“Braak~!”
Tiba-tiba, pintu ruang boks KTV ditendang terbuka oleh seseorang.
"Siapa sialan yang nyanyi di sini, kok jelek banget suaranya? Apa kau tidak tahu kalau Kakak A Fei ada di sebelah? Nyanyinya buruk tapi teriaknya kayak babi disembelih, apa orang tuamu tidak mengajarimu sopan santun di tempat umum?"
Seorang pemuda awal dua puluhan dengan arogan masuk bersama beberapa temannya: "Generasi 2000-an sekarang ini kenapa sih, tidak punya etika. Kalau tidak bisa nyanyi ya jangan nyanyi! Pulang sana latihan dulu!"
Begitu masuk.
Zhang Wei, Zhao Lei, dan Kakak sepupu Shangguan Yun serentak menatap para penyusup ini.
"Sudah kubilang nyanyimu bikin bulu kuduk merinding, kau tidak mau dengar. Sekarang ada yang protes kan?" kata Zhao Lei.
"Pasti bukan salahku. Mereka cuma iri," jawab Zhang Wei dengan serius.
"Dasar kau yang nyanyi tadi ya?"
Pemuda bernama A Fei ini memiringkan kepalanya: "Kau sudah merusak mood nyanyi kami. Sekarang gimana mau bertanggung jawab?"
Zhang Wei menjawab: "Bagaimana kalau aku ajari kalian nyanyi sebagai permintaan maaf?"
"Sial! Siapa butuh diajarin nyanyi? Kau harus ganti rugi! Rp200 ribu per orang. Kami berempat total Rp1 juta!" bentak A Fei.
"Empat orang kan Rp800 ribu, kok bisa jadi Rp1 juta?" tanya Zhang Wei.
A Fei membalas: "Aku tidak jago matematika. Salah hitung tidak boleh?"
"Salah hitung kok bisa sepede itu?"
"Teman, kau sengaja datang untuk mengganggu urusan dan melakukan pemerasan, ya? Aku menyarankan kalian sebaiknya tidak melakukannya. Ini tindakan ilegal, kalau tidak hati-hati bisa masuk penjara."
Kakak sepupu Shangguan Yun yang berada di sebelah mendekat dan berkata: "Tadi dia bernyanyi memang agak keras. Mengucapkan maaf saja sudah cukup. Mari kita anggap tidak ada yang terjadi, bagaimana? Semua orang datang ke sini untuk bersenang-senang, jangan sampai hal sepele mempengaruhi perasaan kita semua."
"Kau bilang apa? Kau pikir kau siapa? Ini bukan urusanmu! Pergi sana!"
Seorang teman di samping mendorong Shangguan Yun dengan sikap sangat arogan.
A Fei berkata: "Gimana? Mau ganti rugi atau tidak?"
"Kalau kau mau memanggilku 'Ayah', mungkin aku akan memberimu hadiah." Zhang Wei mengejek: "Ayahmu punya banyak uang. Kalau mau, jadilah anakku."
Shangguan Yun langsung merasa situasi akan memburuk setelah mendengar perkataan ini.
Apa otaknya sakit? Ngapain berdebat dengan sekumpulan preman? Cukup minta maaf dan akui kesalahan dengan tipuan kecil biar urusan cepat selesai.
"Ayahmu! Aku ini kakekmu!" A Fei langsung naik darah dan meninju wajah Shangguan Yun.
"Aku..." Shangguan Yun merasa hidungnya perih, pandangannya berkunang-kunang.
Sial! Zhang Wei yang menghina, ngapain kau pukul aku?!
"Berani menghina kami? Bunuh dia!" teriak A Fei. Tiga temannya segera mengepung Shangguan Yun.
Shangguan Yun semakin bingung.
"Hentikan! Jangan pukuli dia! Kakak, kau baik-baik saja?" Miao Xiaoshan panik.
"Kakak Shangguan, bagaimana keadaannya? Perlu bantuan?" Zhang Wei berkata: "Kalau ada ilmu bela diri atau kekuatan khusus, cepat gunakan. Biar kami bisa melihat."
"Mana mungkin saya bisa ilmu bela diri. Kalian cepat bantu!" teriak Shangguan Yun.
Zhang Wei berkata: "Benar-benar tidak ada cara denganmu. Hanya bisa merepotkan kami. Cuma berkelahi saja, hal sepele kok sampai minta tolong. Sudahlah, demi Miao Xiaoshan sekelas, hari ini saya akan melanggar aturan untuk menunjukkan keahlianku."
Sambil mengatakan itu, dia meletakkan mikrofon dan bersiap membantu.
Zhao Lei melihat situasi ini juga tidak bisa berbuat apa-apa, terpaksa menemani Zhang Wei maju bersama. Kalau tidak, sendirian pasti akan merugi.
"Jangan sembarangan bergerak! Aku peringatkan, situasi ini tidak ada hubungannya dengan kalian. Siapa yang berani maju, akan kubunuh! Aku peringatkan, aku ini sangat kejam!" A Fei tiba-tiba menoleh dan menunjuk Zhang Wei serta Zhao Lei.
“……”
Ternyata kau juga takut dipukul~!
Tapi saat itu, Yang Jian mendengar keributan di sini. Setelah menanyakan kejadiannya, dia datang: "Apa yang kalian lakukan? Sekelompok pria berpelukan sambil mengeluarkan teriakan aneh. Siang hari begini jangan sampai mempengaruhi orang lain."
"Yang Jian, geng ini memperlakukan buruk. Sepupuku dipukuli mereka."
Miao Xiaoshan tampak seperti ingin menangis, seolah menemukan tulang punggung. Nada bicaranya seperti anak kecil yang mengadu ke orang dewasa.
"Tadi bermain baik-baik tiba-tiba berkelahi. Kalian benar-benar tidak membuat tenang. Baru sebentar saya pergi sudah mulai berantem. Tidak bisa tunggu saya kembali dulu? Soal berkelahi, saya sangat menguasai." Kata Yang Jian sambil mendekat.
“Kau, jangan ikut campur.” Seorang preman meluapkan amarah sambil berjalan mendekat dan menunjuknya.
“Apa katamu? Aku tak dengar jelas.” Kata Yang Jian.
“Apa telingamu tuli? Aku bilang jangan ikut campur…” Ucap preman itu terhenti di tengah kalimat, wajahnya dipenuhi ketakutan.
“Ka, Kakak, kenapa kau di sini?”
Rupanya preman ini mengenali Yang Jian.
“Oh, kau mengenalku?” Tanya Yang Jian.
“Kakak, ini… ini salah paham, salah paham semua.” Preman itu langsung menyerah, hampir bersujud dengan wajah memelas.
Tiba-tiba Yang Jian teringat: “Sepertinya aku pernah bertemu kalian. Bukankah dulu aku meminjam beberapa ratus yuan? Lehermu waktu itu terjepit di lubang tembok, sekarang sudah sembuh?”
Ia baru sadar, para preman ini adalah orang-orang yang dihadapinya setelah kabur dari rumah dulu. Untuk menguasai Wilayah Hantu dengan cepat, ia melakukan eksperimen yang tidak manusiawi pada mereka.
Meski tidak mencabut nyawa mereka, bayang-bayang mengerikan yang tertinggal di benak mereka tak terbayangkan.
Hingga kini mereka masih gemetaran melihatnya.
“Sudah, tak perlu banyak tanya. Suruh mereka berhenti berkelahi.” Kata Yang Jian.
Preman itu buru-buru menarik kawanannya dan berkata pada A Fei: “A Fei, berhentilah. Ada yang datang.”
“Siapa? Siapa pun yang datang akan kubunuh! Aku sering membunuh orang!” Teriak A Fei sambil menoleh.
“Saudara, sudah lama tak berjumpa.”
“Baru-baru ini kamu sangat arogan, cuma berkelahi saja tidak cukup, malah sering membunuh. Hebat ya, semakin mahir. Sepertinya kejadian waktu itu belum cukup memberimu pelajaran. Bagaimana menurutmu dengan tembok ini? Kalau terjebak di dalam, pasti sulit keluar ya.”
Dia menunjuk ke dinding sebelah sambil berkata.
A Fei langsung ciut melihat Yang Jian, dengan suara merintih dia berkata: “Ka-Kakak, kok bisa kamu yang datang? Salah dengar, mana berani aku membunuh, ayam saja belum pernah kubunuh. Tadi aku bilang orang Changsha. Aku asli Changsha.”
“Alasanmu bagus sekali. Lalu kalian ngapain di sini?”
Yang Jian menghampirinya, menepuk bahunya sambil berkata.
“Cuma main-main di sini. Pas mau bayar, ternyata uangnya kurang. Jadi cari cara buat dapetin uang.” Jawab A Fei dengan hati-hati.
Yang Jian berkata: “Kalian benar-benar tidak bisa berubah. Tapi kalau mau merampok uang, kenapa harus memukulinya? Apa ada dendam dengan dia?”
Sambil memandangi Shangguan Yun yang hidungnya berdarah dan wajahnya memilukan.
“Murid miskin kayak mereka mana punya uang. Tapi si ini pakai merek mahal semua, pasti tajir.” Kata A Fei.
Sial.
Rupanya ini alasan dirinya dipukuli.
Pantas saja Zhang Wei tidak diganggu.
Benci sama orang kaya.
Tapi tahukah kalian Zhang Wei ini aslinya anak orang kaya?
Shangguan Yun berteriak marah: “Jangan lepaskan dia! Bunuh semua brengsek ini!”
“Memukul orang itu melanggar hukum, bisa masuk penjara!” A Fei buru-buru menimpali.
“Melanggar hukum pun aku rela!” Kata Shangguan Yun.
“Ucapan yang bagus.”
Yang Jian berkata: "Ada kegarangan, dipukul mana bisa tidak membalas, dengan kata-katamu tadi aku harus mendukungmu. Ambil barang ini, siapa pun yang mengganggumu, habisi saja semua."
Entah dari mana dia meraba sebuah pistol dan menyodorkannya ke tangan Shangguan Yun.
"Ini apa?" Shangguan Yun tertegun.
"Pistol. Bukannya kau bilang mau membunuh mereka?" Yang Jian melanjutkan: "Zhang Wei, nanti ingat laporkan polisi. Kalau mengaku sendiri pasalnya mungkin lebih ringan. Tenang, tidak akan sampai hukuman mati."
"Kau... darimana kau dapat barang ini?" Shangguan Yun memandangi Yang Jian dengan terkejut.
Yang Jian menjawab: "Dihadiahkan orang. Tapi online juga ada yang jual, gratis ongkir pula."
"Kakak sepupu, jangan terburu nafsu. Kalau benar-benar ada nyawa melayang nanti bahaya."
Miao Xiaoshan buru-buru datang merampas pistol dan mengembalikannya ke Yang Jian, lalu melotot: "Mendamaikan orang kok caranya begini? Tidak takut situasi makin runyam?"
"Aku lihat kakakmu di-bully, ingin membantu. Aku kan bermaksud baik." Kata Yang Jian.
"Kakak, kalau benar baik hati, lepaskan kami kali ini. Aku tidak tahu mereka temanmu. Kalau tahu, mana berani aku ganggu." A Fei memohon.
Di dunia ini dia tidak takut siapa pun kecuali Yang Jian di hadapannya ini.
Pengalaman terjebak di Wilayah Hantu adalah hal paling mengerikan seumur hidupnya.
Sampai sekarang dia masih meragukan apakah Yang Jian ini manusia atau hantu.
"Kakak sepupu, putuskanlah. Kamu yang dirugikan, aku akan menuntut keadilan untukmu. Tapi detailnya tergantung keputusanmu."
Yang Jian melanjutkan: "Kalau mau pakai pistol ini untuk menghabisi mereka, silahkan pinjam."
"Yang Jian, tidak bisa!"
Miao Xiaoshan memeluk lengannya, berkata kesal: "Kakak sepupu, jangan dengarkan hasutannya."
"Lebih baik... suruh mereka minta maaf dan mengakui kesalahan, sudah cukup." Shangguan Yun akhirnya mengalah sebagai orang dewasa.
Ucapannya tadi hanya luapan emosi belaka. Setelah agak tenang, dia menggerutu pasrah.
Menembak mati orang? Mana mungkin dia berani.
Bisa dihukum seumur hidup.
