Jiang Yan seolah hidup kembali, berlarian di lantai lima gedung penjualan yang luas.
"Wah, ruang tamu ini luas sekali, seperti jalan-jalan di mal."
"Lantai dua aula rapat, sofa ini bagus sekali, duduknya nyaman."
"Lantai tiga ternyata gym, ada kolam renang juga, hebat!"
"Lantai empat... Hah, siapa di kamar itu?"
Saat Jiang Yan menjelajah lantai empat, mendapati pintu sebuah kamar terbuka, lentera redup berkelip-kelip, terdengar suara dari dalam.
"Manusia atau hantu?" Dia mulai ketakutan.
Baru teringat, di vila sebesar ini hanya ada dirinya sendiri, sekitar sunyi senyap mengerikan.
"Tempat tinggal buatan Yang Jian pasti tidak ada hantu." Pikir Jiang Yan mencoba menenangkan hati, mendekat dengan hati-hati.
Melihat seorang pria duduk di depan komputer, sedang bermain game.
"Hm? Ada suara langkah kaki." Zhang Wei di depan komputer mengerutkan alis, menyadari situasi tidak biasa.
Mengidentifikasi posisi dari suara.
Zhang Wei segera memandang ke arah Jiang Yan di luar pintu rumah.
"Pencuri? Di sini tidak ada barang yang bisa dicuri, cepat minggat, jangan ganggu aku main game."
"Aku bukan pencuri, siapa kau? Kenapa ada di rumahku?" Jiang Yan langsung bertanya.
"Rumahmu? Apa buktinya bahwa ini rumahmu, hanya karena kau memakai stoking sutra di kaki? Atau karena aroma tusuk sate kambing yang menempel di tubuhmu?" Zhang Wei menyeringai sinis.
Jiang Yan berkata: "Aku pacarnya Yang Jian, ini villa yang dibeli Yang Jian, mana mungkin bukan rumahku? Kau siapa sebenarnya? Kalau tidak jawab aku akan menelepon polisi."
"Pacarnya Yang Jian? Kenapa tidak pernah kudengar si bocah itu menyebutkan." Zhang Wei melepas headphone dan berdiri: "Benarkah kau pacar Yang Jian?"
"Tentu, kami sering tidur bersama." Jawab Jiang Yan.
Zhang Wei berkata: "Panggil Ayah."
Hah?
Zhang Wei bersuara berat: "Yang Jian adalah anak lelakiku, hubungan kalian sudah sedekat ini, mungkinkah kau tidak memanggilku Ayah?"
"Ah, Paman?"
Jiang Yan panik: "Maaf, maaf Paman, aku tidak mengenali Anda, sungguh minta maaf, tadi aku tidak sengaja, ini pertama kalinya aku ke sini, belum terlalu familiar dengan situasi di sini."
Dia terus meminta maaf sambil membungkuk berulang kali.
Takut kalau-kalau membuat marah ayah kandung Yang Jian.
"Panggil Ayah, ucapkan sekali saja, nanti kita jadi keluarga." Zhang Wei mengangguk puas.
"Ayah~!" Teriak Jiang Yan malu namun gembira.
"Pintar, nanti Ayah hadiahkan harddisk untuk hadiah pernikahan." Zhang Wei manggut-manggut: "Pergi mainlah, jangan ganggu Ayah main game."
“Baik, baiklah.” Jiang Yan tertegun.
Tak disangka ayah Yang Jian yang masih terlihat muda ini ternyata kecanduan game komputer.
Setelah kepergiannya, semakin dipikir Jiang Yan semakin merasa tidak beres, bukankah Yang Jian punya ayah? Kenapa tak pernah dia sebutkan? Justru yang sering dia ceritakan adalah ibunya yang sedang dinas luar kota dan mungkin akan segera pulang.
Saat ini.
Yang Jian mengangkut seluruh 400 kilogram emas sekaligus masuk ke dalam.
“Tak kusangka Bayangan Hantu punya kegunaan seperti ini.” Dia menoleh melihat bayangan hitam di belakangnya.
Bayangan Hantu kini bagaikan rak baju raksasa, semua koper berisi emas tergantung padanya. Meski Yang Jian berjalan maju, bayangan itu tetap menempel erat di belakang. Ajaibnya, 400 kilogram emas tak mampu melengkungkan bayangan yang bahkan tak bertubuh ini.
Memang di hadapan hantu, sains tak berlaku.
Emas-emas ini diangkut ke lantai lima menggunakan lift, lalu disimpan di sebuah ruangan yang dikunci rapat.
Pembelian emas dalam jumlah besar ini selain untuk investasi, sebenarnya lebih penting sebagai persiapan Yang Jian membangun ruang aman.
Sebuah kamar yang dilapisi emas untuk mengisolasi serangan hantu gentayangan, setidaknya memberikan keamanan sementara.
Tentu ini masih sebatas konsep.
Untuk merealisasikannya, dibutuhkan dana yang sangat besar sebagai penopang.
Empat ratus kilogram emas jelas masih jauh dari cukup.
Tapi tak apa, demi keamanan keluarga di masa depan, semua ini layak dilakukan. Paling tidak, emas di sini bisa meningkat nilainya atau digunakan darurat.
Pasokan emas di pasar akan semakin langka.
Begitu peristiwa supranatural benar-benar meledak, uang pun mungkin tak lagi bisa membeli emas.
Jadi, Yang Jian sedang mempersiapkan masa depannya.
“Menyimpan uang di badan tidak berguna, harus ditukar dengan sesuatu yang lebih berharga. Bukan untuk bersenang-senang, tapi demi bertahan hidup lebih baik.”
“Inilah alasan dia tidak menyisakan tenaga untuk mencari keuntungan.”
“Yang Jian, apa Ayahmu juga tinggal di sini?” Saat itu, Jiang Yan menemukannya dan bertanya: “Aku tadi sepert melihat Ayahmu di lantai empat.”
“Ayahmulah yang tinggal di sini,” kata Yang Jian: “Dia sudah meninggal saat aku masih SD. Jangan-jangan kau ketemu Hantu.”
“Ah? Tapi... tadi di lantai atas jelas ada seseorang yang mengaku sebagai ayahmu, jangan nakut-nakutin aku dong.” Begitu menyebut Hantu, Jiang Yan langsung mengkerut dan bersembunyi di belakang Yang Jian.
Yang Jian berkata: “Masih ada orang di lantai atas? Aku akan lihat.”
Dia mengerutkan kening, berpikir sejenak. Seharusnya tidak ada orang lain di sini, hanya beberapa dari mereka saja.
Sampai di lantai empat.
Jiang Yan menunjuk ruangan yang berpenerangan: “Di sana!”
Yang Jian tidak takut, langsung mendekat dan melongok. Ternyata Zhang Wei sedang duduk main game di sana.
“Hampir lupa, Zhang Wei tidak punya tempat tinggal, sementara tinggal di tempatku.”
“Zhang Wei? Bukan ayahmu?”
“Tentu bukan.”
Jiang Yan berkata: “Tapi... tadi dia jelas-jelas bilang kau adalah anak lelakinya.”
“Dia juga cucuku,” kata Yang Jian: “Jangan ganggu aku lagi untuk urusan sepele begini.”
Jiang Yan langsung paham, dia baru saja dibius oleh Zhang Wei ini.
Sudah terlanjur memanggil "Ayah".
Rugi besar.
Memikirkan ini, wajahnya memerah karena malu dan marah.
"Yo, Kakak Kaki datang? Main game PUBG enggak? Komputer yang kubeli siang tadi performanya sangat keren." Zhang Wei menyambut Yang Jian dengan antusias.
Yang Jian melirik.
Di ruangan sudah terpasang empat lima unit komputer lengkap dengan meja komputer baru. Dari penampakannya, rupanya dia berencana mengurung diri di sini main game jadi pria rumahan.
"Kau masih berani keluar beli komputer, tidak takut mati ya?" kata Yang Jian.
"Aku menemukan asalkan pakai tas kertas nutupin kepala, meski bercermin juga aman. Hantu itu tidak muncul di cermin. Ah, benar-benar jenius nih otakku!"
Zhang Wei mengambil tas kertas, mengenakannya di kepala, lalu melubangi tiga bagian untuk mata dan mulutnya.
"Tapi kalau tebakanku benar, hantu itu pasti ada di ruangan ini kan?" kata Yang Jian.
"Ah, urusan apa? Di sini semua cermin sudah kusuruh tutup pakai kain. Pasti aman, tenang aja." Zhang Wei asyik main game.
Sekalipun ada hantu gentayangan, takkan bisa menghentikan tekadnya bermain game.
"Kau main sendiri saja. Aku mau mandi dan tidur. Besok harus ke kompleks perumahan cari tahu penyebab pekerja di sini hilang dan alasan kau dihantui hantu gentayangan. Aku tidak mau proyek properti ini macet di tangan, masa depan kekayaanku tergantung sini." kata Yang Jian.
Dia sudah tidak bisa lagi menikmati permainan dengan riang gembira seperti dulu.
Sejak menjadi Pengendali Hantu dan menghadapi berbagai peristiwa kejam satu per satu, terlalu banyak hal yang harus dipikirkan. Tanpa disadari, dirinya sudah menjadi lebih matang.
Tapi dibandingkan dengan kedewasaan setelah mondar-mandir di tepi kematian ini, dia lebih merindukan kehidupan sederhana Zhang Wei.
Satu komputer, satu ranjang, dan warisan keluarga miliaran.
Jarang menikmati fasilitas kolam renang pribadi.
Membersihkan bau mayat samar yang menempel di tubuh.
Tiba-tiba Yang Jian teringat suatu hal.
Zhang Wei ada di sini.
Pasti hantu itu juga ada di sini.
Dirinya akan memperhatikan cermin, sebelumnya Jiang Yan juga sudah mengingatkannya untuk berhati-hati.
Tapi masih ada satu orang di sini.
Saleswoman mobil itu, Zhang Liqin.
Dia sepertinya belum menyadari bahwa tempat ini tidak sepenuhnya aman.
"Jangan sampai mengganggu urusan." Yang Jian mengerutkan alutnya, tiba-tiba hilang mood untuk mandi, langsung meninggalkan kolam renang untuk mencari Zhang Liqin.
Begitu Zhang Liqin diserang dan diganti oleh hantu dari cermin, akibatnya akan sulit diprediksi.
"Kak Jiang, sebelumnya kamu melihat Zhang Liqin?" tanya Yang Jian saat masuk ke ruangan.
Saat itu Jiang Yan sedang bersembunyi di dalam selimut, mengintipkan kepalanya: "A-Aku tidak lihat, kamu yakin di sini benar-benar ada hantu?"
"Hm, memang ada satu, tapi tidak terlalu berpengaruh," jawab Yang Jian.
"Ka-kalau gitu jangan cari lagi, cepatlah naik ke ranjang tidur," ujar Jiang Yan dengan wajah sedih: "Aku kasih tempat ini untukmu, aku tidur dikit saja cukup."
Tanpa Yang Jian, pasti hari ini dia tidak bisa tidur nyenyak.
“Tidak bisa, Zhang Liqin tidak tahu situasi di sini. Begitu dia menjadi korban, kalian juga akan ikut sial.” Yang Jian berkata: “Aku akan peringatkan dia sebentar. Asal tahu situasinya dan sedikit menghindar, pasti tidak masalah.”
“Kalau begitu segera kembali, aku tunggu.” Jiang Yan berkata.
Yang Jian tidak membalasnya, langsung berbalik badan dan pergi.
