"Yang Jian, aku di sini."
Seorang wanita cantik berbaju gaun pendek one-piece yang memperlihatkan kaki putih nan indah, berpenampilan manis dan menggemaskan membawa tas tangan dan berjalan dengan sepatu hak tinggi masuk ke gerai ayam goreng.
Dia melambaikan tangan, senyum mempesona merekah di wajahnya.
Jiang Yan memberi nilai 82 untuk penampilan spesialnya ini, sisanya 18 poin dia yakin Yang Jian akan memberikannya dalam bentuk 666.
Tekad sudah bulat.
Dia harus menghapus kesan akuntan kakak di benak Yang Jian, mengubah gaya secara total.
Banyak pengunjung melirik dan memperhatikan Jiang Yan.
Terutama mata mereka berkali-kali mengitari sepasang kaki mulusnya.
Kaki ini... Aku bisa menjilatnya sampai patah tulang.
Banyak pria di tempat itu diam-diam membatin.
"Kak Jiang, kalau sudah lihat aku ya langsung ke sini. Apa aku harus memindahkan meja ke sana dan memintamu duduk?" Alis Yang Jian berkerut sambil menengadah.
"Iya tahu."
Jiang Yan terkekeh nakal layaknya gadis belia, lalu patuh mendekat.
"Kamu kelihatan aneh... Apa ketemu hantu?" Yang Jian menatap lehernya: "Mau aku periksa?"
"Nggak lah, jangan paranoid gitu." Jawab Jiang Yan.
“Tidak ada? Kenapa aku merasa kamu perlahan menjadi psikopat. Apa aku yang terlalu lama terisolir dari masyarakat sehingga tidak bisa mengikuti irama, atau kamu yang mulai sombong? Aku tidak mengerti polamu!” kata Yang Jian curiga sambil menatapnya.
Jiang Yan langsung kesal.
Aku sengaja berdandan untukmu, tapi kamu malah bilang aku perlahan menjadi psikopat?
"Aku normal, tolong berpikiran yang waras dong," kata Jiang Yan.
"Aku tidak normal?" tanya Yang Jian.
Jiang Yan melototkan matanya yang indah: "Tidak, kamu sama sekali tidak normal."
"Lalu bagaimana?" tanya Yang Jian.
"Seperti pemuda remaja lainnya yang suka melihat wanita cantik, membahas topik berwarna, menonton film tidak sehat. Misalnya aku, aku sama sekali tidak keberatan jika kamu berfantasi tentangku."
Jiang Yan berkata dengan nada menggoda.
Yang Jian mengernyit: "Usiamu sudah sepuh tapi masih berfantasi tentang pemuda tampan, masih berani bilang bukan psikopat?"
“……”
Sudut bibir Jiang Yan berkedut, ada dorongan kuat ingin membalik meja.
Apa yang salah denganku sampai memilih pria kecil ini dulu?
Mungkinkah ini masalah generasi karena perbedaan usia?
Sama sekali tidak memahami cara berpikirnya.
"Aku marah, tidak mau bicara denganmu," kata Jiang Yan sambil memalingkan kepala.
"Mau makan es krim?"
"Aku mau rasa stroberi, terima kasih."
Yang Jian berkata: "Aku juga, tolong belikan untukku."
"Hm?"
Jiang Yan menatapnya dengan mata terbuka lebar.
"Aku yang traktir," kata Yang Jian.
“Jiang Yan nyaris hilang kesabaran, ini masalah traktiran? Bukannya seharusnya kau yang beli? Kau kan pria, aku jalan-jalan sama kau, begini perlakuannya?”
Apa harga diri sebagai wanita cantik sudah tidak dianggap lagi?
Tapi beberapa saat kemudian.
Jiang Yan meninggalkan konter sambil membawa dua es krim, berjalan mendekati Yang Jian.
“Xiao Yan, aku tahu pasti kau di sini, tadi kulihat mobilmu parkir di luar.” Suara lembut tiba-tiba terdengar.
Seketika seluruh tubuh Jiang Yan gemetar.
Pria yang ditakutinya telah muncul.
“Qian Feng, kenapa kau lagi? Bagaimana caramu menemukanku?”
“Tentu saja berkat petunjuk cinta.” Qian Feng mengedipkan mata, penampilannya yang sangat norak.
Jiang Yan malas menghiraukan, memutar mata lalu pergi.
“Ini siapa?”
Qian Feng menyusul sambil memandangi pria yang menerima es krim dari tangan Jiang Yan.
“Pacarku.” Jawab Jiang Yan tanpa ragu.
Pacar?
Qian Feng mengamati Yang Jian. Pemuda ini tampak belum 20 tahun, wajahnya lumayan dengan sedikit pesona, tapi bajunya... Kaos lengan pendeknya penuh noda kotor, seluruh tubuhnya mengeluarkan bau asam menyengat seperti sesuatu yang membusuk, membuat orang mual jika mendekat.
Seperti apa kehidupan yang dijalani sampai bisa mencapai level seperti ini?
Saraf mana yang error di kepala Jiang Yan sampai bisa menyukai orang aneh begini?
Jangan-jangan dia punya fetish aneh?
“Halo, saya Qian Feng, teman sekampus Xiao Yan. Senang berkenalan denganmu.”
Qian Feng tersenyum sopan sambil mengulurkan tangan.
Yang Jian menengadah meliriknya, meletakkan paha ayam di tangannya, lalu menjulurkan tangan: “Yang Jian.”
Qian Feng memandangi telapak tangan berminyak itu dengan rasa jijik, mengerutkan alut tak sanggup menjabatnya.
“Tidak sopan.”
Melihatnya tak bergerak, Yang Jian berkata.
Qian Feng hampir muntah darah: “Kau yang tidak sopan! Tangan sekotor ini, tidak tahu malu membersihkannya?”
“Tidak tahukah kau mengganggu orang sedang makan sudah melanggar etiket? Apalagi berjabat tangan saat orang menyantap makanan! Dan saat berbicara jangan memandang dari atas, seharusnya duduk... Berapa kelas kursus etiket modern yang kau ikuti? Benarkah kau lulusan kampus?”
Yang Jian menatapnya.
“Hmm...” Qian Feng tertegun.
Anak ini cukup pandai berkelit.
“Qian Feng, lebih baik kau pergi dulu. Situasi ini agak canggung.” Jiang Yan berkata.
Qian Feng tersenyum: “Tak apa, hari ini juga sebuah takdir. Aku ingin berbincang dengan teman ini.”
“Yang Jian, bolehkah kutanya pekerjaanmu sekarang? Di perusahaan mana kau bekerja?”
Sambil berkata, ia pun duduk.
“Bekerja? Bekerja itu mustahil. Seumur hidup takkan mau kerja. Hidup sehari-hari cuma bisa dipertahankan dengan pemerasan. Kau cukup pandai bicara dan tebal muka, maukah jadi salesku? Aku sedang butuh tenaga pemasaran. Jika setuju, setiap transaksi kuberi 1% komisi. Tapi tidak ada gaji pokok.” Kata Yang Jian.
“Kau becanda, saya seorang mahasiswa, orang berpendidikan, mana mungkin bekerja untuk preman? Lagi pula, menurutmu uang hasil cara begini bisa mempertahankan hidup? Kalau tak keberatan, bisa kasih tahu penghasilan bulananmu?” Qian Feng berkata.
Yang Jian menjawab: “Detail penghasilan pasti tak bisa saya beri tahu. Tapi jelas kusampaikan, semua pengeluaran hidupku sekarang - termasuk barang mewah - hasil jerih payah sendiri.”
Bocah ini kelewat pede~!
Qian Feng memandang sinis penampilan Yang Jian: baju compang-camping tak sampai seratus yuan, sedang menyantap ayam goreng murahan, badan kumal bau anyir. Di sebelahnya tergeletak karung kulit ular bekas berisi... semacam kardus bekas.
Kecuali tongkat telescopik emas di pinggang yang mungkin bernilai 1-2 ratus yuan, sama sekali tak terlihat unsur kemewahan.
“Jangan iri memandangku. Ikutlah bekerja denganku, kujamin kau pun bisa beli semua ini,” ujar Yang Jian.
Bekerja denganmu?
Maksudmu mengais rongsokan?
Qian Feng terkekeh, senyumnya melebar tak terkontrol.
“Kukira kau cuma preman, ternyata lebih hina dari preman! Dasar pemulung! Lumpur busuk sepertimu apa hak menjadi pacar Xiao Yan? Tinggalkan dia! Kau tak bisa memberinya kebahagiaan, jangan jadi beban!”
Yang Jian mengetuk meja dengan tulang paha ayam yang baru saja dimakannya, berkata dengan serius: "Meskipun kau sudah memarahiku, aku bisa memaafkanmu kali ini. Jangan salah paham, aku bukan pacarnya. Secara resmi, dia karyawanku, aku bosnya. Dia dipekerjakan olehku, saat ini sedang bekerja untukku."
"Bagaimana bisa kau berkata begitu? Kita sudah hidup bersama, masak bukan pacarku?" ujar Jiang Yan dengan nada kesal.
Qian Feng membelalakkan matanya.
Tidak mungkin salah dong.
Orang aneh langka seperti ini, kau malah mau nempel?
Apa ini sedang memberikan kasih sayang?
"Aku cuma numpang tinggal sementara. Hubungan kita tetap murni hubungan kerja berbasis uang," kata Yang Jian.
Jiang Yan mencibir: "Tapi kita sudah tidur bersama beberapa hari lho."
"Itu karena kau kalah berebut ranjang dan tidak mau tidur di lantai," jawab Yang Jian.
"Aku tidak peduli, kau harus bertanggung jawab padaku!" seru Jiang Yan.
"Aku hanya bertanggung jawab atas keamananmu, bukan perasaanmu. Itupun hanya selama kau bekerja untukku," tegas Yang Jian.
Qian Feng mendengarkan percakapan mereka, pikirannya mulai kewalahan. Bukannya tadi maksudnya menyuruh Yang Jian menjauhi Jiang Yan? Kok topiknya malah melenceng begini?
Dia perlu merapikan pikirannya.
Sekarang dia curiga apakah Jiang Yan sengaja berkomplot dengan Yang Jian ini untuk mempermainkannya?
Asal cari orang untuk berakting.
"Maaf, aku harus menerima telepon dulu," tiba-tiba ponsel Qian Feng berdering, dia bangun dan pergi sebentar.
