Chen Qi bisa merasakan seluruh tubuh dan pikirannya tenggelam dalam kepuasan, dan kenikmatan ini terus meningkat dengan cepat. Seolah-olah setiap otot, setiap pikiran bersorak gembira menyambut pembantaian tanpa akhir ini.
"Mengapa aku berubah seperti ini? Meski sebagai Kepala Keluarga Chen aku pernah membunuh, tapi itu semua terpaksa. Sekarang ada suara yang membisikkan: BUNUHLAH! BUNUHLAH! BUNUH SAMPAI HUTAN SENANG, BUNUH SAMPAI JALAN BERDARAH SEPANJANG SEPULUH RIBU LI, BUNUH SAMPAI GUNUNG MAYAT SEPERTI NERAKA, BUNUH SAMPAI SEGALA MAKHLUK PUNAH... Dari mana niat mengerikan ini? Ini pasti bukan pikiran manusia biasa..."
Chen Qi juga bukan tak pernah terlena. Perasaan nyaris realistis ini seolah makin banyak membunuh, makin kuat ilmu Taonya, hidup pun makin bahagia. Tapi di lubuk hati si pencuri kecil ini masih ada banyak suara penentang. Sejak kecil, Chen Qi hidup di Markas Gunung Kuda Terbang. Kegembiraannya sehari-hari hanyalah merampok Domba Gemuk, mendapat hadiah kecil dari Ketua Besar, atau kemajuan dalam latihan Ilmu Tulang Besi dan jurus pedang ciptaannya sendiri.
Tapi Chen Qi sekarang sudah berbeda. Ia bukan lagi si pencuri kecil dari Gunung Tianma. Tanpa perlu merampok pun, hidupnya sudah berkecukupan. Segala hal yang dulu membuatnya bahagia, kini terlihat bagai butiran pasir yang tak berarti. Impiannya yang dulu terulang ribuan kali—untuk menguasai Ilmu Tulang Besi setara Pemimpin Besar Si Angin Puting Beliung—kini bukan hanya tampak konyol, tapi kenyataannya tingkat kultivasinya sudah jauh melampaui sang pemimpin. Dulu ia berharap punya tumpukan emas-perak, tapi kini tanpa banyak usaha merampas, dari dua "Domba Gemuk" sekte Heshan Dao saja, harta yang didapatnya sudah cukup untuk menghamburkan seumur hidup. Bahkan jika ingin lebih kaya lagi, tinggal menjual Fu yang terkumpul harian di Pagoda Vajra, dengan mudah ia bisa menjadi taipan kaya raya.
"Tak ada yang bisa memilih asal-usul kelahiran, tapi setiap orang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri."
Ketika kalimat ini tiba-tiba muncul dalam hati Chen Qi, hatinya tiba-tiba terasa sakit tanpa alasan. Rasa sakit itu bukanlah penderitaan fisik, melainkan berasal dari bagian terdalam jiwanya, bahkan sedalam tempat yang ia kira takkan pernah diingatnya seumur hidup. Kalimat ini bukanlah hasil pemikirannya sendiri, melainkan... ajaran yang dengan sabar diulang-ulang oleh ibu Chen Qi saat mengajarinya membaca dan menulis. Perempuan yang wafat muda dalam nasib malang sebagai istri pencuri ini, dengan kelembutan dan kasih sayang ibu yang tak terbatas, berusaha memberitahu anak kesayangannya bahwa suatu hari nanti ia pun bisa meraih prestasi yang terhormat. Sosok ibu ini tak tergantikan dalam pandangan Chen Qi, namun terperangkap dalam sarang penjahat, ia tak pernah punya pilihan. Seiring bertambahnya usia, ia semakin merasa tak mampu memenuhi harapan ibu yang inginnya menjadi orang baik, sehingga dengan sengaja melupakannya, bahkan menjadikan ambisi menjadi penjahat besar yang menguasai dunia sebagai target, mengubur harapan tulus sang ibu di masa kecil yang dengan sabar terus diingatkannya...
Bahkan Chen Qi sendiri pada akhirnya mengira bahwa cita-citanya benar-benar ingin menjadi Ketua Besar sebuah benteng. Setelah tanpa sengaja membunuh Xiao Pingnan dan mendapatkan tiga lembar buku emas serta Kitab Gunung Padi, ia pun berusaha mati-matian mewujudkan keinginannya menjadi penjahat besar. Selalu berambisi mencari sebuah wilayah pegunungan, merekrut banyak anak buah, membangun markas pertahanan, dan idealnya setiap hari bisa merampok Domba Gemuk...
Namun pada satu kejap ini, saat Chen Qi terhipnotis ilusi dan hampir terjerumus ke dalam hati pembunuhan tanpa batas, ajaran penuh kasih ibu di masa kecil dan tatapan penuh harap setiap kali melihatnya, muncul dari kedalaman hatinya bagai aliran sungai. Kekuatan hati ini, seperti kasih sayang seorang ibu pada anaknya, bukanlah kekuatan yang luar biasa besar, tampak remeh, namun mengalir terus-menerus tak terbendung.
Semakin pekat emosi yang menggelora dalam hati Chen Qi, semakin nyeri rasa sakit tanpa sebab itu. Aura perkasa yang membubung di kejauhan memicu semangat juang yang tak tertahankan dalam dirinya. Taisang Hualong Jue mengalir ke seluruh tubuhnya, berevolusi menjadi naga air emas yang mengaum terbang ke langit, mendorong aura Chen Qi melambung tinggi bagai ombak.
Seperti gelombang samudera yang saling susul-menyusul, tiada henti dan tak berkesudahan.
Aura perkasa di kejauhan itu tampak terkejut, mengapa ada yang berani menantang kekuasaannya yang menguasai langit dan bumi. Setelah suara lolongan nyaring bergema, seekor monster purba termanifestasi dari dunia ini. Itulah Serigala Hijau Berkepala Tiga, seluruh tubuhnya diselimuti badai pasir kuning. Tingginya minimal 300 meter, setiap kepala serigala memiliki mulut yang mampu menelan gerbang kota.
Chen Qi menyatukan kedua tangannya, energi naga sejati yang dibangkitkan melalui teknik Taisang Hualong Jue segera berubah menjadi naga api. Naga ini mengangkat kepala sambil mengaum, seluruh tubuhnya berapi menyala. Sejak mulai melatih Taisang Hualong Jue, ini pertama kalinya Chen Qi berhasil membangkitkan ilmu Tao kuno ini hingga puncaknya. Pada momen ini, seolah ia bisa menembus ruang-waktu tak terbatas, merasakan tekad abadi dan perkasa sang pencipta teknik ini - sebuah kehendak yang tirani dan tanpa ampun, seolah siap menghancurkan segala yang menentangnya, tak peduli apapun itu.
Naga Api Membakar Padang Bertarung Habis-habisan Melawan Serigala Hijau Tiga Kepala!
Andai Chen Qi belum membuka kebijaksanaan penglihatan dan pendengaran, serta belum menguasai Pedang Mata Emas Api Mengalir, pasti tak bisa melihat ilusi ini. Serigala tiga kepala ini memanfaatkan kekuatan ilusi yang menyamai dewa-dewa kuno. Namun setelah ilusi terbongkar, kekuatannya hanya setara Tingkat Ketiga Latihan Qi. Meski level kultivasinya sedikit lebih tinggi, jurus Meriam Naga Sejati Chen Qi tetap tak terbendung.
Saat Huangsha Wanli (Pasir Sepuluh Ribu Li) yang disemburkan oleh Serigala Hijau Tiga Kepala bertabrakan dengan Huolong Fenye (Naga Api Membakar Padang), gelombang energi dahsyat langsung membalik menyerang. Tubuh Serigala Hijau yang terkonsentrasi lewat kekuatan ilusi ini pun mulai tercerai-berai dihajar kobaran api. Meski Chen Qi berhasil mengeluarkan potensi terpendamnya yang belum pernah terjadi sebelumnya akibat rasa sakit mendalam di hatinya - kekecewaan karena mengecewakan harapan ibunya - pengaruh kuat ilusi terhadap para penyusup tetap tak terbendung. Ditambah lagi level kultivasinya yang masih kalah, saat Huolong Fenye berhasil menembus tubuh Serigala Hijau, Chen Qi sendiri terlempar oleh semburan pasir kuning makhluk itu.
Masih di udara, tubuh Chen Qi telah berubah menjadi seekor Burung Gagak Api. Dengan sekali kepakan sayap, ia berhasil menghentikan gerak mundurnya. Alih-alih menyerang balik dengan Huoyu Jian (Panah Bulu Api), naluri terdalamnya seolah merasakan bahwa hanya dengan mengandalkan Taisang Hualong Jue (Ilmu Naga Titisan Langit), ia bisa meraih imbalan terbesar saat berhasil menerobos ilusi ini.
Chen Qi menggunakan transformasi Burung Gagak Api untuk menghentikan kemundurannya, lalu berteriak keras dan menarik kembali transformasi tersebut. Masih menggunakan jurus "Naga Api Membakar Padang", kali ini dia menggabungkan dua aliran Energi Naga Sejati dalam tubuhnya. Dua ekor naga api mengaum menggema, saling menyilang membentuk formasi pemusnah. Meskipun tiga ekor Serigala Hijau menyemburkan Pasir Kuning sejauh sepuluh ribu li untuk bertahan, jurus naga api yang kekuatannya tiba-tiba berlipat ganda ini langsung menembus pertahanannya. Kali ini, kedua naga api tidak merobek tubuhnya keluar, melainkan mengamuk di dalam badan siluman dan mengikis habis aura ilusi yang menyusun wujudnya.
Chen Qi menekan kedua tangannya dan melangkah mantap ke depan. Meski tiga ekor Serigala Hijau ini ribuan kali lebih besar darinya – bahkan mampu menelan seluruh kota prefektur Fu Yang – tubuhnya yang terhitung tinggi di antara manusia biasa hanyalah sebesar semut dibandingkan. Namun aura si pencuri kecil ini telah menekan tiga ekor Serigala Hijau itu. Begitu niatnya bergerak, dua naga api langsung berputar-putar lincah. Meski siluman itu masih ingin melawan, aura ilusi penyusun tubuhnya terus dikikis habis oleh kedua naga api, membuatnya tak lagi punya kekuatan cukup untuk bangkit.
"Hancurlah! Biarkan aku melihat hadiah apa yang kau bawa untukku!"
Chen Qi berseru dingin, Serigala Hijau bertiga kepala itu langsung terkoyak menjadi berkeping-keping oleh dua ekor naga api yang menyembul dari dalam tubuhnya. Setelah membunuh siluman itu, kedua naga api masih enggan berhenti, terus menari-nari di udara sampai menghabiskan sisa tubuh Serigala Hijau yang remuk redam, baru akhirnya mendarat dan ditarik kembali ke dalam tubuh Chen Qi.
Sumber energi misterius yang terkandung dalam tubuh Serigala Hijau bertiga kepala itu berubah menjadi aksara-aksara kuno nan anggun, perlahan menyatu dengan Energi Naga Sejati Chen Qi. Sebelumnya, Chen Qi telah memisahkan sebagian Energi Naga Sejatinya untuk dijadikan Panji Dewa Naga Asta, yang kini bersemayam di cakra mata ketiganya. Karena Pagoda Vajra tertinggal di luar, energi Naga Sejati di dantian-nya kehilangan wadah. Namun saat tubuh Serigala Hijau hancur menjadi aksara-aksara, seluruh energi ilusi yang diserap Chen Qi bagai menemukan sumbernya, berhamburan menyatu dengan Energi Naga Sejati di dantian hingga menjadi satu kesatuan utuh.
Dengan konsentrasi penuh, Chen Qi bisa melihat jelas bagaimana Energi Naga Sejati di dantiannya berubah menjadi gumpalan cahaya pelangi yang bergulung-gulung, lalu berevolusi menjadi gulungan kitab suci. Meski aksara-aksara dari tubuh Serigala Hijau telah menghilang, kitab ini tetap memancarkan aura misterius. Begitu Chen Qi menyentuhnya dengan niat, segenap rahasia kitab itu langsung tersingkap dalam pikirannya.
Setelah menelan energi ilusi dari tiga ekor Serigala Hijau yang mengeraskan tubuh, serta warisan teknik Jalan yang tersembunyi dalam tubuh, energi Naga Sejati kedua Chen Qi juga berevolusi menjadi sebuah alat ritual. Setelah terwujud, benda ini perlahan naik dari dantian, berkelana hingga mencapai titik Yuzhen di tengkuk, baru kemudian berhenti.
Chen Qi mengibaskan lengan bajunya, menghapus ilusi di depan mata. Xu Li dan Ying Ying yang sedang berputar-putar seperti orang bodoh langsung berlari gembira saat melihatnya muncul tiba-tiba. "Tuan Tujuh kamu baik-baik saja? Kemana saja tadi? Kami mencari tapi tidak ketemu!" Chen Qi tersentuh melihat kepedulian mereka. "Hehe, lebih baik kita bicara di luar. Ada beberapa hal yang perlu kutanyakan padamu."
