Museum Keluarga Chu membutuhkan waktu penuh dua tahun sejak tahap perencanaan, pembangunan, hingga peresmian akhir.
Arsitektur museum mengadopsi gaya tradisional Tiongkok dengan batu biru dan genteng merah, namun menyisipkan konsep desain Barat, menjadikannya bangunan ikonik di kawasan Liulichang.
Setelah persiapan selama beberapa bulan, koleksi pribadi Chu Wan selama ini, harta keluarga Chu yang dikembalikan nenek Chu Hui, serta sebagian koleksi Chu Hexi, semuanya telah tertata rapi di dalam Museum Keluarga Chu.
Tentu tak terlupakan kehadiran Relief Ratu dan Kaisar Bersembahyang kepada Buddha yang menggemparkan dunia, serta tiga kepala binatang perunggu dari Yuanmingyuan.
Setelah peresmian, museum secara resmi dibuka. Pada hari itu, digelar ritual megah di mana pucuk pimpinan penting hadir untuk menggunting pita peresmian sambil memuji museum ini sebagai "mutiara timur, gudang harta peradaban Tiongkok".
Media berita dari dalam dan luar negeri memberikan perhatian, dengan banyak tokoh berpengaruh di bidang seni dan barang antik hadir memadati acara.
Keluarga kerajaan Swedia menugaskan seorang pangeran untuk memberikan ucapan selamat. Keluarga Rockefeller dari Amerika mengirim Charlie Victor, bahkan keluarga Hyman dari Inggris secara mengejutkan mengutus Bredene. Tak ketinggalan, beberapa museum berpengaruh dari Eropa dan Amerika juga mengirim perwakilan serta menyampaikan ucapan selamat.
Para ahli dalam bidang barang antik domestik tidak perlu disebutkan lagi - ini hampir menjadi pertemuan agung para tokoh terkemuka barang antik lintas negara.
Sebagai direktur museum, Chu Wan menyampaikan rasa terima kasih kepada para hadirin: "Museum kami telah menempuh waktu satu tahun delapan bulan, akhirnya resmi dibuka. Terima kasih kepada semua teman yang hadir hari ini."
“Di Tiongkok ada pepatah kuno: ‘Mereka yang sevisi tak menganggap gunung dan laut sebagai jarak’, artinya meski lautan membelah daratan, pegunungan dan gurun menghalangi jalur darat, namun melewati ribuan gunung dan sungai, kita tetap bisa berkumpul untuk melakukan dialog peradaban yang berwarna-warni.”
Saat dia berpidato, kamera dari berbagai media internasional dan domestik sejajar mengarah padanya. Di bawah panggung berkumpul kolektor ternama dunia dengan beragam warna kulit, semua memandanginya dengan fokus sambil menyimak setiap kata.
Di bawah gemerlap lampu kristal museum, mereka menyaksikan wanita Timur yang kurus dan lemah ini berdiri di podium sentral, bagaikan kembang api yang mekar gemilang di hamparan bintang.
Suara Chu Wan yang jernih dialirkan ke telinga para hadirin, bergema di setiap sudut ruangan aula megah.
“Teman sejati tak mengenal jarak, bahkan ribuan mil bisa menjadi tetangga. Terima kasih kepada kalian, sahabat dari berbagai penjuru dunia. Kita pernah berkonflik, kita pernah berdebat sengit, tapi kini kalian datang demi peradaban Timur. Kami akan membuka tangan menyambut kalian, menyambut langkah kalian di tanah kuno ini, menyambut resonansi jiwa antara kalian dengan karya seni gemilang yang lahir dari bumi ini.”
Begitu ucapan ini selesai, tepuk tangan yang membara dan berkepanjangan menggema di bawah panggung.
Ritual gunting pita berakhir dengan sempurna. Rombongan pengunjung domestik maupun mancanegara yang telah lama menanti langsung membanjiri museum untuk menyaksikan perayaan budaya yang membuat dunia terpana.
Ada yang terpukau pada ukiran timbul Ritual Buddha Kaisar-Permaisuri yang menimbulkan kontroversi besar di dunia seni internasional dan kepala binatang Yuanmingyuan, ada yang takjub pada misteri Cawan Sembilan Naga, tentu juga yang terlena dalam keindahan mempesona keramik dari berbagai dinasti.
Ada yang menghentikan langkah mengagumi jubah naga kuno nan indah, ada yang terpana di depan Tungku Besar Xuande yang megah, tak sedikit pula yang larut dalam keperkasaan Kuda Perunggu Dinasti Han. Sementara Giok Mentimun hijau segar bagai embun menjadi pusat perhatian, memancing decak kagum tak terhitung.
Yang paling menakjubkan adalah di ujung ruang keramik museum, terdapat seluruh dinding lukisan peony yang disusun dari pecahan tembikar.
Saat pengunjung menyaksikan ini semua, hampir tak percaya dengan apa yang terpampang.
Setiap serpihan tembikar menyimpan usia dan sejarahnya sendiri, memancarkan kilau dan karakter unik, memiliki garis-garis halus serta tekstur khas. Namun ribuan keping ini disatukan, membentuk mozaik berkilauan yang memesona mata.
Seorang orang tua Barat berambut putih beruban hampir tersungkur di depan lukisan ini: "Di sisa hidupku, aku bisa melihat gambaran secantik ini, aku mati tanpa penyesalan! Ini adalah seni, ini adalah pecahan, ini luka peradaban!"
Setelah mengantarkan beberapa tamu penting mengapresiasi beberapa koleksi, Chu Wan dan Chu Hexi berpamitan lalu menyapa tamu-tamu lainnya.
Fischer dari museum Jerman kini ingin berbicara kerja sama dengan keluarga Chu, berharap "mempromosikan pertukaran peradaban melalui pameran". Chu Wan cukup tertarik, merasa bisa dibahas lebih lanjut mengingat sebelumnya pernah sukses menukar peninggalan budaya.
Chadwick tertarik pada stempel Sai Jinhua itu. Sambil mengusap dagu, ia berkata penuh minat: "Dia sepertinya cukup terkenal, bahkan di Eropa pun punya reputasi sebagai wanita cantik."
Chu Wan meliriknya sekilas, dalam hati menggerutu orang ini selamanya bereaksi seperti ini.
Katanya tidak bisa dipercaya, tapi di saat krusial, dia lebih lihai dari siapapun.
Sambil mengobrol, kebetulan Nie Nangui datang. Begitu tiba, dia tersenyum menyapa Chadwick dan menawarkan untuk mengajaknya berkeliling. Chadwick menolak dengan sopan lalu pergi melihat bagian lain sendiri.
Nie Nangui mengangkat alis sedikit sambil berkata pada Chu Wan: "Kenapa Chadwick itu selalu terlihat seperti playboy?"
Chu Wan tertawa: "Biarkan saja dia."
Nie Nangui: "Tentu tidak boleh dibiarkan. Dia tidak boleh sembarangan bercanda denganmu."
Chu Wan terdiam sejenak, memandangnya dengan bingung.
Nie Nangui lalu memperlihatkan senyum perlahan. Setelah itu, dengan tempo lambat dia berkata: "Keponakan perempuan kecil, sebagai orang yang lebih tua, kewajiban saya untuk melindungimu."
Chu Wan: "..."
Kini Nie Yushu telah berjalan berdampingan dengan nenek Chu Wan, Chu Hui. Keduanya bekerja di museum menangani restorasi dan pemeriksaan peninggalan budaya, hidup mereka terasa nyaman dan santai.
Dua orang tua yang telah berusia lebih dari enam puluh tahun bisa kembali ke tanah air bersama-sama, kemudian dipertemukan oleh takdir seperti ini, keluarga dari kedua belah pihak tentu merasa senang.
Hanya saja dengan begini, Chu Hexi dan Nie Nangui secara ajaib menjadi "sepupu tiri".
Bahkan jika dihitung lebih detail, Nie Nangui secara spektakuler naik generasi, menjadi "paman sepupu tiri" Chu Wan.
Mengenai hal ini, Chu Wan sama sekali tidak ingin membicarakannya.
Dia mengangkat kedua tangan mendukung neneknya yang mencari kebahagiaan di usia enam puluh tahun, pasangan yang saling mencintai akhirnya bersatu, tapi dia sama sekali tidak bisa menerima Nie Nangui menjadi orang tua yang bersikap sok senior padanya.
Ini benar-benar hal yang aneh.
Nie Nangui menolehkan kepala, tersenyum ramah: "Wan-wan kecil, kapan mulai mengganti panggilan jadi paman sepupu?"
Chu Wan tidak tahan mendengarnya. Memanggil Nie Nangui paman sepupu? Lebih baik dia mati!
Pada jamuan makan malam perayaan, keluarga Chu, keluarga Lu, keluarga Nie semua hadir, keluarga Yi juga datang lengkap.
Lu Shouyan juga menemani Chu Wan ikut serta. Posisinya saat ini sudah sangat berpengaruh, sehingga kehadirannya yang biasanya tak mudah tampil di publik justru menarik perhatian para hadirin. Bahkan beberapa kolektor sekaligus pengusaha ternama dari luar negeri mendekat untuk mengobrol.
Melihat hal itu, Lu Shouyan pun berbasa-basi sebentar dengan mereka. Di saat yang sama, Chu Wan juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada masing-masing kolektor ternama sambil mengobrol.
Ketika melihat Bredene dari keluarga Heyman Inggris, dia tersenyum: "Terima kasih, Bredene. Aku benar-benar tak menyangka kau akan datang dari ribuan li jauhnya."
Sambutan antusias seperti ini bukan lagi sekadar dukungan pribadi biasa, melainkan tawaran perdamaian dari keluarga Heyman Inggris yang bermakna kemungkinan kerja sama di masa depan.
Raut wajah Bredene masih terlihat terlalu serius, namun dia tetap mengangguk halus: "Aku juga lega bisa datang ke sini. Tempat ini sangat berbeda dengan bayanganku. Kurasa, aku akan menyukainya di sini."
Chu Wan tertawa: "Menyukai pegunungan dan sungai? Menyukai seni? Atau menyukai——"
Dia berhenti sejenak, lalu bertanya: "...makanan enak?"
Bredene tampak agak terkejut, namun segera tersenyum: "Nyonya Chu, koleksi Anda membuat saya terkesima. Anda sendiri telah menyusun koridor panjang sejarah peradaban Timur, benar-benar memanjakan mata. Tapi makanan di sini juga sangat mengejutkan, bebek panggangnya luar biasa lezat."
Chu Wan tersenyum: "Nanti saya bisa merekomendasikan beberapa restoran masakan Tiongkok yang otentik untuk dicicipi. Jika jadwal Anda memungkinkan, Anda juga dipersilakan berkunjung ke rumah saya."
Bredene: "Bolehkah?"
Chu Wan: "Tentu saja. Suami saya jago memasak rasa Tiongkok asli, silakan datang kapan saja."
Bredene mengerutkan bibir, tersenyum malu-malu: "Baik, terima kasih atas undangannya."
Saat kembali ke rumah tradisional, sudah pukul sepuluh malam.
Saat turun dari mobil, Lu Shouyan mengangkat tangan, menyangga pinggang Chu Wan dengan lembut.
Karena tidak ada orang lain, Chu Wan langsung bersandar pada tubuhnya.
Lu Shouyan menoleh, menundukkan pandangan ke arahnya: "Minum alkohol?" ujarnya melihat ekspresi polos Chu Wan yang seperti orang mabuk ringan.
Chu Wan merajuk lembut: "Hanya beberapa gelas anggur hasil fermentasi……"
Lu Shouyan berkata pelan: "Bagaimana caranya aku mencium bau alkohol yang cukup kuat ini."
Chu Wan langsung memaksa merangkul lehernya, berjinjit, mendekat untuk memaksakan ciuman padanya.
Lu Shouyan sedikit memiringkan pipi, ciuman Chu Wan hanya mendarat di sudut mulutnya.
Wajahnya langsung menggembung geram, semakin berjinjit dengan ekspresi tidak rela.
Hari ini perasaan memang baik, beberapa gelas anggur hasil fermentasi itu tidak masalah. Namun saat ini, segalanya sempurna, segalanya penuh kegembiraan. Hidup tak memiliki kekurangan apapun, ditambah malam dengan bunga mekar bulan purnama ini. "Anggur tak memabukkan, oranglah yang mabuk sendiri."
Dia menatap wajahnya, bola mata sedikit lunglai, bibir lembutnya menganga. Memiringkan kepala, memeriksanya selama waktu lama wajah tegas yang dingin berbentuk sempurna itu. Akhirnya, dengan bibir yang diangkat, mendekat dan menciumnya dengan penuh semangat.
Lu Shouyan menundukkan pandangan memandangi istri dalam dekapan, mendengar suara manjanya yang nakal dan merajuk, hembusan aroma anggur manis menerpa wajahnya.
Sorot matanya semakin dalam, namun tubuhnya tetap diam. Matanya hanya menatap kabut air lembab di pupilnya, menyaksikan kelakuannya yang semena-mena.
Chu Wan menggerutu setelah berusaha keras: "Mau apa... Aku ingin cium!"
Punggung Lu Shouyan tegang: "Kamu yang mabuk, malah menyiksaku."
Chu Wan mendengus sambil memutar-mutar wajahnya dengan lembut: "Memang aku menyiksamu, kenapa? Kamu suamiku."
Bukan Paman Tujuh, bukan senior, melainkan suami yang bisa diperlakukan semaunya.
Ujaran blak-blakannya menyusup ke relung hatinya bagai aliran listrik, meninggalkan rasa geli yang merayap.
Dia mengangkat tangan, menyangga leher belakangnya, beralih dari tamu menjadi tuan rumah, mencium bibirnya dengan perlahan sambil mengecap-ngecap aroma anggur segar yang memikat.
……
Setelah cukup lama, Chu Wan justru menjadi sadar. Dengan lemah ia bersandar di dada pria itu, jemarinya mengelus-elus dada berotot dengan kontur yang tegas, sensasi sentuhan yang sangat baik.
Perasaan puasnya pun semakin membuncah.
Setelah terlahir kembali, dia benar-benar mendapatkan banyak hal dan berhasil mengisi kekosongan dari terlalu banyak penyesalan di kehidupan sebelumnya.
Baik upacara pembukaan museum seni yang membuat dunia terpana malam ini, maupun ikatan keluarga yang telah lama dicari-cari, semuanya memberinya kepuasan tak terkira. Pria yang berbaring di sampingnya ini benar-benar menghilangkan semua rasa kekurangan.
Matanya menatap bola mata hitam pekat sang pria, mengamati tulang hidung yang tegap miliknya.
Raut wajah pria yang baru saja terpuaskan masih terlihat berkunang-kunang dan tenggelam dalam kenikmatan, membuatnya yang biasanya selalu tenang dan rasional terlihat sangat memikat.
Chu Wan hendak mengundurkan diri, tapi lengan yang kuat pria itu erat melingkari pinggangnya, sama sekali tak bisa bergerak.
Ia memprotes sebentar, lalu menepuk-nepuk wajahnya dengan lembut: "Tadi masih mengeluh aku bau alkohol, menghindar dariku."
Lu Shouyan justru membalikkan badan, memeluknya erat-erat.
Chu Wan mengeluarkan suara "Ah" kecil, baru menyadari dirinya sudah duduk di atas pinggangnya.
Dengan kedua tangan menopang di seprai, ia menatapnya dari atas penuh rasa ingin tahu: "Kamu mau seperti ini?"
Lu Shouyan yang baru pulih itu menurunkan kelopak mata tipisnya dengan malas, suaranya agak berat: "Masih ada tenaga?"
Chu Wan: "Sudah lelah, tidak usah saja."
Tentu juga karena modalnya terlalu besar, penetrasinya terlalu dalam, sementara dirinya sendiri sudah minum anggur, khawatir tidak bisa menahan.
Menikah selama ini, beberapa posisi masih sulit dia terima.
Lu Shouyan jelas sudah menginginkannya, tapi seperti biasa dia baru saja mempertimbangkan perasaannya, lalu mengangkat tangan membelai lembut punggungnya: "Hari ini kamu sangat kelelahan."
Tamu dari berbagai penjuru, setidaknya harus dia perhatikan.
Sebenarnya sejak awal dia bukanlah orang yang pandai bersosialisasi.
Chu Wan memainkan jakun menonjol yang kokoh di lehernya dengan jemari, berbisik: "Meski lelah, tapi cukup lega."
Dia berhenti sejenak, baru melanjutkan: "Kurasakan hidupku tak ada yang kusesali lagi. Arwah Kakek Buyut di surga pasti tenang. Aku telah melakukan semua yang pernah dia harapkan, juga mendapatkan segala yang selalu kuidamkan."
Lu Shouyan menopang pinggang belakangnya yang ramping dengan tangan besar: "Melihat kesuksesanmu, aku juga senang."
Sejak dia masih kecil seperti gumpalan, saat dirinya menggendongnya dalam dekapan, kerinduan yang tak tersalurkan dalam hati membuatnya berharap semua keinginan gadis itu terpenuhi.
Lebih dari dua puluh tahun telah berlalu, dia terus menanjak bagaikan bintang paling terang di langit malam yang menyedot perhatian ribuan pasang mata.
Chu Wan sedikit merebahkan diri, menempelkan wajahnya di dada yang berotot jelas itu sambil bergumam: "Aku teringat satu hal tiba-tiba."
Lu Shouyan membelai rambutnya dengan lembut: "Ya?"
Chu Wan: "Kakek buyut pernah memberikanku kantong brokat. Katanya, jika aku terjebak dalam situasi genting, aku boleh membukanya untuk mencari seberkas daya hidup."
Hanya saja dia tak mempercayainya, seperti anak kecil yang meragukan keindahan dongeng-dongeng.
Secara samar dia memahami, mungkin tak ada apa-apa di dalamnya—hanya harapan yang ditinggalkan sang kakek untuk mendukungnya, membuatnya selalu merasa ada jalur mundur di belakangnya.
Lu Shouyan berkata: "Aku ingat ini. Waktu itu kau menyimpannya sambil bilang tidak perlu dipakai."
Chu Wan: "Aku tiba-tiba penasaran, menurutmu ada apa di dalamnya?"
Lu Shouyan pun paham: "Kini, apakah sekarang kamu sudah cukup percaya diri bahwa takkan pernah membutuhkannya?"
Chu Wan tersenyum: "Setuju, aku tidak akan lagi. Aku punya keyakinan dan nekat yang cukup. Bahkan jika menghadapi masalah sebesar apapun di masa depan, aku tak perlu mencari seberkas daya hidup itu."
Lu Shouyan mengusulkan: "Kalau begitu, lebih baik kita buka dan lihat sekarang?"
Chu Wan terdiam sejenak: "Baik."
Terlihat sebuah kantong kecil yang dijahit dari kain katun merah, menggembung-gembung dengan isi yang agak keras di dalamnya.
Chu Wan khawatir merusak kantong brokat itu. Dengan berat hati, ia membuka jahitannya satu per satu alih-alih memakai gunting.
Saat akhirnya terbuka, jari-jemarinya menyusup masuk. Ia terkejut.
Setelah waktu yang lama, ia menoleh, perlahan mengangkat pandangan ke arah Lu Shouyan.
Lu Shouyan menatap sorot matanya. Ia melihat kebingungan dan keraguan di sana: "Ada apa? Benarkah ada sesuatu di dalam?"
Chu Wan menggigit bibir, raut wajahnya memancarkan kompleksitas perasaan yang sulit diuraikan.
Lu Shouyan: "Apa isinya?"
Mata Chu Wan mulai berkaca-kaca, memandangnya dengan penglihatan yang mulai samar-samar.
Lu Shouyan meraih bahunya: "Wan-wan, ada apa? Katakan padaku!"
Chu Wan menghisap air mata, mengeluarkan barang itu dan menunjukkan pada Lu Shouyan.
Lu Shouyan melihatnya, juga terkejut.
Di dalam kantong brokat, ternyata ada sebutir batu safir biru.
Ukurannya tak terlalu besar, kondisinya pun biasa saja. Di hari ini yang sudah biasa melihat harta karun langka, batu safir ini benar-benar tak istimewa.
Namun Lu Shouyan seketika paham.
Inilah batu safir biru itu.
Batu yang tak sengaja dipungutnya saat terluka, merangkak sendirian menapaki lereng gunung di tengah hujanan meriam.
Lalu, diberikan padanya saat ulang tahun ke-17 Chu Wan.
Setelah itu Chu Wan berkata barangnya hilang, agak disesali. Lu Shouyan sengaja membeli kalung batu safir biru di Amerika untuknya.
Tak disangka, batu safir yang dikira hilang ternyata tersembunyi di dekat mereka - persis di dalam kantong brokat peninggalan Kakek Chu.
Chu Wan mengucek mata, karena dia tiba-tiba paham.
Asalnya, Kakek Buyut meninggalkan secercah Daya hidup terakhir saat keputusasaan baginya, ternyata adalah Lu Shouyan.
Bahkan di kehidupan sebelumnya dia menikahi Lu Jianshi.
Kakek Buyut lebih paham memeriksanya, sebenarnya dia sudah mengerti semuanya.
Faktanya, Lu Shouyan juga tidak mengkhianati harapannya. Di kehidupan sebelumnya, dia selalu melindungi dan mendukungnya, merawatnya di setiap sisi.
Chu Wan menatap pria di depan mata melalui air mata, pria tiga puluh lima tahun yang mulai menunjukkan bayangan sosok dalam kenangan kehidupan sebelumnya.
Saat itu, dia sudah mencapai puncak keindahan hidup, menguasai dalam pemikiran politik, selalu tampil percaya diri, dingin dan acuh di hadapan orang luar.
Tapi padanya, dia selalu lebih toleran dan hangat, bahkan menunjukkan toleransi dan pemujaan yang tersembunyi dalam ketenangan.
Dia memandang Lu Shouyan saat ini, tapi membayangkan sosoknya di kehidupan sebelumnya, berbisik bertanya: "Hasilnya langsung terlihat, aku sangat mencintaimu."
Lu Shouyan bola mata hitamnya berkilau samar. Ia menundukkan pandangan menatapnya dalam-dalam, bersuara parau: "Aku juga mencintai Wan-wan."
Chu Wan tersedu-sedu di tenggorokan: "Kehidupan sebelumnya, jika benar ada kehidupan sebelumnya, pastilah aku juga mencintaimu."
Lu Shouyan mendengar perkataan ini, diam-diam memandanginya lama sebelum akhirnya berkata: "Di kehidupan sebelumnya, aku pasti juga sangat mencintaimu."
Chu Wan: "Benarkah? Kau yakin sekali?"
Lu Shouyan mengerutkan bibir, senyum tipis mengembang di bibir: "Aku yakin. Masa mungkin aku tidak mencintaimu?"
Ucapannya bagai ketukan lembut di relung hatinya, menimbulkan geli berkepanjangan.
Wan-wan terus menengadahkan wajah memandanginya, menyelami kedalaman alis dan matanya yang tenang, merasakan toleransi luas bagai samudera.
Tak pernah sebelumnya Chu Wan menyadari sejelas ini: Inilah Tian-nya, tanahnya, panggung tempatnya beraksi sepuas hati. Kapanpun, lengan kuatnya selalu mengangkatnya tinggi, menjadi nekat yang tak tergoyahkan.
Dia tiba-tiba merasa impulsif untuk memaparkan seluruh kisah kehidupan sebelumnya.
Akhirnya dia membuka suara: "Apa kamu ingin tahu mengapa aku tiba-tiba mengatakan ini?"
Lu Shouyan berbisik sinis, senyumnya dipenuhi kehangatan dan cinta yang memanjakkan.
Dia mengangkat tangan, ujung jari yang jenjang dan kering menyentuh lembut bibirnya.
Chu Wan tertekun memandangnya, menyaksikan bola mata hitam pekatnya yang berkilau seperti tinta bergelombang saat menundukkan pandangan.
Kemudian, suaranya yang berat dan bergetar menggema di koklea telinganya: "Wan-wan, meski kau diam, aku tahu."
Beberapa hal yang tak diucapkannya, bukan berarti tak bisa ditebaknya.
Catatan Penulis:
Tambahan tentang kehidupan sebelumnya, konten eksplisit. Hindari jika tidak menyukai.
