Setelah memeriksa taksi hantu itu, Yang Jian memastikan kendaraan itu tidak berisiko lepas kendali untuk sementara waktu, lalu menyimpannya di ruang aman tanpa ikut campur lagi.
Kembali ke tempat tinggal, Zhang Liqin sudah menyiapkan hidangan.
Usai makan sederhana, Yang Jian kembali meminta Zhang Liqin mencatat berbagai pengalaman selama di Kota Dadong.
Catatan tangan Zhang Liqin sudah setebal buku, setiap halamannya menyangkut peristiwa supranatural penuh keanehan yang dialami Yang Jian.
Semua ini selesai dirakam ketika bulan sudah tinggi.
Hari itu pun berlalu dengan tenang.
Tapi di kawasan tua lain di Kota Dachang, malam ini tidak sesunyi biasanya.
Kawasan kota kumuh ini sepi mencekam, hanya beberapa lentera yang menyala, tingkat huniannya mengerikan rendah, bahkan mobil lewat pun tidak ada.
Biasanya tempat ini sunyi senyap, tidak ada gerakan sedikit pun di jam-jam seperti ini.
Tapi entah mengapa hari ini tiba-tiba muncul sekumpulan nak muda.
“Mereka tidak ada urusan tapi berkeliaran di sekitar sini, bahkan di setiap gedung, setiap lantai ada siluet mereka, tindakan mencurigakan dan sangat aneh.”
“Untungnya di kompleks perumahan ini juga sepi, tidak ada yang menghiraukan mereka.”
“A Wei, A Wei kau di mana? Kabur kemana.” Saat itu seorang pemuda berlari keluar dari salah satu gedung, dia memanggil nama seseorang.
“Jangan teriak, saya di sini.”
Dari kegelapan sudut sebelah, muncul siluet berbentuk manusia mengenakan trench coat dan topi koboi. Dalam gelap, dua pistol emas di pinggangnya memantulkan cahaya redup. Dia menghadap ke depan, membelakangi yang lain, lalu mundur beberapa langkah keluar dari bayang-bayang gelap.
“Kau ngapain menghadap tembok? Berbaliklah, kami mungkin sudah menemukan tempat yang bermasalah itu. Kakak A Fei sudah jongkok di depan gedung itu, menunggumu.” Kata pemuda itu.
“Apa? Cepat sekali menemukannya? Bagus, saya datang.” Zhang Wei heran, buru-buru mengenakan celananya lalu berjalan.
Di dinding sudut tadi tertinggal tulisan basah berbentuk huruf: Wei.
Tak lama kemudian, Zhang Wei tiba di depan Gedung 19 kompleks perumahan ini.
Sekelompok orang berkumpul di lantai bawah, ada yang menghisap rokok, ada yang main ponsel, ada yang mendengarkan lagu...
“A Wei datang.”
“A Wei, cepatlah, saya masih ada kencan malam ini, jangan berlama-lama.”
“Angpao, angpao, jangan lupa. Kami sudah mencari setengah mati, menggunakan semua hubungan. Kalau tidak memberi kami angpao besar, pantaskah?”
Ketika melihat Zhang Wei datang, banyak orang langsung berteriak ribut.
"A Fei, yakin ini gedung yang dimaksud?" Zhang Wei menekan topi di kepalanya, bertanya dengan suara rendah.
Pemuda bernama A Fei yang sedang jongkok di ujung lorong tangga berdiri dan berkata, "Pasti di sini. Aku dapat info dari satpam penjaga gerbang sekitar. Beberapa hari lalu ada orang beli barang banyak masuk ke gedung ini, lalu tidak pernah keluar lagi. Lagipula gedung ini sebelumnya tidak ada penghuninya."
"Mungkin mereka main game di rumah. Aku juga suka diem di rumah." Seorang anggota mulai membantah.
A Fei memarahi, "Tongkrongan sampah minggir! Apa kalian tidak mencium bau mayat busuk tadi di lorong tangga?"
"Mungkin ada yang kentut di lorong?" Zhang Wei bertanya serius.
“……”
"Hidungku A Fei terkenal tajam seperti anjing. Aku sangat sensitif dengan bau semacam itu. Sekali mencium, pasti tidak mungkin salah. Kalau ada yang kentut, pantat orang itu pasti sudah membusuk!"
A Fei melanjutkan, "Apa ada di antara kalian yang pantatnya busuk?"
"Omong kosong! Tidak mungkin! Kau asal ngomong saja. Mana mungkin pantatku busuk."
"Jangan lihat aku, aku juga tidak."
Zhang Wei membujuk, "Sudah, beri A Wei sedikit penghormatan. Jangan bertengkar. Katakan, di lantai berapa baunya? Mari kita periksa bersama."
"Saat di lantai lima sudah kcium bau. Tapi yakin baunya berasal dari lantai enam. Sudah kuhitung, lantai enam cuma ada tiga pintu. Salah satunya pasti bermasalah." A Fei menjelaskan.
“Kalau begitu tunggu apa lagi, berangkat, hari ini adalah waktu terbaik bagi A Wei untuk menjadi terkenal di Kota Dachang.” Zhang Wei mulai terlihat bersemangat, dia menahan topinya dan memimpin serbuan masuk ke dalam lorong tangga.
Yang lain saling memandang satu sama lain, ragu-ragu sejenak namun akhirnya mengikuti.
Berjalan di lorong yang redup, banyak yang mulai merasakan panik di hati.
“Menurut kalian nanti bisakah kita benar-benar bertemu hantu? Kalau salah urus bisa mati orang, menurutku lebih baik kita cari cara untuk memberitahu Kakak Kaki, biar dia yang menanganinya.”
“Aku tidak tahan, tidak tahan, perutku mules, aku mau ke toilet dulu.”
Tiba-tiba seseorang memegangi perutnya dengan wajah kesakitan berkata, tapi belum selesai bicara sudah kabur seperti dikejar setan.
“Aku juga mau ke toilet.” Satu orang lagi kabur.
“Toilet apa lagi, mereka pasti takut, kenapa kau juga mau pergi?” A Fei marah-marah melihat seorang rekan di sampingnya hendak pergi.
Orang itu menjawab: “Mereka ke toilet tidak bawa tisu, aku mau antar tisu untuk mereka.”
Alhasil tidak bisa ditahan lagi, orang itu pun kabur.
Dari kelompok besar yang awalnya berangkat, saat sampai di lantai empat sudah kabur lebih dari separuh, tinggal lima enam orang tersisa.
Yang tidak kabur adalah mereka yang nekad, tidak percaya pada hal mistis, atau memang berani.
“Biarkan mereka pergi, untungnya dari awal aku tidak berharap banyak. Ternyata benar, manusia harus mengandalkan diri sendiri.” Zhang Wei bicara sendiri, sudah lebih dulu sampai di lantai enam gedung ini.
Ternyata.
Di lantai ini tercium bau mayat yang samar-samar.
A Fei mencium bau, wajahnya agak pucat, menunjuk pintu kamar 602: "Aroma ini keluar dari dalam sini, pasti ada mayat di dalam."
"Buka pintunya paksa, kita masuk lihat," kata Zhang Wei.
"Pintu sepertinya tidak terkunci, kuncinya rusak." Seseorang menyadari pintu ternyata bisa dibuka tanpa kunci.
Setelah terbuka, bau mayat yang lebih menyengat menyebar keluar. Ruangan itu gelap gulita tanpa cahaya, tapi seolah ada siluet manusia bergerak di dalam.
"Braak!"
Tiba-tiba suara tembakan menggema.
"Sial, A Wei, kau ngapain? Hampir saja kena aku!" teriak seorang rekan di dekat pintu.
Zhang Wei memegang pistol berkata: "Omong kosong! Aku lihat ada sesuatu di dalam jadi langsung menembak. Lagipula akurasi tembakanku seburuk itu?"
"Kena tidak?" tanya A Fei.
"Pasti kena. Dari jarak segini mustahil meleset," jawab Zhang Wei dengan yakin.
"Lalu kenapa tidak ada gerakan?" Kerumunan di pintu ragu-ragu, enggan masuk.
Zhang Wei berkata: "Aku duluan. Kalian ikuti instruksiku nanti."
Setelah berkata demikian, ia bergegas masuk.
Tak lama kemudian.
Cahaya senter Zhang Wei menerangi ruangan gelap. Ia mengarahkan senternya berkeliling, lalu menatap tajam ke dinding depan.
Tidak ada lubang peluru di tembok.
Artinya, peluru tadi pasti menancap di tubuh benda itu dan terbawa pergi.
“Seandainya tembakan tadi meleset, pasti akan meninggalkan lubang peluru di dinding.”
“Kau tidak menyalakan lentera?” Melihat Zhang Wei mondar-mandir di dalam ruangan tanpa masalah, seseorang mengintip masuk sambil menyalakan lentera dengan hati-hati.
Ruangan langsung diterangi cahaya.
“Buat apa sih, ternyata tidak ada apa-apa.” Melihat keadaan berlangsung aman, anggota lain pun mulai berani.
Beberapa orang penasaran memasuki ruangan itu, mengamati ke segala arah.
“Mungkinkah ada di dalam kamar?” A Fei mengendus-aroma masuk, berdiri di depan pintu kamar sambil terus mengendus.
Aroma itu seolah berasal dari dalam.
Sesaat kemudian, Zhang Wei mendobrak pintu kamar dengan tendangan kaki, menyorotkan senter ke dalam.
Di dalam kamar hanya ada ranjang tua dengan sisa-sisa darah yang sudah membusuk menghitam, memancarkan bau busuk menyengat. Noda hitam itu membentuk lekuk samar-samar seperti siluet manusia, seolah baru saja ada yang berbaring di situ.
“Tidak sia-saa datang ke sini. Ayo kembali, pasti kita salah tempat.” Zhang Wei menggerutu sambil mundur dari kamar.
A Fei juga menggaruk-garuk kepala, merasa ada yang tidak beres.
Karena bau di dalam kamar tidak sekuat yang dibayangkan, secara logika seharusnya tidak mungkin tercium sampai ke luar.
Kerumunan yang kecewa karena cuma alarm palsu pun mulai membubarkan diri. Mereka mematikan lentera, mengunci pintu, lalu bersiap untuk pergi.
Tapi yang tak ada yang perhatikan adalah, di antara kerumunan yang turun tangga tiba-tiba muncul satu orang tambahan. Orang itu menyelinap di tengah mereka, terlihat sangat alamiah tanpa kesan mendadak sama sekali. Orang-orang di sekitarnya tak menyadari keanehan, juga tak merasa asing.
Seolah pernah melihatnya di suatu tempat, tapi juga seolah belum pernah bertemu.
Di perjalanan, A Fei melirik ke segala arah.
Dia sepertinya mencium bau mayat, dan itu berasal dari tengah kerumunan.
