Sepanjang perjalanan di jalan gunung, karakter-karakter yang terukir di tebing telah mengubah lingkungan sekitar menjadi air terjun mini berjarum dan lautan gila, menyebabkan kerusakan parah pada tubuh dan mental Ning Que. Dalam perlawanannya terhadap simulasi alam ini, semakin keras usahanya, semakin mengerikan kekuatan yang ditunjukkan oleh karakter ukiran batu tersebut. Meski sampai saat ini dia belum jatuh, tubuhnya sudah mencapai titik kelemahan ekstrem.
Dia mengangkat lengannya, membersihkan jejak darah di sudut bibir, lalu berjalan menuju jembatan di seberang. Saat melangkahi jembatan kecil, tekanan tak kasat mata yang ada di sekitarnya tiba-tiba menghilang. Menyadari akhirnya telah melewati rintangan pertama, dengan reflek dia menoleh memandang jalan gunung nan panjang sambil menghela napas dalam-dalam, masih trauma.
Di pinggir jalan gunung dekat jembatan, duduk dua praktisi kultivasi muda. Wajah mereka suram, bahkan terlihat putus asa. Meski mendengar langkah kaki Ning Que, mereka tak juga mengangkat kepala, seolah dunia ini sudah tidak memiliki arti apa pun bagi mereka.
Ning Que menghampiri mereka, memandangi ekspresi wajah mereka, lalu tiba-tiba berkata serius: "Jika harus menyerah, menyerahlah. Itu bukan kehilangan muka."
Saat melewati Xie Yunshu, dia tidak berhenti berjalan, tidak berbicara dengan anak muda berbakat yang menjadi pusat perhatian di Akademi ini.
Tatapan Xie Yunshu bergerak dari sepasang kaki di jalan setapak gunung itu, kemudian mengikuti punggung yang terus melangkah maju. Di pupil matanya terlihat kebingungan samar - dia merasa pernah melihat punggung ini sebelumnya, tapi ada beberapa hal yang belum bisa dipahaminya.
Ning Que tahu jalan setapak di belakang jembatan masih mengandung keanehan. Buktinya tiga pendaki termasuk Xie Yunshu duduk putus asa di ujung jembatan sambil bersandar di pohon. Tapi dia tidak berhenti untuk mengamati atau melakukan hal lain, langsung melanjutkan perjalanan.
Jalan setapak berkelok tak terlihat ujungnya. Dengan kepala sedikit menunduk, dia berjalan dalam hening mengikuti jalan batu hijau yang membelah hutan bunga musim semi. Melewati beberapa tikungan, melintasi beberapa danau, menyusuri hamparan kebun bunga. Setelah mendaki tebing batu curam, jalan yang tadinya menanjak tiba-tiba berbelok turun. Kembali melewati hamparan kebun bunga, danau-danau, serta tikungan-tikungan.
Lalu dia menengadah, melihat jembatan kayu itu dengan pohon di ujungnya dan tiga pendaki yang murung.
……
……
Jalan berliku yang seharusnya menanjak ke puncak justru berputar kembali ke tempat semula, mirip tembok hutan dalam legenda. Angin dingin mulai berhembus di hutan pegunungan dekat jembatan, senja yang semakin dingin membawa aura suram tanpa alasan jelas.
Ning Que tidak menunjukkan ekspresi tertegun apalagi ketakutan. Dia hanya termenung memandang pohon di ujung jembatan dan sosok di bawahnya, lalu berpaling menatap jalan setapak gunung yang telah dilaluinya sambil memejamkan mata.
Sejak melihat pemandangan di ujung jembatan tadi, dia sudah membayangkan kemungkinan ini: jalan setapak gunung akan mengembalikan orang ke tempat semula.
Prinsipnya sederhana. Meskipun di depan jalan gunung ada jurang maut atau binatang buas pemangsa jiwa, ketiga pendaki termasuk Xie Yunshu mungkin gagal mendaki, tapi tak mungkin ketiganya memutuskan menyerah tepat di ujung jembatan. Ekspresi mereka lebih mirip kebingungan orang tersesat daripada kepahlawanan setelah menghadapi siksaan.
Pertanyaannya: mengapa jalan setapak di belakang jembatan bisa mengembalikan orang ke titik awal? Inilah masalah yang harus dipecahkan Ning Que. Dengan mata terpejam, dia berdiri hening di bawah jalan gunung sambil merasakan aliran angin dengan ujung lengan bajunya.
……
……
Jalan yang tampaknya menanjak justru memutar orang kembali. Jika tak bisa memecahkan rahasianya, pendaki hanya akan naik turun gunung tanpa hasil, lalu putus asa kembali ke titik awal berulang kali.
Di ujung jembatan, tiga pendaki yang berperasaan muram akhirnya menyerah dalam siklus yang membosankan dan putus asa ini. Ketika melihat Ning Que, sesama pendaki yang berdiri merenung di depan jalur gunung, mereka membayangkan bagaimana pemuda itu akan mencoba mendaki lagi seperti sebelumnya, lalu kembali dengan wajah kebingungan. Ekspresi simpati bercampur ejekan pun terpancar di wajah mereka.
Wajah Xie Yunshu tak menunjukkan simpati atau belas kasihan. Meski Ning Que tak terkejut dengan jalur gunung ajaib itu, tatkala Xie melihat Ning Que yang kembali dari jalur pendakian dengan wajahnya yang utuh, ia justru tertegun tak bisa bicara.
Setelah ujian masuk akademi, dalam hari-hari mendaki menara tanpa henti, Xie Yunshu selalu menganggap Ning Que sebagai lawan terkuatnya. Namun setelah ujian akhir itu, barulah ia sadar telah melebih-lebihkan prajurit remaja dari perbatasan ini. Di kemudian hari, ketika Ning Que dikucilkan oleh siswa-siswa akademi, meski Xie tak lagi menginjak orang jatuh, ia memang telah melupakan mantan lawannya ini.
Saat lantai dua Akademi dibuka, targetnya adalah Pangeran Long Qing. Bahkan ia telah memprediksi akan muncul banyak lawan kuat dalam ujian. Tapi Ning Que tak pernah terlintas di pikirannya, karena menurutnya sang lawan telah dikalahkan - buat apa lagi memperhatikan orang yang sudah tumbang? Apa hak seorang yang pernah kalah di tangannya untuk membuatnya kehilangan fokus?
Hingga hari ini di ujung jembatan, ia melihat punggung di jalan gunung, menyaksikan Ning Que turun dari jalan gunung, jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. Baru sekarang ia sadar ternyata dirinya sama sekali belum pernah mengalahkan lawan ini, bahkan mungkin selama ini tak pernah benar-benar memahami teman sekelas ini.
Penderitaan yang dibawa jalan gunung di seberang jembatan bagi pendaki, Xie Yunshu telah mengalaminya sendiri. Saat ini, ia pasti bisa membayangkan: Bagaimana mungkin seseorang yang sanggup melewati jalan gunung itu akan mengundurkan diri dari ujian dengan alasan sakit hanya karena sebuah taruhan? Sebuah inferensi yang lebih menyedihkan muncul di hatinya - selama setengah tahun di kompleks akademi ini, Ning Que tak pernah membela diri atau mencoba menantangnya lagi. Bukan karena rasa bersalah, tapi mungkin karena dalam pandangannya, Xie Yunshu sama sekali tak dianggap.
Xie Yunshu memandang Ning Que yang sedang menunduk merenung di bawah jalan gunung, menopang tubuhnya yang lemah dengan bantuan pohon. Setelah beberapa saat ragu, ia berkata: "Jalan gunung ini palsu. Energi vital mengalir secara alamiah, mustahil menemukan terowongan. Kau takkan bisa melewatinya."
Ning Que membuka mata. Tak memutar badan, tak menjawab, hanya menatap tajam jalan gunung di hadapannya.
Sepanjang tahun ini, di Gedung Buku Lama ia telah mempelajari terlalu banyak literatur tentang cultivation. Dalam hal keluasan wawasan, baik Xie Yunshu maupun yang lain sulit menandinginya. Setelah mengitari jalan gunung misterius ini, ia menyimpulkan: Jalan ini telah dipasang formasi yang menyatu harmonis dengan tebing dan batu gunung, membentuk kekuatan yang tak tertembus karena keselarasannya dengan prinsip alam.
Sayangnya, formasi dan ilmu jimat sama-sama merupakan metode paling rumit di dunia bertapa. Bahkan Chen Pipi pun pengetahuannya terbatas. Ning Que hanya membaca beberapa buku dan memahami dasar-dasar formasi, belum menyentuh bulu-bulunya, apalagi memecahkan formasi.
Ning Que merenung, menyatukan kedua tangannya di depan dada dengan ujung jari membentuk jembatan makna. Ia mengerahkan kekuatan pikiran dari lautan Qi Gunung Salju, merasakan gelombang energi alam semesta di jalan setapak, lalu perlahan melangkah maju.
……
……
Tak terasa berapa lama, siluet Ning Que kembali muncul di jalan setapak.
Ekspresinya tetap datar. Sesampai di ujung jembatan, ia memutar badan dan terduduk lesu menatap jalan setapak yang menanjak miring.
Ekspedisi sebelumnya bertujuan merasakan gelombang energi alam semesta di jalan setapak, mencari terowongan di luar formasi. Namun terbukti, formasi di sini sungguh hebat - ketika pendaki mencoba mengendalikan energi alam semesta dengan kekuatan pikiran untuk merasakan jalur formasi, energi yang digerakkan ini akan memicu perubahan halus pada formasi. Perubahan sekecil apapun terasa seperti jurang bagi pendaki.
Lebih menakjubkan lagi, semakin kuat kekuatan pikiran pendaki, semakin ganas gelombang energi yang menghancurkan jalur-jalur yang baru ditemukan.
Artinya, semakin kuat kekuatan pikiran seseorang yang ingin melewati jalan gunung belakang jembatan, dan semakin melimpah energi alam semesta yang bisa dikendalikan, maka akan semakin mudah menemukan jalan gunung sejati yang tersembunyi dalam formasi. Namun di saat bersamaan, ini juga akan semakin cepat memicu perubahan formasi, menutupi kembali jalan gunung sejati.
Jika pendaki ingin melewati jalan gunung yang tertutup formasi ini, hanya ada tiga metode: Pertama, kecepatan gerakmu cukup tinggi. Begitu menemukan jalan sejati, segera berubah menjadi kilat dan terbang melewatinya sebelum formasi sempat berubah. Kedua, tingkat meditasimu cukup tinggi sehingga tidak perlu menggerakkan energi alam semesta untuk meraba-raba, cukup dengan satu pandangan maknawi langsung bisa menembus formasi, melihat aliran energi di antara jalan gunung, lalu menemukan jalan itu. Ketiga, kekuatan pikiranmu cukup kuat untuk mengendalikan energi alam semesta dengan akurat merasakan saluran-saluran dalam formasi, namun sekaligus harus memastikan energi tersebut tidak terdeteksi oleh formasi sehingga tidak memicu perubahan.
Pasti ada praktisi kultivasi yang lebih cepat dari kecepatan pemicuan formasi, seperti para orang suci dalam legenda yang telah memasuki keadaan Wuju, tapi orang itu pasti bukan Ning Que. Pasti ada praktisi dengan tingkat meditasi cukup tinggi yang bisa langsung menembus formasi, seperti Pangeran Long Qing yang kini telah masuk ke kabut di lereng gunung, tapi orang itu pasti tetap bukan Ning Que.
Bagi Ning Que, bagi beberapa praktisi kultivasi yang bingung dan putus asa di ujung jembatan ini, sebenarnya mereka hanya mungkin memilih metode ketiga. Tapi jika dianalisis matang, akan jelas bahwa metode ketiga ini pada dasarnya mustahil dilakukan.
Mereka bagaikan orang buta yang tak bisa melihat. Gelombang energi vital yang membentuk formasi di jalan gunung, ibarat labirin terbuat dari materi yang lebih lembut dari krim. Orang buta itu harus meraba-raba dinding krim dengan tangan, harus sangat hati-hati dan teliti agar bisa menemukan terowongan dalam labirin krim ini, sambil memastikan dinding krim tidak berubah bentuk sedikitpun. Karena sekali berubah, labirin akan berubah lagi.
Untuk melakukan semua ini, si buta harus memiliki sepasang tangan terlembut di dunia. Tangan lembut ini bisa menangkap angin hutan tanpa disadari angin, bisa menanggalkan pakaian perempuan di ranjang tanpa membangunkannya, bisa menyapu tinta di batu tinta tanpa ternoda setitik hitam.
Bagi praktisi kultivasi, tangan lembut ini adalah energi alam semesta yang digerakkan oleh kekuatan pikiran mereka.
Mereka harus memastikan energi alam semesta yang digerakkan cukup presisi dan lembut, bisa mengendalikan jarum halus untuk menyulam bunga, membuat bunga menahan lebah penjaga, membuat lebah menari di ujung jarum. Baru dengan kemampuan sekuat ini mereka bisa mencoba melakukan hal yang diinginkan.
Tapi adakah praktisi kultivasi di dunia fana yang begitu iseng, memaksakan energi alam semesta yang telah dilatih dengan meditasi kuat menjadi lemah dan lembut, lalu menghabiskan waktu berlatih ilmu menyulam yang tak berguna bagi kultivasi?
"Orang yang membentuk formasi di jalan gunung ini pasti orang tua menyimpang."
Ning Que menatap jalan gunung berliku di depannya, dalam hati memberikan penilaian paling akurat pada ahli formasi di akademi itu. Lalu ia memasukkan tangan ke dalam bajunya, meraba benda tipis dan dingin di sana, diam-diam berpikir: "Tapi sepertiku juga agak menyimpang."
……
……
Seperti perasaannya saat mata berkaca-kaca memandang langit di jalan gunung dekat jembatan sebelumnya, penderitaan bertahun-tahun kini bagai hadiah dari Tuan Haotian. Praktisi kultivasi normal pasti tak bisa menggunakan cara ketiga melewati jalan gunung, tapi Ning Que mungkin bisa. Meski belum tentu berhasil, setidaknya masih menyimpan kemungkinan indah itu.
Sejak kecil, kapanpun ada waktu - saat makan, tidur, terduduk lesu, atau menulis - Ning Que selalu bermeditasi. Dengan saluran energi tersumbat di Gunung Salju dan Lautan Qi, kekuatan pikiran hasil meditasi terakumulasi di laut kesadaran. Setelah bertahun-tahun menjadi danau luas, akhirnya tahun lalu meridian terbuka, menjadi tumpuan utamanya.
Dengan kekuatan pikiran sekuat ini, hanya idiot yang sengaja melemahkan energi vital alam semesta. Ning Que juga tak ingin, tapi berbeda dari praktisi biasa. Sejak awal ia tak bisa bertapa, hanya mengandalkan nasib ajaib yang melawan kodrat. Lautan Qi dalam tubuhnya hanya 10 meridian yang terbuka. Energi alam yang bisa ia rasakan sungguh sangat minim.
Karena sedikit, maka lembut.
Mengenai mengendalikan energi alam semesta untuk membuat sulaman halus, tindakan yang terlihat menyimpang dan membosankan ini sebenarnya adalah kegiatan yang dilakukan Ning Que setiap malam di Gang Lin 47 selama enam bulan terakhir. Energi alam semesta yang bisa dia kendalikan terlalu sedikit, dia tahu sulit memenangkan pertarungan dengan ini, sehingga dia semakin berusaha meningkatkan ketelitian kontrolnya.
Di bawah cahaya lilin setiap malam, di bawah pengawasan penasaran Sang Sang, remaja yang akhirnya memasuki dunia bertapa ini terus bermeditasi mengembangkan kesadaran. Merasakan energi alam semesta di kamar, mengendalikan dedaunan, baskom kayu, tempat lilin, kuas tinta, kertas batu tinta, hingga toilet - semuanya dikendalikan.
Hingga hari ini, dia yang masih terjebak di tingkat pencerahan keempat (Bukou) belum menemukan benda nasibnya. Masih belum bisa seperti para Guru Pedang yang mengendalikan pedang terbang syu-syu-syu-syu melayang, membunuh dari kejauhan secara tak kasat mata.
Tapi dia bisa mengendalikan ratusan daun di bawah pohon di pekarangan untuk terbang satu per satu ke tungku membentuk bukit kecil. Menggerakkan baskom kayu seperti bayi gendut yang merangkak susah-payah dari ujung ranjang ke ujung lain, memancing tepuk tangan gembira Sang Sang. Mengarahkan kuas bulu turun perlahan ke batu tinta lalu mengangkatnya untuk menulis di kertas dengan kikuk seperti anak kecil yang baru belajar kaligrafi.
"Ning Que berlatih dengan kesunyian dan ketekunan seperti saat belajar membunuh binatang dan manusia di Gunung Min, berlatih mengendalikan energi alam semesta seperti ribuan kali mengayunkan pisau. Daun-daun yang beterbangan di pekarangan, air cuci kaki yang menggenang di kamar, tinta yang berceceran di meja tulis dan tembok putih, bau busuk dari ember toilet yang tumpah, serta keringat Sang Sang saat membersihkan kekacauan - semuanya menjadi bukti usahanya."
"Metode ini sangat menyiksa, inilah makna bertapa. Metode ini sangat kikuk, inilah makna 'Ketekunan dapat menutupi kekurangan'. Metode ini sangat menyimpang, orang biasa sama sekali tak terpikir apalagi melakukannya."
"Karena itulah bahkan Langit pun tersentuh."
……
……
"Xie Yunshu menopang diri pada pohon, menatap Ning Que di jalan setapak gunung bawah, berkata pahit: 'Ning Que, aku tak tahu mengapa kau selalu menyembunyikan kemampuanmu. Mungkin kau meremehkanku, tapi aku bisa melihat - kau dan aku sama, masih berada di tingkat pencerahan ke-4.'"
"'Hanya mereka yang mencapai Pemahaman Mendalam yang bisa menguasai pola gelombang energi vital. Kau ingin melewati jalan gunung ini? Kecuali terjadi keajaiban.'"
"'Sebelum masuk akademi, Nyonya Jian pernah berkata padaku: Akademi adalah tempat dimana keajaiban diciptakan.'"
"Ning Que mengeluarkan lapisan tipis foil perak dari sakunya, meremas-remasnya menjadi ribuan serpihan dengan telapak tangan, lalu menaburkannya ke depan. Angin gunung berhembus dari jurang bawah jembatan, menerjang jalan setapak, membuat serpihan foil perak yang ringan itu beterbangan ke segala arah, berhamburan seperti ribuan daun perak, lalu mendarap sunyi di jalan gunung."
“Aku bertahan hidup adalah sebuah keajaiban, jadi setiap hari yang kuhidupi akan kujadikan keajaiban.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, Ning Que menatap Jalan Suci Cahaya Perak yang jelas di samudra kesadarannya, lalu melangkah maju.
Saat mulai mendaki jalan gunung, gerakannya tampak penuh semangat, namun tiba-tiba menjadi aneh dan kikuk.
Dia membungkukkan tubuhnya, dengan gerakan sangat lambat menopang pohon untuk berjongkok, lalu hati-hati bergeser dua langkah ke depan.
Kemudian dia mengulurkan tangan kanannya ke tebing, memutar tubuhnya dengan susah payah ke belakang, lalu melangkah maju satu langkah lagi.
……
……
Orang-orang di akademi yang memandang jalan gunung miring dalam senja tiba-tiba berteriak: "Lihat, itu Ning Que!"
Seseorang mengejek: "Apa yang dilakukannya? Kadang mengangkat kaki, kadang merangkak di tanah, menyusup lewat lubang anjing?"
Zhong Dajun mengibaskan kipas lipatnya dengan senyum sinis: "Memang dia ahli dalam kabur lewat lubang anjing."
Ning Que yang terakhir mendaki ternyata bertahan begitu lama, mengagetkan hampir semua orang, terutama teman sekelasnya di akademi yang merasa sudah mengenalnya baik, selain tertegun juga menyimpan iri dan kebencian terselubung.
Chang Zhengming mengerutkan alisnya sambil memandang Ning Que yang tersiksa di jalan gunung dengan gerakan konyol, teringat percakapan mereka tahun lalu di akademi, lalu bergumam sendiri: "Entah berapa lama lagi dia bisa bertahan."
"Cuma preman kasar!" Zhong Dajun menutup kipasnya dengan plak, berkata penuh kebencian.
Situ Yilan menoleh memandangnya sejenak, lalu dengan dingin menyapu pandang ke teman-teman sekelas yang berekspresi kompleks, berkata dengan nada mengejek: "Dia sudah melampaui Enam Murid Ritual, legal/dengan alasan yang sah menjadi yang terunggul di akademi. Apakah sampai sekarang kalian masih tidak terima?"
Para siswa akademi terdiam tak bisa bicara.
……
……
Di jalan setapak gunung yang miring, kekuatan pikiran Ning Que menyebar keluar tubuh, menggerakkan energi alam semesta yang tipis, merasakan serpihan-serpihan perak yang berhamburan di jalan gunung, lalu melalui perak-perak itu dengan lembut mencari terowongan formasi.
Ning Que belum pernah bisa menentukan benda nasibnya sendiri, tapi tak diragukan lagi, di dunia ini selain Sang Sang, benda yang paling resonan dengan kekuatan pikirannya untuk sementara masih perak. Karena pertukaran emas memerlukan otorisasi pemerintah, dia belum mencoba emas.
Dengan bantuan serpihan perak itu, dia dengan susah payah jongkok, bangkit, merangkak miring secara kikuk bahkan terlihat menggelikan, berjuang maju di jalan gunung yang sepi. Namun setidaknya dia tidak lagi dibawa kembali ke ujung jembatan oleh jalan itu.
Xie Yunshu berdiri di ujung jembatan menopang pohon dengan ekspresi bingung memandang jalan gunung, tak kunjung mengerti metode apa yang digunakan Ning Que, hingga akhirnya bisa melampaui dirinya dan menapaki jalan gunung yang tak pernah bisa dia lewati.
"Melihat siluet menggelikan yang semakin menjauh di jalan setapak gunung, dia tak bisa menahan diri untuk teringat pada sosok sunyi dan sendirian yang kadang terlihat di padang rumput saat berjalan-jalan dengan Wucai di tepi danau selama enam bulan terakhir. Sosok yang dilupakan akademi selama setengah tahun penuh. Dia teringat pada kesombongannya sendiri setelah ujian akhir itu, dan sosok yang menghilang di koridor yang tertutup hujan."
"Dia menggenggam erat dada kanannya, menatap Ning Que di ujung jalan gunung, berteriak penuh kesakitan dan ketidakrelaan: 'Ning Que, kau tak bisa mengalahkan Pangeran Long Qing! Dia sudah masuk kabut sejak lama!'"
"Siluet Ning Que menghilang di kelokan jalan gunung."
"Xie Yunshu terduduk lesu menatap ke arah itu."
"Sebuah suara terdengar dari balik kelokan."
"'Setidaknya aku sudah melampauimu.'"
"Xie Yunshu memegangi dadanya terjatuh di bawah pohon, darah muncrat dari mulutnya."
……
……
"Di antara kabut puncak gunung."
"'Shixiong kedua, Ning Que hampir masuk kabut.'"
"'Sudah melewati pintu kayu reyot?'"
"'Belum.'"
"'Tulisan di pintu kayu itu sulit baginya. Hanya yang telah mencapai Pemahaman Mendalam tingkat atas yang bisa mengingatnya. Hal ini tak bisa mengandalkan hoki.'"
"'Bukankah Ning Que sudah setahun membaca buku di Gedung Buku Lama? Masih belum hafal?'"
"'Tulisan di batu lebih dalam daripada di kertas. Sedalam satu derajat berarti seluas satu dunia. Mampu menghafal buku di Gedung Buku Lama tak berarti bisa menghafal batu.'"
"'Ah... Shixiong kedua, apa ada pintu belakang di pintu kayu itu?'"
"'Pi Pi.'"
"'Ya, shixiong kedua. Aku tahu salah.'"
"'Berapa anak tangga batu yang sudah dilalui Pangeran Long Qing dalam kabut?'"
"'Dia sudah melewati 4.112 anak tangga batu.'"
"'Tanpa istirahat?'"
“Tidak ada.”
“Ternyata sudah mencapai usia dua belas tahun secepat ini, tampaknya para Taoist tua di Xiling memang punya seluk-beluk tersendiri.”
……
……
Ning Que melewati jalan gunung berliku-liku, mengambil selembar perak tipis yang terbang paling jauh di kakinya, lalu menatap ke depan di mana jalan setapak samar-samar menghilang dalam kabut tebal di lereng gunung, tak terlihat ujungnya.
Di balik kabut, terdapat sebuah pintu kayu reyot.
Saat mendekati pintu, ia melihat papan kayu di atasnya bertuliskan tiga karakter.
“Junzi tidak...”
Ning Que mengerutkan alis, menatap bagian kosong di papan kayu dan batu kapur yang diletakkan di bawahnya. Ia paham ini adalah permintaan untuk melengkapi kalimat.
Karakter keempat apa yang tepat?
Di dekat pintu, ia menemukan sebuah batu dengan empat karakter terukir dalam-dalam.
“Junzi tidak terikat bentuk.”
“Sesederhana ini?”
Dengan heran ia menggeleng, kembali ke pintu kayu. Namun saat mencoba menulis karakter keempat dengan batu kapur, ia tertegun menyadari telah lupa bentuk karakter tersebut.
Mengangkat kuas tapi lupa kata-kata.
Jari-jarinya kaku memegang batu kapur. Ia kembali ke batu bertuliskan, menatap coretan-coretan itu. Sebagai veteran pertempuran melawan buku-buku lantai dua Gedung Buku Lama selama setahun, tak ada yang lebih paham situasi ini darinya.
Selama setahun penuh di akademi, ia terus bertarung dengan buku-buku yang membuat pikiran kosong di lantai dua Gedung Buku Lama.
“Saksikan Delapan Metode Yong hebatku!”
Ning Que memilih beberapa ranting kering dari pinggir jalan, menyusunnya mengikuti karakter 'Qi' di batu, lalu perlahan menutup matanya. Ekspresi wajahnya kosong saat mulai mengurai ingatan dalam kesadarannya. Tiba-tiba dia membuka mata, senyum bodoh seperti orang idiot merekah di wajahnya.
"Kau benar-benar idiot."
Setelah mengucapkan kata-kata bernada menyalahkan diri ini, tangan kanannya meraih batu itu.
……
……
Di puncak gunung yang diselimuti kabut.
"Shixiong kedua, Ning Que telah melewati pintu kayu reyot."
"Bagaimana mungkin? Dengan Delapan Metode Yong si idiot itu, dia ingin membuka batu le di pintu kayu reyot?"
"Dia tidak menggunakan cara itu."
"Lalu bagaimana dia mengingat karakter itu?"
"Pertama dia mencoba menggali batu itu langsung."
"Idiot! Batu le menyatu dengan gunung besar, mana mungkin digali?"
"Ning Que menyadari tidak bisa menggali... Langsung saja dia menempelkan telapak tangannya ke batu, mencetak karakter itu ke telapak tangan."
"Apa?!"
"Kemudian dia mendekati pintu kayu reyot, menyalin cetakan di telapak tangannya."
“……”
Kabut gunung menyelimuti keheningan, lalu seseorang berkata dengan kagum: "Cara ini benar-benar... tidak biasa."
"Waktu Shixiong kedua melewati jalan gunung dulu, juga melakukan ini?"
"Tidak biasa? Ini namanya main spekulasi! Apakah aku terlihat sebodoh itu?"
"Apakah Ning Que akan menjadi orang pertama dalam sejarah akademi yang membuka pintu kayu reyot dengan cara ini?"
Suara Shixiong kedua terdengar kembali setelah lama terdiam.
"Bukan."
"Lalu siapa?"
"Kakak senior."
“Kakak senior membuka pencerahan di usia 13 tahun, mencapai tingkat Bukou di usia 30, kemudian langsung menembus tahap Pemahaman Mendalam dan Pengetahuan Takdir. Tujuh belas tahun itu ternyata belum cukup untuk mencapai kondisi meditasi tingkat tinggi membuka Pintu Kayu Reyot.”
“Selama tujuh belas tahun itu, setiap kali kakak senior naik-turun gunung, saat melewati pintu kayu reyot, selalu menggunakan metode ini.”
……
……
Mengambil kapur batu, Ning Que membuka telapak tangan kirinya. Menatap coretan-coretan merah yang tercetak di telapak, ia mulai menulis dengan cermat di papan kayu pintu gerbang. Meski tulisan di batu tercermin terbalik di tangan, bagi ahli kaligrafi sepertinya ini sama sekali bukan masalah.
Sebuah karakter "Qi" yang rapi tertulis di papan kayu tanpa satu goresan pun melenceng. Saat garis penutup di sudut kanan bawah karakter itu diselesaikan dengan kapur, papan bertuliskan "Junzi Bu Qi" tiba-tiba mengeluarkan asap kehijauan.
Ning Que mundur selangkah. Tulisan di papan kayu yang semula empat karakter kini kembali menjadi tiga karakter. Karakter "Qi" terakhir menghilang tanpa bekas.
Kreek! Pintu kayu reyot perlahan terbuka di hadapannya.
Jalan setapak di balik pintu membentang vertikal menuju kabut tebal di lereng gunung, jauh lebih curam dari jalan sebelumnya. Seluruhnya terdiri dari anak tangga batu yang tak terhitung jumlahnya - entah berapa ribu anak tangga harus dilalui untuk mencapai puncak.
Seharusnya Ning Que langsung melangkah melewati pintu gerbang, tapi rasa penasarannya tak terbendung. Ia menoleh ke batu prasasti di pinggir jalan. Benar saja, ukiran di batu telah berubah dari "Junzi Bu Qi" menjadi "Junzi Bu Huo".
"Entah empat karakter apa yang dilihat Pangeran Long Qing waktu itu."
Dengan rasa ingin tahu membara, ia melangkah melewati pintu kayu reyot dan mulai menapaki tangga batu, siluetnya lenyap ditelan kabut pekat di lereng gunung.
……
……
Di dalam akademi tercipta keheningan total, bahkan burung gagak pun tak bersuara, tak ada suara manusia.
Seorang mahasiswa akademi wajahnya agak pucat, menatap ke arah gunung sambil bergumam, "Hoki, ini pasti hoki."
Zhong Dajun menggenggam erat gagang kipas lipat, suaranya serak dan terdengar bodoh, "Orang ini... berapa banyak hal yang disembunyikannya... terlalu licik."
Tak ada yang menghiraukan mereka, termasuk Situ Yilan.
Seluruh mata di akademi tertuju pada gunung tinggi itu, pada kabut tebal yang menyelimuti lereng gunung.
Meski mereka sudah tak bisa melihat siluet mahasiswa akademi itu, mereka tetap menatap ke arah sana.
Mahasiswa akademi itu adalah orang kedua yang masuk ke dalam kabut gunung.
Beberapa bahkan mulai tak bisa menahan diri untuk berspekulasi, mungkin orang itu benar-benar bisa mendahului Pangeran Long Qing mencapai puncak?
