“Itu-itu cuma pose foto biasa saja!”
Li Cheng meratap dengan wajah penuh air mata, tak bisa membela diri:
“Aku benar-benar difitnah, Kakak! Benar-benar... kesalahan harus ada yang bertanggung jawab! Jika memang aku bersalah, bunuh saja aku! Tapi ini sungguh fitnah! Aku benar-benar tidak tahu soal Klub Jenius itu!”
Lin Xian menatapnya tajam.
Li Cheng ini orang yang sangat dikenalnya... sudah banyak berurusan, memang pengecut yang takut mati.
“Selir itu sebenarnya tulus padanya, berkali-kali melakukan adegan 'menyelamatkan suami dengan heroik'.”
“Tapi Li Cheng ini sama sekali tidak pernah berpikir untuk menyelamatkan pasangannya, selalu konsisten menerapkan prinsip 'pasangan suami istri bagai burung di hutan yang sama, saat bencana datang masing-masing terbang'.”
“Jadi...”
“Mengorek informasi dari mulut Li Cheng sebenarnya cukup mudah.”
“Cukup dengan ancaman nyawa, dia akan jujur seperti Tmall Genie, menjawab semua pertanyaan bahkan terkadang menyela jawaban.”
“Orang pengecut seperti ini. Jika dia bilang tidak tahu, kemungkinan besar memang benar tidak tahu.”
“Li Cheng tiba-tiba tersadar:”
“A-aku ingat! Itu satu set foto lengkap! Difoto khusus oleh fotografer internasional ternama... Ada satu set! Ada album foto lengkap!”
“Mau lihat? Ada, ada di lemari sebelah sana! Buka laci paling bawah langsung kelihatan! Aku bicara jujur!”
“Dia benar-benar ketakutan, napasnya tersengal-sengal, menggelengkan kepala gila-gilaan ke arah lemari di sisi lain ruangan.”
……
“Lin Xian berjalan ke lemari, membuka laci, dan menemukan album foto yang disebutkan Li Cheng.”
“Sangat mewah, berhiaskan benang emas-perak, halaman depan ada tanda tangan yang tidak terbaca.”
“Membuka.”
“Halaman demi halaman berisi foto-foto Li Cheng berpose 'bos perkasa'.”
“Li Cheng memang tidak berbohong.”
“Foto-foto di album ini dengan yang ada di bingkai foto memang satu kelompok, pakaian, latar belakang, pencahayaan semuanya sama.”
“Ada foto duduk, foto berdiri, semuanya formal.”
"Ada yang menyilangkan lengan, memasukkan tangan ke saku, ada yang berdiri tegak, dan memang ada pose mengacungkan jari telunjuk ke langit."
"Foto profesional? Foto kostum? Atau foto artis?"
Lin Xian tidak tahu bagaimana menyebut jenis foto seperti ini, tapi kurang lebih seperti ini, di moment para sales konsultan rata-rata punya set foto seperti ini.
"Entah jual rumah, mobil, asuransi, atau perantara pinjaman kartu kredit."
Lin Xian membuka album foto ke halaman dengan pose jari telunjuk mengarah ke langit.
Benar.
Jika melihat seluruh rangkaian foto ini bersama-sama, foto ini tidak terlihat aneh lagi, hanya pose berfoto biasa saja.
"Apa gunanya kau bertanya seperti ini?"
Saat itu.
Dalimao masuk dengan badan penuh debu dari luar:
"Biar aku yang urus."
Dor!! Dor!! Dor!! Dor!!
Empat tembakan berturut-turut menghujam paha Li Cheng!
"Aaaa!!!"
Jerit kesakitan Li Cheng menggema di seluruh rumah besar, karpet langsung ternoda merah.
"Mau bicara atau tidak?"
Dalimao mengarahkan laras pistol ke dahi Li Cheng.
"Huhuhu... aku benar-benar tidak tahu! Aduhhh aku benar tidak tahu apa itu Klub Jenius... belum pernah dengar sama sekali!!"
Dor!!
Tanpa ragu satu tembakan, sprei putih meletus seperti kembang api merah, dunia pun sunyi seketika.
"Saudara, dia memang benar tidak tahu."
Lin Xian mengangguk.
Dia lebih memahami Li Cheng daripada Dalimao, kalau sampai begini pun masih tidak mau bicara, berarti dia memang benar-benar tidak tahu.
Dalimao menatap Lin Xian, mengangkat tangan pasrah:
"Kau mau tanya soal Klub Jenius? Ini bukan perkara mudah... Sudah kuselidiki lama, cuma dapat satu nama. Bertahun-tahun ini, tak ada temuan lain."
"Kau yakin betul anggota Klub Jenius yang membunuh ayahmu?" Lin Xian menatap Dalimao:
"Apa yang kau temukan?"
"Cuma nama ini." Dalimao menunduk memandangi Li Cheng yang kepalanya pecah, menggeretakkan gigi:
"Kalau bukan mereka, kenapa namanya muncul? Kak Muka mana mungkin bohong padamu?"
"Aduh jangan ngobrol di sini Saudara! Cepetan pergi! Ceritanya panjang nanti kita lanjutin! Kalau polisi datang kita bakal ketahan!"
Dalimao menendang mayat Li Cheng hingga roboh, meludah, lalu menyuruh Lin Xian turun tangga.
"Kau ini cukup menarik." Lin Xian menyusul, tersenyum pada Dalimao:
"Kadang tolol, kadang setia kawan, kadang memang kejam dan bengis."
"Cih!"
Dalimao bersikap angkuh:
"Orang seperti Li Cheng pantas mati!"
Mengusap sudut bibir, Dalimao berapi-api:
"Kau ceritakan perbuatannya, sebagai ayah yang punya putri, aku tak tahan dengar. Binatang! Harusnya dia digilas mesin perata!"
“Kalau nanti kau punya putri… kau pasti mengerti perasaanku, pasti ingin membunuhnya berkali-kali.”
……
Bang!
Di pekarangan villa, Dalimao membanting pintu mobil van sambil memandangi muatan emas, perhiasan dan uang tunai yang memenuhi kabin:
"Seharusnya aku memompa ban dulu. Lihat, ban mobilnya kempes semua."
"Dia benar-benar tajir! Sekalipun aku bawa truk pun nggak akan cukup muat."
"Nih, untukmu."
Swoosh——
Lin Xian menangkap benda yang dilempar Dalimao.
Sebuah batu safir biru berbentuk hati besar, jernih dan memesona.
"Jangan pulang dengan tangan kosong."
Dalimao tersenyum:
"Barang ini mungkin lebih berharga dari seluruh emas di mobil ini! Cuma susar dijual. Ambil saja, buat pacarmu atau apa."
Setelah berkata demikian, dia mengitari van yang sarat muatan dan duduk di kursi sopir:
"Kau yakin nggak naik, Saudara?"
"Nggak usah." Lin Xian menggelengkan kepala.
Waktunya hampir habis. Dua menit lagi cahaya putih akan memusnahkan segalanya. Percuma naik mobil.
Lagipula... Dalimao mengisi van sampai sesak. Mustahil masuk tanpa ilmu merampingkan tulang.
"Lebih baik kau saja yang ambil."
Lin Xian melemparkan kembali safir biru melalui jendela: "Aku nggak butuh ini."
"Wah! Sungguh rendah hati kau! Bikin aku malu sendiri!"
Dalimao menatap Lin Xian sambil terkekeh:
“Terima kasih, Saudara! Sekarang, saya punya uang untuk melanjutkan rencana selanjutnya、membalaskan dendam Putri dan Ayah!”
“Entah apakah kita akan bertemu lagi di masa depan. Jika benar ada kesempatan… Aku harus mengundangmu makan di rumah! Cobain masakan kakak ipar!”
“Heh……”
Lin Xian juga dibuat tertawa oleh ucapan Dalimao:
“Masakan andalan kakak ipar apa?”
“Jiaozi! Enak banget!”
Mereka saling memandang, tertawa cukup lama.
Tapi……
Masih adakah masa depan?
Mungkin tidak.
Ini adalah dunia tanpa besok.
Ini adalah jiaozi yang takkan pernah bisa dimakan.
“Ayo pergi, Saudara!”
“Ayo.” Lin Xian melambai-lambaikan tangan.
Bruuum——
Mobil van berat menyala, pedal gas diinjak habis-habisan, ban baru mulai bergerak pelan.
“Hei!” teriak Lin Xian.
“Hah?”
Dalimaro menginjak rem, menjulurkan kepala dari jendela pengemudi, menatap balik Lin Xian:
“Ada apa, Saudara?”
Lin Xian memasukkan tangan ke saku:
“Aku mau tanya satu hal terakhir, harap kau tidak keberatan.”
“Ah! Jangan sungkan! Tanya saja!”
Derik jangkrik tengah malam menyayat sunyi, aliran kecil di kolam halaman tak bersuara.
Lin Xian menatap Dalimao:
“【Apakah kau masih ingat…… tepatnya kapan Ayahmu dan Putrimu ditabrak sampai tewas?】”
……
Senyum Dalimao membeku di wajah, berubah muram.
Dia mengeluarkan sebatang rokok, menggigitnya di mulut.
“Nyalakan.”
Perlahan menghembuskan kabut putih……
Beberapa saat lamanya.
“Aku sudah melihat rekaman CCTV di persimpangan itu.”
Suaranya bergetar terisak:
“Sudah kutilang berkali-kali.”
Ia menggigit keras puntung rokok:
“Jadi waktu kecelakaan terjadi, saat mereka meninggal... takkan kulupakan seumur hidupku, setiap menit dan detik tetap kuingat.”
Menghembuskan asap yang berputar-putar, Dalimao menunduk melihat jam tangannya:
“Kurang lebih sekitar jam segini.”
Lin Xian mengangkat pergelangan tangannya, suara Dalimao juga terdengar bersamaan——
“00:42”【00:42】
Braak!!!
Braak!!!
Braak!!!
Cahaya putih yang menyapu segalanya membakar habis segala sesuatu.
……
……
Di ranjang di sudut kamar tidur, Lin Xian membuka matanya.
