Yan Se gemetar marah, namun sebelum sempat bereaksi, terdengar suara tambahan dari tebing.
"Oh, aku salah. Li Qingshan danmu masih berani merengek. Anak yang menangis baru dapat susu. Masalah kalian sekarang adalah bingung mau menghisap payudara kiri atau kanan."
Yan Se tertegun oleh ucapan itu, kemarahan yang menggelegak berubah jadi geli. Dengan kesal ia berkata: "Pilihan katamu sangat kasar."
Shixiong kedua berbalik, menatapnya tenang: "Tai kotoran dan air seni kuning pun adalah Tao. Selama mengandung prinsip universal, buat apa mempermasalahkan diksi?"
“Yan Se？”Yan Se menggeleng-gelengkan kepala, menatap lawan yang berwajah tegas dan tidak seperti orang biasa, menghela napas berkata: "Jun Mo ah Jun Mo, kau ingin manusia melihatmu bagaimana? Sungguh tak paham bagaimana orang sombong dan keras kepala sepertimu bisa hidup selama ini."
Shixiong kedua tersenyum tipis, tangan terkebelakang di belakang berdiri di tepi tebing menatap awan mengembang, berkata: "Aku jarang turun gunung, juga tak akan mengganggu segelintir orang yang tak bisa kuhadapi. Segelintir orang yang mampu menggangguku pun tak berani naik gunung. Aku tentu bisa hidup tenang. Adapun kau, selamanya bukan termasuk yang tak bisa kuhadapi. Selain lebih tua puluhan tahun, dalam hal keahlian, keadaan meditasi tingkat tinggi, atau generasi - mana yang lebih unggul dariku? Jadi di hadapanmu, apa salahnya aku sedikit sombong?"
"Apakah menghormati yang tua dan berbudi luhur tak kau pahami?" Yan Se kesal mengibaskan lengan baju.
"Jika hidup lebih lama patut dihormati, maka saat aku baru lahir sebagai bayi, bukankah harus membungkuk hormat dan bersujud pada setiap orang? Menghormati yang berbudi memang ada benarnya, tapi Yan Se, di mana kebijakanmu?"
Shixiong kedua berbalik menatap wajah keriput Ahli Jimat Dewa itu, dengan ekspresi meremehkan dan kecewa: "Dulu kalau kau tak bodoh bersumpah murni Yang dalam Tao tulisan, mana mungkin sampai sekarang masih terjebak di Zhi Ming tingkat atas, tak bisa melangkah lebih jauh?"
Isi dalam kalimat ini, terutama cara shixiong kedua menggunakan nada penuh belas kasihan dan penyesalan seperti orang tua, langsung menyentuh titik kelemahan Master Yan Se. Lengan jubah Tao-nya berkibar liar sambil berteriak kencang: "Aku belum melangkahi tahap itu, masa kau bisa melampauinya? Lekat!"
Shixiong kedua menengadah ke langit, tersenyum sinis: "Kau sudah tua dan lemah, tak punya banyak waktu untuk disia-siakan. Berbeda denganku. Belakangan ini hatiku sering mendapat pencerahan. Aku yakin jika menemukan peluang, pasti bisa melangkahi tahap itu."
Yan Se tertegun sejenak, teringat sesuatu. Tatapannya berbinar licik: "Konon langkah pertama Liu Bai dari Nan Jin sudah menginjak gelombang keruh Sungai Kuning. Tapi apakah telapak kakimu pernah menyentuh awan?"
Mendengar nama Liu Bai dari Nan Jin, ekspresi shixiong kedua berubah. Bola matanya memancarkan kilau semangat, bukan kewaspadaan: "Aku dilahirkan sebagai jenius, murid Sang Guru. Jika tak bisa melampaui Liu Bai, bukankah itu memalukan?"
Yan Se terdiam. Jika bahkan Liu Bai - petarung terkuat di dunia - tak mampu menghancurkan kesombongan orang ini, maka tak ada cara lain. Setelah hening sejenak, ia mencoba bertanya: "Bagaimana dengan Ye Su...?"
Alis shixiong kedua berkerut. Wajahnya menunjukkan kengerian, seolah berkata: "Kau berani menyamakanku dengan kayu tak berguna itu? Sungguh menggelikan!"
Yan Se menarik napas dalam. Dalam hati: "Kau berani meremehkan praktisi spiritual terbaik dari kuil kami?"
Lalu dia melanjutkan bertanya: "Bagaimana peluang dua sisanya menurutmu?"
Shixiong kedua menatap wajah Ahli Jimat Dewa, merasa pertanyaannya semakin bodoh, malas menjawab lagi, langsung berkata: "Singkat saja, kau benar-benar ingin punya penerus, atau Gerbang Selatan harus punya Ahli Jimat Dewa?"
Master Yan Se bingung bertanya: "Apa bedanya?"
Shixiong kedua diam, membiarkannya merenung sendiri.
Tiba-tiba Yan Se memahami makna tersembunyi dalam ucapan itu, tanpa ragu berkata tegas: "Tentu keduanya!"
Shixiong kedua memiringkan kepala menatapnya lama, kemudian berkata: "Kau benar-benar berandai-andai."
Yan Se mengerutkan alisnya: "Apa maksudmu berandai-andai?"
Shixiong kedua menggeleng kepala heran: "Berandai-andai artinya kau terlalu muluk berkhayal."
Yan Se terdiam tak bisa bicara.
Shixiong kedua menatapnya: "Aku sudah mundur selangkah. Jika kau nekat maju dua langkah, lebih baik kita jatuh bersama dari tebing ini. Nanti lihat kau yang selamat atau aku. Jika aku hidup, urusan selesai. Jika aku mati, lakukan semaumu. Tawaranku ini cukup sederhana dan kuat, setuju?"
Yan Se kesal: "Aku ahli Tao jimat. Jika kau tak izinkan persiapan, jatuh pasti jadi remukan daging. Lalu kau buka larangan gunung untuk selamatkan nyawa... Kejahatan macam apa ini kau utarakan!"
“Pilihan yang begitu sederhana, mengapa kau ragu-ragu selama ini?” Shixiong kedua melambaikan tangan, berkata: “Menurutku, tentu lebih penting memiliki penerus. Jika tidak, saat kau menghembuskan nafas terakhir di ranjang, tak ada yang menemani, seluruh ilmu jimat dan Tao-mu akan membusuk bersama raga fisik bagai debu, bukankah sayang? Adapun Gerbang Selatan Haotian, selama Dinasti Tang tidak runtuh, selama para dukun tua Xiling masih ingin menyebarkan ajaran di wilayah Tang, mereka pasti akan tetap abadi. Apa artinya kehilangan satu Ahli Jimat Dewa?”
Ia menatap Yan Se melanjutkan: “Hal ini bisa kuputuskan atas nama akademi. Setelah Ning Que masuk lantai dua, selama kau tak memaksanya masuk Gerbang Tao Haotian, dia boleh belajar coretan hantu darimu di waktu senggang.”
Yan Se marah: “Ilmu jimat sakral kok kau sebut coretan hantu! Jun Mo jangan sok jago! Kalau Sang Guru yang bicara masih kubisa terima, kau ini cuma mahasiswa akademi, berani-beraninya...”
Ucapan belum selesai, shixiong kedua melirik tajam dan menghentikannya: “Mau atau tidak, cepat putuskan! Kalau bukan karena bakat Ning Que pertama kali kau temukan, dan memberimu muka, kau kira akademi kami tak bisa cari Ahli Jimat Dewa lain?”
Segala perdebatan pada akhirnya ditentukan bukan oleh retorika, tapi kepiawaian tinju-tendangan. Dengan satu kalimat sederhana ini, keyakinan diri akademi yang tak tertandingi di dunia terpancar. Yan Se tiba-tiba berubah bagai dedaunan musim gugur, lunglai kehilangan warna.
Berjuang dalam waktu yang lama atau sebentar, Yan Se akhirnya membuat keputusan sulit. Ia menatap awan putih di bawah tebing dan kota megah Chang'an di kejauhan, dalam hati menghela napas: "Adik seperguruan, aku telah mengkhianatimu."
……
……
Di sebuah kamar akademi, pekerjaan edukasi pemikiran Pangeran Li Peiyan dari Kekaisaran Tang terhadap seseorang masih berlanjut. Namun sekeras apapun ia menggunakan retorika kebenaran negara dan keuntungan rakyat untuk membujuk, Ning Que yang berdiri di hadapannya hanya menjawab satu kalimat.
Ning Que menatap Li Peiyan dengan senyuman tulus di wajah, menjawab dengan suara ikhlas: "Aku mahasiswa akademi, aku mendengar perintah akademi."
Senyuman di wajah Li Peiyan berangsur menghilang. Ia menatapnya dengan dingin, berkata dengan tenang: "Sangat baik."
Ning Que pura-pura tak menyadari perubahan perasaan orang penting ini, membungkuk sedikit dengan sopan: "Yang Mulia terlalu memuji."
Li Peiyan mendorong pintu gerbang dengan geram sambil berpikir: Jika Ning Que benar masuk ke lantai dua, bagaimana nasib Pangeran Long Qing? Apakah Kaisar akan menyalahkannya jika tahu kabar ini? Bagaimana pejabat akan memberi penjelasan ke Xiling?
Dengan ekspresi muram di wajahnya, ia menatap dingin pejabat di sampingnya. Masih berharap, ia bertanya: "Apa jawaban akademi? Hal yang menguntungkan semua pihak ini, pasti tak ada pikiran lain kan?"
Pejabat itu menghela napas getir dan menjawab, "Yang Mulia Pangeran, pengumuman sudah dipasang. Akademi mengkonfirmasi Ning Que masuk lantai dua... Hamba sebelumnya sudah menanyakan alasannya, Profesor Huang He bilang ini keputusan mandiri lantai dua. Mereka juga berkata tak perlu memberi penjelasan pada kami."
Li Peiyan tertegun sejenak, lalu kemarahan menyala di hatinya. Meski sebagai pangeran Kekaisaran Tang, pengaruhnya terhadap akademi yang berstatus khusus—terutama lantai dua di gunung belakang akademi—sama sekali tak ada. Teriakan marahnya hanya akan mempermalukan diri sendiri. Hampir seketika itu juga, ia alihkan seluruh kemarahannya pada Ning Que yang ada di kamar.
Tak diketahui sejak kapan, Lin Gonggong menghampirinya dan mengingatkan dengan niat baik, "Yang Mulia, hamba rasa Paduka tidak terlalu mempedulikan penjelasan untuk pihak Xiling. Mengenai Ning Que, mungkin lebih baik Yang Mulia tidak usah campur tangan."
……
……
Setelah memastikan Sang Pangeran dan para pejabat sudah meninggalkan akademi, Ning Que baru keluar dari kamar. Ia berjalan menyusuri koridor hujan di tepi taman, tiba-tiba melihat siluet gemuk berdiri di bawah pohon willow.
Ning Que mendekat, melakukan ritual bersujud panjang hingga menyentuh tanah, lalu berkata, "Terima kasih."
Chen Pipi menjawab serius, "Kalau mau berterima kasih, harus lebih konkret."
Ning Que berpikir sejenak, lalu berkata, "Nanti aku ajak kau makan di rumahku. Aku akan suruh Sang Sang masakkan sup asam pedas dengan irisan daging. Keahliannya tidak kalah dengan warung di kawasan timur. Rahasia ini biasanya tidak kubocorkan."
Chen Pipi tidak menanggapi perkataan itu, menatapnya tiba-tiba berkata: "Mulai hari ini kita adalah saudara seperguruan."
Ning Que menatap wajah bulatnya, meski merasa tak rela tapi setelah menghela napas terpaksa bersujud lagi, berkata: "Shixiong."
Chen Pipi tersenyum lebar, tangan seolah menopang tapi tak benar-benar menghentikan, menatap kepalanya dengan bangga berkata: "Adik seperguruan tak perlu banyak basa-basi."
Ning Que mengangkat kepala, keduanya saling bertukar senyum.
Seluruh pertemanan selama setahun di Gedung Buku Lama, seorang kayu tak berguna yang tak bisa bertapa akhirnya menjadi bagian dari lantai dua Akademi, baik bagi Ning Que sendiri maupun Chen Pipi yang menyaksikan keajaiban ini perlahan terungkap, hati keduanya dipenuhi kekaguman dan keharuan tak terhingga.
Chen Pipi berkata penuh perasaan: "Guru pernah berkata, di daerah kering ujung barat ada jenis jangkrik yang bersembunyi dalam lumpur selama 23 tahun, menunggu gunung salju mencair dan air bah datang, baru terbangun, mandi dalam lumpur, mengeringkan sayap di angin dingin, lalu mengepakkan sayap menembus langit."
Ning Que sambil menggeleng tertawa berkata: "Antara kita perlu bicara begitu? Apa kau ingin kujilat lagi?"
Chen Pipi berkata: "Ini bukan berlebihan. Kayu tak berguna dengan saluran energi tersumbat tiba-tiba melesat ke awan, yang lebih mengagetkan, kau bahkan punya bakat Ahli Jimat Dewa, sampai membuat Master Yan Se dari Gerbang Selatan Haotian turun tangan."
Sebenarnya hingga saat ini, Ning Que masih belum mengerti apa yang terjadi. Dia belum pernah bertemu Master Yan Se, hanya mengetahui dari cerita orang bahwa itu adalah ahli jimat dewa yang hebat, kakak senior Rohaniwan Agung. Tapi mengapa dia memilihku?
……
……
Tiba di lingkungan yang familiar, di tepi lahan basah yang dikenalnya, Ning Que melihat siluet kurus yang paling akrab baginya.
Dia mendekat, menatap kelelahan di wajah Sang Sang, melihat serpihan daun dan rumput yang terselip di rambut kuning keemasannya. Dengan lembut dia memunguti satu per satu sambil berkata, "Kau pasti sangat lelah menunggu selama ini."
Sang Sang menatapnya dengan serius, "Young Master-lah yang benar-benar bekerja keras."
Setelah mengalami siksaan mental dan fisik sepanjang malam, lalu dihantam euforia kesuksesan akhir, Ning Que langsung pingsan di puncak gunung. Meski sudah beristirahat sebentar, pikirannya masih terasa kacau.
Walau Sang Sang tak mengatakannya, tapi semalam dia sendirian seperti binatang kecil terlindung di bawah payung hitam, menghindari angin topan pedang yang tiba-tiba menerjang, hingga kelelahan, panik, dan kehabisan tenaga.
Tuannya dan pelayan saling menopang, berjalan lambat menyusuri lahan basah dalam cahaya fajar menuju halaman depan.
……
……
Halaman depan akademi jauh lebih sepi dibandingkan malam kemarin. Para pejabat dan utusan telah lama bubar, sementara sebagian besar mahasiswa akademi tetap tinggal. Mereka berkumpul di bawah pengumuman itu, menatap nama yang akrab namun asing—nama yang sengaja mereka lupakan selama enam bulan, namun hari ini kembali dengan cara kejam ke dalam pandangan mereka. Hening yang tertegun menyelimuti mereka.
Meski sudah mengetahui hasil akhir ujian lantai dua, para mahasiswa tetap belum pergi. Di alam bawah sadar mereka, mungkin mereka ingin menyaksikan langsung Ning Que berjalan mendekati mereka, untuk membuktikan bahwa semua ini bukan halusinasi. Hanya saja, naluri bawah sadar seperti ini terasa seperti bentuk menyakiti diri sendiri.
Cahaya fajar tak lagi samar, bersama angin semi yang lembut menyinari akademi di kaki gunung. Dua siluet—satu besar satu kecil—berjalan perlahan dari belakang akademi. Semua mata secara refleks tertuju ke arah mereka.
Setelah merangkak di jalan gunung semalaman, baju musim semi akademi Ning Que terkoyak di banyak tempat. Ditambah dengan jejak lumpur dan noda kue, penampilannya tampak sangat memalukan. Sang Sang di sampingnya tak kalah buruk—seluruh tubuhnya penuh debu, rambut dan bahunya dipenuhi serpihan rumput, terlihat lebih kotor dan lusuh daripada payung hitam besar yang digendongnya.
Namun entah mengapa, di mata para siswa akademi, pasangan tuan-pelayan yang berjalan lambat ini, terselimuti cahaya fajar dan angin semi, tampak bersinar terang. Seolah mereka sendiri telah menyatu menjadi bagian dari cahaya pagi dan hembusan musim semi itu.
Inilah yang disebut kesuksesan.
……
……
Ning Que berjalan mendekati teman-teman sekelasnya, mengeluarkan saputangan dari dalam jubah, mengibaskannya dua kali di udara untuk menghilangkan remah kue, lalu menyodorkannya dengan senyum kepada Chu Youxian yang wajahnya lesu namun pupil matanya memancarkan cahaya berapi-api.
Setelah ujian akhir itu, enam bulan di akademi bagi Ning Que tidak terlalu buruk, meski hal-hal indah juga tak banyak. Selain Gedung Buku Lama dan Hutan Pedang di padang rumput, hanya persahabatan dari mereka yang tetap bersikap baik padanya.
Tak diragukan lagi, kualitas terbaik Ning Que adalah kemampuannya mengingat dendam. Namun yang layak diingatnya hanyalah kebencian yang hanya bisa dibersihkan dengan darah, bukan gosip tak berarti yang tak bisa menggoyahkan perasaannya. Sebaliknya, ia juga pandai membalas budi - baik Chao Xiaoshu, Chen Pipi, maupun dua orang di hadapannya ini, semua adalah orang yang tak akan pernah ia lupakan.
Ning Que menatap Situ Yilan yang berdiri dalam pakaian latihan panah diterangi cahaya fajar, tersenyum berkata: "Aku jarang mengecewakan sahabat."
