Siang hari.
Sebuah mobil off-road mewah melesat keluar dari pusat kota Dachang, menuju sebuah kota kecil di sekitarnya.
Di kursi kemudi, Yang Jian menopang kepala dengan satu tangan sambil memegang setir, memandangi jalanan familiar yang berlarian di depan matanya sambil terus merenungkan sesuatu.
Di kursi penumpang depan sebelahnya, Jiang Yan berdandan natural dengan riasan muda menawan, senyum tipis mengambang di sudut bibirnya - kontras sekali dengan penampilannya pagi tadi yang sedih dan ingin mati. Meski tak banyak bicara di perjalanan, sorot matanya terus mencuri pandang ke arah Yang Jian.
Dia merasa hubungannya dengan Yang Jian telah melangkah lebih jauh setelah hari ini, sebuah lompatan besar dalam hubungan mereka.
Tak lama kemudian.
Yang Jian tiba di kota kabupaten dengan mobilnya.
Kecepatan mobil mulai berkurang karena jalanan kota dipadati kendaraan dan pejalan kaki.
"Sudah sampai rumah?" Jiang Yan buru-buru bertanya.
"Belum. Ada desa di seberang kota kabupaten ini, kampung halamanku. Dulu jarang pulang, cuma saat Tahun Baru Imlek. Tak perlu dipikirkan, ini cuma formalitas," kata Yang Jian.
Jiang Yan tertawa kecil: "Aku tahu, tapi di hati aku tetap sangat menaruh perhatian pada kali ini. Menurutmu riasan wajahku hari ini bagaimana? Ganti gaya yang lebih muda dan imut, suka nggak?"
Usai bicara, dia melontarkan sorotan mata genit, berpura-pura terlihat manis dan patuh.
Yang Jian tetap tak bergeming: "Penampilanmu yang mana lagi yang belum kulihat? Cukup sampai di sini saja, lagipula tidak ada orang penting yang harus kita temui. Ayahku sudah lama meninggal, sementara ibuku sudah sering kamu temui."
"Lalu bagaimana kesan Bibi terhadapku? Apa dia cukup puas?" Ekspresi Jiang Yan berubah, bertanya dengan penuh antisipasi.
"Tidak begitu. Kesannya tentangmu sangat buruk. Dia bilang kamu pemalas, rakus, dan sering terlambat kerja. Jadi Ibu lebih menyukai Zhang Liqin. Kali ini sesuai keinginan Ibu, seharusnya aku membawa Zhang Liqin." Jawab Yang Jian.
"Ah?"
Wajah Jiang Yan langsung muram.
Tidak disangka kesannya di mata Bibi begitu jelek. Pantas saja sehari-hari Bibi jarang mengajaknya bicara, malah lebih sering mengajak Zhang Liqin duduk ngobrol di depan TV.
"Lalu kenapa kamu tidak bawa Kak Qin kesini?" Jiang Yan mencibir.
"Kamu lebih cocok." Sambung Yang Jian sambil tiba-tiba menginjak rem, menghentikan mobil.
Jiang Yan terhentak: "Ada apa? Depan tidak ada mobil. Kenapa rem mendadak begitu?"
"Melihat seseorang." Tatapan Yang Jian bergetar lemah, menatap ke arah jalanan melalui jendela mobil.
Di sepanjang jalan, ada sekelompok pemuda yang sangat muda sedang mengejar dua perempuan berusia 15-16 tahun di depan mereka dan perlahan-lahan berlari ke arah sini. Tampaknya terjadi konflik dan kontradiksi, hanya saja Yang Jian tidak mengenal para pemuda spiritual ini - dia tidak punya kenalan di daerah sini.
Satu-satunya yang terlihat agak familiar adalah gadis yang berlari paling depan.
Posturnya tidak tinggi, kulitnya agak gelap tidak terlalu pucat bersih, tapi wajahnya imut. Saat berlari, dia malah mengeluarkan tawa gugup yang aneh, seolah sama sekali tidak takut pada gerombolan yang mengejarnya.
"Sialan! Tabrak orang lalu kabur? Jangan kira aku tidak akan memukulmu karena kau perempuan! Kalau tidak ganti rugi dan minta maaf, hari ini urusan ini belum selesai!"
Seorang pemuda muda berkata dengan penuh amarah.
"Dia?" Yang Jian berhenti sejenak, baru teringat di benaknya.
Pantas saja terlihat familiar.
"Siapa? Kerabat?" Jiang Yan penasaran melihat sekeliling, tapi tidak tahu siapa yang dimaksud Yang Jian.
"Bibiku. Meski jarang bertemu, kalau tidak salah ingat namanya... Liang Yuan. Tapi dulu aku selalu memanggilnya Xiao Yuan. Kau parkirkan mobil dulu, aku akan mendatangi mereka." Sambil berkata demikian, Yang Jian sudah turun dari mobil dan bergegas ke sana.
"Aduh capek... Tidak kuat lari lagi. Aku benar-benar kecapekan," teman perempuan Xiao Yuan yang juga ikut berlari terengah-engah, fisiknya sudah mencapai batas maksimal dan benar-benar tidak sanggup melanjutkan.
“Dasar, kok cepat sekali sudah tidak bisa? Saya masih bisa lari jauh lho. Kalau kau sudah tidak kuat, saya juga berhenti.” Xiao Yuan tertawa riang, dia berhenti menunggu temannya terengah-engah beristirahat.
Begitu berhenti, para pemuda yang mengejar mereka segera mengepung.
“Naik sepeda tapi tidak lihat jalan, malah nabrak kerumunan kami. Matamu buta ya? Sekarang tertangkap basah, bagaimana ini kau hitung?” Pemuda yang tertabrak itu menunjuk kakinya, bekas ban terlihat jelas.
Sampai sekarang masih terasa sakit.
Xiao Yuan masih tersenyum: “Kalau begitu saya minta maaf.”
“Sial, cuma minta maaf saja? Kalau tidak mengganti biaya kerugian spiritual kami, jangan harap bisa pergi!” Pemuda itu langsung menggenggam pergelangan tangannya.
“Tapi saya tidak punya uang. Lagipula tadi saya mengayuh sepeda sambil memejamkan mata, cuma ingin melihat apakah benar-benar bisa menabrak kalian... Ternyata kalian benar-benar bodoh, tidak tahu menghindar. Kalau tadi saya mengemudi mobil, pasti kalian semua sudah mati kaku.”
Xiao Yuan tetap tersenyum saat berbicara, namun makna tersirat dalam ucapannya sungguh-sungguh.
Membuat orang merasakan hawa dingin yang mengerikan, seolah tadi dia benar-benar berani menabrak dengan mata tertutup.
Apakah ini orang gila?
Atau mungkin ada sedikit keanehan-keanehan kecil?
“Nak itu langsung tertegun, jelas-jelas tidak menyangka perempuan ini akan mengucapkan kata-kata seperti itu, seketika menjadi kesal.
“Terserah kau bagaimana, hari ini wajib mengganti uang, aku tidak percaya kau tidak membawa uang.” Sambil berkata demikian, dia mulai bersiap menggeledah tubuhnya.
Xiao Yuan masih tertawa kecil: “Ibu saya bilang, badan gadis tidak boleh sembarangan disentuh cowok, saat di luar harus belajar melindungi diri sendiri. Kalau kau seperti ini, aku tidak akan sungkan-sungkan padamu.”
Sambil berbicara, dari tangannya tiba-tiba muncul pisau bedah tajam, lalu tanpa ragu langsung menusuk ke arah cowok di depannya.
Cepat dan tepat, seolah telah melalui pelatihan berulang kali.
“Xiao Yuan, apa yang kau lakukan?” Suara dingin tiba-tiba bergema di sekitar, sepertinya mereka tidak menyadari ada seseorang yang mendekat tiba-tiba.
Sebuah telapak tangan bersarung tangan dengan cepat menangkap pergelangan tangan yang memegang pisau kecil itu, menghentikan aksi gila-gilaan Xiao Yuan.
Xiao Yuan tertegun, melihat Yang Jian, lalu bersemangat dan gembira: “Sepupu, kenapa kamu di sini? Kapan kamu kembali?”
Sambil berbicara, pisau bedahnya dengan santai jatuh ke lantai.
Ekspresi keanehan-keanehan kecil di wajahnya juga menghilang, berubah menjadi senyum manis ala gadis normal.
“Dia... agak tidak beres.” Tatapan Yang Jian terus menatap Xiao Yuan.
"Bibi yang tidak bertemu selama satu tahun ini karakternya tidak berubah, tapi tadi, seolah berganti orang, sangat asing. Dan sikapnya yang ingin bertindak tadi, begitu tajam dan tidak pantas, bagaikan seorang pembunuh dingin sedang menghabisi target di hadapannya."
Bagi seorang gadis biasa, ini adalah hal yang tidak terbayangkan.
"Xiao Yuan, ada masalah apa denganmu akhir-akhir ini?" Yang Jian langsung bertanya.
"Tidak ada. Hari ini aku jalan-jalan ke kota bersama teman, sangat senang. Tidak ada masalah." Xiao Yuan heran; "Kenapa, sepupu, untuk apa kau tanya ini?"
Sepertinya dia sama sekali tidak menyadari perbuatan yang baru saja dilakukannya.
"Lalu kenapa tadi kau menusuk orang dengan pedang?" tanya Yang Jian.
"Ini tidak normal? Mereka mau menggangguku, aku melawan. Bukankah kau yang mengajariku? Perempuan tidak boleh ditindas di luar." kata Xiao Yuan.
“……”
Yang Jian bersumpah sama sekali tidak pernah mengajarinya seperti itu.
"Masalah ini kita kesampingkan dulu." Kemudian dia menatap si pemuda di hadapannya.
Dari tadi dia sudah paham sedikit, sepertinya Xiao Yuan yang salah, sengaja menabrak orang dengan bersepeda sambil memejamkan mata, entah sedang gila atau terpengaruh sesuatu.
"Maaf, saya sepupunya. Saya yang akan bertanggung jawab. Tadi Xiao Yuan salah. Kalian ingin bagaimana?" kata Yang Jian.
"Bagaimana? Tentu minta ganti rugi." Si pemuda itu memandangi Yang Jian dengan perasaan bersalah yang tak jelas asalnya.
Padahal orang di depannya ini cukup sopan dan ramah, mengapa dirinya merasa panik?
Yang Jian mengangguk dan berkata: "Tentu saja, kau mau minta ganti rugi berapa?"
"Seribu yuan."
"Baik, tidak masalah. Keluarkan ponselmu, aku akan transfer sekarang." Tanpa basa-basi, Yang Jian langsung membayar ganti rugi.
"Lain kali suruh Bibimu lebih hati-hati jalan. Kalau ketemu lagi, tidak akan segampang ini kami melepaskan kalian." Melihat sikap Yang Jian yang begitu murah hati, pemuda itu tidak memperpanjang masalah. Setelah menerima uang, ia pergi sambil berencana menghabiskan uang itu untuk berpesta dengan saudara-saudaranya.
Namun belum sempat dia pergi jauh.
Tiba-tiba, Xiao Yuan di sampingnya tertawa kecil: "Dia benar-benar sial, sebentar lagi akan mati lho."
"Apa katamu?" Yang Jian berbalik badan menatapnya.
"Bukan apa-apa, Kak. Sepedaku rusak, antarkan aku pulang ya? Tapi sebelumnya, aku mau makan dulu. Traktir aku, setuju?" Xiao Yuan tersenyum manis sambil menarik lengan Yang Jian.
Yang Jian berkata: "Baik, ini temanmu? Ikutlah bersama."
"Aduh, tidak enak rasanya..." Gadis itu yang pemalu terlihat sangat sungkan.
"Tidak apa, anggap saja ini permintaan maafku atas kelakuan Xiao Yuan tadi. Tadi dia benar-benar bertindak sembarangan." Kata Yang Jian tanpa tedeng aling-aling menunjuk kesalahan mereka.
"Kalau begitu... terima kasih banyak."
"Ayo pergi."
Xiao Yuan menarik Yang Jian dan temannya sambil berjalan riang menuju jalan di sekitarnya.
Saat itu, Yang Jian menundukkan kepala untuk melihat.
Di lengan putih ramping Xiao Yuan yang semula mulus, kini terlihat bercak-bercak memar menyerupai bercak mayat, seolah dicengkeram sesuatu dengan kasar.
“Benar ada masalah.” Hati Yang Jian sedikit tertekan.
Ini bukan ilusi, tapi kepastian yang didapat melalui detail-detail dan perubahan ini.
Jangan-jangan di sekitar kampung halaman ini juga ada sesuatu yang ganjil tak terpahami? Atau mungkin Xiao Yuan pernah mengalami peristiwa supranatural sehingga dirinya terpengaruh.
Bagaimanapun juga, dia harus melakukan investigasi menyeluruh.
