Bus sampai di halte.
Yang Jian mengantar Wang Shanshan pulang dulu.
Karena sebelumnya sudah telpon, saat mereka berdua sampai di depan pintu gerbang kompleks mewah, seorang wanita dewasa berpenampilan modis mengernyitkan alis dengan wajah kesal mendekat.
"Bu." Wajah Wang Shanshan berseri.
"Masih ingat rumah? Sepanjang malam kamu ke mana? Ponsel tidak bisa dihubungi. Kamu tahu tidak keluarga di rumah khawatir sekali? Kalau sampai terjadi apa-apa padamu di luar bagaimana? Kalau hari ini belum pulang, Ayahmu dan aku sudah mau melapor ke polisi."
Ibu Wang Shanshan, Wang Haiyan memarahi.
"Bu, maaf, di sekolah ada kejadian jadi..." Wang Shanshan menundukkan kepala.
Wang Haiyan berkata: "Sudahlah, alasan nanti akan kubicarakan dengan Ayahmu. Aku bertanya, cowok ini siapa? Kenapa dia pulang bersamamu?"
"Dia teman sekelasku, namanya Yang Jian. Bukannya Ibu pernah melihatnya di sekolah sebelumnya?" Wang Shanshan menjawab.
"Teman sekelas? Bagaimana mungkin aku ingat semua teman sekelasmu yang begitu banyak." Wang Haiyan memeriksi Yang Jian dari ujung kepala hingga kaki.
Yang Jian berkata: "Selamat siang, Tante Wang. Sementara tidak ada urusan lagi, aku pamit dulu. Lain kali jika ada waktu akan kujenguk Tante."
Dia tidak berlama-lama, langsung bergegas pergi.
"Tunggu!"
Wang Haiyan menghentikan Yang Jian: "Kau teman sekelas Shanshan? Aku bertanya, kalian pergi kemana semalam? Kenapa Shanshan baru pulang sekarang, apa kau mengajaknya berbuat yang tidak-tidak?"
Yang Jian menjelaskan: "Tante Wang, bukan seperti yang Tante bayangkan. Setelah belajar malam kemarin, terjadi hal khusus di sekolah. Semua anggota kelas ditahan di sana. Kami baru saja pulang. Karena khawatir akan keamanan Shanshan di jalan, jadi kuantarkan pulang."
"Aku sudah menelepon Guru Wang. Katanya kemarin sama sekali tidak ada kejadian di sekolah." Wang Haiyan menyeringai.
Yang Jian tersenyum: "Nomor ponsel Guru Wang kemarin sama sekali tidak bisa dihubungi. Tante sedang bercanda ya."
Wang Haiyan sebenarnya tahu ponsel Guru Wang tidak bisa dihubungi. Tindakannya sengaja mengetes cowok ini untuk melihat apakah ada kecurangan tersembunyi.
Dia kemudian melanjutkan: "Kau bermaksud baik mengantarkan Shanshan pulang, saya seharusnya berterima kasih. Tapi Shanshan dididik dengan sangat ketat, sejak kecil tak pernah berbuat yang tidak-tidak di luar, juga tak pernah bergaul dengan orang-orang tak jelas. Lagipula sekarang masa penting kelas 3 SMA, Shanshan harus fokus belajar. Harapannya, teman sekelas ini jangan sampai mempengaruhi proses belajarnya nanti."
Maksud tersiratnya adalah meminta Yang Jian menjauhi Wang Shanshan, jangan berharap bisa mendekati putrinya.
Usai bicara, Wang Haiyan mengeluarkan dua ratus yuan dari dompetnya dan menyodorkannya ke tangan Yang Jian: "Sudah repot-repot mengantarkan Shanshan pulang pagi-pagi buta. Ini Bu tante kasih dua ratus yuan untuk sarapanmu. Jangan sungkan, terimalah."
Yang Jian memandangi uang dua ratus yuan di tangannya sejenak, lalu ekspresi ramahnya menghilang. Dengan tenang dia berkata: "Terima kasih banyak, Tante."
Setelah mengatakan itu, dia menerima uang tersebut dan berbalik pergi.
Begitu Yang Jian pergi, Wang Shanshan langsung menangis kesal: "Bu, kau keterlaluan! Meski nilai akademis Yang Jian biasa saja, tapi dia orang baik. Memberi uang seperti ini sama saja menghinanya!"
"Apa yang kau tahu soal urusan perempuan? Ini ujian untuk cowok itu. Lihat, dua ratus yuan saja langsung diterimanya tanpa menolak. Jelas-jelas anak miskin tak punya ambisi. Nanti jauhi orang macam ini, jangan sampai kau tertipu oleh kata-kata manisnya," kata Wang Haiyan.
“Kamu yang tidak mengerti apa-apa! Tahukah kamu apa yang terjadi di sekolah tadi malam? Tanpa Yang Jian, aku sudah mati. Kau pikir dia mau mengantarku? Aku yang memohon diantar pulang. Dengan sikapmu seperti ini, bagaimana aku bisa menghadapi orang lain nanti?”
“Orang seperti itu tidak punya harga diri. Lebih baik jangan ketemu lagi.” Kata Wang Haiyan: “Keluarga kami juga bukan sembarangan.”
“Hiks...”
Wang Shanshan menangis histeris lalu berbalik dan pergi.
Yang Jian yang masih duduk di bus memandangi dua ratus yuan di tangannya, paham betul maksud tersembunyi dari tindakan ibu Wang Shanshan tadi.
Ejekan yang dibumbui penghinaan.
Orang lain mungkin sudah meledak emosinya menghadapi perlakuan seperti ini.
Tapi wajah Yang Jian tetap tenang. Buat apa marah-marah?
Keluarga Wang Shanshan berkecukupan, dan dia sendiri cantik. Selama ini tak ada hubungan dengan si seniman miskin seperti dirinya. Wajar saja orangtuanya curiga dan berusaha mengusirnya saat dia tiba-tiba mengantarkan putri mereka pulang.
Marah di depan mereka hanya akan membuatnya malu. Mana mungkin dia berkelahi dengan Wang Haiyan hanya karena dua ratus yuan?
Lagipula bagi Yang Jian saat ini, ini cuma hal sepele. Waktu menyelamatkan Wang Shanshan, dia memang tidak mengharapkan imbalan apa-apa.
“Menjadi orang baik itu sulit. Pantas saja hantu-hantu pada bermunculan.”
Yang Jian mengusap punggung tangannya, tersenyum kecut pada dirinya sendiri sambil menyelipkan uang itu ke saku.
Sesampai di rumah, dia langsung terjatuh di ranjang dan tertidur.
Karena dia benar-benar kelelahan.
“Sedangkan teman-teman sekelas lainnya juga sudah pulang ke rumah masing-masing. Meskipun terjadi hal besar seperti ini, bukankah kita tetap harus pulang ke keluarga?”
Saat ini, Zhang Wei telah kembali ke vila keluarganya.
Dia tidak berbohong. Memang benar dia anak orang kaya, hanya saja selama ini lebih rendah profil dan tidak terpengaruh sifat boros.
“Kenapa pulang selarut ini? Ponselmu tidak bisa dihubungi. Sepanjang malam ini ngapain aja?”
Begitu Zhang Wei masuk pintu, ayahnya Zhang Xiangui yang mendengar suara pintu langsung keluar dari ruangan, memandanginya dengan wajah tegas.
Zhang Wei mengkerutkan lehernya: “Sekolah... main dengan teman.”
Dia ingin bilang sekolahnya ada hantu dan dirinya hampir mati karenanya, tapi menurutnya alasan itu terdengar seperti menghina IQ ayahnya. Akhirnya dia memilih berbohong.
“Main? Lain kali tidak boleh lagi seperti ini.”
Zhang Xiangui tidak terlalu keras memarahi, hanya berkata sambil lalu: “Nanti setelah sarapan ingat berangkat sekolah, jangan sampai telat.”
Sekolah?
Mata Zhang Wei tiba-tiba menyipit ketakutan: “Tidak, aku tidak mau sekolah!”
“Tidak mau sekolah mau ngapain?” kata Zhang Xiangui.
“Apa saja boleh, asal tidak sekolah,” jawab Zhang Wei.
Masih berani ke Sekolah Menengah 7? Nekat nyawa! Tempat itu ada hantunya. Baru beberapa jam lalu dia susah payah kabur dari sana. Kalau pergi sekolah lagi, bukankah itu bunuh diri?
Tidak, bahkan bunuh diri pun lebih baik daripada kembali ke sekolah itu.
“Kamu cari masalah ya, berani-berannya bolos?” Zhang Xiangui melotot: “Ujian masuk perguruan tinggi sudah di depan mata. Mengajukan cuti di saat seperti ini, apa kamu tidak mau kuliah?”
"Lebih baik aku tidak kuliah daripada kembali ke sekolah, Ayah. Jangan paksa aku. Sekarang sekolah sedang diganggu hantu. Pergi ke sekolah bisa mati. Tadi malam puluhan teman sekelasku tewas. Aku nyaris tidak lolos. Sekali-kali tidak akan kembali ke sekolah!" kata Zhang Wei.
"Hantu? Kurasa otakmu bermasalah. Ayo, kubawa ke sekolah. Kalau benar ada hantu, Ayah ingin melihatnya. Sepanjang hidup Ayah belum pernah melihat hantu."
Zhang Xiangui menggenggam tangan Zhang Wei.
Zhang Wei langsung melepaskan genggaman dan melompat sambil berteriak marah: "Lepaskan! Sudah kubilang tidak mau ke sekolah. Sekalipun harus mati, terjun dari sini, atau ditodong pistol di kepala, seumur hidup Zhang Wei tidak akan kembali ke Sekolah Menengah 7!"
"Aku serius, Ayah bisa mencobanya kalau tidak percaya."
"Tidak usah sekolah boleh. Mulai sekarang uang saku tidak sepeser pun. Cari nafkah sendiri!" bentak Zhang Xiangui.
"......" Zhang Wei membisu dan berbalik menuju kamarnya.
Zhang Xiangui berkata: "Kalau berani, sembunyi di kamar jangan keluar!"
Beberapa saat kemudian, Zhang Wei keluar membawa dua buku: "Ayah, aku pergi ke sekolah."
"Hm." Zhang Xiangui akhirnya mengangguk puas.
Zhang Wei yang telah meninggalkan rumah itu terkekeh sinis.
Sekolah?
Seumur hidup tidak mungkin. Lain kali pun jangan harap.
Siapa bilang bawa buku harus ke sekolah? Tidak bisakah ke warnet?
"Hari ini Zhang Wei akan makan dua puluh ayam di warnet!" teriak Zhang Wei di depan pintu warnet.
Namun tak lama setelah Zhang Wei mulai bermain game,
dua polisi sudah menghampirinya.
“Apakah kamu Zhang Wei, murid SMA 7?” Seorang polisi bertanya.
Zhang Wei tertegun sejenak, kemudian menyilangkan kaki dengan gaya sok dalam: “Kakak, kalian salah orang. Namaku Yang Jian, Zhang Wei itu teman sekelasku.”
“Registrasi KTP di bar menunjukkan informasi identitasmu, tidak ada kesalahan. Ikut kami, ada kasus yang membutuhkan bantuan penyelidikan.”
“……” Zhang Wei tampak bingung dan takut, lalu segera dibawa pergi oleh polisi.
