Kolonel Senior tertegun menatap Letnan Kolonel, hingga Letnan Kolonel memberi isyarat untuknya berbicara. Barulah Kolonel Senior tersadar. Ia pun teringat alasan mengapa para prajurit salah paham. Dengan perasaan lega, Kolonel Senior bersemangat berteriak lagi: "Saudara-saudara, saatnya meraih jasa! Serang mereka!"
Penghuni kendaraan tempur tidak percaya perkataan Letnan Kolonel. Sebab dengan berjalan dengan gegabah seperti ini, teroris di dalam Pangkalan pasti sudah menyadari meski mereka buta sekalipun. Lagipula bukankah ada ratusan perwira yang disandera di dalam? Tidakkah serangan semena-mena ini membahayakan nyawa para perwira? Mereka tidak tahu Kolonel Senior sudah tak punya beban setelah kehilangan putra, sementara Letnan Kolonel berharap serangan gencar akan membuat sosok misterius itu sibuk hingga lupa menyandera. Ia yakin sang misterius tidak tahu identitas putranya yang sebenarnya.
Meskipun tank-tank ini enggan menembak, tetapi melanggar perintah bisa berisiko dihukum tembak oleh komandan. Akhirnya mereka mengarahkan senjata ke fondasi Pangkalan yang sangat kokoh, setidaknya jika ada masalah di kemudian hari, mereka punya alasan.
Lubang meriam ganda pada tank menggelegar, 20 bola merah menghujam cepat ke fondasi Pangkalan. Suara ledakan memekakkan telinga disertai kepulan asap hitam dan cipratan tanah padat memenuhi langit di atas Pangkalan.
Saat asap mulai menghilang, komandan garnisun yang sedang bersemangat justru tidak melihat pintu besar Pangkalan runtuh. Yang terlihat hanya dinding perak di bagian bawah Pangkalan yang menghitam akibat jelaga.
Kolonel Senior sampai urat lehernya menonjol marah, meraih komunikator dengan kasar lalu mengumpat: "Sialan! Kalian menembak apa ini? Arahkan senjata ke pintu besar!" Setelah mengumpat, ia melambaikan tangan sambil berteriak ke Letnan Kolonel: "Majukan pasukan cepat-cepat!" Letnan Kolonel juga muak melihat efek penembakan ini. Tadinya mengira pintu akan hancur sehingga prajurit di truk pengangkut bisa langsung masuk, tak menyangka hasilnya begini. Maka ia pun berteriak memerintahkan formasi untuk segera bergerak maju.
Prajurit di truk pengangkut di belakang sudah gelisah sejak mendengar perkataan Letnan Kolonel. Katanya menyerang teroris, siapa tahu ini sebenarnya pemberontakan? Begitu mendengar ledakan, mereka semua lonjak ketakutan sambil saling pandang panik. Mereka bingung harus bagaimana - patuh perintah menyerang pangkalan? Apakah mereka yang bahkan belum pernah iklat militer harian ini sanggup melawan 'teroris' yang berlindung di pangkalan kokoh?
Tang Long yang berada di ruang komando pangkalan melihat situasi yang ditampilkan di layar, tersenyum dingin dan bertanya: "Apakah Letnan Dua Sherry dan Jessy sudah siap?"
Liwu yang bertanggung jawab atas komunikasi segera menjawab: "Mereka semua sudah siap."
Tang Long bertanya lagi: "Apakah semua ini sudah direkam?"
Liwu mengangguk tanpa suara. Dia tahu komandan ingin merekam adegan pertempuran ini untuk membuktikan tindakan membela diri.
"Bagus. Sekarang mereka yang menembak duluan, kita punya alasan untuk membalas." Tang Long mengangguk dengan senyuman, kemudian wajahnya berubah serius: "Aku perintahkan, mulai serangan balik!"
Liwu yang sudah bersiap segera menyebarkan perintah ini. Dinding dan puncak tembok pangkalan yang tadinya polos tiba-tiba retak membentuk lubang-lubang, di setiap lubang muncul senjata utama ganda penghancur darat. Senjata ini langsung melepaskan tembakan tak henti ke arah kendaraan tempur yang sedang bergerak di kejauhan.
Tank yang sedang bersiap menembak dari jarak dekat langsung terkejut dengan hujan peluru tiba-tiba ini. Karena perisai perlindungan tank-tank tersebut telah dialihkan energinya ke sistem senjata laser oleh kolonel senior yang overconfident, mereka tidak bisa diaktifkan kembali dalam waktu singkat. Akibatnya, segera mengalami kerusakan signifikan. Meski disebut tank bukan tanpa alasan, walau beberapa bagian rusak, masih mempertahankan kemampuan tempur.
Meski kru di dalam tank relatif aman, kolonel senior dan letnan kolonel yang berdiri di atas tank memimpin pertempuran terhempas keras ke tanah oleh guncangan. Beruntung tidak terkena tembakan senjata utama secara langsung, namun kolonel senior gemuk yang jarang berolahraga itu mengalami patah kaki.
Kolonel senior menahan kesakitan dan membentak: "Prajurit di belakang pada mati semua? Suruh mereka segera menyerang!" Letnan kolonel yang berdebu langsung memerintahkan prajurit di kendaraan pengangkut pasukan untuk turun bertempur.
Prajurit-prajurit yang sudah sangat gelisah karena hujan meriam yang semakin gencar, wajah mereka langsung pucat mendengar perintah dari Pengeras Suara di dalam kendaraan. Dari nada suara Letnan Kolonel yang panik, ditambah bunyi meriam yang berbeda dengan meriam besar kendaraan tempur mereka, bahkan orang bego pun tahu pihak mereka sedang terdesak. Para prajurit yang belum pernah ke medan perang ini semua berharap-harap cemas, berusaha meyakinkan diri bahwa ini hanya akting pihak lawan.
Saat Letnan Kolonel mengancam dengan nada tegas akan menjatuhkan hukuman militer bagi yang tidak bergerak, beberapa prajurit yang sedikit lebih berani diam-diam membuka pintu kendaraan untuk melihat situasi. Tiba-tiba mereka berteriak sambil menutup pintu kembali, loncat ke sudut dan meringkuk sambil memeluk kepala. Prajurit lain awalnya bingung, tapi segera ikut berteriak dan melakukan hal yang sama. Karena gerakan ini adalah prosedur standar ketika kendaraan pengangkut pasukan diserang, untuk meminimalkan korban jiwa.
Para prajurit hanya mendengar suara ledakan keras, badan kendaraan langsung bergoyang-goyang hebat. Meski tubuh mereka terlempar ke sana kemari dan kesakitan, semua bersyukur karena kendaraan belum meledak, hanya terbalik. Begitu kendaraan berhenti, tak peduli posisi perut menghadap ke atas atau miring ke samping, mereka semua menendang pintu darurat dan berlari keluar secepat mungkin. Takut kendaraan akan meledak.
Setelah keluar, para prajurit baru menyadari puluhan kendaraan pengangkut pasukan berantakan di rerumputan, tak satu pun yang meledak. Rekan-rekan yang mengalami nasib serupa juga sudah keluar semua, terdiam berdiri di tempat.
Saat itu, seorang prajurit yang matanya tajam menunjuk ke arah datang sambil berteriak: "Musuh!" Suara nyaring ini membuat semua orang gugup mengangkat senjata, gemetar menatap musuh. Ketika mereka menyadari musuh hanya puluhan orang, para prajurit yang berjumlah ribuan ini mulai merasa berani kembali.
Namun ketika melihat di antara musuh terdapat puluhan pasukan khusus bertubuh sangat tinggi, mengenakan baju zirah berkilauan emas, membawa senjata raksasa. Semua orang serentak memandang senapan laser berlaras seukuran jari di tangan mereka, lalu membandingkan dengan senapan guntur berlaras sebesar kepalan tangan di genggaman pasukan khusus. Keberanian yang baru tumbuh langsung mengempis. Ditambah teriakan veteran berpengalaman: "Itu baju zirah khusus yang bisa menahan meriam laser portabel!" Semua nyali menyusut sebesar biji padi. Melawan pasukan khusus dengan senapan ini? Bunuh diri! Maka para prajurit langsung berbalik lari ke garis depan yang ada tanknya tanpa sempat melepaskan satu tembakan pun.
Mendengar laporan dari Letnan Kolonel tentang situasi di belakang, Kolonel Senior langsung memaki marah: "Dasar bajingan! Kerahkan 2 unit tank ke sana, hancurkan pasukan khusus itu! Sialan! Aku akan melaporkan petugas logistik galaksi sialan itu, demi nafsu sama perut perempuan, dia berani menyerahkan perlengkapan khusus langka ke pelacur-pelacur itu!"
Letnan Kolonel yang hendak memberi perintah tiba-tiba gemetar, berteriak panik: "Komandan, jangan-jangan petugas logistik itu juga memberikan pesawat tempur resmi ke pelacur-pelacur itu?"
Kolonel Senior juga kaget. Saat hendak bicara, suara gemuruh di atas membuatnya menengadah. Puluhan pesawat tempur yang terbang rendah muncul dari arah pangkalan. Melihat bentuk pesawat yang sangat besar itu, Kolonel Senior menjerit putus asa: "Gue jancok sama ibu lo! Itu pesawat serbu multiguna antariksa terbaru!"
Kolonel Senior mulai menyesal karena sebelumnya, demi menjilat petugas logistik galaksi terkutuk itu, ia menggunakan kekuasaannya untuk membiarkan petugas logistik tersebut menikmati Hari Terbuka Kompi SK23 sendirian. Belum sempat mendapat manfaat apapun dari petugas logistik itu, para pelacur rendahan itu malah sudah mendapatkan begitu banyak senjata produksi terbaru!
Setelah mengumpat, Kolonel Senior tiba-tiba melompat dari tanah tanpa peduli rasa sakit, berteriak ke Letnan Kolonel: "Cepat! Hubungi komandan armada di luar angkasa, minta dia... tidak, mohon dia mengerahkan armada untuk hancurkan Kompi SK23!"
"Apa?" Letnan Kolonel tertegun. Ia tidak mengerti mengapa Kolonel Senior begitu melihat pesawat tempur Kompi SK23 langsung memutuskan untuk merengek-rengek minta bantuan komandan armada yang biasanya tidak akur dengan pasukan garnisun. Apakah pesawat serang multiguna antariksa ini sehebat itu? Mengapa tidak menggunakan ratusan pesawat tempur milik pasukan garnisun kita sendiri untuk bantuan?
Adegan berikutnya membuat Letnan Kolonel setuju dengan perintah komandan, buru-buru bersiap untuk melakukan komunikasi. Karena Letnan Kolonel melihat, pesawat tempur jenis itu hanya mengeluarkan sinar laser tipis seperti senjata utama pesawat tempur, langsung mengubah kendaraan lapis baja yang sudah mengaktifkan Perisai Perlindungan menjadi bola api. Sial! Melihat daya tembak ini, jelas pesawat tempur semacam ini dirancang untuk menyerang kapal perang.
Prajurit-prajurit yang awalnya berlari ke kendaraan lapis baja, melihat kendaraan mereka ternyata tak berdaya menghadapi pesawat tempur, semua terkejut. Di depan ada senjata utama darat, di atas ada pesawat tempur, di belakang ada pasukan khusus yang kebal peluru - apa yang harus dilakukan sekarang? Orang-orang yang cerdik, begitu menyadari situasi ini, segera tiarap di tanah pura-pura mati. Yang lain melihat pesawat tempur tidak menyerang orang yang tidak bergerak, juga langsung berbaring ikut pura-pura mati.
Setelah Kompi mulai melancarkan serangan balik, Yuna yang menjadi satu-satunya personel tanpa tugas tempur hanya bisa menatap layar yang menampilkan para saudarinya sibuk mengoperasikan berbagai senjata. Ia juga melihat Ribbon yang sangat sibuk namun tetap teratur dalam memproses berbagai informasi. Perasaan sedih menyergap hatinya saat menyadari dirinya sama sekali tidak berguna.
Saat menunduk hendak meninggalkan ruang komando, tiba-tiba Tang Long memanggilnya. Yuna segera menoleh dan menjawab. Ia sangat berharap Tang Long akan memberikan tugas tertentu agar bisa membantu para saudarinya.
Tang Long tersenyum: "Kau bisa menembak?"
Yuna buru-buru mengangguk: "Bisa! Bisa!" Namun wajahnya langsung memerah setelah mengatakannya. Ia tak mengerti mengapa tiba-tiba menjadi begitu tergesa-gesa, seperti anak kecil yang meminta permen.
"Bagus. Tangkap ini, ikut aku menghancurkan musuh." Tang Long melemparkan helm holografis yang entah darimana diperolehnya kepada Yuna.
Yuna yang menangkap helm holografis itu, mengikuti Tang Long dengan bingung. Baru setelah meniru Tang Long memakai helm, dia bertanya penuh tanda tanya: "Komandan, memakai helm pilot, apakah kita akan mengendarai pesawat tempur?"
"Bukan, kita akan menjadi penembak runduk." Tang Long mengeluarkan senjata panjang biasa dari gudang senjata ruang komando, menyerahkannya pada Yuna. Perkataan Tang Long membuat Yuna menerima senjata itu tanpa sadar. Bagaimana mungkin senapan runduk bisa jadi biasa? Apakah senjata biasa ditambah helm holografis bisa berubah jadi senapan runduk? Meski bingung, takut Tang Long melarangnya ikut, Yuna memendam pertanyaan dalam hati.
Ketika Tang Long muncul di puncak tembok Pangkalan, pesawat tempur telah menghancurkan hampir seluruh kendaraan tempur tersebut. Tang Long menunjuk dua perwira yang dikelilingi beberapa prajurit di samping kendaraan tempur berwarna hitam legam yang mengeluarkan asap dan tak bisa bertempur: "Target kami adalah mereka. Sekarang tekan tombol untuk memperbesar rekaman." Tang Long mengarahkan Yuna sambil mengulangi nasihat pelatih tentang teknik menembak yang pernah diajarkan padanya.
Meski Tang Long bukan guru yang baik, Yuna langsung memahami tekniknya. Namun meski melalui helm holografis bisa melihat jelas wajah kedua perwira itu, Yuna bukanlah jenius. Bagaimana mungkin latihan pertama langsung berhasil? Tentu saja semua tembakannya meleset.
Karena kendaraan tempur yang berbahaya telah dihancurkan oleh pesawat tempur, pesawat-pesawat tersebut mulai menyerang kendaraan pengangkut pasukan yang terbalik dan tidak bisa bergerak. Kolonel Senior yang sudah tidak terancam itu duduk bersandar di bangkai kendaraan sambil bertanya ke Letnan Kolonel: "Bagaimana? Masih belum bisa berkomunikasi dengan komandan armada?"
Letnan Kolonel yang wajahnya hitam karena asap menjawab pasrah: "Komandan, seluruh Area K tertutup lapisan penghalang elektronik. Kita harus menunggu sebentar lagi sebelum bisa mengirim informasi keluar."
Mendengar ini, Kolonel Senior marah besar: "Sialan! Para bajingan itu bahkan punya peralatan penekan informasi! Dasar, sudah berapa kali ke sini, kok tidak tahu mereka menyimpan banyak barang bagus!"
Letnan Kolonel yang berdiri tidak tahu bahwa dirinya telah menjadi target tembakan runduk. Ia hanya merasa heran mengapa sinar laser terus menyambar di sekelilingnya. Saat mendengar ucapan Kolonel Senior, ia baru ingin berkata sesuatu ketika tiba-tiba sebuah sinar laser menghantam di antara kedua kakinya. Ini langsung membuatnya terjengkang ke tanah, merangkak ke balik bangkai kendaraan tempur sambil berteriak ke prajurit di sekitarnya: "Musuh punya penembak runduk! Lindungi aku!"
Kolonel Senior tersenyum sinis: "Itu tembakan nyasar. Penembak runduk? Kau pikir mudah melatih penembak runduk? Meski para pelacur itu tidak melayani klien setahun penuh, hanya latihan menembak setiap hari, tetap tidak akan bisa mencetak penembak handal!"
Mendengar ini, Letnan Kolonel tersipu malu sambil berdiri dan mengusap keringat: "Hehe, aku lupa kalau jarak dengan Kompi SK23 mencapai ratusan meter. Sekalipun ada penembak runduk, mustahil bisa mengenai sasaran."
Pada saat itu, seorang prajurit yang sedang berjongkok mengirimkan sinyal minta bantuan dengan panik, bangkit dengan gembira dan berkata: "Laporan, Komandan! Informasi telah terkirim..." Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, sinar laser menembus tepat di antara alisnya, mengakhiri hidupnya untuk selamanya.
Yuna menatap kosong ke layar yang menampilkan rekaman kepala prajurit itu meledak. Rasa kesal karena meleset dari target utama dan mengenai sasaran lain, seketika berubah menjadi perasaan mual yang hebat.
"Aku membunuh, akhirnya aku benar-benar membunuh dengan tanganku sendiri!" Kalimat ini bergema terus-menerus dalam benak Yuna. Semakin dipikirkan, rasa mual di hatinya semakin menjadi. Akhirnya tak kuasa menahan, dia melemparkan helmnya dan berlutut di tanah sambil muntah hebat.
Tang Long yang berdiri di samping memandang Yuna dengan penuh kasihan. Dia tahu mengapa dia muntah, dan juga tahu bahwa tanpa melalui peristiwa ini, dia tidak bisa menjadi prajurit. Melihat ekspresi muntah Yuna, Tang Long teringat saat pertama kali dirinya membunuh seseorang dengan tangannya sendiri. Saat itu, dia tidak hanya tidak muntah, bahkan tidak merasakan sedikitpun dorongan untuk muntah.
Memikirkan hal itu, Tang Long tak kuasa menggelengkan kepala dengan getir. Tampaknya dirinya benar-benar hewan berdarah dingin.
"Jika sudah berdarah dingin, maka biarkan darahku tetap dingin." Tang Long bergumam pelan. Bersamaan dengan itu, dia mengeluarkan pistol dari pinggangnya, mengatur kaliber sinar ke maksimum. Tanpa membidik dengan serius, dia mengangkat senjata dan terus menarik pelatuk ke arah kejauhan.
