Sebenarnya Lin Xian berpikir, jika bisa mengetahui kapan dan di mana Tuan Adams pernah mendengar angka 42 atau konsep konstanta alam semesta, mungkin bisa memecahkan misteri ini.
Tapi sayangnya.
Orang mati tidak bisa bicara.
Lin Xian menggelengkan kepala.
Berbalik dan bersiap pergi——
"Hm?" "Eh!"
Begitu berbalik, langsung melihat seorang kenalan tak terduga.
Ekor kuda cokelat tinggi yang mengembang, mata besar penuh kecerahan, bibir yang sedikit terbuka karena terkejut, serta tahi lalat air mata seperti label anti-palsu di sudut mata kiri.
"...An Qing." Lin Xian terlambat setengah detik sebelum menyebut nama itu.
Pfft——
Chu Anqing langsung menutup mulut sambil tertawa, mata besarnya yang bersinar membentuk dua bulan sabit melengkung, lesung pipi kecil di sudut bibirnya samar-samar terlihat:
"Senior Lin Xian, aku ini sampai salah dikira siapa olehmu?"
"Ah..." Tiba-tiba dia tersadar, tersenyum nakal yang penuh kelicikan:
"Jangan-jangan... kamu mengira aku sebagai teman perempuan yang kamu sukai waktu SMA dulu?"
"Tunggu dulu." Lin Xian mengangkat telapak tangan menghentikan imajinasinya:
"Memang benar aku menggambar gadis itu, tapi aku tidak pernah bilang menyukainya... Lukisan itu benar-benar hanya latihan biasa, aku dan dia sama sekali tidak punya hubungan apa-apa."
Hah.
“Lin Xian menghela napas dalam hati.”
“Benar saja, sekali kau berbohong, kau harus terus berbohong berkali-kali untuk menutupinya.”
“Tapi memang tidak ada cara lain.”
“Saat itu, yang ia gambar sebenarnya adalah CC, tapi CC bukan orang dari zaman ini—tak ada jejaknya. Ia terpaksa mengarang seorang teman sekelas perempuan di SMA yang tidak ada untuk menghadapi situasi.”
“Chu Anqing dan CC terlihat persis sama. Kalau tidak mengatakan begitu, sketsa itu tidak bisa dijelaskan.”
“Ngomong-ngomong, kau juga ke sini untuk melihat pameran karya fiksi ilmiah?”
Lin Xian mengalihkan topik.
“Bukan.” Chu Anqing menggelengkan tangan, menunjuk koridor di seberang:
“Aku sedang melihat pameran lukisan di sebelah sana. Aula pameran itu sedang mengadakan ekshibisi lukisan minyak. Kebetulan lewat gedung ini, jadi kuputuskan mampir… Tak menyangka malah bertemu denganmu di sini. Kebetulan sekali!”
Lin Xian mengangguk.
Memang sangat kebetulan…
Ia menatap ke seberang koridor. Di dinding paviliun sana terpajang berbagai lukisan minyak. Tampaknya Chu Anqing tidak berbohong.
Ia memalingkan kepala kembali.
Baru sekarang ia sempat memperhatikan pakaian Chu Anqing hari ini.
Ini mungkin pertemuan ketiga mereka: pertama di pesta perayaan Perusahaan MX, kedua di ruang kuliah bersama Universitas Shanghai. Tak disangka pertemuan ketiga justru di tempat yang begitu kebetulan—Pameran Shanghai.
Penampilan Chu Anqing hari ini masih sangat santai.
Belakangan cuaca menghangat, para perempuan sudah melepas jaket tebal dan mantel besar, mulai berpenampilan ringan. Chu Anqing pun tidak terkecuali.
Hari ini, dia mengenakan setelan kaos oblong biru muda yang segar dan cantik + rok pendek abu-abu. Di kakinya terpasang stoking warna kulit untuk menghangatkan diri, keseluruhan penampilannya sangat enerjik dan penuh semangat muda. Dipadukan dengan sepatu bot yang solnya agak tebal, tinggi badan Chu Anqing seolah bertambah beberapa sentimeter, terlihat lebih ramping dan anggun dibanding dua pertemuan sebelumnya.
"Kau datang sendiri?"
"Iya, sore ini aku tidak ada kelas. Jadi kuputuskan untuk jalan-jalan ke sini. Sebenarnya aku selalu tertarik dengan melukis... Tapi kayaknya aku tidak punya bakat di bidang ini, bagaimana pun ku gambar tetap tidak bagus."
Chu Anqing tersenyum kecut, menatap Lin Xian:
"Tapi Senior Lin Xian, kamu benar-benar punya bakat melukis. Selain sket, tidak pernah terpikir untuk mempelajari bentuk seni lukis lain?"
"Tidak. Sebenarnya aku juga tidak terlalu suka melukis." Lin Xian tertawa:
"Tapi tidak bisa dibilang benci... Alasan aku berlatih sket hanya karena ujian seni masuk perguruan tinggi mewajibkan sket. Nilai akademikku tidak cukup baik. Kalau ingin masuk kampus bagus di Shanghai, hanya bisa lewat jalur seni."
"Kau sangat menyukai Shanghai?"
"Suka sih tidak bisa dibilang. Lebih karena penasaran dengan kota ini, jadi ingin melihat langsung."
Lin Xian menjawab terus terang.
Sejak kecil dia selalu bermimpi tentang kota bernama Shanghai. Karena itu keinginannya untuk mengunjungi kota ini tak pernah padam.
Sayangnya...
“Kini kota dalam mimpiku itu telah berubah total bagai laut menjadi sawah, berganti menjadi Shanghai lama yang miskin dan terbelakang. Yang menggantikannya adalah metropolis futuristik raksasa yang dikelilingi tembok baja setinggi 200 meter - Kota Baru Shanghai.”
“Oh begitu ya...”
Chu Anqing menjentikkan bola bulu di tali tudung hoodie-nya:
“Ternyata semua orang merasa dunia luar lebih baik.”
“Sebenarnya dibandingkan Shanghai, aku lebih suka kampung halamanmu di Hangzhou! Aku pernah liburan ke sana, pemandangannya sungguh indah, setiap sudutnya mempesona. Tidak seperti Shanghai... di mana-mana penuh sesak, selalu dipenuhi ketegangan yang sibuk.”
“Ngomong-ngomong Tahun Baru Imlek sebentar lagi, Senior Lin Xian, apa kau akan pulang kampung? Atau tetap tinggal di Shanghai?”
“Hmm, aku memang harus pulang sebentar,” jawab Lin Xian.
Pulang kampung saat tahun baru, tradisi lama Tiongkok. Apalagi Gao Yang juga akan mengorganisir reuni teman-teman lulus ujian negara, dia harus hadir.
Chu Anqing berbalik badan, menunjuk ke aula pameran lukisan di ujung koridor:
“Senior, pameran lukisan di sana banyak koleksi asli maestro ternama, bahkan ada yang dikirim dari British Museum. Ini kesempatan langka, mau ikut jalan-jalan?”
Karya asli...
Sebenarnya Lin Xian cukup tertarik.
Bagaimanapun ini bidangnya, ilmu yang dipelajarinya di kampus juga terkait hal ini. Dia penasaran dengan karya legenda para pelukis terkenal.
Sudahlah.
Sudah sampai di sini.
Coba lihat saja.
“Baiklah, mari kita lihat.”
“Hihihi! Bagus sekali, dengan begitu saya punya pemandu tur! Senior pasti sangat paham dengan lukisan-lukisan ini, ya?”
“Saya ini cuma amatiran.”
……
Kemudian.
Kedua orang itu mengunjungi pameran lukisan sambil bercakap dan tertawa.
Seperti yang dikatakan Chu Anqing, di sini memang terdapat karya asli pelukis-pelukis Eropa modern yang belum pernah dilihat Lin Xian sebelumnya.
Teknik dan nuansa sejarahnya... benar-benar memukau.
Sebelumnya dia hanya melihat lukisan-lukisan ini melalui buku pelajaran atau cetakan.
Tapi sensasi dua dimensi dan tiga dimensi sangat berbeda, lukisan minyak memiliki bobot dan kedalaman yang khas, hanya dengan memandangnya seolah kita bisa menyelami era Renaisans.
Chu Anqing seperti burung layang-layang yang ceria, cerewet dan penuh pertanyaan.
Untungnya hari ini adalah bidang Lin Xian, sebagian besar informasi tentang pelukis, gaya seni, dan latar belakang karya bisa dia jelaskan dengan lancar, terpaksa pamer sedikit sampai membuat Chu Anqing sangat kagum:
“Senior benar-benar hebat... Tahu segalanya, sungguh berilmu!”
“Ah tidak, hanya kebetulan saja cocok dengan bidang yang saya kuasai.”
Mereka terus berjalan sambil melihat-lihat.
Melewati sudut, mereka melihat lukisan hitam putih yang tergantung di tembok.
Gambar orang tua dengan rambut acak-acakan dan mata kosong itu membuat mereka mundur terkejut.
“Memasang lukisan seram di sudut seperti ini... pasti sengaja.”
Lin Xian menengadah, mengamati kembali lukisan tersebut.
Wajah tua di lukisan itu sangat familiar bagi semua orang, sosok fisikawan besar yang sering muncul di berbagai buku pelajaran——
"Albert Einstein."
Di atas kanvas, sang tokoh besar ini terlihat wajahnya muram, seolah mengalami pukulan berat yang membuatnya terlihat sangat tertekan.
Rambutnya acak-acakan, wajah dipenuhi kerutan, mata kosong bagai jiwa yang telah tercabut, menimbulkan kesan yang sangat tidak nyaman.
Ditambah lagi dengan teknik lukisan minyak ini yang mungkin bertujuan menciptakan atmosfer muram dan menyedihkan, penggunaan warna sangat minimalis - selain sedikit permainan cahaya dan bayangan, hampir seluruhnya menggunakan warna monokromatik hitam-putih, membuat kesan pertama yang tertangkap mata...
Seperti potret jenazah.
Seperti orang mati.
"《Einstein yang Murung》."
Chu Anqing mendekati lukisan tersebut dan membacakan judul karya itu:
"Karya ini dilukis pada tahun 1952 di Brooklyn, New York, oleh pelukis realis ternama Amerika abad lalu Henry Dawson..."
Dia mundur selangkah, mengamati kembali sosok Einstein dalam lukisan yang terlihat begitu murung, depresi, bahkan tanpa nyawa:
"Mengapa... Einstein memiliki lukisan seperti ini?"
Matanya berkedip-kedip menatap Lin Xian:
"Bukankah Einstein seorang ilmuwan sukses dan sangat dihormati dengan posisi akademis yang tinggi? Tapi... mengapa potret ini menampilkannya begitu sedih dan tertekan?"
"Senior Lin Xian, apakah kamu tahu latar belakang penciptaan lukisan ini?"
Di luar dugaan...
Lin Xian tetap mengangguk!
"Ini membuatnya sangat terkejut, senior di depan matanya ini... bagaimana bisa tahu segalanya? Seperti ensiklopedia berjalan."
Lin Xian mulai menceritakan lukisan ini.
"Inilah keuntungan terlalu banyak menonton film fiksi ilmiah dan membaca novel fiksi ilmiah, sedikit-sedikit tahu tentang segala hal."
"Sebenarnya Einstein di masa tuanya sangat kesepian, hampir seluruh waktunya dihabiskan dalam kesuraman dan tekanan."
Lin Xian sambil bercerita pada Chu Anqing, mengangkat kepala dan bertatapan dengan sepasang mata kosong pada [Einstein yang Murung]:
"Einstein percaya bahwa persamaan massa-energinya telah membuka kotak Pandora, sehingga membuat manusia menguasai kekuatan nuklir yang tak terkendali, melahirkan senjata pemusnah massal seperti nuklir, dan menyebabkan kematian jutaan orang."
"Tapi kekhawatirannya tidak berhenti di situ. Dia juga cemas akan masa depan umat manusia, takut jika perang global berikutnya meletus... hujan senjata nuklir akan menghujani bumi, langsung menyebabkan kepunahan manusia dan kehancuran peradaban."
"Meski sekarang kekhawatiran dan kecemasannya terlihat berlebihan, tapi di tahun 1952 yang penuh ketegangan... sebenarnya kekhawatiran seperti ini wajar dan masuk akal."
"Begitu ide ini mengakar, dia terjebak dalam labirin penyesalan dan rasa bersalah yang tak bisa dilepaskan. Inilah penyebab kesepian dan depresinya di masa tua."
……
Cerita tenang Lin Xian membuat Chu Anqing terpana mendengarkan.
Tak lama kemudian mereka menyelesaikan tur galeri pameran. Keduanya berjalan ke pintu Gedung Pameran Shanghai, lalu berpamitan dengan lambaian tangan.
“Hari ini benar-benar terima kasih ya Senior Lin Xian, sudah menjelaskan begitu banyak hal, saya benar-benar belajar banyak pengetahuan baru!”
“Tidak apa-apa, hanya bantuan kecil.”
Setelah mengantar Chu Anqing naik mobil, Lin Xian juga mengangkat tangan memanggil taksi, kembali ke rumahnya.
Setelah pulang makan sederhana dan mandi, melihat jam.
Pukul setengah enam.
Tidur di jam segini, kalau bisa cepat tertidur, masih sempat ke mimpi menangkap pencuri santou-ryu itu, lalu bergabung dengan kelompok wajah, sesuai alur cerita bertemu CC di tempat pengolahan sampah.
Lin Xian berganti piyama, berbaring di ranjang, menutup mata.
“Ayo CC.”
Di benaknya membayangkan senyum yang tak jelas apakah milik Chu Anqing atau CC:
“Saya punya banyak pertanyaan untukmu...”
……
……
……
Masih tanpa merasakan angin musim panas yang gerah, dalam sunyinya desa kecil dikelilingi rumah-rumah liar yang berantakan, Lin Xian membuka mata.
Dia berjalan ke sudut gang.
Dari kejauhan terdengar teriakan Ibu Li yang terengah-engah mengejar:
“Tangka—tangkap pencuri! Tang...tang...tangkap pencuri!”
