Menemani Miao Xiaoshan jalan-jalan, awalnya Yang Jian menolak. Tapi tak tahan dengan tarik-ulur antusiasnya, akhirnya dia setuju dengan cara yang tidak jelas.
Lagi pula dia memang teman sekelas Yang Jian.
Dari SMP sampai lulus ujian negara, meski bukan tumbuh bersama sejak kecil, hubungan mereka selalu baik. Dulu saat masih sekolah, Yang Jian yang prestasinya biasa-biasa saja sering mencontek PR Miao Xiaoshan.
Tapi sejak peristiwa supranatural di Sekolah Menengah 7 terjadi, kehidupan sekolah normal itu hancur sepenuhnya.
Selama periode itu, Yang Jian mengalami banyak hal. Dia bukan lagi murid biasa yang hanya sibuk belajar.
Sedangkan Miao Xiaoshan tetap melanjutkan lintasan hidupnya: belajar, ujian, kuliah. Jika semuanya mulus, dia akan lulus dan bekerja di perusahaan ternama dengan posisi terhormat. Pada akhirnya, mungkin akan menikah dengan seorang elite, punya anak, dan hidup bahagia seumur hidup.
Yang Jian yang mengikuti dari belakang memandangi Miao Xiaoshan yang masih muda dan bersemangat. Dengan kontras, dirinya terlihat seperti mayat hidup beraura dingin dan perasaan tumpul. Jika tak ada kejutan, masa depannya mungkin berakhir di peristiwa gaib atau tewas di tangan hantu gentayangan yang dibangkitkannya sendiri.
Orang hidup seharusnya tak punya irisan dengan yang sudah mati.
"Miao Xiaoshan, mungkin saya harus pergi... Besok masih ada rapat." Setelah hening cukup lama, Yang Jian akhirnya membuka mulut sekitar setengah jam kemudian.
Dia mencari kedok untuk pergi.
Di dalam mal.
Miao Xiaoshan seolah tidak mendengar, dia berbalik badan sambil memegang gaun model baru di tangannya dan berkata: "Yang Jian, menurutmu baju ini bagus tidak?"
"Lumayanlah." Yang Jian menjawab.
Sebelum Yang Jian sempat menanggapi, Miao Xiaoshan langsung tersenyum kecut: "Kalau gitu tunggu di sini ya, aku mau coba di ruang ganti. Jangan kabur diam-diam lho!"
Usai bicara, dia langsung bergegas ke ruang ganti sambil membawa gaun itu.
"Xiaoshan, aku juga mau nyoba baju, yuk barengan." Seorang teman Miao Xiaoshan di sampingnya ikut tersenyum sambil mengambil sebuah baju, bersiap ikut mencoba.
Sorot mata Yang Jian berkedip-kedip, ragu apakah harus pergi atau tidak.
"Hei, kamu Yang Jian ya? Aku Liu Zi, teman sekampusnya di asrama."
Wanita lain yang bertubuh lebih tinggi melirik sambil menatapnya penuh selidik: "Dari obrolan kalian tadi, sepertinya kalian teman SMA?"
"Hm, memang begitu." Jawab Yang Jian.
Liu Zi melanjutkan: "Apa kamu tidak kuliah lalu kerja di Kota Dajing ini?"
"Kurang lebih begitu." Jawab Yang Jian tanpa mengangkat kepala, sekadar menanggapi sekenanya.
"Bekerja keras pasti melelahkan ya."
Liu Zi tersenyum manis: "Kenapa tidak mengulang tahun ajaran, berusaha masuk kampus? Setelah lulus nanti pekerjaan akan lebih mudah, setidaknya tidak sampai nganggur dan tidur di jalanan."
"Hah?"
Yang Jian tertegun, lalu mengangkat kepala perlahan: "Kapan aku nganggur sampai tidur di jalanan?"
"Jangan bohong. Aku besar di sini, sudah sering lihat pekerja migran seperti kamu. Sekilas lihat saja sudah ketahuan, pasti kamu nganggur dan kehabisan uang sampai mau menginap di trotoar."
Liu Zi berkata: "Saya benar-benar menyarankanmu kembali belajar lebih giat. Bekerja seperti ini tidak punya masa depan."
"Lihat Miao Xiaoshan, nilai ujian masuk perguruan tingginya sangat bagus, masuk kampus terbaik di Kota Dajing berkat usahanya sendiri. Kondisi keluarganya juga tidak lebih buruk dariku. Orang seperti ini saja masih berusaha, kenapa kau tidak berusaha?"
Nada bicaranya penuh kesombongan.
Tapi di hadapan Yang Jian, Liu Zi memang memiliki hak untuk bersikap demikian.
Dia muda cantik, mahasiswi kampus ternama, berasal dari keluarga kaya. Dibandingkan pekerja kantoran biasa, jelas berbeda kelas. Meski memuji Miao Xiaoshan, secara tidak langsung dia juga memuji diri sendiri.
"Oh." Yang Jian hanya menjawab sekadarnya.
Oh?
Apa maksudnya ini?
Liu Zi tertegun sejenak, menatap Yang Jian dengan ekspresi aneh: "Sudah kukatakan segini banyak masih belum juga kau paham?"
"Memahami apa?" tanya Yang Jian penuh tanya.
"Tentu saja harapanku agar kau tidak mempengaruhi studi Miao Xiaoshan," jawab Liu Zi.
Yang Jian berkata: "Menurutku aku tidak akan mempengaruhi studinya. Hari ini hanyalah kebetulan."
"Bagaimana mungkin tidak? Jika kau sering menelepon mengajak Miao Xiaoshan keluar, bukankah itu pengaruhi dia? Walau aku bukan tipe yang ikut campur, tapi setidaknya kau harus punya syarat untuk berkencan. Aku tak mau Miao Xiaoshan ditipu orang." Liu Zi mendengus ringan sambil berbicara dengan nada samar.
Yang Jian menatapnya, berpikir sejenak lalu tersenyum: "Aku paham. Kau merasa teman sekamarmu yang kompeten ini jika berkencan dengan si pecundang miskin, kabarnya nanti akan membuatmu ikut malu, benar?"
Wajah Liu Zi sedikit berubah.
"Dia ini ternyata bisa menebak isi hati saya."
Menurutnya, orang kompeten harus bersama sesama kompeten. Kedepannya, baik pekerjaan maupun kehidupan bisa saling membantu. Jika bertemu orang yang tak berguna, hanya akan menurunkan kelasnya dan memengaruhi karier masa depan.
"Sebenarnya kau tak perlu begini. Aku dan kalian berbeda. Jika tak ada insiden, kita takkan pernah bersinggungan. Jadi aku bekerja, kau belajar. Ini baik-baik saja. Tapi hubunganku dengan Miao Xiaoshan adalah urusan kami. Kau yang bukan keluarga, langsung memberi ceramah, pantaskah ini?"
Yang Jian berkata: "Lagi pula mahasiswa, seharusnya punya sopan santun dasar. Tak tahukah bahwa orang yang suka menggurui itu paling dibenci?"
"Aku bermaksud baik menasihatimu. Tak dihargai malah dimarahi?" Liu Zi melirik sinis dengan ekspresi jijik.
"Bukan niat baik kan? Kok kata-katamu tadi menusuk telinga."
Yang Jian berkata: "Membandingkan keunggulanmu dengan kelemahan orang, lalu merasa menang total. Pantaskah ini?"
"Lalu apa kelebihanmu sebagai pekerja biasa dibanding aku?" Liu Zi langsung menyahut.
"Contohnya, aku bisa tinggal di Hotel Damai, kau tidak." Jawab Yang Jian santai.
"Gila kau! Tinggal di hotel biasa saja sombong? Kayaknya belum pernah nginep ya!" bentak Liu Zi kesal.
“Saat ini Miao Xiaoshan selesai berganti baju, mendekat dengan wajah penuh senyum: "Yang Jian, lihat, bagaimana? Cantik tidak?"
Sebuah gaun hijau muda membuat penampilannya terlihat segar dan elegan, memancarkan aura yang memikat.
"Sangat cantik."
Yang Jian mengabaikan perempuan bernama Liu Zi itu, lalu mengangguk: "Tapi waktu sudah malam, bukankah kau harus pulang? Tidak aman bagi perempuan jalan-jalan sendirian di malam hari. Kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk, kita tidak selalu seberuntung itu."
"Bukannya ada kamu yang menemani? Takut apa." Miao Xiaoshan menangkap makna tersirat perkataannya.
Yang dia maksud adalah kemungkinan bertemu peristiwa supranatural.
Yang Jian menjawab getir: "Ada hal-hal yang bahkan aku tidak bisa tangani. Aku bukan dewa. Lagipula beberapa hari ini ada urusan yang harus kuselesaikan. Kau tahu sendiri, pekerja seperti kami sering terikat tugas."
"Kalau... baiklah."
Miao Xiaoshan tampak kecewa, tapi segera menambahkan: "Tapi kamu harus kasih nomor telepon barumu. Pasti kamu sudah ganti ponsel, setiap kali aku nelpon selalu tidak tersambung."
"Begini saja, aku kasih nomor ponsel kerja. Kalau ada perlu, hubungi saja lewat ini." Setelah berpikir, Yang Jian memberikan nomor ponsel positioning satelitnya.
Nomor ini tidak menggunakan format standar, tapi memuat karakter khusus dan kode identifikasi.
Miao Xiaoshan heran melihat format aneh itu, mencoba menelepon sekali untuk memastikan bisa tersambung sebelum lega.
"Miao Xiaoshan, tunggu sebentar. Kita pulang bersama saja. Aku sudah telepon teman untuk menjemput." Tiba-tiba Liu Zi menyela.
"Tidak usah, biar Yang Jian saja yang mengantarku. Lagipula jarak ke kampus tidak jauh." Sahut Miao Xiaoshan.
"Sementara begitu, saya duluan ya. Hati-hati di jalan." Liu Zi berkata sambil melirik Yang Jian dengan jijik, lalu berbalik pergi.
Yang Jian juga tidak menghiraukan Liu Zi yang sombong itu. Ia heran bertanya, "Kenapa harus aku yang mengantarmu? Apa tidak lebih baik pulang bareng teman sekelasmu?"
"Tadi kau bilang takut ada musibah malam ini. Bukankah lebih aman kalau aku bersamamu?"
Miao Xiaoshan tertawa kecil, mendekat dan menarik lengan sang pemuda. "Ayo, bantu bayarkan dulu tagihanku. Belum pernah sekalipun memberi hadiah untukku. Hari ini kuberi kesempatan. Tuan tanah Kota Dachang pasti tidak pelit kan?"
"Aku memang terkenal rendah profil, semua orang tahu. Tapi kau kok tahu aku beruang?" Yang Jian mengusap kepalanya.
"Tanya saja teman baikmu Zhang Wei yang suka puji-pujian online. Aku sering nonton live streaming-nya. Waktu itu dia streaming di rumahmu, bilang ada hantu di lantai lima. Benar nggak sih?"
Wajah Yang Jian langsung memerah gelap.
Zhang Wei berani-beraninya menyusup ke lantai lima.
Memang benar ada hantu di sana. Cermin Hantu-nya disimpan di salah satu ruangan, bersama beberapa hantu lain yang dikurung.
Tampaknya harus mencari tempat aman baru untuk menyimpan barang-barang itu. Tidak boleh sembarangan lagi.
