"Pak, tolong antar kami ke Kabupaten Xiao'an." Yang Jian masih tetap pelit menggunakan kemampuannya, memilih naik taksi.
Sopir taksi langsung protes; "Jauh sekali? Tidak mau, tidak mau. Kalian sampai di sana, mobilku pasti kosong saat pulang. Aku bakal merugi. Cari mobil lain saja."
Yang Jian berkata; "Tambah bayaran, sepuluh ribu."
"Ayo naik." Sopir taksi langsung menyetujui.
"Kenapa sebelumnya kau tanpa ragu memberikan satu kuota ke Zhang Lei? Apa dia sepenting itu?" Di dalam mobil, Huang Ziya masih memikirkan kejadian tadi, tak kuasa bertanya.
Yang Jian memandang kota di luar jendela: "Ini keputusanku, tidak perlu kau tanyakan."
"Ya sudah kalau tidak boleh nanya." Huang Ziya mencibir: "Ngomong-ngomong, si Xiong Wenwen itu... Hm? Kok tidak kelihatan? Kan kau sangat menghargai anak bandel itu. Kehadirannya akan sangat membantu peningkatan tim kita."
"Dia dibawa Li Jun. Sekarang mungkin... sudah mati." Yang Jian berpikir sejenak lalu berkata.
Huang Ziya heran: "Li Jun berani merebut orang dari tanganmu?"
Yang Jian menatapnya; "Bukan Li Jung, tapi ibunya Xiong Wenwen yang menolakku. Kemudian terbujuk oleh Li Jun, jadi bergabung dengan tim Li Jun. Aku baru saja dari rumah Xiong Wenwen."
“Apa ibunya menyesal?” Huang Ziya bertanya.
“Tentu saja.”
Yang Jian berkata: “Prinsip Li Jun dan saya berbeda. Saya hanya ingin bertahan hidup lebih baik, sedangkan dia rela menghadapi bahaya hidup dan mati demi markas untuk menyelesaikan berbagai masalah rumit. Jadi Xiong Wenwen akan cepat mati jika mengikutinya. Lambat laun ibunya pasti akan menyesal, hanya saja tidak menyangka penyesalannya datang secepat ini.”
“Sayang sekali, waktu itu ibunya seharusnya memilih agar Xiong Wenwen mengikuti kamu.” Huang Ziya menghela nafas.
“Kenapa harus disayangkan? Mengikuti saya pun belum tentu 100% aman.” Kata Yang Jian.
Saat mereka berbincang, sopir taksi itu mulai bertingkah mencurigakan. Lewat kaca spion, ia terus melirik ke belakang, tatapannya tertahan pada tubuh Huang Ziya, seolah terpikat olehnya. Ekspresi kagum terpancar dari matanya, sampai beberapa kali hampir menabrak mobil depan karena tidak fokus menyetir.
“Sopir Kakak, apa belum pernah lihat cewek secantik saya? Tapi kalau menyetir sembarangan seperti ini, komandan saya pasti tidak senang. Jadi tolong fokuskan perhatianmu, soalnya saya juga tidak ingin ada masalah di jalan.” Huang Ziya menoleh sambil tersenyum manis.
Tampaknya seperti peringatan, tapi sebenarnya ancaman terselubung.
“Batuk-batuk, maaf, maaf.” Muka sopir tua itu memerah sambil buru-buru meminta maaf.
“Komandan, kenapa terus menatap ke luar jendela? Dari tadi sampai sekarang begitu. Masa sih saya kalah menarik dibanding gedung-gedung di luar?” Huang Ziya kembali bertanya.
“Yang Jian mengernyitkan alut berkata; "Kota ini mulai tidak beres, sejak pagi tadi sudah begini, sekarang perasaan ini semakin kuat."
"Benarkah? Aku tidak merasakan apa-apa, hanya cuaca agak mendung, tapi ini musim dingin juga wajar." Huang Ziya berkata.
"Gedung di depan itu, lantai 13, jendela paling kiri, lihatlah baik-baik." Tiba-tiba tatapan Yang Jian menajam.
Huang Ziya penasaran mendekat, mengangkat kepala melihat ke arah gedung tersebut.
Itu adalah gedung komersial biasa.
Di lantai 13 gedung itu, beberapa jendela kaca terbuka. Tapi di jendela paling kiri yang terbuka, samar-samar terlihat seseorang berdiri. Awalnya Huang Ziya mengira penglihatannya yang bermasalah, namun saat taksi terus melaju ke depan, dan di jendela sebelah muncul sosok lain, barulah bola matanya menyempit tajam.
Meski hanya terpisah satu jendela, Huang Ziya melihat jelas: di sebelah ada seorang pria berkemeja jas, mengenakan kacamata hitam, memegang cangkir kopi sambil menatap ke kejauhan.
Sedangkan sosok di jendela paling kiri yang ditunjuk Yang Jian tetap buram, fitur wajah tak bisa dibedakan, hanya bisa dikira-kira dari postur tubuh dan warna baju bahwa itu mungkin seorang wanita.
Wanita itu berdiri kaku di depan jendela bagai patung, ruangan di belakangnya gelap gulita tanpa cahaya, suram dan ganjil.
Sekilas dilihat, jendela di dinding itu persis seperti bingkai lukisan tua, sang wanita adalah sosok di dalam bingkai itu.
"Benar, Lukisan Hantu..." Huang Ziya menutupi mulutnya, hampir berteriak histeris.
Yang Jian tergeletak di pintu mobil, menopang kepala sambil memandangi area tersebut; "Sepertinya tidak salah, ini lukisan lagi, dan benda di dalam lukisan itu sudah keluar. Artinya barang itu sedang meretas dunia nyata."
"Kenapa bisa begini? Bukannya markas terus mengirim orang untuk menanganinya?" Huang Ziya berbisik dengan suara tertekan, seluruh tubuhnya menegang.
Peristiwa gaib Tingkat S, di kalangan lingkaran sosial juga disebut sebagai kasus tak terpecahkan.
Para Pengendali Hantu yang terperangkap di dalamnya saja sulit bertahan hidup, apalagi menyelesaikan kasus ini.
Sebagai pendatang baru, Huang Ziya sama sekali tidak berani terlibat dalam urusan seperti ini.
Saat Guicha menyerang pangkalan pelatihan sebelumnya, dia sudah trauma. Hingga sekarang masih ada bayang-bayang di hatinya.
"Kalau semudah itu diatasi, tim dari luar negeri tidak akan dihabisi semua." Tatapan Yang Jian bergetar lemah, dia teringat mayat-mayat berserakan di gedung dalam dunia Lukisan Hantu.
Hantu langkah kaki yang mondar-mandir di tangga kayu, Hantu Penghadang Pintu yang duduk di ruangan... Semua hantu ini diduga merupakan sisa-sisa para Pengendali Hantu yang tewas.
Barang-barang ini sudah cukup membuktikan apa yang sebenarnya terjadi di dalam Lukisan Hantu dulu.
"Jadi kali ini, meski terlihat seperti mencari Feng Quan dan Tong Qian, sebenarnya kita sedang kabur diam-diam?" Huang Ziya berbisik dengan rasa bersalah layaknya pencuri.
Dia merasa komandan timnya ini benar-benar jenius.
Kedok sebaik ini saja bisa terpikirkan.
"Yang Jian melirik: 'Ini disebut kabur? Kali ini aku sudah banyak berkontribusi di sini. Urusan pangkalan pelatihan kan aku yang urus, saat aksi Wang Xiaoming terjebak, aku juga yang menyelamatkan. Belakangan aku bahkan menangani beberapa lukisan secara gratis... Sekarang giliran mereka berkontribusi, bukankah ini adil?'"
"'Sudah jadi komandan tim tapi tidak terlibat dalam beberapa peristiwa Tingkat S, mana bisa dapat pengakuan? Menurutku, berikutnya Cao Yang, Li Leping, Liu San pasti tidak bisa kabur. Kalau bukan karena Jiang Shangbai sudah kuhabisi, pasti dia juga akan jadi sorotan utama.'"
Maka kali ini dia kabur dengan bangga, sama sekali tidak merasa bersalah.
"'Ada benarnya.' Huang Ziya seketika memicingkan mata sambil tersenyum: 'Jadi kali ini aku ikut diuntungkan?'"
"'Bisa dibilang begitu. Urusan ini tak mungkin jatuh ke kalian para pendatang baru. Markas besar tidak sebodoh itu, pasti akan mengirim orang-orang termasyhur untuk menanganinya.' Yang Jian menggelengkan kepala."
"'Tunggu, aku mau menelepon dulu.'"
Tiba-tiba dia teringat sesuatu, lalu langsung mengambil ponsel dan mulai memutar nomor.
Yang Jian ingin menghubungi Miao Xiaoshan.
Pada saat ini.
Miao Xiaoshan sedang bermain Dou Dizhu di kamar tidur bersama teman sekamar Liu Zi dan Sun Yujia untuk mengisi waktu. Karena kejadian sebelumnya, mereka terpaksa berhenti les sementara sehingga akhir-akhir ini sangat santai. Sebenarnya hari ini rencananya mau main bulu tangkis, tapi karena cuaca buruk akhirnya dibatalkan.
"Driiiing-driiiing."
Tiba-tiba ponsel Miao Xiaoshan berdering.
"'Ini Yang Jian! Cepat lihat, Yang Jian menelepon!'"
Di samping, Liu Zi yang tajam matanya langsung melihat notifikasi panggilan masuk. Dengan panik dia melempar kartu di tangannya dan buru-buru mengambil ponsel.
"Cepat, cepat bilang ke Yang Jian! Aku dan Sun Yujia ingin mentraktirnya makan. Aku juga mau mengajaknya jalan-jalan keliling kota..."
Miao Xiaoshan menerima ponsel sambil mengerutkan alisnya. "Yang Jian biasanya tidak menghubungiku. Seperti yang dia katakan sebelumnya, kalau sekarang menelepon pasti ada urusan penting. Lupakan soal makan-makan."
"Ini kan kesempatan emas. Kalau pas, kamu usulkan saja," kata Liu Zi.
Sun Yujia di samping menambahkan dengan malu-malu: "Aku memang harus berterima kasih padanya karena sudah menyelamatkanku waktu itu. Tapi Xiaoshan, jangan salah paham, aku cuma ingin mengungkapkan rasa terima kasih saja."
Miao Xiaoshan memberi isyarat diam: "Aku angkat teleponnya."
Suara Yang Jian langsung terdengar: "Ini aku, Yang Jian."
"Hm, aku tahu," jawab Miao Xiaoshan lembut. "Ada apa kamu menelepon sekarang?"
"Ada sesuatu yang penting."
Yang Jian melanjutkan: "Aku tidak ingin kau mengalami musibah. Karena itu, dalam dua hari ini sebaiknya kau meninggalkan kampus. Ajukan cuti atau bahkan berhenti sementara. Pulang saja ke Kota Dachang, atau menginap di rumah kerabat. Jangan tinggal di sini sampai situasi aman."
Dia yakin hantu dari Lukisan Hantu sudah mulai menyusup ke sudut-sudut kota. Artinya mulai sekarang, bahaya bisa muncul di mana saja.
Meski lukisan di kampus sudah ditangani, bukan tidak mungkin hantu dari lukisan lain akan muncul.
“Seserius itu?” Miao Xiaoshan terlihat terkejut.
“Tidak jelas, mungkin tidak seserius yang kubayangkan, tapi aku hanya melakukan antisipasi lebih awal. Selain itu, hari ini aku akan meninggalkan tempat ini. Jadi jika terjadi situasi di sana, aku mungkin tidak bisa langsung datang. Oh ya, lilin itu jangan lupa disimpan, barang itu bisa menyelamatkan nyawa saat bahaya datang," kata Yang Jian.
Miao Xiaoshan mengangguk, "Baik, aku mengerti. Aku akan segera membereskan barang dan mengajukan cuti untuk pergi dalam dua hari ini."
"Hm, segitu dulu," kata Yang Jian sebelum langsung mematikan ponsel.
"Apa yang dikatakan Yang Jian?" Liu Zi membelalakkan matanya penuh rasa ingin tahu.
Miao Xiaoshan dengan cemas berkata, "Dia menyuruhku meninggalkan kampus dan kota ini, pergi ke tempat lain untuk sementara waktu. Dia takut ada bahaya di sini, dan dia sendiri juga akan pergi dari sini."
"Apa? Lalu kenapa kita masih diam di sini? Cepat berkemas dan pergi!" Liu Zi langsung melompat dari ranjang sambil mencari ponselnya panik, berusaha menghubungi keluarga.
Ini adalah informasi dalam yang sangat penting.
"Haruskah kita mengajukan cuti dulu? Langsung pergi begitu saja sepertinya kurang baik," kata Sun Yujia yang berdiri di samping dengan ragu.
"Pergi dulu baru mengajukan cuti. Lagipula sekarang tidak ada kuliah, tidak masalah," ujar Liu Zi.
Miao Xiaoshan mengangguk, "Ada benarnya. Tapi kalian sudah punya rencana mau ke mana?"
Liu Zi segera berkata: "Aku sudah memutuskan, keluarga saya membeli sebuah vila di kota terdekat yang biasanya kosong. Kita bisa tinggal sementara di sana. Miao Xiaoshan, kamu juga jangan pulang ke kampung halaman. Ikutlah bersama kami, agar kita bisa saling menjaga..."
Dia merasa harus membawa Miao Xiaoshan kabur bersama bagaimanapun caranya, kalau tidak hatinya tidak akan tenang.
Siapa yang menyangka di balik Miao Xiaoshan berdiri sosok penting seperti itu.
"Tak kusangka kau cukup peduli pada orang lain. Dari suaranya tadi sepertinya seorang gadis? Apakah itu pacar Komandan?" Huang Ziya bertanya sambil tersenyum di dalam mobil.
"Bukan, hanya teman biasa saja," jawab Yang Jian.
"Aku tidak percaya. Teman biasa mana mungkin sampai kau perhatikan begitu detail?" sahut Huang Ziya.
Yang Jian berkata: "Kalau kau suka bertanya macam-macam, lebih baik turun saja sekarang. Untuk apa ikut aku ke sini?"
"Kalau Komandan tidak suka aku banyak tanya, ya aku tidak akan tanya lagi." Huang Ziya menyisir rambut lebat di pipinya lalu memainkan kalung kristal murah di lehernya.
Sopir taksi yang mendengar percakapan mereka merasa bingung karena beberapa hal tidak dipahaminya, memilih fokus menyetir saja.
Begitu mobil meninggalkan pusat kota, kegelisahan dalam hati Yang Jian perlahan menghilang.
Kelopak matanya yang berkedut-kedut juga mulai normal kembali.
"Jangkauannya luar biasa luas." Yang Jian melihat peta. Dari Hotel Damai di pusat kota sampai jalan tol di pinggiran kota ini, sensasi aneh itu baru benar-benar lenyap.
Ini menunjukkan pengaruh Lukisan Hantu melampaui perkiraan.
Karena kota ini jauh lebih besar dibanding Kota Dachang.
