"Xiaoshan, sepupumu ini agak pengecut ya." Kembali ke ruang boks, Yang Jian duduk dan bicara.
Padahal Shangguan Yun punya dukungan kuat.
Tapi dia tetap tidak berbuat apa-apa pada geng A Fei, hanya menyuruh mereka minta maaf lalu melepasnya.
Yang Jian geleng-geleng melihat 'sikap terlalu baik' Shangguan Yun ini.
Kalau dia yang bertindak, pasti akan menyita sesuatu dari A Fei cs.
"Dengan sifatnya seperti ini, orangtuamu berani menugaskannya menjagamu? Menurutku kau harus minta orangtuamu ganti dia dengan aku. Aku jamin akan merawatmu sampai hamil—eh, maaf, salah ucap. Maksudku, merawatmu dengan sempurna."
Muka Miao Xiaoshan memerah: "Jangan ngawur! Kau sudah punya Wang Shanshan, masih mau menggoda aku? Aku benci lho!"
"Hubunganku dengannya cuma teman sekelas. Dibandingkan persahabatan 6 tahun kita, mana ada apa-apanya." Kata Yang Jian.
Wang Shanshan duduk kaku dengan wajah pucat, sunyi tanpa ekspresi.
"Aku sebentar lagi kuliah di provinsi lain. Jangan pikirkan aku lagi."
Miao Xiaoshan berkata, pipi imutnya memancarkan cahaya merah samar.
Zhang Wei yang di samping tidak tahan lagi, mengetuk meja dan berkata tegas: "Siswa Miao Xiaoshan, tolong perhatikan ucapanmu. Aku merasa kau seperti sedang menggoda Yang Jian. Dia milik kolektif, bukan milik pribadimu. Kesadaranmu masih perlu ditingkatkan. Pulanglah dan tulis laporan introspeksi 5000 huruf, besok kirim ke saya."
"Aku tidak mau bicara denganmu." Miao Xiaoshan memutar mata ke arahnya.
"Masih tidak terima, pasti merasa bersalah. Yang Jian, aku sudah bilang dia menyukaimu. Waktu aku mengundangnya ke perkumpulan tidak direspon, tapi begitu menyebut namamu langsung buru-buru datang. Seharusnya aku tidak menolong menyelamatkan sepupunya kalau tahu dia tak berperasaan seperti ini." kata Zhang Wei.
Miao Xiaoshan berkata: "Karena nyanyianmu terlalu jelek."
"Nyanyianku jelek? Lihat jakunku, bergetar saat bernyanyi. Ini bakat khusus seperti penyanyi legenda Jacky Cheung!"
Zhang Wei mendongakkan lehernya penuh keyakinan: "Zhao Lei, menurutmu bagaimana nyanyianku?"
"Bikin bulu kuduk merinding." jawab Zhao Lei.
"Lihat, dia terharu oleh nyanyianku." kata Zhang Wei.
Miao Xiaoshan berkata: "Aku tidak mau peduli. Aku mau bicara dengan Yang Jian. Ngomong-ngomong, Yang Jian tadi kamu keluar ngapain? Untung kamu datang tepat waktu, kalau tidak sepupuku pasti kerepotan."
"Karena urusan berkelalian kalian ini, aku hampir lupa. Sebenarnya tadi aku keluar untuk bertanya ke pelayan. Kenapa dari enam orang kita, pelayan menghadiahkan tujuh botol bir?" Yang Jian bersandar di sofa dan mulai berbicara perlahan.
"Aneh sekali ya?" Zhang Wei berkata.
Miao Xiaoshan bertanya, "Bukannya di sini setiap anggota klub dapat satu botol bir gratis? Apa pelayan salah memberikan?"
Yang Jian menggelengkan kepala, "Bukan. Pelayan bilang kita datang bukan enam orang, tapi tujuh. Makanya dihadiahkan tujuh botol. Dengan kata lain, ada orang tambahan di antara kita."
"Ada orang tambahan?"
Mendengar ini, beberapa orang langsung tertegun.
"Saat makan tadi juga begitu. Di meja ada lima set mangkuk dan sumpit, padahal yang sedang makan cuma aku, Wang Shanshan, Zhang Wei, dan Zhao Lei - total empat orang."
Yang Jian melanjutkan, "Aku merasa aneh, khawatir restoran itu mengalami peristiwa supranatural. Makanya aku suruh kalian pergi lebih cepat. Tapi sekarang sepertinya... Orang tambahan itu bukan muncul di restoran, tapi sudah mengikuti kita dari awal. Jika beruntung, mungkin sekarang dia ada di ruang boks ini."
Begitu kata-katanya meluncur,
Seketika semua orang merasakan hawa dingin mengerikan di balik punggung. Mata mereka saling bertatapan, diliputi ketakutan tak terdefinisi.
Seketika mereka teringat kembali akan dominasi ketakutan oleh sekolah mereka dulu.
"Maksudmu di antara kita ada hantu? Tunggu apa lagi? Cepat kabur!"
Zhao Lei langsung terkejut berdiri, refleks ingin melarikan diri.
Yang Jian masih duduk di sana tanpa bergerak: "Untuk sementara jangan lari dulu. Lari juga percuma, mau kabur ke mana? Hantu itu jelas muncul karena mengikuti salah satu dari kita. Lagipula setelah perkumpulan ini, belum tentu hantu itu akan mengubah target. Kalau kamu pergi dari sini dan baik-baik saja, itu bagus."
"Tapi bagaimana kalau hantu itu ikutmu pulang ke rumah? Nanti situasinya jadi lebih merepotkan."
Mendengar ini, Zhao Lei yang tadinya ingin kabur langsung membeku di tempat.
Bayangkan jika hantu benar-benar mengikuti seseorang pulang ke rumah. Hanya memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduk merinding.
"Kenapa tiba-tiba jadi angker begini?" Zhang Wei juga mulai gelisah.
Yang Jian tertawa: "Bagaimana saya tahu? Tempat angker itu kan normal saja? Tidak ada pertanda, tidak ada alasan, kalau ketemu ya sial."
"Lalu sekarang harus bagaimana?" tanya Miao Xiaoshan.
"Kita harus pastikan hantu ini mengikuti siapa, lalu yang lain pergi agar tidak terbawa-bawa. Setelah itu saya akan coba menyelesaikan ini," ujar Yang Jian sambil merenung sejenak.
Jika dia tidak membantu, pasti ada satu orang yang akan mati.
"Karena ucapanmu itu, aku harus memanggilmu Kakak. Kak Kaki!" Zhang Wei menepuk paha Yang Jian dengan haru.
"Kak Kaki."
Zhao Lei juga memandanginya dengan sorot mata berbinar.
"Ka-Kak Kaki..." Miao Xiaoshan memanggil dengan malu-malu.
Di hadapan hantu gentayangan, tidak ada harga diri yang terlalu berharga untuk dipertahankan.
Yang Jian malah mengangkat kedua tangannya dan berkata: "Jika saya tidak bisa menemukan hantu itu, atau tidak punya kemampuan untuk menghadapinya, saya hanya bisa meminta maaf. Meski kejam, lebih baik saya beri tahu kalian dari sekarang, siapkan mental untuk urusan pemakaman."
"Kakak Kaki, jangan bicara begitu. Kau pasti punya cara, benar kan?" Zhang Wei merasa ingin menangis.
"Sulit merasa percaya diri menyelesaikan hal seperti ini. Ngomong-ngomong, di mana Kakak Sepupu?" Yang Jian menyadari kakak sepupunya menghilang.
Miao Xiaoshan menjawab: "Kakak sepupu pergi ke toilet."
Shangguan Yun memang sedang di toilet.
Dia terluka.
Hidungnya terkena pukulan, sekarang sedang berdarah.
"Sial banget, dipukuli sekelompok preman yang bahkan bulu belum tumbuh." Shangguan Yun menunduk membersihkan wajahnya, hati dipenuhi amarah.
Tapi melihat sikap A Fei yang merengek-rengek minta maaf tadi, dia bingung bagaimana harus membalas.
Pistol yang diberikan Yang Jian padanya, tidak berani dia gunakan.
Membunuh dengan senjata api, kalau tidak dihukum mati berarti punya koneksi kuat. Benar-benar tidak tahu teman sekelas bibi ini kerja apa, sampai bisa dapatkan pistol. Bahkan geng preman itu sepertinya pernah kena batunya, beberapa teman sekelas sangat menghormatinya.
Jelas-jelas tokoh berkuasa di kelas.
"Jangan-jangan si bocah itu ingin mendekati bibiku yang imut itu?" Pikir Shangguan Yun.
Di depan baskom cuci muka terdapat sebuah cermin besar. Saat ini, Shangguan Yun yang sedang mencuci muka tidak menyadari bahwa dalam pantulan cermin, siluet seseorang muncul secara ganjil di dalam cermin.
Namun di dalam toilet, selain dirinya sendiri tidak ada orang lain.
Seolah-olah orang itu hanya eksis di dalam cermin, sama sekali tidak ada di dunia nyata. Atau mungkin, orang itu berada di dekatmu, hanya bisa dilihat melalui cermin.
Orang di dalam cermin itu perlahan mendekati Shangguan Yun yang sedang mencuci muka, bergerak semakin dekat dari kejauhan.
Langkahnya sebenarnya tidak lambat, hanya jarak yang terpantul di cermin ternyata lebih jauh dari perkiraan, tidak hanya seukuran toilet.
Namun Shangguan Yun tidak menyadari hal ini. Darah hidungnya keluar lagi, ia membungkuk membilasnya di bawah keran yang masih mengalir.
Cepat sekali.
Orang itu sampai di depan cermin, sosoknya membesar perlahan hingga hampir menutupi seluruh permukaan cermin.
"Mata kemasukan air." Shangguan Yun mengedip-ngedipkan mata, tangannya meraba-raba di sekitar baskom cuci muka.
Ia ingat ada tisu di sebelahnya.
Tapi setelah meraba beberapa kali tidak juga ketemu, sepertinya tadi tisu itu dipindahkan orang dari posisi semula.
Namun kemudian ia meraih dua lembar tisu, mungkin ada yang baik hati yang mengambilkannya.
"Terima kasih." kata Shangguan Yun.
Orang itu tidak menjawab.
Tak lama kemudian.
Setelah mengeringkan air, Shangguan Yun membuka matanya dan bercermin.
Di dalam cermin, wajahnya terlihat pucat, kedua matanya kosong tanpa semangat.
“Hm?” Shangguan Yun mengusap-usap wajahnya sendiri.
Apakah wajahku seburuk itu?
Tapi begitu dia menengadah, darah hidungnya mengalir lagi. Dia buru-buru menundukkan kepala, mengambil dua lembar kertas dan menutupi hidungnya.
Namun sementara Shangguan Yun membungkuk membersihkan darah hidung, bayangannya di cermin tetap berdiri tegak. Bukannya ikut menunduk, malah kepalanya berputar pelan sambil memandangi Shangguan Yun dengan tatapan ganjil.
