"Dia datang."
Di kuil kecil Kompleks Guanjiang, Wang Shanshan seperti merasakan sesuatu. Tatapannya langsung menuju pintu gerbang.
Zhang Wenwen dan Jiang Yan langsung mengikuti pandangannya.
Di luar pintu gerbang, seorang pria berusia sekitar dua puluh tahunan, dengan kulit pucat bersih, muda namun masih terlihat kekanak-kanakan, bergegas mendekat ke arah sini. Penampilannya biasa saja, tidak ada yang istimewa selain aura wajahnya yang terasa dingin.
"Apakah dia Yang Jian? Kok masih muda sekali." Wajah Zhang Wenwen terlihat heran.
Menurut dugaannya, Yang Jian seharusnya termasuk generasi yang sama dengan Tante Jiang dan kakeknya. Sekarang mestinya sudah berusia delapan puluh tahun, atau setidaknya tujuh puluhan. Bagaimana mungkin penampilannya tetap muda seperti ini?
Tapi tiba-tiba ia teringat pada Kak Wang.
Selama puluhan tahun, Kak Wang juga selalu terlihat muda. Sejak ia kecil hingga sekarang, penampilannya hampir tidak berubah. Mungkin Yang Jian juga seperti itu.
"Yang Jian..." Mata Jiang Yan langsung berkaca-kaca. Air mata tak terbendung mengalir di pipinya yang berkerut.
Serpihan memori mulai bermunculan di otaknya, mengisi setiap sudut hatinya dengan kenangan berharga. Sekilas, ia seolah kembali ke masa lalu.
Tapi ketika mengulurkan tangan keriputnya, ia tersentak sadar.
Dirinya sudah sangat tua. Delapan puluh tahun lebih.
Andai bukan karena hidup berkecukupan dan perawatan baik, mustahil ia bisa bertahan sampai sekarang. Sudah pasti ia akan bernasib sama seperti Zhang Liqin yang mati.
"Jiang Yan, kau sudah tua." Suara Yang Jian terdengar datar seperti biasa, tenang namun tetap terasa dingin.
Jiang Yan mengusap-usap muka tuanya yang basah oleh air mata: “Enam puluh tahun berlalu, mana mungkin tidak tua? Kau masih sama persis seperti dulu, tak berubah sedikitpun, tetap muda seperti dulu. Sampai-sampai wajah burukku ini tak pantas berdiri di hadapanmu.”
“Maaf, membuatmu menunggu lama.” Yang Jian berkata.
“Masih baik, akhirnya bisa menunggumu. Beberapa tahun ini aku benar-benar takut, takut suatu hari tidak bisa bertahan dan mati. Setiap malam aku berdoa agar tubuhku tetap sehat, bisa bertahan sampai hari ini. Kau tidak tahu, selama ini aku melihat banyak orang yang meninggal, beberapa bahkan lebih muda dariku. Bulan lalu ada seorang tua berusia 70-an tahun yang tiba-tiba terjatuh saat jalan-jalan lalu meninggal, saat itu aku persis melihat di sebelahnya.”
Jiang Yan menyeka air matanya, mengoceh seperti anak kecil, karena pada saat ini dia telah menemukan kembali tulang punggungnya.
“Kelahiran, penuaan, sakit, kematian adalah hal biasa dalam kehidupan manusia. Dibandingkan banyak orang di era itu, kau termasuk yang beruntung.”
"Yang Jian berkata dengan tenang," kemudian ia menoleh ke arah kakek tua yang berbaring di lantai, "A Wei terlihat dalam kondisi yang sangat buruk, sepertinya akan mati."
"Kumohon, selamatkan Ayahku." Zhang Wenwen tiba-tiba bersujud dengan suara Plooong sambil memohon.
"Ini bukan hal sulit."
Yang Jian menggerakkan tangannya, tombak merah panjang muncul tiba-tiba di genggamannya, kemudian ia bergumam lirih bagaikan dewa yang mengucapkan kata suci.
"Kukatakan, orang di hadapanku ini pasti akan terbangun."
Suara bergema di dalam kuil kecil. Saat dia selesai bicara, Kakek Zhang yang belum sadarkan diri tiba-tiba membuka matanya dan langsung tersadar. Namun raut wajahnya masih terlihat kesakitan, seolah tubuhnya baru saja mengalami siksaan berat.
"Kukatakan, orang di hadapanku terbebas dari segala penyakit dan malapetaka."
Setelah kalimat itu, tubuh Kakek Zhang yang terbaring di lantai bergetar halus. Napas panjangnya terdengar lega, semua rasa sakit di tubuhnya seketika lenyap bagai direnggut paksa, membuatnya langsung merasa nyaman.
"Kukatakan, orang di hadapanku memiliki tubuh yang kuat."
"Kukatakan, orang di hadapanku memiliki pendengaran tajam dan penglihatan jernih."
Sesaat kemudian.
Tangan dan kaki Kakek Zhang yang lemah tiba-tiba berotot kuat, bukan lagi seperti orang tua sekarat, melainkan mirip pemuda kekar. Matanya berbinar jernih, pendengarannya pulih normal, tanpa lagi rabun atau tuli.
"Kakek Agungmu telah kembali!"
Dengan suara lantang, Kakek Zhang langsung bangkit dengan gesit dari lantai. Tongkat di tangannya dilempar ke samping, tak lagi dibutuhkan.
Zhang Wenwen di sebelah tertegun.
Ini... Bagaimana mungkin?
Ayah yang tadi napasnya hampir putus tiba-tiba segar bugar, seperti kembali muda puluhan tahun.
"Kak Kaki, kalau bisa ngomong lebih banyak dong. Pinggangku akhir-akhir ini sering pegal dan lemes, butuh diperkuat," kata Kakek Zhang tanpa sungkan.
“Kau yang usianya sudah sepuh tidak membutuhkannya.” Yang Jian berkata: “Tak disangka setelah enam puluh tahun kau malah punya anak lelaki, kapan kau menikah? Menikahi siapa?”
“Aku menikah terlambat, baru usia tiga puluh tahun menikahi seorang selebriti kelas tiga di perusahaan. Istriku itu bahkan tidak akan kau kenal, Kakak Kaki, tidak sebanding disebut. Awalnya aku juga tidak berencana menikahinya, tapi suatu hari dia mengajakku makan sate, lalu memaksa menginap di rumahku. Beberapa waktu kemudian dia mengaku hamil, akhirnya aku terpaksa menuruti saran Ayahku untuk menikah.”
Paman Zhang menggerakkan tangannya, menceritakan sebuah kenangan masa lalu.
“Banyak hal terjadi selama kepergianmu. Pertama, perusahaammu bangkrut. Gedung Shangtong sudah dibongkar sepuluh tahun lalu, markas pun dibubarkan. Wakil Menteri markas Wang Guoqiang, menurut Liu Xiaoyu, sudah meninggal dua puluh tahun lalu. Anggota timmu juga tidak bisa bertahan dan berbaring di peti mati. Sebelumnya kau sudah lihat, keangkeran Kota Dachang adalah ulah mereka.”
“Hah, hanya aku, A Wei, yang bisa menahan masalah ini. Jika posisinya ditukar dengan orang lain, pasti tidak tega bertindak pada mantan anggota tim.”
Saat itu Jiang Yan menyela: “Sekretarismu Zhang Liqin juga sudah meninggal. Usianya baru lima puluh tahun lebih saat mati, masih sangat muda. Bibi juga pergi, tapi kami dan Zhang Liqin merawatnya dengan baik sampai usia delapan puluh tahun lebih. Dia selalu merindukanmu, sering menangis.”
“Di hari kepergian Bibi, sepupumu itu datang berziarah. Aku pernah bertemu, dia masih persis seperti dulu tanpa perubahan sama sekali.”
“Liu Xiaoyu menderita demensia, sekarang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, dokter bilang dia sering demam dan kondisi fisiknya sangat buruk.”
Sampai di sini, Yang Jian membuka mulut: “Liu Xiaoyu sudah mati, barusan.”
“Apa?” Jiang Yan tertegun.
Wang Shanshan langsung bertanya: “Kau tidak menyelamatkannya? Kalau kau turun tangan, dia pasti tidak akan mati.”
“Dia tidak punya keinginan kuat untuk bertahan hidup. Lagipula, lahir, tua, sakit, mati adalah hal biasa dalam hidup. Kalau aku turun tangan memang dia tidak akan mati, tapi setelah itu? Apakah hidup merana di usia senja, atau bergantung pada kekuatan gaib untuk hidup selamanya? Aku tidak punya hak memilihkan untuknya.”
Kata Yang Jian dengan tenang.
Mendengar ini, Jiang Yan dan Wang Shanshan pun terdiam.
Benar juga.
Semua orang pasti mati. Mereka yang sudah hidup bertahun-tahun ini sebenarnya sudah memahami banyak hal.
Masa muda memang sudah berlalu. Meski bertahan hidup dengan kekuatan gaib, sampai kapan ujungnya nanti?
Kakek Zhang juga tidak bisa menahan desahannya: “Aku sudah ikhlas. Seumur hidup ini sampai kapanpun, eraku sudah lewat. Memaksakan hidup tidak ada artinya. Alasan masih menopang nafas ini sebenarnya hanya ingin bertemu Kakak Kaki sekali lagi. Sekarang sudah bertemu, kupikir tidak ada penyesalan lagi.”
Dengan adanya Yang Jian, dia juga tidak khawatir tempat ini akan angker, tidak takut anak dan cucunya tidak ada yang melindungi.
Di hati sudah tidak ada ikatan lagi.
Saat ini, Jiang Yan justru menggigit bibir, berkata: "Tidak, aku tak mau, aku tak rela. Aku telah menunggumu enam puluh tahun, aku tak ingin mati seperti ini. Yang Jian, kumohon, beri kami kesempatan untuk memilih sekali lagi. Aku ingin kembali ke masa lalu, aku masih ingin terus menemanimu. Jika memungkinkan, aku bisa merawatmu selamanya."
"Meskipun kau benar-benar telah menjadi Tuhan, tapi Tuhan pun perlu ada yang melayani, bukan?"
Obsesi bertahun-tahun membuat Jiang Yan tak rela mengakhiri segalanya seperti ini. Dia berharap bisa mendapatkan kesempatan untuk mengulang kembali.
Wang Shanshan tetap diam. Dengan tenang dia memandangi Yang Jian, seolah sedang merenung.
Yang Jian menatap Jiang Yan: "Kau telah menungguku enam puluh tahun, akan kukembalikan enam puluh tahun itu padamu. Aku beri kau dua pilihan: kembali muda dengan memori utuh... atau kuhapuskan ingatanmu selama enam puluh tahun ini, mengembalikanmu ke hari sebelum aku tertidur pulas. Enam puluh tahun ini bagimu akan seperti tak pernah ada."
Mata Jiang Yan berbinar, menunjukkan ekspresi bersemangat. Namun akhirnya dia mulai merenung, pilihan apa yang harus dibuatnya.
Mempertahankan ingatan enam puluh tahun ini, atau tidak?
"Tak perlu langsung memutuskan. Kau bisa merenung perlahan, beri jawaban setelah memikirkannya dengan jelas," kata Yang Jian.
Tiba-tiba Wang Shanshan menyela: "Jika kau mau memberi Jiang Yan kesempatan, mengapa tak beri Liu Xiaoyu pilihan lagi? Enam puluh tahun ini hidupnya sulit. Dan Jiang Yan benar, hari-harimu ke depan akan panjang. Harus ada yang menemani, tak bisa membiarkanmu sendirian."
Mendengar Liu Xiaoyu meninggal, hati Wang Shanshan tidak tenang, sehingga dia ingin mengubah sesuatu.
"Membalikkan masa lalu, mengubah hidup-mati, bagiku bukan hal sulit. Karena kau sudah berkata begitu, aku akan bertanya dulu pada Liu Xiaoyu, lihat pilihannya."
Setelah kata-kata Yang Jian selesai, seluruh tubuhnya memancarkan cahaya merah, lalu melangkah maju dan menghilang dari pandangan kerumunan.
"Dia pergi ke mana?" Zhang Wenwen terkejut saat ini.
"Kembali ke masa lalu," jawab Jiang Yan.
"Apa dia Shangdi? Ternyata bisa kembali ke masa lalu?" Zhang Wenwen semakin terpana, ini nyaris tak berbeda dengan dewa.
Zhang Daye tertawa sambil berkata: "Anak lelaki bodoh, beberapa hal sulit kujelaskan padamu. Nanti kau akan paham sendiri perlahan-lahan."
Saat ini.
Yang Jian restart masa kini, melintasi hambatan waktu, kembali datang ke kamar pasien rumah sakit Kota Dachang.
Di ranjang pasien saat ini, orang tua itu perlahan menutup mata, sebentar lagi akan merenggut nyawanya.
"Liu Xiaoyu."
Panggilan familiar bergema di telinga, bagaikan dewa yang memanggil, menarik paksa orang tua yang hampir sirna ini dari tepi kematian.
"Yang Jian...kah?" Liu Xiaoyu tak bisa membuka mulut, hatinya merespons.
"Iya, aku."
Seolah bisa mendengar suara hatinya, Yang Jian berkata: "Kau lelah? Ingin pergi begitu saja, atau mau kembali ke masa lalu, terus berjalan bersamaku?"
“Saya lelah, saya sudah sangat tua, sekarang ingin tidur nyenyak, tapi masa muda saya adalah milikmu, bawa lah masa mudaku pergi, biarkan diriku yang muda menemanimu.” Liu Xiaoyu bergumam dalam hati, menjawab suara Yang Jian.
“Saya mengerti.” Yang Jian berkata.
Kemudian, dalam keadaan sekarat, Liu Xiaoyu samar-samar melihat siluet Yang Jian. Saat ini, dia melambaikan tangan untuk mengucapkan selamat tinggal padanya, dan di samping Yang Jian berdiri seseorang.
Itu adalah seorang wanita muda yang bersemangat dan cantik, dengan dua kuncir kuda, terlihat sangat menggemaskan, persis seperti dirinya di masa muda.
Orang tua itu kini merasa sangat bahagia. Dia tahu mulai sekarang Yang Jian akan ditemani seseorang.
Akhirnya dia meninggal dengan tenang.
“Ayo pergi.” Yang Jian memberi isyarat, membawa Liu Xiaoyu meninggalkan rumah sakit, kembali ke Kompleks Perumahan Guanjiang.
Pada saat yang bersamaan.
Di rumah sakit, mayat orang tua yang telah lama meninggal tiba-tiba menunjukkan senyum tipis di sudut bibirnya, terlihat sangat damai, tanpa penyesalan atau keengganan seperti sebelumnya. Karena yang mati saat ini hanyalah usia tua, kelelahan, penderitaan, sementara masa muda, kebahagiaan, dan kecantikan tetap hidup.
Ketika Yang Jian muncul di kuil kecil bersama Liu Xiaoyu yang muda, Jiang Yan dan Zhang Wei tertegun.
“Ingatannya berhenti pada hari saat saya menghilang, tapi perubahan selama enam puluh tahun ini juga secara garis besar dia ketahui.” Yang Jian menjelaskan.
Wang Shanshan memahami, dia berkata: “Jadi Liu Xiaoyu yang sebenarnya tetap meninggal? Dia meninggalkan momen terindahnya untukmu.”
“Tergantung bagaimana kau memahaminya. Dia mewarisi memori Liu Xiaoyu, tapi melupakan sebagian. Kau bisa bilang dia Liu Xiaoyu, bisa juga bukan. Saya menghormati keinginannya sendiri.” Yang Jian berkata.
“Benar, menurutku ini baik.” Liu Xiaoyu kali ini tersenyum, matanya berkerut seperti dua bulan sabit, terlihat sangat menggemaskan.
Jiang Yan di sampingnya memandang dengan penuh iri, tapi dia masih belum memutuskan.
