"Amitabha Buddha..." Sebuah sutra Buddha tua dan berat bergema dari lautan darah, memberikan kesan agung dan sakral.
Namun, atmosfer ini dengan cepat dihancurkan.
Bayi Naga menirukan gerakan serius, menyatukan kedua cakar kecil keemasannya sambil berkata dengan suara kekanakan: "Ommi toufa..."
Chen Nan tertawa terbahak-bahak. Melihat hal itu seru, Phoenix kecil pun meniru: "Wǒ méi tóufa, wǒ méi dòufu..."
"Melihat realitas sejati, segala hukum adalah kosong. Pencerahan seketika menyatukan ribuan jalan. Saat kejayaan tak lagi tersembunyi, bertatapan langsung dalam ketelanjangan. Keputusan mutlak, stempel hati Buddha. Ada yang menolak mempercayai kebenaran. Memotong langsung ke akar masalah saat ini, mengajar secara bertahap dengan memetik daun dan mencari ranting." Nyanyian Buddha kembali terdengar, namun kali ini tanpa daya magis yang menyedot jiwa.
Naga bajingan itu paling blak-blakan, berteriak marah: "Si botak sialan cepat keluar! Jangan bikin keributan! Kakek Naga ini nggak ngerti omonganmu, dan nggak percaya tipuan kalian!"
Di bawah lautan darah bergelora, kerangka tak terhitung muncul tenggelam, dirobek oleh cakar darah yang tak terhitung, kerangka putih bersih seperti giok perlahan muncul ke permukaan laut, melepaskan diri dari belenggu tulang-tulang putih itu.
Kerangka putih seluruhnya berkilau putih, kedua tangannya menyatukan telapak, duduk bersila, persis seperti sikap murid Buddha sedang bersujud, warna tulang yang berkilau seperti giok menunjukkan bahwa semasa hidupnya pasti seorang ahli yang level kultivasinya mencapai tingkatan dewa.
Kerangka giok putih perlahan melayang ke udara, berhadapan langsung dengan Chen Nan, yang mengejutkan adalah kerangka ini tidak kosong, di rongga dadanya ada cahaya berkedip, dan dari lubang mata di kepalanya memancar sinar keemasan.
"Lautan penderitaan tak bertepi, berpalinglah ke tepi." Meski tanpa daging dan kulit, kerangka tengkorak ini benar-benar mengeluarkan suara berat dan tua, membuat Chen Nan dan kawan-kawan bingung.
"Biksu brengsek, berhenti berpura-pura jadi dewa!" Naga sakti ungu-emas meneriaki keras.
"Amitabha Buddha!" Biksu tengkorak hanya mengucapkan sutra Buddha.
"Berpaling? Di belakangku hanya lautan darah luas, tepian sudah tak terlihat. Bagaimana bisa berpaling?" Chen Nan bertanya dingin, ingin mengamati dulu asal-usul biksu ini.
"Kalau begitu, rombongan Tuan semuanya adalah iblis. Hanya iblis yang sulit berpaling. Biar hamba mendoakan arwah kalian, membebaskan dari lautan penderitaan..."
“Gue jijik sama si biksu mati ini! Mata mana yang ngeliat kita sebagai iblis? Jago banget ngasih cap sembarangan. Menurut gue lu lebih mirip biksu iblis, udah cuma tinggal kerangka doang masih melekat di dunia fana, gamau mati kaku. Lagian main mata sama tengkorak cewek di lautan darah, hubungan kalian nggak jelas. Lu udah langgar Delapan Aturan Buddha...”
Kalau urusan ngomong kosong, seisi langit emang jarang yang bisa ngalahin si naga bajingan. Si tua nakal ini keliatannya pengen ditonjok, mulutnya nggak berhenti ngomong jorok, terus-terusan nyiramin air kotor ke biksu tengkorak.
Biksu tengkorak itu duduk bersila di Void, kayak lagi nyimak dengan khidmat. Baru berhenti pas si naga bajingan diam. “Lao Na berada di lautan penderitaan neraka, mana ada nafsu duniawi?” katanya.
Nggak nyangka si biksu tengkorak malah ngajak debat logika, keliatan serius banget. Si naga langsung ngotot tanpa mikir: “Kalo emang lu biksu beneran, ngapain ke tempat hantu begini? Hantu saja yang percaya lu biksu!”
“Buddha bersabda: 'Jika bukan aku yang masuk neraka, siapa lagi?' Lao Na sengaja buang kulit busuk ini, bertapa di lautan darah tak berujung. Di depan ribuan roh kerangka yang bergulat, Lao Na berusaha mencerahkan dengan hati welas asih.”
Chen Nan mengamati biksu tengkorak ini sejenak, menemukan keanehan yang nyata. Cahaya sakral di dadanya ternyata berasal dari beberapa sarira, sementara sinar keemasan yang memancar dari tengkoraknya adalah api roh yang luar biasa murni dan kuat.
Perlu diketahui, hanya ahli spiritual sejati yang bisa menghasilkan sarira. Sarira biksu ini memancarkan cahaya keemasan sakral, menunjukkan relik tingkat tinggi yang membuktikan kedalaman kekuatan spiritualnya semasa hidup.
Api rohnya yang murni dan perkasa juga membuktikan kekuatannya yang luar biasa. Sangat mungkin tubuh jasmaninya hancur, namun kesadarannya tetap utuh, menolak reinkarnasi, bertahan dengan kekuatan sarira kehidupan sebelumnya dan mengendalikan melalui api roh.
Chen Nan menegur: "Biksu Iblis, kau pasti sudah lama hidup di lautan darah ini dan memahami segalanya. Tak mau dengar omongan muliamu yang kosong! Jika ingin bertarung, silakan. Tapi sebelumnya aku punya pertanyaan."
"Amitabha Buddha, ada hal yang bisa kusampaikan, ada yang tak layak diucapkan."
"Jawab: Bagaimana lautan darah ini terbentuk?"
"Tentu dari darah dan tulang ratusan juta makhluk. Tiga ribu dunia agung, seratus ribu alam dharma, semua karma jahat terkumpul di sini."
Chen Nan terkejut lalu mencibir: "Omong kosong! Lalu mengapa kau di sini? Siapa dirimu? Apa maksudmu terhadap kami?"
Biksu Tengkorak menjawab: "Jika harus menelusuri asal-usul, aku adalah inkarnasi sebelumnya Buddha. Tapi semua makhluk setara, kini hanyalah biksu biasa yang bertugas menyelamatkan semua makhluk, membebaskan ratusan juta jiwa jahat agar segera mencapai Surga Sukhavati. Aku memandangmu sama, kalian adalah iblis yang harus ditaklukkan oleh Buddha. Di sini aku akan mengubah semua iblis menjadi Buddha."
"Haha..." Chen Nan tertawa getir: "Kau bilang diri sebagai inkarnasi pendiri Buddhisme? Sungguh menggelikan! Jika kau benar-benar Buddha sebelumnya, maka aku adalah reinkarnasi Dugu Baitian - Iblis Api Pertama dari Zaman Kuno!"
"Amitabha Buddha, manusia penuh kesombongan. Kebaikan dan kejahatan hanyalah sehelai pikiran. Tuan masih teracuni pikiran iblis, semoga segera sadar."
"Sadar? Kembali ke neraka! Jangan berpura-pura suci!" Chen Nan sama sekali tidak percaya ini inkarnasi Buddha atau ucapannya. Ia bertanya lagi: "Aku datang ke Hutan Abadi untuk menyelidiki, tapi kenapa merasa masuk ke dimensi berbeda? Apakah ini dunia mandiri?"
"Amitabha Buddha, ini memang dimensi mandiri."
"Hutan Abadi adalah dunia? Apa sebenarnya yang terjadi? Bagaimana dunia ini tercipta? Rahasia apa yang tersembunyi di sini?"
"Buddha berfirman: Tak terucapkan, tak terucapkan!" Biksu Tengkorak mengucapkan mantra Buddha, menolak menjawab.
Melihat sikap sang biksu yang tenang layaknya pertapa sejati, Chen Nan merasa lawannya ini sulit dikalahkan.
Saat itu, Bayi Naga menatap sarira berkilauan di dada biksu tengkorak, suara gulugulu terdengar saat ia menelan air liur. Berdiri di bahu Chen Nan, ia berbisik kecil: "Kerangka tulang ini sangat kuat, sangat kuat, mungkin kita tidak bisa melawannya."
Phoenix kecil berdiri di bahu satunya, juga berkata gemetar: "Dia sangat kuat, aku sangat takut."
"Aku tahu dia kuat, tapi kita tidak punya jalur mundur." Suasana hati Chen Nan terasa berat.
Naga sakti ungu-emas berdiri sejajar dengan Chen Nan, berbisik: "Biksu sialan ini mungkin mengatakan yang sebenarnya. Konon saat Buddha mencapai pencerahan, ada 12 sarira. Tapi setelah masuk ke Dunia Sukhavati, entah kenapa tinggal 9. Ada yang bilang hancur saat menaklukkan dewa-demon, ada juga yang bilang 3 sarira tertinggal di kerangka jasadnya di dunia manusia, untuk terus membersihkan iblis. Lihat tiga sarira melayang di dadanya, sebesar tinju, memancarkan Sacred Light suci. Jelas-jelas ini sarira kelas dewa... Jadi... Kurasa... Dia mungkin benar-benar si botak legenda itu di kehidupan sebelumnya."
Chen Nan pusing, tak menyangka bertemu sosok sehebat ini. Ini mungkin reinkarnasi pendiri sekte dari langit! Meski cuma kerangka, sariranya nyata. Akan sulit memenangkan pertarungan ini.
"Biksu sialan, sebenarnya kamu mau apa?"
“Amitabha Buddha, sepertinya bibit iblis telah berakar dalam di dirimu. Hanya dengan ajaran Buddha yang agung aku bisa menyucikanmu. Biarkan aku mengubah iblis menjadi Buddha.” Tengkorak biksu masih duduk bersila, namun satu lengannya telah terangkat. Tulang tangan seputih giok memancarkan cahaya dewa keemasan yang langsung menyelimuti Chen Nan.
Chen Nan langsung menggenggam Pedang Iblis Kematian di tangannya, lalu menghujamkannya dengan keras ke arah cahaya Buddha.
"Braak!"
Cahaya Buddha keemasan itu seolah terbuat dari logam mulia padat. Meski dihantam pedang iblis tak tertembus, tak ada sedikitpun kerusakan. Malah pedang itu yang terpental dengan suara gesekan logam menusuk telinga.
Bersamaan itu, nunchaku ungu-emas si naga bajingan juga menghantam cahaya Buddha. Tapi senjatanya ikut terlempar, mengguncang sang naga sampai mengertakkan gigi dan hampir menjatuhkan nunchakunya.
Bayi Naga mengaum keras lalu menyemburkan kilat raksasa ke depan. Sementara Phoenix kecil terus memuntahkan api suci tak padam sambil berteriak: "Kumuntahin, kumuntahin, bakal kumuntahin sampai habis!"
Kilat raksasa dan api suci menyala-nyala itu menyambar cahaya dewa, tapi tetap tak membuahkan hasil. Kedua bocah itu justru terlempar oleh tenaga serangan mereka sendiri.
Satu orang dan tiga makhluk suci terlempar puluhan zhang di atas lautan darah sebelum akhirnya berhenti. Chen Nan merasa ngeri, kekuatan kerangka tengkorak ini benar-benar sulit dipercaya. Sekarang dia akhirnya mengerti mengapa para Dewa Perang dan Fa Shen sebelumnya tidak ada yang bisa selamat dari dunia ini. Bahaya di sini tak terbayangkan, bahkan seorang biksu tengkorak di hadapannya saja sudah misterius, apalagi ancaman tak dikenal di depan.
"Amitabha Buddha, Sang Buddha Maha Pengasih, menyadarkan iblis menjadi Buddha." Biksu tengkorak melantunkan sutra sambil bersila di udara Void, terbang mendekati Chen Nan sambil mengangkat tulang tangannya dan melepaskan cahaya dewa yang berkilauan.
"Sialan, tak adil! Kenapa harus ketemu orang sinting ini. Pasti ini biksu botak itu dalam legenda sebelum jadi botak, jelas-jelas! Kalau tidak mana mungkin sekuat gini sintingnya." Naga sakti ungu-emas terus menggeram.
"Oh, Shen cahaya agung, di mana kau? Aku Dade Dawei Bayi Naga Agung meminta pertolonganmu!" Bayi Naga mengusap-usap tanduk naga ketiga di dahinya dengan cakar kecil keemasan.
