Pada sore hari, Yang Jian berkeliling desa secara garis besar. Sebenarnya tidak ada tujuan khusus, hanya ingin memeriksa situasi desa ini, melihat apakah ada area yang aneh atau ganjil.
Mengingat ini menyangkut keselamatan desanya sendiri, Yang Jian cukup serius menanganinya.
Berbeda dengan saat pertama kali masuk ke Desa Huanggang dulu.
Sekarang Yang Jian bisa langsung menggunakan mata hantu dengan seenaknya, tidak perlu terlalu hati-hati dalam menggunakan kemampuan mata hantu. Saat ini mata hantu masih dalam kondisi seimbang.
“Tidak menemukan apa-apa,” bisik Yang Jian dalam hati.
Ini adalah desa biasa yang sangat normal, tidak ada area misterius atau ganjil, juga tidak ada kejadian yang tidak bisa dipahami.
“Apa kau sedang mencari sesuatu?” tanya Jiang Yan yang terus mengikuti dengan penuh rasa ingin tahu.
“Tidak mencari apa-apa, cuma jalan-jalan saja,” jawab Yang Jian.
Setelah memastikan lokasi penempatan gambar almarhum dan seluruh desa tidak ada masalah, dia merasa hanya tersisa satu titik mencurigakan: tempat yang sering dikunjungi ayahnya semasa hidup. Hanya saja dia tidak tahu detailnya, harus bertanya pada ibunya.
“Pulanglah.”
Dia tidak berlama-lama, langsung berbalik badan menuju rumah tua.
Begitu tiba, tak disangka bertemu ibu dan beberapa kerabat yang sedang mengobrol di pekarangan, membahas urusan rumah tangga.
“Zhang Fen, sekarang apa pekerjaan Yang Jian? Katanya sejak kejadian di sekolah, dia tidak melanjutkan studi. Ini tidak boleh, harus tetap sekolah. Meski tertunda setahun, bisa mengulang tahun depan. Siapa tahu tahun depan beruntung lulus ujian masuk kampus.”
“Tapi masuk kampus memang sulit. Biaya puluhan ribu setahun itu berat. Anakku yang masih SMA saja sudah menghabiskan 60-70 ribu per tahun.”
Zhang Fen, seorang wanita paruh baya yang tampak sederhana namun licik, tersenyum: “Yang Jian sedang sibuk belakangan. Tidak sempat mengulang pelajaran. Lagipula nilainya memang biasa saja, bukan bahan akademisi. Jadi dia mendirikan perusahaan bersama teman sekelasnya Zhang Wei. Saat ini cukup sukses.”
“Zhang Wei itu luar biasa. Anak seorang miliuner perusahaan properti. Yang Jian bisa menumpang ketenarannya. Sekarang dia sudah punya prestasi, bahkan menghadiahkanku vila lima lantai di Kota Dachang.”
“Lihat, sekarang aku santai menanam sayur di halaman.”
Sambil berkata, dia mengeluarkan ponsel untuk pamer ke kerabat.
Melihat vila megah dan kebun sayur luas itu, beberapa kerabat langsung merasa wajahnya panas.
Mungkinkah keluarga termiskin ini bisa bangkit hanya dalam setengah tahun lebih?
"Tapi bagi Zhang Fen, Yang Jian bisa sukses karena berkat Zhang Wei. Dia sama sekali tidak tahu bahwa sekarang Yang Jian sudah menjadi miliarder terkaya di Kota Dachang, plus gelar tambahan: penguasa Kota Dachang."
Status sebagai penanggung jawab sebuah kota sudah cukup membuat semua orang biasa tidak mampu menyainginya.
Hanya saja, pengorbanan untuk mendapatkan semua ini juga sangat berat. Jika bisa, Yang Jian lebih memilih tidak memiliki semua ini karena pengalaman yang dilaluinya tidak bisa ditanggung oleh siapa pun.
"Beneran atau palsu nih? Yang Jian sampai sesukses itu? Benar-benar tidak terlihat. Nanti suatu hari aku harus datang melihat vilamu." Seorang kerabat menyatakan iri dengan nada sinis.
Zhang Fen tersenyum penuh keyakinan: "Kalau begitu, aku pasti akan menjemput kalian dengan baik."
Saat sedang berbicara, Yang Jian mendekat: "Ibu, saya datang. Baru saja memikirkan sesuatu, ingin bertanya pada Ibu."
"Selamat siang, Bibi." Jiang Yan menyapa dengan malu-malu dari belakang.
Zhang Fen melihat sekeliling. Dia menyadari Yang Jian tidak membawa Zhang Liqin yang lebih disukainya, malah mengajak Jiang Yan yang malas ini. Awalnya dia tidak puas, tapi setelah melihat Jiang Yan yang berdandan rapi terlihat muda cantik, kekesalan di hatinya langsung menghilang.
Tak disangka, Jiang Yan setelah dirias jadi terlihat cantik sekali, mirip selebriti.
Kulitnya halus sekali, seolah bisa mengeluarkan air jika dicubit.
Berdiri di sebelah Yang Jian, malah terasa Yang Jian tidak pantas dengannya.
Kehadiran Yang Jian dan Jiang Yan langsung memicu rasa penasaran para kerabat ini. Mereka saling memeriksa, bertanya, terutama pada Jiang Yan yang dikejar tanpa henti.
Kemampuan sosial Jiang Yan telah meningkat pesat. Dengan senyum ia merespons, sopan namun tetap ramah. Ketika ada yang meragukan statusnya, ia dengan tegas menyatakan diri sebagai pacar Yang Jian. Hubungan mereka sangat baik, bahkan jika Yang Jian mau, mereka bisa menikah kapan saja tanpa masalah.
Yang Jian tak tertarik dengan perbincangan ini. Ia bertanya, "Ibu, aku ingin tanya tentang urusan Ayah. Dulu saat Ayah masih ada, apakah beliau meninggalkan sesuatu? Sawah, kolam ikan, atau semacamnya. Aku ingin tahu lokasi pastinya."
Zhang Fen baru hendak bicara ketika seorang kerabat di sebelahnya buru-buru menyela, "Yang Jian, itu kan dulu. Sekarang mana ada lagi sawah atau kolam ikan? Semua sudah dikontrakkan ke pihak swasta. Bukan milik keluargamu lagi. Lagipula, kan kau sudah sukses di luar, ngapain peduli dengan hal-hal seperti itu."
Yang Jian memandang orang itu — sepertinya Bibinya — lalu berkata, "Aku tidak tertarik merebut kembali. Hanya ingin melihat-lihat saja."
"Lumpur dan air, apa yang menarik diliat?" sang Bibi langsung menolak.
"Cuma melihat sekilas, tidak ada salahnya kan?" kata Yang Jian. "Bibi menghalangiku, apakah karena aset keluarga kami sudah atas nama Paman? Tapi hari ini aku bukan untuk membahas utang masa lalu. Sudah tidak kupedulikan lagi."
“Tak ada minat ngapain kau angkat itu? Ternyata ada pepatah yang benar, semakin kaya semakin pelit. Masih muda tapi tak punya hati nurani. Dulu saat ayahmu masih hidup, keluarga kami sering bantu kalian.” Bibi bicara cepat, sepertinya sangat mencurigai gerak-gerik Yang Jian.
Yang Jian tidak marah, hanya merasa ini agak menggelikan.
Bibi ini tidak mikir, buat apa dia minta barang-barang itu? Apa dia mau pulang kampung buat budidaya ikan?
Dulu berselisih, cuma karena tidak terima diperlakukan seperti itu.
Sekarang pandangan sudah lebih luas, tidak lagi mempedulikan hal-hal seperti ini. Baik dia maupun ibu sama-sama tak ingin membahasnya lagi, demi menjaga ikatan kekerabatan.
“Sudahlah, aku tidak akan berdebat dengan Bibi. Ibu, jelaskan detailnya. Nanti setelah makan aku akan pergi lihat.” Yang Jian menggelengkan kepala, merasa sebagai pemilik Mata Hantu terkemuka, berdebat soal begini sangat memalukan.
Zhang Fen berkata; “Aku juga ingatnya tidak jelas. Sepertinya ada kolam ikan di selatan desa. Dulu dia pernah budidaya ikan di sana atau apa, sudah lama tidak diliat, tidak tahu masih ada atau tidak. Di belakangnya ada sebidang tanah, dulu saat ayahmu masih hidup dengan sukarela memberikan ke desa untuk membangun kuil kecil...”
"Tidak, tidak hanya itu. Selain itu, di sebelah barat sana masih ada sepetak hutan. Dulu itu juga milik ayahmu. Aku ingat dulu ayahmu pernah membesarkan sesuatu di sana, ya, aku ingat dia pernah memelihara anjing, sekawanan anjing. Untuk memelihara binatang-binatan itu, dia sengaja membangun sebuah rumah kayu kecil di sana. Tapi kemudian anjing-anjing itu habis dijual dalam semalam, sejak itu ayahmu tidak pernah lagi tinggal di hutan itu."
Seorang kerabat lainnya masih bisa memberikan informasi yang cukup detail tentang peristiwa-perkistiwa lama.
Kolam ikan, kuil kecil, dan sepetak hutan.
Pernah memelihara sesuatu di kolam ikan, kuil kecil itu dibangunnya, juga pernah memelihara anjing di hutan selama beberapa waktu, kemudian suatu malam anjing-anjing itu menghilang dalam semalam...
Yang Jian memperhatikan informasi-informasi kunci ini.
Sepertinya setiap peristiwa terlihat biasa saja, tapi kalau dipikir-pikir lagi sebenarnya tidak normal.
Seorang pria dewasa melakukan semua ini terlihat tidak produktif, karena tidak menghasilkan nilai ekonomi langsung, artinya semua ini adalah hal-hal yang merugikan.
Pria normal yang menanggung tekanan mencari nafkah keluarga, bagaimana mungkin melakukan hal-hal merugi? Apa dia mau membiarkan seluruh keluarganya mati kelaparan?
"Ternyata ayahku saat masih hidup juga bukan orang normal?"
Meski masih berupa dugaan, tapi di hati sudah mulai ada sedikit pengakuan.
Perkataan Pak Qin itu jelas benar.
Dia pernah bertemu dengan ayahku sendiri, dan ada suatu kisah yang tidak bisa kupahami. Hanya karena kematian ayah yang mendadak, banyak hal tidak sempat terungkap.
Jika semua sesuai dengan dugaan.
Maka kemunculan hantu di rumah sewaanku mungkin bukan sebuah kecelakaan.
Entah mengapa, Yang Jian saat ini tiba-tiba merasakan hawa sejuk yang tidak biasa.
Mungkin dirinya sudah sejak lama bersentuhan dengan Hantu, hanya saja belum menyadarinya.
