“Apakah hantu itu tidak akan datang?”
Yang Jian berdiam di rumah sepanjang malam tanpa tidur. Matanya dipenuhi darah dengan lelah menatap arah pintu gerbang.
Pintu gerbang tidak ditutup.
Karena dia ingin melihat kemunculan hantu itu secepat mungkin.
Tapi situasinya tidak sesempurna perkiraannya.
“Tidak bisa terus menunggu hantu muncul di sini. Jika hantu itu sudah pergi dan tidak berniat kembali, aku hanya membuang waktu. Padahal sekarang waktu sangat berharga bagiku.”
Yang Jian mengusap mata merahnya, berusaha menyegarkan dan merilekskan diri.
Tegang secara mental sepanjang malam seperti ini bisa membuat gila.
“Jika tidak bisa menemukan hantu ini dalam waktu singkat, maka harus menyiapkan dua rencana cadangan.” Yang Jian bangkit dari sofa, mandi, lalu mempersiapkan barang-barang untuk pergi.
Dua rencana tersebut adalah: pertama, jika bisa bertahan hidup, carilah cara untuk terus hidup.
"Nomor dua... Jika diri sendiri benar-benar akan mati, maka perlu menghasilkan sejumlah uang untuk pengasuhan orangtua di kemudian hari."
Dengan membawa tas punggung, Yang Jian keluar dari gedung apartemen tua ini.
Melihat ke atas ke arah terang matahari yang agak menyengat, dia merasa sedikit pusing.
"Tapi Hantu sepertinya tidak takut pada cahaya matahari." Yang Jian meraba punggung tangannya, tidak merada reaksi aneh dari mata itu.
Artinya, bahkan di siang hari pun Hantu mungkin muncul.
Legenda rakyat menyebut Hantu hanya muncul di malam hari, sekarang pernyataan itu terbantahkan.
Hanya bisa dikatakan cahaya siang hari memberi rasa aman tertentu, membuat hati manusia tidak terlalu takut.
"Bos, terima ponsel bekas?"
Yang Jian mendatangi toko reparasi ponsel kecil di pinggir jalan.
Pemilik toko ponsel melirik: "Telepon genggam besar tidak kami terima, hanya ponsel pintar keluaran dua tahun terakhir."
Yang Jian duduk sambil berkata: "Ponsel di tanganku tidak dijual, yang mau dijual adalah ini."
Dia mengeluarkan dari tasnya ponsel-ponsel Zhang Wei, Wang Shanshan, Zhao Lei dan lainnya yang sudah tidak terpakai.
"Banyak sekali? Dari mana kau mencurinya?" Si pemilik toko tertegun, memeriksi berbagai model ponsel pintar sambil curiga mengamati Yang Jian.
"Teman-teman yang tidak mau lagi, diberikan padaku. Lagipula bisakah mencuri ponsel sebaru ini? Bos, beri perkiraan harganya, kalau cocok akan kujual semua." Kata Yang Jian.
Pemilik toko memeriksa: "Memang barang bagus, ponselnya masih baru, harga pasaran satunya dua tiga ribu, yang mahal sampai tujuh delapan ribu."
"Yang ini tidak berharga, hanya bisa kubeli tiga ratus."
"Yang ini bagus, kubeli seribu. Yang ini seribu tiga ratus..." Pemilik toko terus memperkirakan harga.
Tiba-tiba salah satu ponsel di konter berdering.
“Yang Jian melirik layar, tertulis: Ayahku.”
Siapa tahu itu ayahnya teman sekelas mana.
“Pemiliknya menelepon, ya?” sang bos tertawa, “Nanti kalau datang ke sini, aku bisa kena masalah. Ponsel ini cuma bisa kubeli lima ratus.”
Usai bicara, dia hendak mematikan ponsel itu.
Yang Jian mengambil dan menjawab, “Bukan pemiliknya, ini ayahnya teman.”
“Halo.”
Dari telepon terdengar suara pria paruh baya: “Yang Jian?”
“Iya, siapa ini?” jawab Yang Jian.
“Ternyata ponsel Shanshan ada padamu. Aku Wang Bin, ayah Wang Shanshan. Ada urusan ingin kubicarakan. Apa kau ada waktu? Aku ingin bertemu.” kata Wang Bin.
“Oh, Paman Wang. Dua hari ini aku sibuk, tidak bisa.” sahut Yang Jian.
Wang Bin berkata, “Tidak akan lama. Di mana kau? Aku jemput pakai mobil.”
“Kalau ada urusan, bicara saja langsung. Aku benar-benar sibuk, tidak bisa pergi.” kata Yang Jian.
Wang Bin terdiam sejenak, “Ini tentang putriku Shanshan. Apa kau tahu kejadian di sekolahnya hari itu?”
“Shanshan tidak cerita tentang hantu di sekolah?” tanya Yang Jian.
Hantu di sekolah?
Di ujung telepon, Wang Bin tertegun.
Di zaman sekarang masih ada hal konyol seperti ini?
Tapi Wang Bin tidak tertawa. Pikirannya melayang ke sekolah yang dikunci dua hari ini, dan keanehan yang terjadi pada putrinya. Ia merasa ada yang tidak biasa.
“Hantu di sekolah? Kalian siswa SMA masih percaya itu?” tanyanya penuh keraguan.
“Saya sebelumnya tidak percaya, sekarang percaya.” Yang Jian berkata: “Apa yang terjadi dengan Wang Shanshan? Apakah dia ketemu hantu lagi?”
Wang Bin berkata: “Mungkin dia hanya mengalami gangguan saraf, penakut, dan ketakutan. Dia selalu merasa ada sesuatu yang mencarinya, mengikutinya... Dan Shanshan bilang kau bisa membantunya.”
“Ada sesuatu yang mengikutinya?” Tatapan Yang Jian berkedip, berpikir sejenak: “Apakah itu seorang bayi?”
Bayi?
Wang Bin teringat bekas-bekas telapak tangan di kamar mandi, bukankah itu bekas telapak tangan bayi?
“Kau pikir keluarga saya diganggu hantu?”
Wang Bin berkata: “Saya bertanya dengan serius, jangan menganggap ini lelucon tentang hantu. Kondisi Shanshan sangat buruk, jika kau tahu sesuatu harap jujur. Sebagai balas budi, saya tidak akan merugikanmu.”
Dia seorang orang sukses, mana mungkin percaya omong kosong tentang hantu.
Yang Jian merenung.
Dari nada bicara dan sikap Wang Bin di telepon, bisa dinilai bahwa Wang Shanshan benar-benar bertemu hantu.
Sangat mungkin itu hantu bayi yang kabur dari sekolah.
Tapi tidak masuk akal.
Meski tingkat kengerian hantu bayi itu tidak sebanding dengan nenek pengetuk pintu, tapi Wang Shanshan hanya orang biasa. Jika benar bertemu, mustahil dia masih hidup sekarang.
Hantu membunuh tanpa berunding.
“Halo, kau dengar?” Wang Bin bertanya saat mendengar Yang Jian diam di ujung telepon.
Yang Jian tersadar dari lamunan dan berkata: "Masalah Wang Shanshan bisa saya selesaikan, tapi ini perkara yang sangat merepotkan. Waktu menyelamatkan putrimu secara gratis kemarin, saya hampir tidak bisa keluar hidup-hidup dari sekolah. Tapi kali ini saya tidak bermaksud mengandalkan hubungan pribadi, juga tidak akan membantu secara gratis. Jadi Paman Wang... beri harga, berapa banyak uang yang kalian sanggup bayar untuk menyelesaikan masalah ini?"
Wang Bin terdiam sejenak di seberang sana, tapi segera bereaksi: "Jika Shanshan bisa pulih normal, saya bisa memberimu imbalan memadai dua puluh ribu yuan secara diam-diam. Tentu saja, jika kau tidak bisa membantu putriku, kau tidak akan mendapat sepeser pun."
Tidak disangka murid bernama Yang Jian ini sudah begitu paham seluk-beluk masyarakat, sampai tahu meminta bayaran untuk bertindak.
Seketika itu juga nada bicaranya menjadi lebih kaku.
"Dua puluh ribu? Saya kira kau akan mengatakan dua juta. Dua puluh ribu terlalu sedikit. Masalah ini sangat berbahaya, tidak sesederhana yang kau bayangkan. Jika saya tidak turun tangan, bukan hanya Wang Shanshan, mungkin seluruh keluargamu akan tewas. Makhluk itu membunuh tanpa pandang bulu," kata Yang Jian.
Jika harus menghadapi bayi hantu itu, dia harus menggunakan kekuatan hantu gentayangan.
Tindakan ini akan mempercepat waktu kebangkitan hantu gentayangan.
Dengan kata lain, ini sama saja mempertaruhkan nyawa untuk membantu.
Mengorbankan diri sendiri untuk menerangi orang lain adalah tugas lilin.
Yang Jian perlu mendapatkan bayaran atas jasanya. Lagipula, keluarga Wang Shanshan cukup kaya, sementara dirinya sendiri miskin sekali.
"Lima puluh ribu, bagaimana?" jawab Wang Bin.
“Sepertinya Paman Wang masih belum terlalu paham harga pasar untuk urusan seperti ini. Di luar negeri, menyelesaikan kasus serbutuh minimal lima juta dolar AS. Tapi saya orangnya adil, melihat kita sekelas, lima ratus ribu saja.” Yang Jian berkata dengan serius.
“Bangsat, lima ratus ribu? Kau gila harta ya? Masih berani bilang 'melihat kita sekelas'.” Wang Bin yang biasanya sabar pun tidak tahan marah mendengar angka ini.
Yang Jian tetap tersenyum tanpa marah: “Paman Wang, tidak perlu emosi. Dengan kondisi keluargamu, lima ratus ribu mungkin agak menyakitkan, tapi bukan tidak mungkin. Lagi pula rumahmu saja harganya minimal empat juta. Sudah, cukup sampai sini teleponnya. Paman Wang pikirkan dulu baik-baik, balas surat saya nanti, lebih cepat lebih baik.”
“Karena jika terlambat, bukan Wang Shanshan yang mati, tapi saya. Saya tidak akan hidup lama lagi, masih harus membiayai ibu. Uang ini saya dapatkan dengan mempertaruhkan nyawa. Jika terlambat, kalian mau cari orang lain pun bukan sekadar uang bisa menyelesaikannya. Jangan telepon nomor ini lagi, hubungi ponsel satelit saya yang lain, itu gratis.”
Setelah mengatakan ini, dia memberikan nomor ponsel satelit Zhou Zheng kepada Wang Bin, lalu langsung menutup telepon.
“Teman, untuk semua ponsel ini saya beri lima ribu.” Kata pemilik toko saat itu.
Lima ribu?
Yang Jian meletakkan telepon sambil mengerutkan kening: “Segitu sedikit? Bos sedang bercanda ya?”
“Ponsel-ponsel ini tidak berharga. Yang model terbaru ini pun palsu.” Kata bos: “Mau saya bongkar buktikan?”
Benar saja, setelah dibongkar ponsel itu terbukti palsu.
Palsu?
“Omong kosong si pedagang licik ini.”
“Apakah ponsel Zhang Wei asli atau palsu, mana mungkin dia tidak tahu?”
Wajah Yang Jian menjadi muram: “Bos, tadi saat aku menelepon, jangan-jangan kau menukar ponselku diam-diam?”
“Saya berbisnis jujur, mana mungkin melakukan hal seperti itu. Ponselmu ini jelas-jelas palsu. Jika tidak mau menjual, ambil kembali. Ponsel lainnya juga tidak saya beli.”
Sang bos bersikap acuh tak acuh, tiba-tiba berubah sikap sambil melambaikan tangan mengusir Yang Jian.
Yang Jian bangkit menggenggam kerah baju si bos, mata penuh darahnya memancarkan cahaya merah redup dengan dingin yang mengerikan: “Kau pedagang licik ini ingin mati? Kalau mau mati bilang, aku akan kabulkan. Berani-beraninya menipu saya?”
Si bos gemetar melihat tatapan Yang Jian.
Ini tatapan layaknya manusia?
Dingin, tanpa secercah perasaan, menyimpan keganjilan yang menggetarkan.
