Tahun Baru Imlek, di pucuk-pucuk pohon sepanjang jalan terpasang lentera merah.
Pesan di Grup Asrama 405 sudah berdenyut tak henti sejak pagi. Jiang Yu Mian membukanya sebentar saat makan, kebanyakan isinya ucapan Xu Duohua.
Xu Duohua yang cerewet: "Adakah bidadari turun ke dunia fana untuk menikmati makanan duniawi hari ini?"
Tumpukan kata-kata bernuansa internet yang bertele-tele membuat bulu kuduk merinding.
Mie Mie yang jarang berkomentar: "Ada urusan, tidak bisa keluar."
Xu Tianjiao yang tak pernah absen kencan: "Sedang berkencan, jangan ganggu."
Yuan Qingli yang penakut muncul: "Qin Yan bilang, ingin membawa aku ke rumah keluarganya..."
"Wah! Kemajuan hubungan kalian pesat sekali!"
Yuan Qingli dan Qin Yan baru mulai berpacaran tahun ini. Yuan Qingli penakut, Qin Yan berusaha keras memberikan rasa aman, bahkan sebelum lulus kuliah sudah ingin dibawa pulang.
Xu Duohua menebak dengan gegabah: "Jangan-jangan nanti tangan kanan pegang ijazah, tangan kiri pegang surat nikah?"
Yuan Qingli yang terus-menerus dijadikan bahan candaan sampai tak berani muncul, kemudian Xu Duohua menyadari bahwa dialah satu-satunya jomblo di grup. Daripada janjian makan, mending pesan ayam goreng, bir, dan makanan takeaway.
Xu Tianjiao mau kencan dengan pacar barunya, Yuan Qingli akan dibawa pacarnya menemui orang tua, sementara Jiang Yu Mian... harus menghadapi orang tua pacarnya sendirian.
Kemarin, Bibi Tan meneleponnya dan memberi isyarat agar dia pulang ke keluarga Lu bersama Lu Yan Chen untuk makan malam menyambut tahun baru.
Awalnya Jiang Yu Mian hendak menolak, tapi Bibi Tan buru-buru mengakui bahwa itu adalah keinginan Kakek Lu.
Setelah berganti baju dan bersiap berangkat, Jiang Yu Mian melihat Lu Yan Chen yang masih duduk kaku di sofa. Ia membungkuk mendekat dan bertanya untuk terakhir kalinya: "Kau benar-benar tidak mau ikut?"
Lu Yan Chen: "Ya."
"Baik." Jiang Yu Mian tidak memaksa, sepenuhnya menghormati keputusannya. "Tunggu aku ya, aku akan pulang lebih cepat."
Alasan ia pergi adalah karena Kakek Lu selama ini selalu melindunginya.
Saat tiba di rumah keluarga Lu, Kakek Lu sedang duduk di ruang tamu, tempat terdekat dari pintu utama.
Melihat tidak ada seorang pun di belakang Jiang Yu Mian, awalnya Kakek Lu tidak berkata apa-apa, tapi akhirnya tidak bisa menahan diri lagi: "Apakah dia masih marah?"
"Kakek Lu, dia sama sekali tidak pernah marah padamu, hanya... kali ini dia kecewa." Dia bukan Lu Yan Chen yang diam seribu bahasa, dia ingin Lu Xi tahu kebenaran, dan lebih ingin melihat Kakek Lu menyesal.
Ini niat tersembunyinya.
"Kecewa?" Kakek Lu seolah kehilangan semangat secara tiba-tiba, tangan yang memegang tongkat bergetar, mulutnya terus mengulangi dua kata "kecewa".
Setelah bertahun-tahun menjadi pengatur di hadapan Lu Yan Chen, dia sudah tidak tahu lagi bagaimana membangun hubungan kakek-cucu yang wajar dengannya.
Jiang Yu Mian berdiri di hadapan orang tua itu, dengan tenang dan jelas menceritakan segala hal yang terjadi selama bertahun-tahun.
"Kakek Lu, tahukah kenapa aku tanpa ragu berdiri di pihak Lu Yan Chen? Bukan hanya karena aku menyukainya."
“Dari segi budi, Anda memang memberikan kesempatan terlahir kembali padaku. Karena itu aku menghormati dan berterima kasih pada Anda. Tapi mungkin Anda sendiri tak menyadari, dalam banyak hal Anda hanya perlu menggerakkan bibir tipis memberi perintah, sementara yang benar-benar berjuang, menghabiskan waktu dan tenaga adalah Lu Yan Chen.”
Dari awal hingga akhir, Kakek Lu menyukai sifat manis penurutnya, dan hanya itu yang disukainya.
Setiap kali memerintahkan orang untuk urusan tertentu, setiap kali mengatakan rindu, dia selalu memanggil Jiang Yu Mian kembali ke keluarga Lu.
Kakek Lu merasa sedang memberikan kebaikan, tapi sebenarnya juga mengambil nilai emosional dari reaksinya. Bagaimanapun, kedua cucunya tidak begitu patuh.
“Mungkin Anda berpikir, selama itu aku tinggal di keluarga Lu. Tapi tanpa hal-hal yang dilakukannya, memberikan baju bagus dan makanan enak pun percuma.”
“Saat aku ambruk di jalan, dialah yang menyelamatkanku. Saat aku takut dirawat inap, dialah yang menemaniku. Termasuk mencari kebenaran di balik diamku, dialah yang membawaku keluar dari dilema, mengembalikan kepercayaan diriku, memulai kehidupan baru.”
“Anda menyuruhnya menjaga saya, sebenarnya dia bisa saja menghabiskan uang untuk mengisi waktu saya, tapi dia tidak melakukannya. Setiap jebakan yang saya langkahi, semuanya dia bimbing saya keluar secara pribadi.”
“Orang bilang dia kejam, antusias di luar tapi dingin di dalam, tapi sebenarnya dia lebih menghargai hubungan dibanding siapapun.”
“Dia mendengarkan ucapanmu, bukan karena gentar padamu, melainkan karena kau adalah kakeknya, keluarga sendiri.”
“Saat kau pilih kasih pada Lu Xi, dia bukan tak merasakan atau tak mempermasalahkannya, hanya waktu yang terlalu panjang, hingga dia sudah tak lagi menanti kebaikan hati siapapun.”
Saat saya sakit, Lu Yan Chen berjaga tanpa tidur semalaman; Saat ujian universitas, dia seperti wali yang mengantarkan saya ke ruang ujian, bahkan mengirim bunga merayakan kelulusan saya.
Lalu di usia belasan tahun itu, apakah dia juga pernah menanti ditemani keluarga?
Namun tak ada apa-apa, pemuda belasan tahun itu terpaksa tumbuh, sendirian menanggung angin dan embun pagi kehidupan, hingga berkembang seperti sekarang.
“Kakek Lu, kebaikanmu padaku takkan kulupakan. Kapan pun kau membutuhkan, aku akan membantumu sebisaku. Tapi, ini hanya sebagai rasa terima kasih pribadiku padamu.” Setelah berkata demikian, Jiang Yu Mian membungkuk dengan khidmat ke arah Kakek Lu.
Kakek Lu bertanya, apakah ini sengaja dilakukan untuk membuatnya kesal.
Jiang Yu Mian membantah, “Aku hanya ingin Kakek Lu tahu, kesedihan yang pernah ia rasakan tak sesederhana ini.”
Lu Yan Chen tak pernah mengeluh, hingga orang lain menyangka dia tak bisa merasakan sakit.
Mana mungkin tak sakit? Itu adalah hati yang rela berlubang-lubang demi melindungi adik kecilnya, mempertahankan kekayaan keluarga.
*
Pertengahan Januari, bunga narsis Jiang Yu Mian mulai bermekaran. Kelopak putih seperti teratai saling bertautan, sari kuning menghiasi pusatnya, kuntum demi kuntum merekah dengan elegan nan menyejukkan pandangan.
Pada hari pertama bunga narcissus mekar, Jiang Yu Mian meninggalkan Jingcheng menuju Li Wenfeng untuk membantu kepolisian memutakhirkan sistem. Dari sana terdengar kabar bahwa pernah ada peretas tak dikenal yang menyerang jaringan keamanan informasi. Mereka ingin melacak asal usul dan membongkar tikus-tikus yang bersembunyi di selokan.
Sebelum berangkat, Jiang Yu Mian berjanji pada Lu Yan Chen akan pulang sebelum Tahun Baru.
Tahun Baru semakin dekat, Li Wenfeng mengundang Jiang Yu Mian makan di rumahnya dan memintanya tinggal untuk merayakan tahun baru bersama.
Jiang Yu Mian menolak, sekaligus memberitahu Li Wenfeng tentang hubungannya dengan Lu Yan Chen.
Li Wenfeng masih punya kesan tentang Lu Yan Chen. Mendengar kabar itu, dia merasa puas: "Yang penting kamu sendiri menyukainya. Selama kamu bahagia, kami semua turut senang."
Kalau dipikir, baik dia maupun Lu Yan Chen seolah tak punya jodoh dengan darah daging sendiri.
Keluarga yang mencintai mereka sudah tiada, sementara yang masih hidup justru punya masalah dengan mereka. Justru orang-orang seperti Li Wenfeng dan Nyonya Song - orang yang lebih tua yang membangun hubungan saat mereka dewasa - yang memberikan restu.
“Mungkin karena mempertimbangkan keakraban hubungan yang tidak nyaman untuk ikut campur tangan, bagaimanapun juga, dia ingin mendapatkan restu.”
Sehari sebelum malam tahun baru, Jiang Yu Mian bergegas kembali ke Jingcheng.
Beberapa waktu lalu, Lu Yan Chen yang beristirahat sepanjang malam karena luka di tangan mulai sibuk. Saat dia pulang, Lu Yan Chen tidak ada di rumah.
Jiang Yu Mian pergi ke taman melihat bunga narcissus miliknya. Ada yang sesekali menyiraminya, bunga itu tumbuh dengan subur.
Jiang Yu Mian mengambil telepon genggam untuk memotret bunga, hendak mengirimkannya ke seseorang, tiba-tiba menerima panggilan telepon.
“Halo, ini Lu Xi.” Suara yang terdengar dari telepon agak berat, tidak seberani dulu, “Jiang Yu Mian, bisa bertemu sebentar?”
Di balik telepon ini, sosok yang penuh kesopanan itu... Lu Xi?
Jiang Yu Mian memastikannya sendiri. Memang benar dia.
Setelah lama tak bertemu, Lu Xi memotong rambutnya, mengenakan jaket bulu angsa biru tua. Sekilas terlihat seperti pemuda yang tenang dan matang.
Lu Xi masih terlihat tidak nyaman saat bertemu dengannya. Mereka duduk berhadapan di ruang kopi. Lu Xi menyuruhnya memesan makanan dulu, tetap diam seribu bahasa.
Justru Jiang Yu Mian yang proaktif bertanya: "Luka di punggungmu sudah sembuh?"
"Lumayanlah, nggak bakal mati, masih semangat." Begitu bicara langsung ketahuan sifat aslinya.
Kakek Lu yang sudah uzur, tenaga yang dikeluarkannya saat itu memang menyakitkan, tapi masih bisa bertahan.
Hidup lebih dari dua puluh tahun, Lu Xi pertama kalinya merasakan langsung pengalaman kakaknya. Kalau bukan dia yang menahan pukulan tongkat itu, yang sakit pasti Lu Yan Chen.
Jiang Yu Mian menduga dia juga tidak apa-apa, kalau tidak pasti keluarga Lu tidak akan tenang. Bibi Tan diam-diam juga bilang masalahnya tidak besar.
Jiang Yu Mian memesan secangkir kopi panas, kedua tangan bertumpu di meja: "Kalau begitu, ada apa kau mengajakku keluar hari ini?"
Mendengar nada bicaranya yang tenang, wajahnya juga tidak mengerikan, Lu Xi terkejut sekaligus tersanjung: "Kau tidak menyalahkanku lagi?"
Jiang Yu Mian perlahan menggeleng: "Sudah kubilang, sejauh ini aku tak pernah menyalahkanmu."
Lu Xi menghela napas: "Jadi dulu, kau membela kakak karena tidak tega."
Jiang Yu Mian tanpa ragu mengakui: "Benar!"
Pembelaannya yang tanpa pamrih mengingatkan Lu Xi pada malam itu, ketika Jiang Yu Mian menunjuk jantungnya dan berkata bahwa dia telah menyukai Lu Yan Chen selama sembilan tahun penuh.
Saat itu dia sangat terkejut.
Begitu banyak kejutan tak terduga tiba-tiba membanjiri pikirannya. Dengan susah payah dia mencerna informasi yang sulit diterima itu, sempat meragukan diri sendiri, mempertanyakan dirinya, dan akhirnya melakukan introspeksi.
Jiang Yu Mian benar - Lu Xi yang sudah besar ini tak punya prestasi, pantas minta maaf pada semua yang memperhatikannya.
Lu Xi mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, menarik tas punggung dari belakang, mengeluarkan buku harian berwarna keemasan, dan menyerahkannya: "Kukembalikan."
Jiang Yu Mian panik sekaligus terkejut, menerima buku harian yang telah hilang itu dan membalik-balik halamannya - buku itu masih utuh sempurna.
Tapi segera dia teringat pertanyaan penting: "Bagaimana bisa buku harian ini ada padamu?"
Saat kebakaran terjadi, kondisinya sangat berbahaya. Komputer dan ponselnya terpaksa ditinggalkan di medan api, hanya buku catatan ini yang sempat dipeluknya erat, tapi kemudian juga hilang.
“Dia tidak tahu di mana terjatuh, mengira ikut menghilang bersama kobaran dahsyat itu. Tak disangka, Lu Xi mengantarkan buku catatan itu secara pribadi ke hadapannya.”
Lu Xi mengangkat tangan menghalangi pandangan: “Hari itu aku datang ke apartemenmu, menemukan buku harian ini di sekitar sana.”
Mungkin ini takdir yang telah digariskan untuk membuatnya melihat kebenaran. Bagaimana mungkin begitu beruntung, terbuka tepat di halaman dia "memperlakukan tidak adil" Jiang Yu Mian.
“Terima kasih.” Jiang Yu Mian menatap buku catatan yang telah dikembalikan ini, bertanya dengan hati-hati: “Kau... sudah membacanya?”
“Ah ini...” Dia tak ingin berbohong, tapi menjelaskan panjang lebar akan membuatnya canggung. Lu Xi sekadar menyebut: “Baca beberapa halaman awal, awalnya coba mencari informasi pemilik, tak disangka ternyata milikmu.”
Lu Xi tak suka ungkapan bertele-tele, juga tak mau banyak menjelaskan. Diambilnya cangkir kopi pahit yang belum disentuh di depannya, diteguk habis seperti air putih: “Sudah-sudah, hari ini mengajakmu ke sini hanya untuk urusan ini. Aku ucapkan selamat tahun baru lebih dulu, harus buru-buru ke kereta api.”
“Kereta api?” Kejutan demi kejutan terus datang silih berganti.
Lu Xi menutup resleting tas punggung: "Iya, aku sudah pesan tiket kereta ke tempat jauh, berangkat malam ini."
Melihat semangatnya, Jiang Yu Mian masih ragu-ragu membuka kalender di ponsel: "Besok kan malam tahun baru..."
Lu Xi bangkit dari kursi sambil menyambar tas: "Makanya aku ucapin Selamat Tahun Baru duluan. Tidak, dua kali sekalian, tolong sampaikan ke kakakku."
Jiang Yu Mian berdiri secara sopan. Lu Xi berjalan ke ambang pintu dimana angin segera menyergap wajahnya. Tiba-tiba ia berbalik: "Sebelum datang aku sudah kirim pesan ke Kakak, mungkin dia sudah hampir sampai. Dan..."
Lu Xi mengulur waktu di tempat: "Semoga kalian berdua Harmoni seratus tahun."
Jakun Lu Xi bergerak, menelan ludah. Matanya menatap lembut sosok yang pernah menggugah hatinya: "Bibi."
Ia mengakui status Jiang Yu Mian, menyerahkan niat tersembunyi, memberi restu pada hubungan ini.
Jiang Yu Mian mengantarnya sampai pintu.
Pemuda yang mengenakan jaket bulu angsa biru tua tidak menoleh ke belakang, melambai ke arahnya di bawah lampu jalan sambil perlahan menjauh.
Kereta api hampir berangkat, Lu Xi menelepon Lu Yan Chen untuk terakhir kalinya.
Setelah tersambung, tak ada yang berbicara hingga akhirnya pemuda itu dengan susah payah membuka suara: "Kakak, tahun baru Imlek tahun ini... pulanglah ke rumah."
Suara Lu Yan Chen datar tanpa emosi: "Sudah tidak bisa kembali."
Sejak waktu yang sangat lama, dia memang sudah berhenti pulang.
Setelah menutup telepon, Lu Yan Chen menghembuskan napas hangat di jalanan dingin lalu mendorong pintu masuk ke kafe, langsung menangkap pandangan gadis bersyal merah yang sedang duduk memegang cangkir.
Dia melangkah cepat menghampiri. Jiang Yu Mian segera menyadarinya, meletakkan cangkir kopi dan berdiri: "Lu Yan Chen."
"Aku datang menjemputmu pulang."
"Ya, ya." Jiang Yu Mian mengangkat buku hariannya, berjalan merapat di sebelah kirinya.
"Apa yang kau pegang itu?" Lu Yan Chen memperhatikan buku hariannya.
"Rahasia." Jiang Yu Mian menutupkan buku harian emas itu lebih rapat di dada, enggan memperlihatkannya.
Lu Yan Chen mengizinkannya menjaga rahasia kecil itu sembari mengirimkan sebuah kejutan: "Ingin merayakan tahun baru di Ningcheng? Di sana sedang turun salju."
Jiang Yu Mian ragu antara bahagia dan khawatir: "Bolehkah? Kondisi kesehatanmu..."
Lu Yan Chen menepuk-nepuk kepalanya: "Tubuhku tak sepayah yang kau bayangkan."
"Oh, lantas siapa yang kemarin demam menggigil itu." Sengaja ia berpura-pura menyindir, namun segera mendapat hukuman dari Lu Yan Chen.
Pada malam tahun baru, mereka terbang ke Ningcheng. Siang harinya menyantap makan malam bersama keluarga Song.
Nyonya Song menggoda: "Kini pemimpin Tianyu menjadi menantu angkatku?"
Jiang Yu Mian merasa malu, justru Lu Yan Chen yang menjadi bahan candaan itu dengan tenang membenarkan: "Benar."
Ikatan keluarganya yang dingin membuatnya takkan memanggil "ayah/ibu angkat" seperti Jiang Yu Mian, namun pengakuannya atas status ini sudah termasuk bentuk penghormatan untuk mereka.
Karena mereka telah memperlakukan Jiang Yu Mian dengan baik.
“Nyonya Song sangat bahagia, juga memiliki perasaan seperti ibu mertua melihat menantu laki-laki, semakin dilihat semakin merasa cocok.”
Ngomong-ngomong, yang paling senang di Keluarga Song tentu saja Song Junlin yang polos dan manis.
Song Junlin mendekati kedua orang itu, menganalisis dengan serius: "Kau adik perempuanku, kau pacar adik perempuanku, kalau begitu, aku adalah kakak kandung pihak suamimu?"
"Hei." Setelah merapikan alur hubungan ini, Song Junlin benar-benar senang, "Kakak tertua Lu Er adalah saudara iparku, berarti Lu Er selamanya akan berada di bawahku dong?"
Jiang Yu Mian: “……”
Benar-benar menghabiskan seumur hidup memikirkan cara bersaing dengan Lu Xi.
Jiang Yu Mian tidak mematahkan semangat kakak tirinya ini, membiarkannya mengocok-ngocok sendiri.
Siang hari, Jiang Yu Mian dan Lu Yan Chen pergi ke pegunungan salju. Sebelum berangkat, Song Junlin menyelipkan kembang api kecil di mobil mereka, "Ini tidak terbang tinggi tapi cantik, bisa dinyalakan di tanah kosong."
Ada juga yang bisa langsung dimainkan dengan digenggam di tangan.
Mereka naik kereta gantung menuju hamparan salju yang pernah dilalui sebelumnya, mengunjungi jembatan pemandangan yang pernah dilihat. Pita sutra merah di atasnya berkibar tertiup angin, menjadi warna paling mencolok yang pernah dilihat orang di tengah salju.
Keduanya menginap di villa liburan Nyonya Lu pada malam hari, memesan satu kamar dengan standar termewah.
Ruang tamu dipanaskan, Jiang Yu Mian senang duduk di sofa yang lembut.
Circle friends mulai membanjiri konten terkait tahun baru. Terdorong keinginan sesaat, Jiang Yu Mian mencari sudut untuk foto selfie. Tapi karena bukan tipe yang suka mengunggah foto diri, ia merasa agak aneh.
Jiang Yu Mian berlari ke dekat jendela memotret pemandangan malam, lalu kembali ke sofa untuk memotret interior kamar.
Hanya pemandangan tanpa orang, sepertinya belum memenuhi tujuan unggahan circle friends-nya. Saat bayangan punggung Lu Yan Chen masuk ke bingkai, dengan sigap Jiang Yu Mian mengacungkan tanda peace. "Klik!" Terabadikan bidikan spontan yang terasa spesial, lalu ia puas-puas mengunggahnya ke circle friends.
Catatan: 【Di Sampingmu】
Daftar teman Jiang Yu Mian cukup banyak, begitu diposting, semua langsung mencium aroma kemesraan.
Sheng Feifei: Online mencari dokter gigi, selamatkan aku, manis sampai gigi copot.
Mie Mie: Sudah direkomendasikan, usulan untuk sering menghubungi.
Qin Zhouyue: Sungguh murah seorang pria tua.
Mie Mie: Dia bilang kau lebih tua dua tahun darinya.
Qin Zhouyue menghapus komentar.
Qin Yan: Murah seorang pria tua, hm.
Mie Mie: Lili bilang, dia menyukai pria yang lebih Max, usulan untuk sedikit manja.
Qin Yan menghapus komentar.
Teman sekamar Xu Duohua dan Xu Tianjiao juga mengirim 99 di bawah, ditambah Yuan Qingli yang lambat merangkak online, dengan bodohnya mengirim amplop merah, bilang ikut menyatukan uang.
Jiang Bozhi yang status berteman sepanjang tahun bersama Ketua Kelas SMA dan Jiang Lele: Selamat.
Shen Qingbai memberi apresiasi, kemudian apresiasi Shen Qingbai menghilang.
Keluarga Lu di Jingcheng.
“Hari ini rumah sangat dingin, anak muda tidak ada, hanya Bibi Tan yang menemani orang tua yang sendirian itu.”
“Kakek Lu duduk di meja bundar, memandangi hidangan lezat hasil persiapan koki profesional, dengan gemetar mengambil sumpit, menjepit sesuap sayur dan memasukkannya ke mulut, tapi terasa hambar.”
“Orang tua itu mengambil telepon genggam dan bertanya: 'Semuanya tidak pulang?'”
“Tak kunjung ada jawaban.”
“Setelah lama, orang tua itu menggeser ponsel dari telinganya, baru menyadari layarnya sunyi senyap, sama sekali tidak ada yang menghubunginya.”
“Malam tahun baru, Lu Xi yang sedang dalam perjalanan ke tempat jauh duduk di kereta api, sinyal tak kunjung datang.”
“Malam tahun baru, Jiang Yu Mian yang asyik mengobrol di circle friends tiba-tiba disita ponselnya.”
““Mau apa sih?””
““Merayakan tahun baru bersamaku, masih main ponsel.” Dia sangat protes terhadap pacarnya yang sering lupa keberadaan pacar ini.”
““Tidak main ponsel mau ngapain lagi?” Mereka harus berjaga bersama menyambut tahun baru, jarak ke pergantian tahun masih dua jam, wajah pacar secantik apapun, tidak bisa mengawasi terus selama dua jam ah.”
Lu Yan Chen mengaitkannya dengan telepon genggam: "Kemarilah, aku akan mengajarinya sesuatu yang seru."
Sebuah permainan yang membuat tangan lelah sampai tak bisa main ponsel. Malam ini Lu Yan Chen lebih berani, menahan rambutnya sambil menghisap telinga.
Teknik Jiang Yu Mian semakin matang di bawah bimbingan dan latihan intensifnya. Harus diakui dia siswa teladan yang cepat belajar, bahkan mampu mengendalikan titik sensitif lawan dengan pengalaman.
Sang pria merasakan kenikmatan lebih, berdecak di tepi telinganya.
Pipi Jiang Yu Mian memerah seperti meneteskan darah: "Jangan berteriak."
Jari Lu Yan Chen membelai cap kupu-kupu: "Tak bisa kutahan, Mianmian kecil."
Jiang Yu Mian menyuruhnya tutup mulut.
Lu Yan Chen: "Atau kau mau mencoba?"
Jiang Yu Mian menggeleng seperti gasing berpetualang: "Tidak, tidak, tidak!"
Lu Yan Chen sebenarnya tak bermaksud berhubungan di sini, tapi sengaja menakut-nakuti dengan niat buruk: "Kubebaskan kau sekali lagi."
Lu Yan Chen pergi ke kamar mandi. Saat keluar, jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh.
Jiang Yu Mian di hadapannya tidak punya ingatan yang baik, baru saja mengeluh lelah, sekarang sudah menyatu di sampingnya lagi.
Banyak orang menunggu hitung mundur tahun baru, tiba-tiba Jiang Yu Mian membuka circle friends Lu Yan Chen. Tidak banyak konten, dengan cepat menarik ke postingan tahun lalu: Selamat Tahun Baru.
Jiang Yu Mian benar-benar tidak bisa menahan diri untuk menertawakan: "Lu Yan Chen, pergaulanmu payah sekali."
Lu Yan Chen bingung: "Ya?"
"Mengapa setiap tahun ucapan Selamat Tahun Baru yang kau kirim, tidak ada yang memberi like atau komentar?" Bahkan Qin Zhouyue dan Qin Yan pun selalu memberi komentar padanya.
“……”
Karena setiap ucapan tahun baru itu, hanya terlihat olehnya.
Jiang Yu Mian melihat video seseorang di circle friends sedang melepaskan kembang api di pantai, teringat sesuatu yang Song Junlin masukkan ke mobil, langsung bersemangat: "Lu Yan Chen, ayo turun untuk bakar kembang api."
Saat turun, mereka meminjam pemantik api di depan. Pengunjung di sebelah mendengar rencana mereka, berani bertanya apakah bisa ikut menonton.
Lu Yan Chen pertama menatap gadis di sebelahnya.
Tahun Baru baru meriah jika ramai, Jiang Yu Mian dengan senang hati setuju.
Mereka menempatkan kembang api di tanah kosong dengan rapi, total enam titik penyalaan.
Lu Yan Chen menyuruhnya mundur, Jiang Yu Mian berdiri di posisi yang dipilih sambil melambai padanya, lalu dengan cepat menyalakan sumbu. Lu Yan Chen kembali ke sisinya.
Saat kembang api meletus, sekeliling langsung diterangi cahaya terang. Para hadirin bersorak gembira, serentak mengangkat ponsel untuk merekam adegan indah ini.
"Lu Yan Chen, ini tahun ketiga kita merayakan Tahun Baru bersama."
Tahun pertama, demi dia, dia membuat pengecualian kembali ke keluarga Lu, menghadiahkan gembok giok.
Tahun kedua, dia menempuh sepuluh ribu li untuknya, mempersembahkan hadiah tahun baru.
Tahun ketiga, mereka berpegangan tangan kembali ke titik awal, menyalakan kembang api memukau untuk menyambut tahun baru.
Waktu terkoordinasi sempurna. Saat enam kembang api saling silang menari di langit, cahaya api menerangi harapan di mata mereka.
Dengan tangan masih terkait, mereka spontan saling berpandangan.
“Lu Yan Chen, Selamat Tahun Baru.” Jiang Yu Mian lebih dulu mengucapkan, restu keluar tanpa disaring.
Lu Yan Chen berbalik badan merengkuhnya, “Selamat Tahun Baru, Mianmian kecil.”
Kembang api habis menyala, Jiang Yu Mian bersandar di dadanya, bertanya dengan lembut: “Jika tiga tahun lalu, aku tidak pamit darimu, apa yang akan kau katakan?”
Lu Yan Chen diam-diam lama, akhirnya memberi tahu jawabannya: “Setelah pulang jaga baik-baik dirimu, aku akan menunggu kedewasaanmu.”
Jiang Yu Mian menatap, memancingnya melanjutkan: “Lalu sekarang, apa yang kau pikirkan?”
Lu Yan Chen menunduk menyentuh hidungnya: “Terima kasih telah memberiku tahun ketiga ini.”
Jiang Yu Mian tersenyum dalam hati, berjinjit: “Ke depannya aku yang akan menemanimu, Tahun Demi Tahun.”
Mereka pernah sendirian tanpa sandaran, berjalan sepi di dunia penuh niat jahat.
Mereka pernah linglung dalam perasaan tak karuan, babak belur dalam kebingungan.
Namun tekad cinta begitu perkasa, mampu membuat penakut jadi pemberani, si angkuh pun menunduk.
Maka dalam proses tumbuh kembang yang terjatuh-bangun, mereka belajar mencintai dan memiliki cinta.
Saling berkorban, saling mengukir prestasi.
Gunung tinggi dan sungai jauh, mereka yang saling mencinta akhirnya akan bertemu kembali.
