？？？
Tiga tanda tanya muncul di kepala Liu Feng.
Melirik Lin Xian, melirik Huang Que.
Ini...
Suasana ambigu macam apa ini?
Di hadapanku langsung main rayu seperti ini?
"Batuk-batuk."
Ia membersihkan kerongkongannya dua kali, lalu langsung mengambil ponsel dan berjalan ke luar pintu:
"Eh, aku ke kamar mandi dulu. Kalian silakan mengobrol."
Begitu kata...
Ia pun cepat-cepat keluar.
Lin Xian menatap Huang Que:
"Kau--"
Baru satu huruf terucap, Liu Feng sudah kembali terburu-buru mengambil gulungan tisu toilet:
"Setelah dipikir-pikir, lebih baik sekalian buang air besar saja. Aku kalau ke kamar mandi biasanya lama, setengah jam baru selesai. Kadang malah sampai sejam. Pokoknya, aku pergi dulu."
Braak!
"Dia juga menutup pintu."
“……”
Lin Xian menatap pintu laboratorium yang tertutup, menoleh, lalu memandang Huang Que.
Sepertinya, tadi memang hanya ilusi dirinya sendiri.
Mungkin juga karena Huang Que berdiri di bawah sinar matahari.
Jadi terasa warna matanya lebih pudar.
Saat Huang Que sekarang berjalan dari koridor masuk ke laboratorium, memasuki area bayangan, pupil matanya tetap terang seperti semula... Tidak tahu mekanisme apa ini.
"Aku sudah mendapatkan undangan Klub Jenius."
Lin Xian berkata pelan.
Sebenarnya dia ingin bertanya mengapa Huang Que kebetulan ada di sini, tapi setelah diganggu Liu Feng, lebih baik langsung ke inti:
"Aku juga tidak tahu harus bilang apa, petunjukmu sudah sangat jelas. Fakta membuktikan waktu berdiriku di depan cermin masih kurang, tidak cukup lama. Jika aku mendengarkanmu dan langsung menatap cermin selama 24 jam, pasti sudah bisa memecahkan teka-teki itu lebih awal."
Huang Que tersenyum sambil berjalan ke tengah laboratorium, membelai Zhong Ruang-Waktu yang diletakkan Liu Feng di meja eksperimen:
"Berlagak Zhuge Liang setelah kejadian tidak ada artinya. Lagipula, tidak ada orang normal yang akan menatap cermin selama 24 jam. Selain itu, mendapatkan undangan sekarang juga tidak terlambat."
"Atau... meski kebetulan bisa mendapatkannya lebih awal, tetap tidak akan berguna. Bagaimanapun undangan hanya langkah pertama, tanpa jawaban benar untuk tiga pertanyaan itu, tetap tidak bisa bergabung dengan Klub Jenius."
“Hidup memang seperti ini, tidak tahu langkah mana yang benar atau salah, juga tidak tahu hal apa yang harus dipertahankan atau kapan harus menyerah di tengah jalan. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya padamu, Lin Xian, kalau benar lanjutkan, kalau salah biarkan salah sampai akhir, yang tidak boleh adalah ragu-ragu.”
Lin Xian membuka ritsleting jaket olahraganya, memperlihatkan hoodie di dalamnya.
Di bagian dada, tersemat cap emas Klub Jenius itu.
Dia menunjuk cap tersebut ke arah Huang Que:
“Yang membuatku penasaran sekarang... apakah surat undangan Klub Jenius ini kudapat melalui jalur normal? Atau ada unsur kecurangan? Menurut pemahamanku... orang yang bisa mendapatkan undangan seharusnya bisa menjawab tiga pertanyaan itu dengan mudah, bukan seperti diriku yang masih bingung tanpa petunjuk sama sekali.”
“Lagi pula... mendapatkan undangan Klub Jenius saja sudah sangat sulit, seharusnya tidak ada kegagalan dalam ujian ini? Setidaknya selama bertahun-tahun ini, Klub Jenius bisa bersembunyi dengan baik tanpa bocor sedikitpun petunjuk, ini membuktikan setiap penerima undangan sebenarnya telah lulus tiga ujian?”
Huang Que mengedipkan mata biru tajamnya:
“Di titik ini tebakanmu benar, penerima undangan pasti bisa menjawab tiga soal ujian, ini hubungan sebab-akibat yang mutlak. Mengenai asal-usul undanganmu... kurasa kau sendiri punya kesadaran diri, tapi jangan tanya detail padaku, aku tidak bisa memberitahumu.”
Lin Xian mengangguk.
Menutup ritsleting jaketnya, tidak bertanya lagi:
“Aku akan mencari jawabannya sendiri.”
Usai mendengar.
Huang Que tersenyum penuh arti, tanpa berkata-kata.
Lin Xian baru teringat pertanyaan awalnya, dia menengadah melihat Huang Que:
"Dari ucapan Liu Feng yang tiba-tiba dipotong, apakah kau sudah pernah datang sebelumnya? Ada keperluan apa denganku?"
Huang Que mengangguk:
"Aku ingin mengundangmu ke 【Kopenhagen】 bersamaku."
Kopenhagen?
Lin Xian mendengar nama tempat yang familiar ini.
Kopenhagen adalah ibukota Denmark sekaligus kota terbesar negara itu, pernah dinobatkan sebagai kota paling layak huni di dunia dan dijuluki salah satu kota paling bahagia sedunia.
Iklim di sini sangat ideal, musim sejuk sepanjang tahun dengan suhu tertinggi musim panas sekitar 22 derajat Celsius, sedangkan suhu terendah musim dingin hanya beberapa derajat di bawah nol, benar-benar nyaman untuk ditinggali.
Namun, alasan Lin Xian familiar dengan kota ini bukan karena pariwisata atau iklim, melainkan berasal dari debat terhebat dalam sejarah sains manusia -
Debat Abad antara Albert Einstein dan Niels Bohr.
Ini adalah perdebatan sengit seputar mekanika kuantum yang melibatkan hampir semua ilmuwan tercerdas sepanjang masa, masing-masing mempertahankan argumennya tanpa ada yang mau mengalah.
Niels Bohr sendiri adalah pendiri Mazhab Kopenhagen, yang memberikan kontribusi besar dalam pendirian dan pengembangan disiplin ilmu mekanika kuantum modern.
Yang menarik, hingga hari ini, masih belum ada kesepakatan tentang siapa pemenang sebenarnya dalam perdebatan selama ratusan tahun ini.
Pada tahun 2022, karena Hadiah Nobel Fisika diberikan kepada bidang eksperimen keterkaitan kuantum yang telah lama dinanti-nantikan, banyak orang menganggap bahwa akhirnya mazhab Kopenhagen yang menang, sementara Einstein kalah.
Namun sebenarnya, mekanika kuantum saat ini masih berada dalam keadaan yang cukup abstrak. Sebagian besar teorinya tidak dapat dibuktikan melalui eksperimen, sehingga tidak ada bukti apa pun yang menunjukkan bahwa Einstein salah.
Bahkan lebih banyak akademisi berpendapat bahwa baik Einstein maupun mazhab Kopenhagen sama-sama salah.
Singkatnya.
Perdebatan antara sekelompok jenius terpintar dalam sejarah manusia ini, Lin Xian tidak mengerti dan tidak bisa mempelajarinya. Hanya kebetulan perdebatan ini membuatnya mengingat dengan kuat nama "Kopenhagen".
Dan sekarang, Huang Que secara khusus mengusulkan untuk pergi ke Kopenhagen.
Lin Xian merasa...
Mungkinkah ada makna tersembunyi?
Mengingat lukisan 《Einstein yang Murung》 yang masih belum terpecahkan password-nya, lalu memikirkan sekelompok jenius termasyhur manusia dalam perdebatan Kopenhagen abad lalu.
Mungkinkah.
Ada rahasia apa di Kopenhagen?
Atau mungkin Huang Que akan memberikan petunjuk lagi?
Namun...
Saat Lin Xian sedang pusing memikirkan teka-teki ini, Huang Que melihat ekspresi keningnya yang berkerut dan terkekeh:
"Lin Xian, kau tidak perlu memikirkan makna tersembunyi apa pun."
"Undanganku kali ini untukmu ke Kopenhagen sama sekali tidak mengandung makna tersembunyi, tidak ada petunjuk, dan tidak ada hubungan apa pun dengan Klub Jenius, Tiang Milenium, Partikel Ruang-Waktu, dan semua hal lainnya."
“Aku hanya……sekadar ingin jalan-jalan di kota indah itu.”
Lin Xian terkejut.
Ini, tidak seperti gaya Huang Que ya.
Apakah dia tipe perempuan yang suka seni dan wisata seperti ini?
Jangankan dia, bahkan Zhao Yingjun pun bukan karakter seperti itu……Terasa sekali hobi jalan-jalan dan kuliner sama sekali tidak cocok dengan tipe perempuan seperti mereka.
Zhao Yingjun, benar-benar wanita karier yang fokus total pada pekerjaan.
Huang Que, lebih cepat dan tegas lagi, mengerjakan pesawat antariksa sendirian dan memimpin seluruh rencana penangkapan.
Sulit dibayangkan, perempuan seperti Huang Que pergi ke luar negeri hanya karena ingin jalan-jalan atau berwisata.
“Apa kau pernah ke Kopenhagen sebelumnya?” tanya Lin Xian.
“Tidak.”
Huang Que menggelengkan kepala:
“Justru karena belum pernah, aku ingin pergi melihatnya.”
“Jadi……bolehkah?”
Matanya yang biru tua seperti kaca patri menatap Lin Xian:
“Bisakah kau menemaniku ke sana?”
Lin Xian menatap Huang Que.
Akhirnya.
Mengangguk:
“Baik.”
……
“Ini, ini agak aneh ya!”
Setelah Huang Que meninggalkan laboratorium, Liu Feng segera menyelinap kembali.
Mendengar undangan Huang Que yang diceritakan Lin Xian, Liu Feng tampak tak percaya:
“Ini tidak seperti hal yang biasa dilakukan Huang Que……terlalu tidak tulus, malah mengundangmu jalan-jalan ke luar negeri. Kita sudah cukup lama mengenal Huang Que.”
“Kalau gadis seperti Chu Anqing, mungkin akan mengundangmu jalan-jalan, tapi kalau Huang Que... Menurutku kecuali pohon besi berbunga, atau dia... Ah, jangan-jangan dia tertarik padamu? Aku rasa ini tidak mungkin, bagaimana ya Lin Xian...”
Liu Feng mengerutkan alisnya, merenung sejenak, lalu menengadah dengan khidmat:
“Sebelumnya memang pernah kukatakan, tatapan Huang Que padamu aneh, waktu itu kan sudah kubilang, agak lekat. Tapi setelah lebih sering berinteraksi, kurasa aku mungkin salah paham... Jangan tersinggung ya Lin Xian, kesimpulan terbaruku adalah... Huang Que sebenarnya tidak menyukaimu...”
“Perasaan dalam tatapannya padamu sangat rumit, seolah melihatmu tapi bukan dirimu, mengerti tidak penjelasanku?”
“Kamu sendiri mengerti tidak?” Lin Xian membalas:
“Omongan ngawur begini siapa yang bisa paham?”
“Lagipula sejak awal sudah kubilang, jangan lihat perempuan langsung anggap dia suka padaku, aku tidak semenarik yang kau kira. Huang Que... Bagaimana ya, perasaanku padanya juga agak.”
Lin Xian mengatakan yang sebenarnya.
Dia tahu, 99% kemungkinan Huang Que adalah Zhao Yingjun yang melintas dari garis waktu masa depan.
Tapi.
Ia tetap tidak bisa menganggap dua orang ini sebagai pribadi yang sama.
“Tatapan Huang Que padamu seperti melihat anak sendiri!”
Liu Feng tiba-tiba berkomentar:
“Iya betul! Persis tatapan seorang ibu pada anak lelaki yang tak berguna!”
“Ha?”
Lin Xian terlihat bingung memandang Liu Feng:
"Kau semakin ngawur saja, bisakah kau mengesampingkan gosip hatimu dan fokus pada penelitian? Bukankah hanya karena pernah pacaran sekali, kau menganggap diri sendiri sebagai master perasaan?"
"Sudahlah, urusan kalian berdua takkan kusela."
Liu Feng melambaikan tangan:
"Lalu apa pendapatmu? Bukankah akhirnya kau tetap setuju pergi ke Kopenhagen bersamanya?"
Lin Xian terdiam beberapa detik, lalu melanjutkan:
"Itu karena aku merasa..."
"「Kali ini, Huang Que masih berbohong.」"
Dia menatap Liu Feng:
"Sebelum pesawat antariksa kita terbang kali ini, aku pernah bertanya padanya mengapa harus membawa Chu Anqing ke luar angkasa. Apakah karena partikel ruang-waktu mengejar Chu Anqing?"
"Saat itu dia dengan santai menyangkal, bilang hanya untuk cadangan - lebih banyak orang lebih banyak kekuatan. Tapi kenyataannya, seperti yang kita tahu, Huang Que sudah paham Chu Anqing adalah senjata pamungkas untuk menangkap partikel ruang-waktu, hanya dia yang bisa melihat partikel ruang-waktu yang energinya habis."
"Tentu kami paham, mungkin ini semua karena 【penghindaran paksa】 dari hukum ruang-waktu yang tak bisa diungkapkan. Sekarang tak perlu diperdebatkan lagi."
"Jadi dari sudut pandang yang sama, kali ini Huang Que juga dengan enteng bilang hanya jalan-jalan. Tapi sebenarnya? Mungkin... kebenarannya tidak sesederhana ini. Pasti ada rencana di baliknya."
Mendengar ini, Liu Feng terlihat termenung:
“Begitu rupanya... Kalau begitu, memang perlu pergi ke Kopenhagen bersama Huang Que. Lagipula dia tidak akan menyakitimu, paling-paling hanya membohongimu itupun kebanyakan kebohongan kecil. Pasti dia tidak akan mencelakaimu.”
“Kalau gitu pergilah dengan tenang. Kehadiran Huang Que selalu tepat waktu, setiap kali bisa memberikan petunjuk krusial. Lihatlah, bukankah kau sedang bingung tidak tahu arti 【koordinat ruang-waktu】? Mungkin dia bilang tidak bisa memberi tahu, tapi sebenarnya akan memberi implikasi lewat tindakan dan jawaban untukmu.”
“Lagipula... Kopenhagen itu bagi banyak penggemar sains ibarat tanah suci ziarah. Bisa jadi setelah kesana kita akan menemukan sesuatu.”
Lin Xian mengangguk:
“Bahkan jika dia membohongiku juga tidak masalah.”
Ia melambaikan tangan pada Liu Feng dan meninggalkan laboratorium:
“Aku terlalu banyak berhutang padanya.”
……
Hari berikutnya.
Bandara Pudong.
Lin Xian mendorong dua koper, mengikuti langkah sepatu hak tinggi Huang Que yang berbunyi tak-tak-tak, layaknya bawahan.
Huang Que terlihat sangat rileks.
Meski hari ini masih memakai sepatu hak tinggi yang seolah dilas di kakinya, dan anting safir biru yang menempel permanen di daun telinga.
Tapi untuk pakaian lainnya, penampilan Huang Que hari ini lebih kasual.
Tidak ada elemen kantoran.
Memakai kacamata hitam besar dan topi rajutan.
Benar-benar berpenampilan seperti nyonya kaya yang sedang liburan ke luar negeri.
Tapi Lin Xian sama sekali tidak bisa rileks...
Dia tidak merasa saat ini adalah waktu yang tepat untuk pergi ke luar negeri, juga tidak menganggap momen sekarang cukup baik untuk berwisata.
Jika bukan karena menuruti Huang Que, Lin Xian sama sekali tidak akan pergi ke luar negeri di saat seperti ini.
Pesan VV mengungkapkan bahwa Elon Jusk si harimau bermuka dua sama sekali tidak bersahabat;
Kevin Walker, sejak awal dia sudah tahu harus mengejar Partikel Ruang-Waktu, namun setelah pertempuran di langit itu, kabarnya kembali menghilang - entah apa maksud hatinya;
Copernicus juga sama, seharusnya dia tidak sulit mengetahui bahwa dirinyalah yang membunuh Ji Xinshui? Tapi sampai sekarang tidak ada jejak aktivitasnya;
Satu per satu orang-orang ini memiliki niat jahat, namun sama sekali tidak bergerak - justru membuat Lin Xian kadang merasa cemas... Khawatir mereka semua sedang merencanakan sesuatu yang besar.
Tapi...
Dia mengangkat kepala, memandang Huang Que yang sedang berjalan cepat menuju pintu boarding sambil membawa tas tangan.
Dengan adanya Seleksi Ketat Huang Que, dia tidak khawatir tentang keamanan perjalanan ini. Hanya saja tetap penasaran, apa sebenarnya tujuan Huang Que kali ini.
Boarding kelas satu memiliki lorong cepat khusus. Huang Que yang sedang memverifikasi tiket di depan, dilihat sekilas oleh Lin Xian.
Nama: Huang Que.
……
Ternyata benar namanya Huang Que!
Tapi masuk akal juga, wanita ini punya strategi untuk mengatur Pusat Peluncuran Satelit Jiuquan, punya cara untuk mengendalikan pesawat antariksa.
Dibandingkan itu, meminta departemen terkait untuk "melengkapi" KTP dan informasi identitasnya tentu jauh lebih mudah, semudah membalik telapak tangan.
Lin Xian juga ingin melihat usia di KTP tersebut.
Tapi setelah memverifikasi tiket, Huang Que langsung mengambil KTP bersama boarding pass dan memasukkannya ke dalam tas tangan, lalu menoleh ke Lin Xian:
"Mengintip usia wanita itu sangat tidak sopan."
Lin Xian tidak menggubris:
"Lagipula di dokumenmu ini, usia pasti palsu sama seperti namamu."
Huang Que terkekeh pendek:
"Belum tentu."
Setelah berkata demikian, dia melanjutkan langkah sepatu hak tingginya ke depan.
BOOM--
Sensasi gaya dorong ke kursi yang familiar kembali terasa, pesawat Boeing lepas landas.
Lin Xian sudah tidak tahu berapa kali merasakan gaya dorong ini belakangan, benar seperti kata Gao Yang, waktunya di langit lebih panjang daripada di bumi.
Penerbangan langsung Shanghai ke Kopenhagen memakan waktu 13 jam, hampir setengah keliling bumi.
Dulu di pesawat antariksa yang terbang dengan kecepatan orbit pertama, setengah bumi bisa ditempuh hanya 40 menit.
Tapi sekarang, butuh waktu 13 jam yang terasa sangat lama.
Untungnya karena perbedaan zona waktu, saat mereka mendarat di Kopenhagen masih pagi hari, tidak perlu menyesuaikan jet lag.
Setelah pesawat mendarat, mereka mengurus berbagai prosedur.
Masih Lin Xian yang mendorong bagasi mereka keluar dari bandara, berjemur di bawah sinar matahari yang tak begitu hangat sambil menatap ke atas.
"Kita mau ke mana sekarang?" tanya Lin Xian:
"Karena kamu selalu ingin ke sini, pasti ada tempat yang ingin dikunjungi kan?"
Namun di luar dugaan Lin Xian.
Huang Que perlahan menggelengkan kepala:
“Saya sama sekali tidak mengenal Kopenhagen, ke mana pun kau ingin pergi, kita akan ke sana.”
？
Ucapan ini membuat Lin Xian bingung.
Sebenarnya dia hanya menemani Huang Que ke sini, menurutnya pasti Huang Que punya rencana atau tujuan tertentu, atau mungkin ingin memberikan petunjuk penting padanya di Kopenhagen.
Mungkinkah...
Apakah dugaannya selama ini salah?
Dia terkekeh pendek, menatap Huang Que yang mengenakan syal biru:
"Kalau kau sama sekali tidak mengenal Kopenhagen, lalu mengapa sangat ingin datang ke sini?"
"Karena ada seorang suami yang berjanji akan membawaku ke sini. Dia sangat menyukai Kopenhagen."
Huang Que mengalihkan pandangan dari langit, menatap Lin Xian:
"Tapi dia ingkar janji."
Senyum di wajah Lin Xian membeku, lalu menghilang.
Dia mengatupkan mulutnya.
Beberapa detik kemudian, dia bertanya dengan hati-hati:
"Bukan... aku, kan?"
"Heh."
Huang Que tiba-tiba tertawa getir.
Angin sepoi-sepoi Denmark mengusap rambut hitam yang tersembul dari topinya:
"Tentu bukan kau. Kau tidak pernah ingkar janji."
Dia menoleh kembali, memandang garis langit Kopenhagen yang dipenuhi gedung-gedung tinggi:
"Bukankah kau... sudah membawaku ke sini?"
