Di kawasan baru Kota Dachang, tepatnya di Kompleks Perumahan Guanjiang, berdiri sebuah vila mewah lima lantai.
Baru sore hari, bulan belum sepenuhnya gelap, namun seluruh lampu di dalam dan luar vila sudah dinyalakan. Area sekitarnya terang benderang bagai siang hari, mudah terlihat dari kejauhan dan sangat mencolok.
Di dalam vila.
Seorang wanita perlahan turun dari lantai atas. Wanita berusia sekitar 27-28 tahun ini mengenakan gaun rajutan panjang dan sepatu hak tinggi hitam. Tubuhnya berlekuk proporsional dengan lekukan menakjubkan di bagian depan, memancarkan aura kewanitaan yang kuat. Senyum manis menghiasi wajah cantiknya.
"Jiang Yan, apa kau baru saja menerima pesan dari Bos Yang?" tanya Zhang Liqin sambil berjalan.
Jiang Yan yang sedang duduk di sofa menonton TV sambil menyantap jajan segera membuka ponsel: "Tidak, aku tidak menerima pesan dari Yang Jian."
Zhang Liqin merapikan rambut di dekat telinganya: "Aku baru menerima pesan Bos Yang. Dia meminta kita menjemputnya di Bandara Utara sebelum pukul delapan. Dia sudah kembali dari dinas luar."
"Apa? Benarkah?" Jiang Yan langsung mengangkat kepala dengan ekspresi terkejut.
"Sepertinya benar. Perlu kutelepon untuk memastikan?" ujar Zhang Liqin.
Jiang Yan cepat-cepat menggeleng: "Jangan, jangan! Lebih baik tidak sembarangan meneleponnya. Kalau Yang Jian sudah mengirim SMS pasti benar. Sekarang jam berapa? Aku harus cepat ganti baju. Kak Qin, tolong keluarkan mobil dan parkirkan di depan pintu. Aku akan siap segera!"
Sambil berkata demikian, dia buru-buru lari ke kamarnya.
Kamar Jiang Yan sekarang sudah pindah ke lantai satu, menurutnya ini untuk berjaga-jaga jika suatu hari menghadapi keadaan darurat, dirinya bisa lari lebih cepat.
"Cepat sedikit." Zhang Liqin berteriak, lalu mengambil kunci mobil dan mengeluarkan SUV mewah itu dari garasi.
Bicara soal mobil ini, di hatinya dia masih merasa agak bersalah. Dulu saat masih menjadi sales, demi mendapat komisi kecil, dia sedikit membius Jiang Yan yang tidak paham mobil.
Hasilnya belakangan, bos mati, komisi tidak didapat, malah kehilangan pekerjaan.
Mengingat pengalaman di masa itu, Zhang Liqin sampai sekarang masih trauma. Satu-satunya keberuntungan adalah mengenal Yang Jian.
"Sepertinya sekarang aku seperti bonus yang dikasih gratis saat beli mobil." Pikir Zhang Liqin yang sedang duduk di mobil.
Tidak lama kemudian.
Jiang Yan keluar. Dia memakai sweater wol dengan syal di leher, rok pendek di bawah, memperlihatkan sepasang kaki indah yang ramping sempurna, penuh vitalitas masa muda.
"Ini kan musim dingin, tidak kedinginan?" tanya Zhang Liqin.
"Bukannya mobil ada AC? Lagipula aku pakai kaos kaki panjang yang hangat." Jawab Jiang Yan penuh keyakinan. Dia harus tampil cantik saat menjemput orang.
"Cepetan berangkat! Kalau terlambat pasti aku dimarahi."
Zhang Liqin mengangguk, lalu segera mengemudi.
Di waktu yang sama.
Pesawat yang ditumpangi Yang Jian sudah mencapai langit Kota Dachang dan mulai turun.
Anak hantu itu telah ia masukkan ke dalam tas barang untuk dikirim sebagai bagasi, tidak dibawa serta. Lagipula, harus menutupi mata orang, bisa menyelundupkannya kembali diam-diam saja sudah bagus. Ia juga tak ingin sembarangan menggunakan kemampuan hantu gentayangan. Selama masih ada cara untuk menyelesaikan masalah, sebisa mungkin dicarikan solusi.
Turun dari pesawat, mengambil barang bawaan.
Yang Jian tetap tidak melepaskan anak hantu itu, melainkan membawa tas barangnya keluar dari aula utama bandara.
"Ternyata tak ada yang menjemputku, apakah informasi yang kukirim terlambat?"
Matanya menyapu sekeliling, banyak orang yang menjemput, tapi tak ada yang dikenalnya.
"Adik, perlu tumpangan mobil? Harganya murah." Tak lama kemudian, seorang tukang ojeg mendekat sambil berusaha mengambil paksa tas barang dari tangan Yang Jian.
Yang Jian menatapnya: "Apa maksudmu? Mengapa kau merampas barangku?"
"Mobilnya parkir di seberang jalan sana. Aku cuma bantu bawa barangmu," ujar pria paruh baya itu sambil terkekeh.
"Tak perlu. Aku sedang menunggu seseorang." Yang Jian menolaknya.
"Menunggu di tengah malam begini merepotkan. Cuaca dingin begini kita semua susah. Lihat, aku sudah bawa tasmu, cepatlah naik. Harganya kubuat murah untukmu." Pria paruh baya itu tetap membawa tas Yang Jian sambil berjalan mendahului.
Terlihat jelas maksudnya memaksa transaksi.
Yang Jian yakin jika ia naik mobil itu, pasti akan diperas habis-habisan sebagai orang bodoh yang mudah ditipu.
"Cara berbisnismu tak bisa dibenarkan. Sudah kukatakan aku sedang menunggu. Kenapa kau malah membawa lari barangku?"
“Pemuda kok bertele-tele, naik mobil saja segini ribet. Dapat untung dikit darimu susah amat. Udah kubilang kasih diskon, Nak cepatlah naik. Mobil siapa pun sama saja, jarang-jarang kita ketemu. Lagipula barang bawaanmu ini terlalu berat, susah kubantu angkat.”
Pria paruh baya itu berwajah tebal, tak sedikit pun berniat mengurungkan transaksi ini.
Yang Jian tak punya cara lain. Tak ingin meladeninya, terpaksa memilih naik mobilnya.
“Yang Jian, sini! Kami di sini.” Jiang Yan muncul tiba-tiba. Melihat Yang Jian, dia melambaikan tangan dari jauh.
Zhang Liqin di sebelahnya tersenyum pada Yang Jian.
“Baru datang sekarang?” Yang Jian melihat jam, merasa mereka agak berlambat-lambat.
“Kakak, temanku sudah menjemput. Tak bisa naik mobilmu. Tolong turunkan barang saya.”
Lanjutnya lagi.
“Ada yang jemput ngomong dari tadi! Ganggu bisnis orang!” Pria paruh baya itu marah-marah melempar tas berat ke tanah.
Braak!
Tas itu jatuh, seolah ada sesuatu yang terlepas dan menghantam kakinya.
Pria itu menunduk, matanya langsung terbelalak.
Sepotong emas batangan.
Melihat si pemuda tak memperhatikan, dia buru-buru memungut benda itu.
“Kayaknya asli.” Genggaman tangannya terasa berat, jantungnya berdebar kencang.
Harga emas sedang melambung. Satu batang ini nilainya minimal sepuluh miliar.
Kaya mendadak.
Dia bergerak cepat, segera ingin menyembunyikan emas batangan yang terjatuh ini. Asalkan tidak ketahuan, itu akan menjadi miliknya. Namun ketika dia benar-benar akan memasukkannya ke saku, tiba-tiba sebuah lengan kebiruan kehitaman muncul dari dalam tas barang dan mencengkeramnya.
Rasa dingin yang menusuk merambat ke seluruh tubuhnya melalui lengan baju, seolah semua kehangatan dalam tubuhnya akan tersedot, membuatnya gemetar tak tertahankan.
Entah sejak kapan ritsleting tas barang di lantai itu terbuka.
Seorang anak kecil dengan penampilan ganjil menyembulkan kepalanya, menatapnya dengan sepasang mata merah menyala.
Hantu?
Wajah pria paruh baya itu langsung pucat pasi melihat pemandangan ini. Seluruh tubuhnya membeku, pikirannya seperti macet total, tubuhnya kehilangan kemampuan untuk bergerak, hanya bisa berdiri kaku di tempat.
Anak hantu itu mengulurkan lengan hitam kebiruan lainnya. Telapak tangan dinginnya membuka jari-jari pria paruh baya itu, mengambil kembali emas batangan dan memasukkannya ke dalam tas, baru kemudian melepaskan cengkeramannya.
Akhirnya anak hantu itu menyusut kembali ke dalam tas barang dan menutup ritsletingnya.
Tapi masih menyisakan celah kecil.
Sebuah bola mata merah ganjil mengintip keluar melalui celah ritsleting itu, mengamati segala sesuatu di sekitarnya.
Baru saat itulah pria paruh baya itu menyadari apa sebenarnya isi tas barang yang dia bawa selama ini.
Seorang anak hantu?
Ya ampun.
Dia menangis ketakutan, nyaris ketakutan setengah mati. Sambil merintih dan mengompol, dia merangkak sambil bergegas kabur.
Di sisi lain.
Jiang Yan berlari ke depan Yang Jian, memeluknya dengan hangat, mengangkat wajahnya yang cantik dan indah sambil tersenyum cerah; "Sudah dinas luar begitu lama, apakah kau merindukanku?"
Gerak-gerik mereka terlihat seperti pasangan yang sedang dimabuk cinta.
"Aku tidak merindukanmu, sama sekali tidak." Kata Yang Jian dengan terus terang.
Dalam perjalanan kali ini dia hampir mati di luar, bahkan tidak hanya sekali menghadapi bahaya mengerikan, mana ada perasaan untuk memikirkan Jiang Yan.
"Pasti kau bohong, bicaralah sesuai hati nurani. Ada cewek cantik seperti aku menunggumu di rumah, masak tidak rindu?" Jiang Yan tampak penuh keyakinan.
Yang Jian berkata: "Untuk apa kau memelukku begitu erat? Masih belum mau melepas?"
"Tidak akan kulepas, aku akan terus memelukmu seperti ini sambil pulang bersama." Jiang Yan merengek manja.
“……”
Yang Jian menatap Zhang Liqin di samping: "Dia tiba-tiba jadi seperti ini, atau memang selalu begini? Apa ada sesuatu yang memprovokasi biasanya?"
Zhang Liqin tersenyum, menjawab: "Bos Yang, Jiang Yan biasanya tidak seperti ini. Pasti karena merindukanmu baru berubah begitu."
Setelah berkata demikian, tatapannya tetap tertuju pada tubuh Yang Jian, membawa amarah yang terkontrol.
Dia tahu sebenarnya tidak ada hubungan khusus antara Jiang Yan dan Yang Jian.
