anak terlelap, Chu Wan meminta pembantu untuk menggorengkan steak juga untuknya, lalu menyantapnya dengan penuh nikmat.
Setelah kenyang, barulah dia membawa karpet itu ke toilet, menghamparkan salju segar, meletakkan karpet di atas salju. Dengan hati-hati dia menggosok noda di karpet menggunakan salju, lalu mengganti salju bersih dan mengubur karpet di dalamnya. Perlahan dia menepuk-nepuk dan mengguncang karpet untuk membersihkan kotoran.
Perlu diketahui bahwa benang emas-perak pada karpet jenis ini sangat mahal. Tidak mungkin dicuci dengan air, juga tidak boleh digosok keras. Jadi hanya bisa menggunakan metode pencucian salju ini.
Di zaman kuno, pakaian berharga kaisar seperti jubah naga di istana juga dicuci dengan cara ini oleh dayang-dayang.
Setelah proses pencucian salju, Chu Wan menggunakan handuk lembut yang dicelupkan alkohol untuk membersihkan kembali. Setelah beberapa putaran, karpet menjadi jauh lebih bersih.
Pengetahuan Chu Wan tentang karpet Persia tidak banyak, alasan dia membelinya juga karena mengandalkan pengetahuan dasar verifikasi ulang barang antik yang dimilikinya - sekilas langsung tahu ini karpet yang sudah berusia beberapa zaman, dipasangkan dengan lambang keluarga kerajaan Polandia ini, instingnya mengatakan ini kemungkinan besar adalah barang bagus saja, tapi kondisi konkret seperti apa, dia masih harus meneliti lebih lanjut.
Malam hari, Lu Shouyan kembali, dia bercerita pada Lu Shouyan. Lu Shouyan langsung menyahut: "Kalau begitu besok kau ikut aku ke sekolah kami, bisa pergi ke perpustakaan menyelidiki buku, aku akan membantumu mencari data."
Chu Wan: "Wah bagus sekali, kalau begitu besok aku ikut bergaul denganmu."
Lu Shouyan tersenyum: "Sejak kasus meja naga cendana kemarin, teman sekelasku semua kagum padamu. Mereka berkabar aku menemukan istri yang mampu sekaligus kaya. Ada juga yang ingin belajar berburu barang antik, tapi tak perlu kau layani, abaikan saja."
Chu Wan: "Baik, aku mengerti. Lagipula ini temanmu, pasti semua akan kudengarkan."
Keesokan harinya, Chu Wan mengikuti Lu Shouyan ke perpustakaan, bertemu dengan dua teman sekelas perempuannya. Namun untungnya, mereka tidak bermaksud mencari harta karun, hanya menunjukkan ekspresi kagum saat melihatnya.
Lu Shouyan membantu Chu Wan menemukan area budaya Persia, membiarkannya memilih perlahan-lahan sementara dirinya mencari buku lain.
Chu Wan membalik-balik buku tentang budaya Persia, akhirnya memahami latar belakang karpet tersebut.
Dari gaya, karpet ini kemungkinan diproduksi di wilayah Kerman, Persia pada abad ke-17. Lambang Polandia di atasnya mungkin hadiah dari orang Persia untuk keluarga kerajaan Polandia.
Setelah penelitian ini, minat Chu Wan semakin terbangun. Ia mendelegasikan karpet ini ke rumah lelang terdekat.
Ahli verifikasi teknikal di rumah lelang menunjukkan ketertarikan besar saat melihat karpet Persia ini.
Chu Wan melihat ini lalu berkata: "Karpet yang ditenun dari wol dan sutra ini, ditambah benang emas dan perak, di masa itu sudah termasuk hadiah mewah yang hanya bisa dinikmati bangsawan. Jumlah produksinya sangat terbatas, apalagi karena faktor bahan, yang bisa bertahan sampai sekarang semakin langka."
Tampaknya ahli verifikasi juga setuju. Setelah negosiasi, harga dasar lelang ditetapkan sepuluh ribu dolar.
Untuk harga ini, Chu Wan sudah cukup puas.
Bagaimanapun, karpet Persia termasuk kategori kecil di pasar seni dan tidak terlalu populer. Dia sudah menyelidiki rekor lelang beberapa rumah lelang besar tahun-tahun terakhir, harga pasar karpet Persia memang tidak terlalu bagus.
Harga bukaan sepuluh ribu. Jika bisa terjual tiga empat puluh ribu dolar, dia merasa usahanya kali ini tidak sia-sia.
Rumah lelang skala menengah seperti ini prosedurnya sangat cepat. Tak lama kemudian ditetapkan karpet Persia Chu Wan akan dilelang hari Rabu.
Saat makan malam, Chu Wan mengusulkan: "Jianchen, nanti kamu ikut ke sana. Bertugas membantu menaikkan harga, setidaknya bisa memperpanaskan lapak saya."
Dengan begitu situasi canggung karena terlalu sepi tidak akan terjadi.
Lu Jianshi: "Jangan sampai nanti tidak ada yang membeli. Kalau aku berhasil menang lelang, kita sama saja memindahkan barang dari tangan kiri ke kanan, malah harus memberikan komisi ke rumah lelang."
Komisinya sepuluh persen, tidak murah. Jika terjual sepuluh ribu dolar, berarti komisinya seribu dolar.
Chu Wan langsung memandangnya dengan tidak setuju: "Masa sih? Ini kan karpet Persia, hadiah untuk keluarga kerajaan Polandia. Harganya mahal, ini peninggalan budaya penting. Pasti ada yang mau beli, tinggal lihat berapa harganya nanti."
Lu Jianshi: "Ini semua tidak bisa dipastikan. Membeli barang itu mudah, menjualnya yang sulit. Pokoknya kita harus tetap hati-hati. Kamu sendiri yang tahu ini barang bagus, orang lain belum tentu paham."
Chu Wan: "Maksudmu barangku tidak akan laku?"
Lu Jianshi: "Bukan tidak laku, ini cuma khawatir kamu malah rugi."
Chu Wan mengabaikannya dan berpaling mengadu ke Lu Shouyan: "Lihatlah keponakanmu ini! Karpetku mau dilelang besok, dia malah mengucapkan kata-kata pesimis seperti ini. Benar-benar tidak membawa keberuntungan!"
Lu Jianchen hendak menjelaskan sesuatu, Lu Shouyan sudah berkata: "Jianchen, menyuruhmu menjadi bidak, bisa dianggap sebagai pengalaman, kau cukup menjalankan peran bidak dengan baik."
Lu Jianchen menghela napas: "Paman Tujuh, aku hanya mengingatkannya agar tidak memberi keuntungan gratis ke rumah lelang."
Lu Shouyan: "Apa kau paham seni?"
Lu Jianchen tertegun sebentar.
Lu Shouyan: "Apa kau paham sejarah?"
Lu Jianchen: "Pernah belajar di SMP..."
Lu Shouyan: "Apa kau paham karpet?"
Lu Jianchen tak bisa menjawab.
Lu Shouyan: "Kau tak paham apa-apa. Kalau memang tidak paham, percayalah pada profesional. Karena Wan-wan memilih ini, berarti benda ini layak. Barang bagus pasti ada yang tahu nilainya."
Chu Wan melirik Lu Jianchen sambil tersenyum: "Pantaslah dimarahi."
Lu Jianchen gelengkan kepala, tertawa getir: "Paman Tujuh, dia sengaja. Sedikit saja berselisih langsung mengadu. Paman juga sengaja membelanya."
Lu Shouyan: "Ini istriku. Tentu aku membelanya. Masak aku tidak membela istriku malah membela kau?"
Lu Jianshi nyaris terbatuk menelan kopi saat mendengar ucapan itu.
Ia memandang Paman Tujuh yang biasanya tenang dan matang, lalu melihat Chu Wan yang tersenyum bahagia, menghela napas: "Kenapa aku harus makan bersama kalian? Aku benar-benar--"
Ini masihkah Pamannya yang dulu?! Bagaimana bisa begini!
Xiao Mengjin yang sedang rajin makan di sampingnya membuka mata lebar, penasaran menatap Lu Jianshi: "Kakak, makan yuk."
Lu Jianshi menatap bocah kecil lembut di sebelahnya, segala kesal pun menguap.
Ia menghela napas panjang: "Sudahlah, aku menyerah pada takdir."
Bukankah Paman Tujuh hanya terlalu memanjakan Wan-wan? Biarlah.
Sebagai junior, apa lagi yang bisa dilakukannya?
Usai makan, Lu Jianshi menemani dua anak bermain balok kayu sementara Lu Shouyan membereskan meja. Chu Wan lebih dulu kembali ke kamar untuk mandi.
Siapa sangka setelah mandi, Lu Shouyan sedang berdiri di kamar sambil memegang koran, menunduk membaca.
Chu Wan melirik sekilas - ini adalah majalah seni mingguan langganannya yang selalu mengupdate informasi terkini seputar karya seni. Edisi ini mungkin baru diambil dari kotak pos.
Ia membungkus rambutnya dengan handuk: "Jangan baca dulu, bantu aku mengeringkan rambut..."
Dia selalu menyukai saat Shouyan mengeringkan rambutnya. Sensasinya sangat nyaman, jauh lebih baik daripada mengeringkan sendiri.
Tapi Lu Shouyan berkata: "Lihat, info lelang terbaru dari Sotheby's New York."
Chu Wan: "Yah keringkan rambutku dulu dong!"
Kabar begituan bisa dibaca nanti, tidak usah terburu-buru.
Lu Shouyan mengangkat pandangan, menatapnya sejenak lalu tersenyum. Ia meletakkan majalah seni itu dan mengambil pengering rambut.
Gerakannya telaten dan penuh perhatian saat mengeringkan rambut, membuat Chu Wan sangat menikmatinya.
Saat jari-jari panjangnya menyentuh lembut kulit kepalanya dalam kehangatan angin panas, betapa nyamannya hingga jari kakinya ingin meringkuk.
Susah payah selesai mengeringkan, Chu Wan langsung berbalik merangkul lehernya dengan kedua tangan sambil sedikit manja: "Hari ini benar-benar berhasil, harusnya dia dapat teguran!"
Lu Shouyan menghela napas: "Jangan menginjak hidung naik ke wajah, kurasa kau sengaja memperlakukannya tidak adil."
Diperlakukan tidak adil?
Chu Wan: "Mana ada!"
Lu Shouyan menundukkan pandangan padanya, frustrasi: "Bukan begitu? Kau ingin aku membantumu bersama-sama memperlakukannya tidak adil."
Ekspresi manis Chu Wan mengembang: "Kau yang terbaik untukku, paling menyayangiku!"
Lu Shouyan memandanginya seraya berkata: "Kekhawatiran Jianchen sebenarnya ada benarnya."
Chu Wan: "Benar... Makanya aku khawatir. Aku sudah cemas, dia malah terus mengulang-ulang, mana mungkin hatiku tenang?"
Lu Shouyan tersenyum tipis: "Aku sebelumnya juga cemas, tapi kini lihat keadaannya, tak perlu khawatir lagi."
Chu Wan: "Mengapa?"
Lu Shouyan: "Karena ada perkembangan baru dalam situasi."
Chu Wan: "?"
Lu Shouyan: "Baru saja ini, bukankah ada yang mengirimkan majalah seni mingguan?"
Chu Wan langsung tersadar: "Ada kabar apa di majalah itu? Apakah baru-baru ini balai lelang Sotheby's menjual karpet?"
Lu Shouyan: "Kamu lihat sendiri."
Chu Wan segera meninggalkan Lu Shouyan, mengambil koran itu, membalik-balik beberapa halaman, dan cepat menemukan informasi lelang Sotheby's kali ini.
Ternyata, dalam balai lelang Sotheby's kali ini, secara mendadak dilelang sebuah karpet bergaya peninggalan Dinasti Sāvid Persia yang juga memiliki ciri khas Dinasti Mughal India. Karpet tersebut dihiasi Mutiara Alami Basra yang dikumpulkan dari perairan Teluk, konon mencapai dua juta butir.
Karpet ini konon dipesan khusus oleh pangeran India untuk dipersembahkan ke makam Nabi Muhammad, sayangnya mahakarya agung ini tidak terselesaikan karena sang pangeran meninggal, lalu karpet tersebut dialihfungsikan.
Karpet ini tiba-tiba menjadi dark horse dalam lelang, langsung terjual dengan harga fantastis 4,8 juta dolar AS di acara ini, menciptakan rekor tertinggi untuk karya seni Timur Tengah di balai lelang.
Karpet Chu Wan memang tidak sebanding dengan karpet khusus India ini, tapi dengan munculnya kabar ini, berarti harga karya seni Timur Tengah akan langsung terdongkrak, sementara karpet Persia sebagai barang sejenis juga akan mengalami kenaikan harga layaknya air pasang mengangkat perahu.
Sekalipun harganya tidak naik, setidaknya di lelang besok, karpetku ini pasti akan menjadi pusat perhatian seluruh ruangan, sama sekali tidak akan sepi peminat!
Chu Wan menatap koran itu dengan hati berbunga-bunga.
Awalnya dia ingin mencari peta Meksiko baru membeli karpet Persia, siapa sangka tanpa sengaja malah mendapat keberuntungan besar ini.
Dia melihat ke sana kemari, senang terpancar di ujung alis, berulang kali menghela napas: "Sudah-sudah, kali ini tidak perlu Jianchen mengangkat."
Lu Shouyan: "Setuju, tidurlah nyenyak, besok tinggal menunggu uang masuk."
Chu Wan mencengkeram koran, tiba-tiba teringat: "Kamu sudah tahu pikiran saya, melihat kabar baik sebesar ini tidak mau memberitahu, malah masih dengan tenang akan mengeringkan rambut saya?"
Seharusnya dia bicara lebih awal...
Lu Shouyan dengan wajah polos berkata: "Kamu yang mendesak saya mengeringkan rambut."
Chu Wan melihat wajahnya, hampir-hampir rela berlari mencakar dia.
Dia jelas-jelas sengaja!
