Cui Delu memandang punggung pria paruh baya itu dengan dingin: "Aku tahu sandaranmu - Chang San, Qi Si, Liu Wu, Fei Liu, Chen Qi. Kau jago bertarung, saudara-saudaramu juga. Tapi jangan lupa! Chang San dan Fei Liu adalah perwira Pasukan Yulin, Liu Wu pemimpin pasukan berkuda, Chen Qi bahkan mantan pengawal istana. Cukup orang penting menggerakkan jari kelingkingnya, kau akan terhunjam ke dasar neraka paling dalam untuk selamanya."
Pria paruh baya itu berbalik tiba-tiba, mengerutkan alis sambil menatap tajam kedua matanya.
“Dalam beberapa tahun ini, banyak saudara paling andal dan jago bertarungmu yang tewas. Selain Si Feiqi yang tak berguna, kau hanya bisa mengandalkan orang-orang ini. Tapi kau tak mengerti kekuatan orang-orang berkuasa. Cukup dengan sepatah kata atau selembar dokumen resmi, mereka bisa mengurung pasukan andalanmu di kemah militer. Sapi hantu dan ular siluman di Kota Chang'an yang kau tekan selama belasan tahun ini, begitu mendengar kabar itu, pasti akan berlomba menerkammu habis-habisan, bukan?”
Pria paruh baya itu terdiam sejenak, ekspresinya berangsur tenang, lalu melanjutkan langkah ke luar pintu.
Cui Delu menyeringai di belakangnya: "Lao Chao dari Paviliun Angin Semi... Kau keterlaluan! Berani-beraninya mencapuri urusan istana... Sekarang kau jadi musuh semua orang, mana mungkin ada yang mau menampungmu!"
Tangan kanan pria paruh baya itu menyentuh daun pintu. Setelah hening sesaat, ia berkata: "Selama langit masih mau menampungku, aku akan tetap hidup."
……
……
Percakapan di lantai atas Paviliun Merah ini, secara filosofis, telah menentukan jalannya sejarah dunia bawah tanah Chang'an. Ketika para petinggi di istana tiba-tiba tertarik mengurus 'rumput liar' dunia persilatan, biarlah rumput-rumput itu sekuat apapun daya tahannya, sebesar apapun keinginannya untuk bertahan, pasti akan hangus terbakar api padang rumput, hanya menyisakan batang hangus dan akar tertanam di tanah, tak mungkin kembali subur seperti dulu.
Inilah rasa kekuasaan.
"Istri Yushi Zhang Yiqi seumur hidup sebenarnya sudah sangat terbiasa dengan aroma ini. Jadi ketika Zhang Yiqi tiba-tiba tewas, ia sama sekali tidak bisa menerima kenyataan ini. Setelah membawa pasukan wanita yang mengganggu rumah pelacuran untuk mengambil mayat suaminya, ia menangis tersedu-sedu selama dua hari, kemudian mulai bolak-balik antara Dali Si dan kantor pemerintah Chang'an yang bertanggung jawab atas keamanan ibu kota. Sayangnya, kali ini gilirannya mencium bau kekuasaan ini, dan baunya menjadi agak menyengat."
"Bagaimana mungkin suamiku meninggal begitu cepat? Dia pernah bilang padaku, 27 tahun lalu Guoshi Daren pernah membaca fisiognominya, mengatakan dia pasti panjang umur. Menurutku, suamiku pasti dibunuh siluman rubah di rumah pelacuran itu! Bapak Jingshao Yin, Anda harus membela hakku. Jika kau berani melindungi tempat itu, aku akan memohon ke Istana Pangeran agar Putri memberikan keadilan untuk suamiku!"
Pejabat yang duduk di podium itu berusia sekitar 40-an tahun, bermata segitiga dan hidung kemerahan seperti pemabuk, dengan janggut tipis yang jarang di dagu. Penampilannya sangat tidak pantas. Dalam birokrasi Kekaisaran Tang yang mengutamakan penampilan gagah dan berwibawa, fakta bahwa orang ini tidak dikirim ke daerah-daerah melainkan tetap di kantor pemerintah Chang'an benar-benar sebuah anomali.
“Pejabat itu menatap wanita kurus yang berdiri di bawah aula, pusing dibuatnya oleh ucapan wanita itu. Untungnya para pejabat Kekaisaran Tang sangat memahami legenda hidup Rohaniwan Agung. Setelah meraba-raba jarinya dengan cermat, barulah ia tersadar. Dua puluh tujuh tahun lalu, Rohaniwan Agung hanyalah seorang pesuruh pembakar dupa di Gerbang Selatan Tao Langit, belum bertemu Kaisar dan meraih kemashyuran. Saat itu, ramalan yang ia berikan untuk Zhang Yiqi kemungkinan besar hanya tipuan untuk mengeruk uang. Teringat hal ini, ia batuk dua kali lalu berkata dengan penuh wibawa:”
“Ahem... Ibu harap bersabar. Pertama, perlu dipahami bahwa saya adalah Penghulu Hukum Shangguan Yangyu dari Kantor Hukum Chang'an, bukan Gubernur Ibukota. Kedua, sisa jasad Yushi Zhang sudah diperiksa secara detail oleh penyidik forensik. Kematiannya benar-benar akibat benturan di kepala ketika gerbong terguling, bukan pembunuhan.”
Kematian Yushi Zhang Yiqi di pintu samping rumah pelacuran itu menggemparkan Kota Chang'an, namun lebih banyak diejek dan diolok-olok. Di kalangan pejabat, tak ada yang mengaitkan peristiwa ini dengan pembunuhan. Untuk mencegah para Yushi miskin memanfaatkan kasus ini membuat keributan, Kantor Chang'an sudah menetapkan kasus ini sebagai kecelakaan transportasi dua hari sebelumnya.
Tapi tak ada yang menyangka, istri sang Yushi itu malah ngotot dan langsung membuat keributan di Pengadilan Dali. Tugas Yushi memang bertentangan dengan pejabat, sehingga hubungan interpersonalnya pasti buruk. Meski Zhang Yiqi sudah mati, sang Pangeran pelindungnya masih ada. Jadi tak ada pejabat yang berani memanfaatkan situasi untuk menjatuhkannya, namun tak ada juga yang mau ikut campur. Alhasil Pengadilan Dali tanpa basa-basi langsung mengembalikan istri Yushi itu ke Kantor Pemerintahan Chang'an.
Bupati Ibu Kota yang mendengar suara genderang dan mengetahui itu istri Yushi yang terkenal galak, diam-diam sudah kabur lewat pintu samping menuju rumah belakang. Ia lalu memerintahkan bawahannya, "Hari ini tubuhku tidak sehat, butuh istirahat."
Shangguan Yangyu sebagai Jaksa Penegak Hukum Chang'an yang bertanggung jawab atas investigasi kasus kriminal, tak punya alasan untuk kabur. Sebenarnya dia pun tak ingin kabur. Di mata pejabat lain, istri Yushi adalah wanita galak yang sulit dihadapi. Tapi baginya, semua istri pejabat hanyalah harimau kertas. Cukup ancam mereka dengan hal yang mereka takuti, pasti bisa dikendalikan. Bahkan mungkin bisa mendapat keuntungan dari situ.
Di saat seperti ini masih tak lupa mencari keuntungan, menunjukkan betapa serakahnya Hakim Militer ini. Asal-usulnya bermula dari latar belakangnya. Kampung halaman leluhur Shangguan Yangyu berada di Nanjin. Setelah leluhurnya pindah ke Chang'an, lima generasi menetap di sini, tinggal turun-temurun di Distrik Timur yang miskin. Ironisnya, tak ada satu pun laki-laki berprestasi dalam keluarganya selama lima generasi - ada yang tukang judi, ada yang tukang main perempuan. Selama lima generasi hanya terkumpul dua rumah genteng reyot dan belasan ons perak. Baru pada generasi Shangguan Yangyu inilah ia beruntung lulus ujian pencatatan pejabat, kemudian merangkak dari posisi sipir penjara paling bawah, hingga akhirnya mendapat jabatan resmi.
Setelah menjadi Hakim Militer, Shangguan Yangyu tak lagi rendah hati dan hati-hati seperti tahun-tahun sebelumnya. Ketakutan akan kemiskinan dan obsesi gila pada uang membuatnya memulai jalan suapnya. Prefektur Chang'an yang diawasi ketat oleh pejabat kekaisaran dan menjadi pemerintah yang patut dikasihani karena mengandalkan pajak, mustahil bisa korupsi. Namun ia justru bisa melanggar hukum.
Kasus Yushi Zhang Yiqi, dia tidak berani melanggar hukum untuk menuduh rumah pelacuran itu, tapi mencoba memeras uang perak dari janda pejabat yang sudah mati. Dengan mata menyipit memandangi istri Yushi yang kurus kering, sebelum wanita itu sempat membantah, dia memberi isyarat agar sang istri mendekat. Suaranya direndahkan: "Nyonya, saksi adalah pengawal pribadi suami Anda sendiri. Bukti fisik masih menumpuk di halaman belakang pemerintah. Tubuh almarhum Yushi masih bau bedak. Dan saat Anda membawa para pelayan dengan tongkat kayu menyerbu ke sana, separuh Kota Chang'an menyaksikan. Anda bilang... suami Anda bunuh diri menabrak kereta kudanya sendiri karena takut Anda akan menggerebek perselingkuhannya di rumah pelacuran—siapa yang percaya?"
Wajah Istri Yushi berubah pucat. Saat hendak berteriak marah, Shangguan Yangyu tersenyum tipis. Mata segitiganya menyempit seperti lubang koin tembaga. Suaranya semakin rendah: "Sebenarnya saya paham, kematian Yushi terlalu aneh dan memalukan... bahkan memalukan. Anda perlu berulah sedikit agar hati tenang dan tidak dituduh memaksa suami sendiri bunuh diri. Lagipula, jika benar-benar ribut, bukankah rumah itu harus memberi ganti rugi besar? Ah, orang mati sudah tak peduli urusan duniawi. Tunjangan duka dan warisan yang diberikan pemerintah, apa artinya? Lebih baik dapatkan uang perak itu."
Ekspresi wajah Nyonya Yushi yang kurus terlihat sangat tidak wajar, jelas terlihat bahwa perkataan Shangguan Yangyu tepat mengenai isi hatinya. Setelah terbata-bata lama, tiba-tiba ia memandangnya dengan penuh harapan sambil berbisik, "Kalau urusan ini berhasil, aku akan memberimu... dua puluh persen."
Berani langsung menggunakan hukum Tang sebagai transaksi di ruang pengadilan - jika hal ini diketahui oleh Kantor Yushi atau istana, baik Shangguan Yangyu maupun Nyonya Yushi ini mungkin takkan lolos dari hukuman mati. Tapi hari ini seluruh staf pemerintah kota Chang'an menghindar karena takut pada ulah Nyonya Yushi, sehingga ruang sidang menjadi sunyi sepi. Ia pun tak khawatir didengar orang.
Namun di luar dugaan Nyonya Yushi, Shangguan Yangyu tiba-tiba berkerenyit sambil memukul-mukul papan peringatan di tangannya, menghardik: "Wanita yang lancang! Hanya karena suamimu seorang Yushi aku masih memberimu toleransi! Kau malah mencari jalan buntu!"
Hardikan itu membuat Nyonya Yushi membeku ketakutan. Wajah Shangguan Yangyu berubah cepat seperti lukisan yang dihidupkan, kembali ramah dan berkata penuh arti: "Teguranku ini untuk menyelamatkanmu. Tahukah kau siapa yang jadi sandaran rumah bordil itu? Kau berani memeras uang dari sana? Sungguh nekad!"
Nyonya Yushi menopang diri di meja sidang sambil gemetar: "Ini... ini... mohon petunjuk Tuan..."
Shangguan Yangyu tentu tak bisa mengaku bahwa pemerintah kota memiliki saham di sana. Dengan sengaja ia berlagak misterius menunjuk ke langit-langit, berbisik: "Itu adalah industri Permaisuri."
“Apa?” Istri Yushi mendengar sebutan "Permaisuri", langsung panik sampai |tangan dan kaki gemetaran. Bahkan |lutut-nya terasa lemas, suaranya bergetar: “Bagaimana ini? Bagaimana ini?”
“Kalau kau terus memaksa, aku tak bisa jamin reputasi almarhum Suami Yushi. Lagipula ada saksi yang melihat dia kabur dari |rumah pelacuran dalam keadaan |mabuk.”
Shangguan Yangyu menatapnya dengan |ekspresi tegas: “Pejabat yang main pelacur kalau ketahuan istana, meski sudah |mati pun gelar dan tunjangan ahli warisnya pasti dicabut. Barulah kau benar-benar |mengatur sia-sia!”
Istri Yushi |ketakutan bertanya: “Lalu... lalu... harus bagaimana? Apa aku boleh menarik laporan?”
“Masalahnya kasus ini sudah |berisik. Tapi kalau bisa |mengatur pengurus rumah bordil itu, pastikan berita ini jangan sampai ke istana – terutama telinga |Yang Mulia – mungkin masih bisa diselesaikan.”
“Cepat atur!” Istri Yushi sudah kehilangan akal. Wajah kurusnya dipenuhi |kebingungan dan |tegang: “Menurutmu harus |mengatur bagaimana?”
Shangguan Yangyu tersenyum tipis, membayangkan |uang yang akan mengalir ke |koceknya. Setiap |pori di tubuhnya bergeliat senang. Di dalam hati ia |tersenyum puas: Memeras |pria tak semudah |wanita, menggasak |orang hidup tak seenak |jenazah.
Dia berasal dari keluarga miskin bahkan bisa dibilang hina, leluhur tak mewariskan kemuliaan, tak ada dukungan dari belakang, berwajak buruk, saat memakan uang penggugat dan tergugat serakah seperti belalang, saat memuji atasan tebal muka seperti babi hutan, moral dan wataknya tak ada yang patut dipuji, tapi selama Tuan Hao Tian belum mengambilnya, dia akan terus hidup dengan keteguhan dan kejelekan ini. Seperti kata pepatah: Selama langit masih mentolerirku, aku akan hidup.
……
……
Hujan musim semi turun tak henti selama dua hari, bisnis di Gang Linsiqishi masih sepii seperti biasa.
Ning Que tak tahu ada seorang pejabat hukum bernama Shangguan Yangyu di Prefektur Chang'an, yang karena keserakahan hingga ke tulang sumsum telah menyelesaikan masalah terakhir kasus pembunuhan pejabat Zhang Yiqi. Saat ini dia sedang memegang mangkok mi hangat, memandangi batu hijau yang terus diterpa hujan, memikirkan ujian masuk akademi yang akan datang, biaya sekolah dan asrama yang mahal, perasaannya agak murung, merasa agak dingin, dengan reflek tangan kirinya mengencangkan kerah baju.
Meskipun bebas sewa toko selama setahun penuh dari pemilik misterius itu, setelah dihitung detail sama seperti mendapat tiga ratus kati perak secara cuma-cuma, tapi perak ini bukan uang tunai, hanya hitungan di atas kertas. Jika sang pemilik benar-benar tak tahan tekanan pemerintah atau Lao Bi Zhai tetap bangkrut meski tanpa sewa, maka semua ini sama dengan nol belaka.
Memikirkan hal ini, ia tak bisa menahan diri untuk menghela napas lagi, menunduk dan mengaduk-aduk mi dalam mangkok dengan ujung sumpit, menusuk-nusuk irisan daun bawang yang segar, sama sekali tak memiliki nafsu makan. Dua hari ini bahkan minatnya untuk menulis pun hilang, apalagi memakan semangkok mi kuah yang sudah dimakannya bertahun-tahun ini – dengan mata terpejam pun bisa menebak ada empat butir merica dan tiga puluh potong daun bawang di dalamnya.
Hujan di luar toko semakin deras, menampar tanah dengan suara wah-wah, ombak air berkabut menghalangi pandangan. Tembok luar gudang Departemen Keuangan hampir tak terlihat lagi. Ning Que membawa mangkok mi ke ambang pintu, berjongkok sambil terus memandangi hujan, lalu mulai menunduk menyantap mi.
Tiba-tiba ia menengadahkan kepala, memandang ke arah kanan atas.
Seorang pria paruh baya dengan payung kertas minyak muncul di luar Toko Kuas Tua. Hujan sombong telah membasahi sebagian besar jubah hijau di tubuhnya, sarung pedang di pinggangnya juga dipenuhi tetesan air. Dialah tuan rumah yang membebaskan Ning Que dari sewa satu tahun.
Jubah hijau yang basah oleh hujan membuat warna bagian depan dan belakang pakaiannya tampak lebih gelap, terlihat agak memalukan. Namun anehnya, pria paruh baya ini sama sekali tidak menunjukkan ekspresi kegagalan. Dengan tenang ia berdiri di ambang pintu sambil memegang payung kertas minyak, memandangi rintik hujan yang tak putus-putus dengan sikap tenang, seolah sedang menatap jalanan penuh bunga persik yang diterangi sinar matahari.
Ning Que menengadahkan kepala melihatnya sejenak, tidak bersuara, lalu kembali menunduk menyantap mi.
“Setelah lama terdiam, pria paruh baya itu tiba-tiba menunduk memandangnya sambil tersenyum tipis berkata: ‘Mienya sangat hio.’”
“Ning Que yang sedang jongkok di tanah menjawab: ‘Terlalu sering dimakan, mienya seharum apapun tetap biasa saja.’”
“Aku belum pernah makan.”
“Walau Bapak membebaskan sewaku setahun, aku tak bermaksud mentraktir Bapak.”
“Aku suka tulisan tanganmu.”
“Pria paruh baya itu mengubah topik pembicaraan secepat hujan deras di depan kami, merembes tak tembus payung lalu meluncur di permukaannya. Dari sini terasa, orang ini sudah terbiasa memberi perintah dan tak mau bawahan meragukan titahnya.”
“Aku juga suka.”
“Tulisannya sangat bagus.”
“Aku tahu tulisanku bagus.”
“Pria paruh baya itu tersenyum, berkata: ‘Niat membunuh dalam coretanmu... sangat murni. Jarang kulihat orang dengan niat membunuh sekuat ini.’”
“Ning Que menunduk diam, menatap mangkok mie di tangannya: ‘Malam ini Bapak mau membunuh orang?’”
“Pria itu menjawab dengan nada heran: ‘Ya. Langit masih mau menerimaku tapi manusia tidak, terpaksa kubunuh saja.’”
“BAB 52 Paviliun Angin Semi, Lao Chao si Pohon Kecil”
“Ning Que menengadah menatapnya: ‘Kalau mau bunuh ya bunuh saja, ngapain nongkrong di depan toko bungaku?’”
“Pria paruh baya itu menjawab: ‘Aku menunggu hujan reda, dan beberapa orang.’”
“Saat menunggu hujan reda justru hujan takkan berhenti. Saat menunggu orang datang justru mereka takkan datang,” Ning Que menasihati dengan baik hati.
“Manusia yang tidak datang pasti ada prinsip universalnya.” Pria paruh baya tersenyum tipis: “Tapi bisakah kita bicara serius, bukan seperti pertapa yang terus menguji-uji?”
“Sikap ini baru benar, aku juga tak suka berputar-putar di awan gunung.” Ning Que menjawab sambil tersenyum: “Tapi aku benci bicara dengan orang berdiri sambil jongkok, karena perbedaan posisi.”
“Kau bisa berdiri.”
“Kenapa bukan kau yang jongkok?”
Pria paruh baya tersenyum, tanpa ragu langsung jongkok. Ujung jubah hijau basahnya menutupi ambang batas Lao Bi Zhai. Ia menatap wajah kekanakan Ning Que: “Sekarang aku sangat terdesak.”
Ning Que menunduk menyantap mi, menanti kelanjutan.
“Banyak orang penting ingin sikapku, tapi kondisiku tak memungkinkan. Malam ini mereka akan memusnahkanku lewat hujan malam - lawan dari Selatan dan Barat sudah mengepung.”
“Bagaimana dengan orang-orang yang kau tunggu?”
“Satu saudaraku tewas kemarin. Sebagian besar lainnya terjebak tugas di kemah militer dan pemerintah oleh orang-orang penting. Malam ini pasukanku sangat sedikit.”
“Hujan malam masih berlanjut, bahkan tampaknya semakin deras. Pria paruh baya itu menunggu seseorang yang sepertinya takkan datang, namun ia tak terlihat khawatir. Dengan tenang ia bercerita tentang situasi yang dihadapinya tanpa kamuflase, lalu menatap Ning Que di sampingnya sambil tersenyum: "Tapi semua itu bukan masalah. Masalahku malam ini adalah: aku harus memiliki seseorang di sisiku, tapi orang itu tak kunjung kutemukan."”
Ning Que melirik pedang di pinggang pria itu, menduga ukurannya pasti kecil, bertanya: "Orang seperti apa yang kau butuhkan?"
“Cepat, kejam, berani. Tak boleh berkedip saat membunuh. Tak boleh ada apapun yang menempel di tubuhku.”
“Termasuk air hujan?”
“Tentu tidak.”
“Kalau begitu syaratnya tidak terlalu tinggi.”
Ning Que menggaruk rambutnya yang lembap: “Mengapa memilihku?”
Mata pria itu tertuju pada tangan kanannya yang memegang mangkok: “Kudapatkan informasi. Meski ‘Penebas Perampok Berkuda Danau Shubi’ tak terkenal di Kota Chang'an, aku tahu apa yang bisa dilakukan remaja pembantai perampok berkuda.”
Ning Que terdiam sejenak, lalu tersenyum: “Mengapa aku harus ikut? Apa keuntungannya?”
“Pria paruh baya itu sangat mengagumi kelugasan remaja itu, menjentikkan jarinya untuk menghilangkan air hujan dari payung kertas berminyak, lalu tersenyum tipis berkata: 'Seluruh Kota Chang'an tak ada yang tahu kartu asku. Jika malam ini aku menang, kartu itu akan terbuka. Saat itu kau akan tahu, aku benar-benar betis yang sangat besar, sangat layak kaupeluk.'”
“Jika malam ini begitu berbahaya, mengapa tak kaugunakan kartu asmu dulu?”
“Karena kartu as bukan selembar kartu, tapi seseorang. Aku tak bisa memerintahnya, sebaliknya dialah yang memerintahku. Dia ingin aku menang dalam pertempuran malam ini, karena ingin melihat apakah lawan menyimpan kartu di tangannya.”
“Baiklah, aku benar-benar muak dengan gaya percakapan seperti ini. Hanya ingin kukatakan: mungkin betismu sangat besar, tapi tak menarik bagiku. Jika kau tahu Danau Shubi yang jauh, pasti kau tahu dulu pernah ada kesempatan bagiku memeluk betis yang terlihat tipis tapi sebenarnya salah satu yang terbesar di Tang, tapi aku tak melakukannya.”
Ning Que tentu merujuk Putri Keempat Tang Li Yu. Setelah mengucapkan ini, dia kembali terdiam, meletakkan mangkok mi di tanah yang basah, berjongkok berdampingan dengan pria paruh baya menatap hujan. Saat itu, tiba-tiba terlintas di benaknya gambar dari cerita favoritnya dan pesan terakhir Xiao Hei di warung, lalu membuat keputusan. (Catatan)
Setelah hening sejenak, pria paruh baya itu berkata: “Atau...kau lebih terbiasa langsung menyebut harga?”
Ning Que mengulurkan tangan ke arah hujan yang menyebalkan dan menampar lawannya, berkata tegas: "Lima ratus tael perak."
Pria paruh baya mengerutkan alisnya menyarankan: "Terlalu sedikit, bagaimana kalau ditambah sedikit?"
Di ambang pintu toko buku pada malam hujan, tawar-menawar antara mereka berdua terlihat sangat aneh, majikan justru merasa uangnya terlalu sedikit.
Ning Que memutar badan dan bertanya padanya: "Menurutmu berapa orang yang harus kubunuh malam ini?"
Pria paruh baya berpikir sejenak lalu menjawab: "Setidaknya lima."
Ning Que membalas: "Di padang rumput, membunuh lima perampok kuda mungkin tidak menghasilkan lima tael perak. Jadi tenang saja, demi lima ratus tael, aku pasti bertarung habis-habisan."
"Aku tidak perlu kau bertarung mati-matian." Pria itu tersenyum memandangnya: "Jika situasi sudah membutuhkan pengorbanan, kau boleh pergi duluan."
Ning Que menggeleng: "Bukan itu gayaku. 'Kebajikan lebih keras dari emas' memang kalimat bodoh, tapi dalam berbisnis, etika dasar harus dijaga."
Pria itu tersenyum mengulurkan tangan: "Oke."
Ning Que menjabat tangannya sebentar lalu melepaskan: "Namaku Ning, Ning yang berarti damai. Ning Que."
"Namaku Chao, Chao dari Dinasti Tang Agung. Chao Xiaoshu."
"Marga yang sombong, nama yang lembut."
"Orang Chang'an memanggilku Lao Chao Paviliun Angin Semi, kau bisa panggil Kak Chao."
"Chao Xiaoshu lebih enak didengar... Hei Pohon Kecil, kaulah ketua Yu Long Bang?"
"Kau bisa memanggilku Lao Chao... Selain itu, aku tak pernah mengaku sebagai ketua Kelompok Naga Ikan. Aku hanya mengumpulkan sekelompok saudara untuk melakukan hal-hal yang tak bisa dilakukan pejabat."
Ning Que akhirnya memastikan identitasnya, tersenyum sambil menepuk bahunya: "Ketua geng terbesar di Chang'an masih merendah begini, Xiao Shu. Sikapmu ini terasa munafik."
……
……
Mengambil pisau biasa dari tumpukan kayu bakar, mengeluarkan busur kayu kotak dan tabung panah dari koper, membungkus payung Da Hei dengan lapisan kain bekas dari guci keramik kasar - semuanya diikat di punggung. Lalu meraba-raba dasar koper sampai menemukan masker hitam yang entah sudah berapa lama tak dicuci.
Memakai baju zirah ketat dengan matang, melapisinya dengan jubah pendek peninggalan leluhur, mengurai rambut dan menata gaya khas orang Bulan Sabit, menutupi separuh wajah dengan masker hitam. Ning Que memeriksa penampilannya di cermin tembaga lama, memastikan tak ada celah, lalu berteriak ke dapur: "Aku pergi."
Sang Sang sedang membereskan kompor. Wajah kecilnya tanpa ekspresi saat mencuci panci, mangkok, dan kuas. Bola mata sempitnya memancarkan kegelisahan kekanakan. Entah mengapa, pelayan kecil itu membanting-banting perkakas hingga berbunyi "Braak! Braak!", menggosok dasar panci berkerak hitam seolah ingin melubanginya.
“Ning Que tertegun sejenak, lalu mulai mengerti. Ia menjelaskan dengan lembut: \"Bisa menghasilkan sedikit perak selalu baik. Lagipula, kurasa orang itu pasti punya latar belakang kuat. Memberi hutang budi padanya, suatu hari nanti pasti berguna.\"”
Plak! Sang Sang melemparkan lap ke pinggiran kompor dengan keras. Gadis kecil itu mengangkat panci besi berat untuk membuang air kotor, memutar pinggangnya dengan lincah - seolah tak melihat kehadirannya, tak mendengar penjelasannya.
Ning Que menggosok-gosok titik antara alisnya yang berkerut. Setelah hening sesaat, ia berkata: \"Si idiot Xiao Hei itu hanya melemparkan satu kalimat sembarangan lalu mati. Meski ingin menolak, mana mungkin aku pergi ke dunia bawah mencari dia. Malam ini kita anggap saja melunasi hutangnya.\"”
Usai mengucapkan itu, ia tak lagi menghiraukan perasaan Sang Sang. Langsung keluar dari kamar belakang menuju toko di depan.
Lao Chao dari Paviliun Angin Semi, ketua geng terbesar di Chang'an, Yulong Bang, telah lama berkeliaran di dunia persilatan. Banyak makhluk aneh pernah dilihatnya. Ia tahu bos muda dari Toko Kuas Tua pasti juga termasuk orang istimewa, sudah siap mental. Tapi melihat penampilan Ning Que kali ini, tetap saja ia tak bisa menyembunyikan keheranan. Memandang benda misterius yang dibungkus kain lap seperti tongkat tebal di punggung Ning Que, ia menghela napas getir: \"Dandanmu ini lebih mirip pengungsi miskin yang kabur karena utang judi daripada pembunuh. Apa kau mau membawa semua harta benda di punggungmu?\"”
\"Hanya satu pisau yang kubawa. Kau harusnya bersyukur.\"
Ning Que berjalan mendekatinya, melirik hujan dan angin di Gang Lin Sishi, memperhatikan bahwa kedua ujung gang yang panjang itu sepi dari bayangan orang, tak bisa menahan kerutan di dahinya, "Kuharap tak ada pengkhianat di antara saudara-saudaramu. Kuharap mereka bisa menjaga gang ini baik-baik. Aku tak ingin adegan kita berdua pergi membunuh dalam teriakan angin ini besok berubah jadi peta pencarian di Kantor Pemerintahan Chang'an."
Lao Chao Paviliun Angin Semi menunduk melihat masker hitam yang menutupi separuh wajah remaja itu, tersenyum tipis, "Sebenarnya tak perlu terlalu hati-hati. Jika setelah malam ini kita masih hidup, selama kau tak melanggar hukum Tang atau berbuat jahat, seluruh Kota Chang'an bahkan Kekaisaran Tang tak akan ada yang berani mengganggumu lagi."
Mendengar itu, Ning Que dalam hati menggerutu: Siapa bilang geng terbesar di Chang'an tak punya latar belakang? Tapi ia tak berniat melepas masker untuk membunuh dengan integritas. Suara remajanya menembus kain hitam, "Aku terbiasa rendah hati."
Lao Chao Paviliun Angin Semi tersenyum, tak lagi membujuknya.
Kesunyian malam semi sudah terusik rintik hujan, kini ditambah derap langkah kaki. Ning Que melangkah keluar ambang pintu, Xiao Chengqian membuka payung kertas berminyak yang tampak rapuh. Mereka serentak melangkah menuju malam dan hujan.
Sang Sang berlari keluar. Berdiri di balik ambang pintu, kedua tangan menggendong panci besi besar, matanya menatap mangkok mi yang masih penuh di meja, lalu meneriakkan kecemasan ke arah punggung yang tengah menghilang dalam gang berhujan, "Young Master, minya belum kau habiskan!"
Ning Que memutar badan sambil tersenyum menatapnya, berkata: "Taruh di situ dulu, nanti dilanjutkan makan."
Sang Sang menggendong panci besi besar, bahu kurusnya bersandar di pintu gerbang yang basah oleh air hujan, berteriak keras: "Kalau dingin jadi tak enak!"
Ning Que melambaikan tangan kuat-kuat, menjawab dengan suara lantang sambil tersenyum: "Kalau begitu kau masak lagi satu panci, tunggu aku pulang untuk makan."
Sang Sang menekan bibir kecilnya rapat-rapat, memandang tak berkedip saat Ia berbalik pergi, akhirnya berteriak: "Aku akan tambahkan banyak irisan daun bawang, Young Master harus ingat pulang untuk makan!"
Ning Que tak lagi menjawab, senyum di balik masker hitam itu semakin mengembang, menatap pemandangan gang yang semakin gelap, menatap rintik hujan yang semakin deras, tiba-tiba bertanya: "Pohon kecil, sekarang kita ke mana?"
"Paviliun Angin Semi."
Lao Chao menjawab dengan tenang: "Rumahku di sana... musuh juga di sana. Tapi aku tetap menyarankan kau memanggilku Lao Chao, karena kaulah yang benar-benar pohon kecil."
Angin dan hujan masih menerpa gang, entah bagaimana keadaan di Paviliun Angin Semi.
……
……
(Catatan: Dari novel Wen Rui'an "Siapa Pahlawan Sejati" - Pertemuan pertama Wang Xiaoshi dan Bai Choufei dengan Su Mengzhen.)
