Di sebuah toilet umum.
Air mengalir deras saat Yang Jian membersihkan noda darah berbau busuk di wajahnya.
Sentuhan air keran yang sejuk membuatnya merasa lebih tenang.
“Ternyata memang ada yang salah denganku... Hantu tadi bisa mengubah memori seseorang, memaksakan orang yang tidak eksis ke dalam otakku sampai aku tak merasa aneh, bahkan dengan mata ini pun tak bisa mendeteksinya.”
“Kalau bukan karena peringatan Liu Xiaoyu, mungkin aku masih tinggal di rumah bersama hantu itu.”
Menengadah, dia menatap cermin di depannya.
Mata di wajah Yang Jian telah menghilang, untuk sementara dia kembali normal.
“Halo, Yang Jian, jawab jika dengar, ini Liu Xiaoyu.” Tiba-tiba, ponsel satelit di sebelang bak cuci tangan berbunyi.
Panggilan telepon dari tadi masih tersambung.
“Ini aku.” Yang Jian mengangkat telepon.
“Apa yang terjadi di sana?” Liu Xiaoyu bertanya.
Yang Jian berkata: “Dugaanmu benar, ayahku memang meninggal dalam kecelakaan mobil saat aku masih SD. Benda di dalam rumah tadi bukan manusia... itu hantu.”
“Kamu berhasil kabur?”
“Ya.” Yang Jian mengusap air di wajahnya. Tiba-tiba dia melihat secarik kertas merah menempel di punggung tangannya.
Ini... fragmen dari koran berlumuran darah sebelumnya.
“Syukurlah kalau baik-baik saja. Bisakah kamu ceritakan gambaran umum tentang hantu itu?” Liu Xiaoyu bertanya.
Yang Jian menjawab: “Hantu itu bisa memanipulasi memori manusia. Aturan pergerakannya tidak jelas, metode pembunuhannya juga tidak jelas. Tadi aku sempat tercekik oleh koran berlumuran darah yang membungkus wajahku. Hanya itu yang kuketahui sementara.”
“Baik.” Di sisi Liu Xiaoyu, suara pena menulis cepat terdengar.
“Kalau ayahku adalah hantu, lalu bagaimana dengan ibuku? Di mana dia? Kira-kira kapan hantu ini muncul? Kalian pasti bisa memeriksa CCTV sekitar sini. Bisakah tolong periksa untukku?” pinta Yang Jian.
Liu Xiaoyu menjawab: “Aku bisa bantu memeriksakan, tapi ke depan kamu harus kooperatif dengan pekerjaan kami.”
“Pekerjaan seperti apa?” tanya Yang Jian.
“Sementara hanya pengumpulan informasi sederhana. Setiap kali menemukan keberadaan hantu gentayangan, kamu wajib segera melapor.”
“Apa imbalannya?” Yang Jian bertanya.
Liu Xiaoyu menjelaskan: “Perlindungan khusus untuk keluarga serta gaji bulanan besar. Tapi karena kamu bukan polisi, sementara belum ada gaji. Namun aku bisa mengupayakan pekerjaan yang lebih aman untuk ibumu.”
"Gaji saja tidak ada, kau pikir saya mau mempertaruhkan nyawa untuk Interpol kalian? Saya sudah lihat situs itu, hadiah untuk menyelesaikan kasus hantu gentayangan minimal level sepuluh juta dolar AS. Setelah jadi pengendali hantu, saya tidak akan hidup lama. Tanpa imbalan nyata, saya tolak bekerja untuk kalian."
Yang Jian berkata dengan sangat serius.
Liu Xiaoyu di ujung telepon terkesiap: "Hadiah di luar negeri tinggi karena pengendali hantu di sana bekerja seperti tentara bayaran, hanya mengejar hadiah. Makanya penyebaran peristiwa paranormal di luar negeri jauh lebih parah daripada dalam negeri. Kau tinggal di Kota Dachang, pasti tahu—selain kejadian paranormal yang kau alami sendiri, hampir tidak ada kasus hantu gentayangan membunuh massal."
"Ini berkat kerja keras pengendali hantu dalam negeri! Kalau semua berpikir sepertimu, apa mungkin negara ini bisa damai?"
"Topik ini kita hentikan dulu. Ada urusan lain di sini, lain kali hubungi lagi."
Yang Jian tidak melanjutkan percakapan dan langsung menutup telepon.
"Driiiing..." Liu Xiaoyu mendengar nada sambungan terputus, wajahnya merah padam menahan amarah.
Yang Jian menutup telepon bukan sekadar alasan. Saat ini ia harus mengurus selembar kertas merah yang menempel di punggung tangannya.
Ia merobek kertas merah seukuran telapak tangan itu, hendak membuangnya.
Benda ini selalu dipegang hantu, memancarkan aura jahat dan mistis. Membawanya pasti bukan hal baik.
Tepat saat ia merobek kertas itu—
Kulit di area yang tadinya ditempeli tiba-tiba terasa sakit menusuk dan pecah menganga.
"Sebuah mata merah muncul kembali."
Bersamaan dengan itu, seluruh tubuhnya merasakan gerakan-gerakan aneh yang menggeliat.
Beberapa mata di dalam tubuhku mulai gelisah, sepertinya karena penggunaan kekuatan mereka sebelumnya telah membangunkan mereka yang sedang tertidur pulas.
"Mungkinkah..."
Yang Jian memandangi kertas merah di tangannya, tidak memilih untuk membuangnya melainkan menempelkannya kembali ke punggung tangan, tepat menutupi mata itu.
Mata merah itu segera menutup, sensasi geliat aneh dalam darah dan daging tubuh pun menghilang.
Sepertinya semuanya kembali tenang.
"Ternyata, kertas merah ini bisa mengendalikan kekuatan mata ini. Meski tidak sepenuhnya... tapi bisa memperlambat tingkat kebangkitannya."
Yang Jian merasa terkejut dan senang melihat hal ini.
Kemudian dia teringat kalimat: Hanya Hantu yang bisa melawan Hantu.
Jika mata di dalam tubuh dianggap sebagai satu hantu, maka koran merah itu juga merupakan hantu.
Kekuatan dua hantu yang saling berbenturan ini saling menahan.
Mungkin inilah kunci untuk bertahan hidup.
Tidak, tidak.
Tiba-tiba Yang Jian mengerutkan alisnya: "Jika dugaan ini benar, mengapa ketika di gedung fakultas dulu, gigitan bayi hantu itu tidak mengendalikan mata malah membuatnya bangkit lebih cepat?"
Koran merah... bayi hantu.
Apa sebenarnya perbedaan antara kedua hal ini?
Setelah merenungkan beberapa saat.
“Yang Jian merasa masalah ini bisa dipikirkan nanti, sementara koran merah itu bisa mengendalikan enam mata di dalam tubuhku, maka wajib mengambil risiko untuk mengambilnya kembali.”
“Karena itu adalah kesempatanku untuk tetap hidup.”
“Harus pulang ke rumah sekali lagi.”
Tatapan Yang Jian serius, menarik napas dalam-dalam lalu melangkah keluar dari toilet umum, bersiap pulang untuk mengambil risiko.
Tapi tepat saat dia keluar dari toilet, empat lima pemuda berpenampilan preman menghampirinya.
“Saudara, habis dari toilet? Jangan pergi dong, bertemu itu kan takdir, boleh bahas sesuatu?”
Seorang pemuda matanya berbinar melihat Yang Jian, langsung mendekat dan meletakkan tangan di bahunya.
“Ada apa?” tanya Yang Jian sambil melirik.
“Cuma kenalan. Namaku A Fei, kalau saudara siapa namanya?” kata pemuda yang mengaku A Fei ini.
“Yang Jian.”
A Fei tersenyum licik: “Kalau gitu kita teman. Teman kan harus saling bantu? Kebetulan hari ini aku kekurangan uang, bisa pinjamkan sedikit? Tenang, besok pasti kukembalikan di sini, tidak kurang sepeser pun.”
Yang Jian memiringkan kepala: “Pinjam uang? Lebih tepatnya merampok ya? Tapi kenapa pilih target yang tidak normal seperti aku? Akhir-akhir ini kondisiku tidak stabil, lebih baik kalian jaga jarak. Takutnya nanti aku tidak bisa mengontrol diri dan melakukan kesalahan.”
“Dasar kau sok jagoan, A Fei minjam uang padamu itu sudah menghargaimu. Jangan kau tidak tahu diri. Kalau mau mati bilang saja, aku akan kabulkan.”
Seorang pemuda di sebelahnya menepukkan pisau kecil di wajah Yang Jian.
“Teman, jangan begini. Bagaimana jika terjadi musibah? Biarkan aku pergi. Anggap saja kejadian hari ini tidak pernah ada, setuju?” kata Yang Jian.
“Tidak mungkin! Hari ini kalau tidak keluarkan uang, jangan harap bisa pergi,” canda pemuda pembawa pisau itu sambil tertawa hehe.
“Saudara, anggap saja ini pinjaman dariku. Akan kukembalikan saat kita bertemu lagi. Jangan terlalu kejam pada teman,” A Fei menyeringai di samping.
Yang Jian berkata: “Kalau kalian sudah bicara begitu, tak ada cara lain. Uangnya ada di saku celanaku, ambil sendiri.”
“Untung kau masih tahu diri.”
Pemuda pembawa pisau itu mulai bersemangat. Ia memasukkan tangan ke saku untuk mengambil uang.
Tapi saat tangannya menyentuh dasar saku, tiba-tiba terasa benda dingin seperti kelereng kaca.
Secara refleks diambilnya.
Namun kemudian pemuda itu mendapati tangannya berlumuran darah. Di telapak tangannya terdapat sebuah mata merah yang perlahan berputar, memandanginya dengan tatapan ganjil.
“Ah~!”
Pemuda pembawa pisau itu langsung menjerit histeris dengan wajah pucat, mundur terhuyung-huyung.
Tapi tepat saat dia mundur,
Segala sesuatu di sekitar telah berubah menjadi merah darah tanpa disadari.
Gedung residensial, lampu jalan, bulan di langit, bahkan permukaan dasar... semua ini seolah diselimuti lapisan cahaya merah.
"Sementara kita berteman, mungkin tidak masalah jika kau membantuku menguji wilayah hantu." Kata Yang Jian perlahan sambil keluar dari toilet.
A Fei langsung membelalakkan matanya.
Jika dia keluar dari toilet, lalu siapa orang yang sedang menempel di lengannya ini?
Saat ini, dia bahkan tak berani menengok, hanya merasakan tubuh dingin seperti mayat di lengannya.
"Hantu, ada hantu!"
Wajah A Fei pucat pasi, langsung berbalik dan kabur dari toilet umum itu. Para preman lain juga ikutan lari ketakutan.
Yang Jian kini menatap punggung tangannya.
Di area tempelan kertas merah, lekuk mata terlihat samar, tapi segera ditutup kembali oleh kertas itu. Kemudian mata itu muncul lagi, seolah saling melawan.
"Dengan enam mata aku bisa membuka wilayah hantu. Tapi dengan satu mata tertutup kertas merah, lima mata pun cukup. Kebangkitan arwah gentayangan berhasil dihentikan."
Dia merasakan sakit di lima titik tubuh yang retak.
Lima bidang pandang masuk ke otaknya.
Segala sesuatu di sekitarnya terpantau jelas olehnya.
“Enam mata adalah batas maksimal yang bisa ditahan tubuh, tapi dengan lima mata kondisinya jauh lebih baik. Meski masih ada efek samping, tapi tidak terlalu terlihat.” Tatapan Yang Jian berkedip, ia mulai memahami batas kemampuannya secara garis besar.
“Jika bisa mendapatkan koran merah itu dan menutup enam mata, apakah itu berarti saya bisa menggunakan kekuatan hantu gentayangan tanpa efek samping? Tak perlu lagi khawatir akan konsekuensi kebangkitan arwah penasaran.”
“Tapi sebelum itu, saya harus menguasai dunia hantu ini.”
Yang Jian memandangi beberapa preman yang kabur tadi, menggunakan mereka sebagai bahan ujian memang yang terbaik.
Menguasai dunia hantu adalah modal untuk berinteraksi dengan arwah penasaran berikutnya, jadi menggunakan kekuatan hantu sekali adalah kewajiban, bukan pemborosan.
