"Shixiong dan shijie di gunung belakang akademi, ada yang berasal dari Pulau Terpencil di Laut Selatan atau negara lain, atau rumahnya jauh di pedalaman, ternyata tak satu pun yang berdomisili di Kota Chang'an. Setelah bertemu dengan shixiong kedua yang memiliki asisten buku kecil yang manis, Ning Que pernah terpikir untuk membawa Sang Sang pindah ke gunung belakang. Tapi mengingat dirinya masih junior di akademi, mana ada izin untuk disetarakan dengan shixiong kedua? Baru masuk gunung langsung mengajukan permintaan seperti itu, pasti memberi kesanan sok penting. Kedua, meski gunung belakang indah tapi kurang nuansa keramaian kota, akhirnya ia menjadi satu-satunya murid komuter di gunung belakang akademi."
Sang Sang bergegas sebelum permukiman tutup dan lentera malam padam, membeli setumpuk besar kuas-tinta dan bahan-bahan aneh di Pasar Barat sesuai daftar yang dia buat, lalu sibuk memasak sambil melapor sambil memotong sayur tentang operasional Toko Kuas Tua hari ini.
"Bisnis hari ini sangat ramai, terutama di pagi hari. Ambang batas hampir diinjak-injak orang. Bukankah kemarin aku sudah memperbaiki pintu gerbang? Tapi ternyata kurang kokoh, hari ini bagian tertentu kembali jebol. Setelah dipastikan Young Master tidak di rumah, baru kerumunan berkurang saat Tengah Hari."
Sang Sang tiba-tiba teringat sesuatu. Ia mengelap tangan basahnya di celemek, masuk ke ruang dalam mengambil setumpuk tebal karya kaligrafi terkenal dan undangan sejenisnya, menaruhnya di meja tulis sambil berkata: "Banyak yang meninggalkan ini, mengundung Young Master untuk berkunjung. Karena jumlahnya terlalu banyak dan semua tertulis nama, aku tidak mencatatnya."
Ning Que melirik undangan dan karya kaligrafi, lalu menatap tumpukan kitab-kitab rune setinggi bukit kecil di sampingnya. Dalam hati ia bergumam, dirinya sudah sibuk bukan main, mana sempat menghadiri janji-janji ini? Setelah berpikir sejenak, ia berkata pada Sang Sang: "Setelah makan malam nanti, pilahlah undangan ini. Yang penting taruh di samping untuk ditangani nanti."
"Bagaimana cara memilahnya? Bagaimana menanganinya?" Sang Sang bertanya serius. Sebagai pelayan kecil Ning Que, ia sama sekali tidak punya pengalaman berurusan dengan orang-orang penting kekaisaran ini, juga tidak tahu undangan mana yang penting.
“Seperti memilih sayuran, yang segar dan mahal disisihkan, yang tidak segar dan murah diletakkan di samping. Yang dimaksud segar dan mahal... Sistem jabatan kekaisaran pernah kujelaskan padamu, masih ingat? Jabatan tinggi berarti mahal. Biar aku yang menangani, pertama-tama tulis surat balasan sebagai bentuk kesopanan. Kulihat para Tuan itu hanya menginginkan tulisanku.”
Sang Sang mengerutkan alis mendengar jawabannya, berbisik pelan: "Young Master, tulisanmu sekarang sudah bernilai uang. Jika dibalas begitu saja dan dikembalikan, bukankah sayang?"
Ning Que tersenyum, melanjutkan hafalan tekun terhadap puluhan kitab-kitab kuno rune tebal di hadapannya. Baru sepertiga buku pertama yang berhasil dibacanya, benar-benar tak ada waktu untuk memikirkan urusan lain.
Tiga puluh tiga kitab rune pemberian Master Yan Se berisi 387 set rune warisan ahli-ahli talisman terdahulu, terdiri dari 24.077 jimat, seluas samudera tak bertepi.
Setelah mengamati sekilas, Ning Que memfokuskan pandangan pada ribuan rune yang tak memiliki kesamaan bentuk sama sekali. Alisnya semakin berkerut, tak satu pun rahasia yang terungkap.
“Menurut Master Yan Se, rune-rune ini hanya sebagai referensi pengalaman baginya. Soal bagaimana terakhir menorehkan goresan itu, semuanya bergantung pada pemahaman Wu masing-masing. Tapi bagaimana mungkin gumpalan tinta yang terlihat seperti kecebong, coretan, titik hujan, benang-benang - bukan tulisan maupun lukisan - ini bisa jadi referensi untuk menemukan apa yang dibutuhkan?”
Mengambil secara acak satu kitab dari tumpukan setinggi bukit, Ning Que menemukan kebetulan itu adalah Jilid Besar Ketiga Bagian Pertama, bagian pembuka Jilid Air. Semangatnya sedikit membara, dalam hati berharap bagian pembuka pasti terkait erat dengan air. Mengingat air adalah elemen paling vital bagi kelangsungan hidup manusia, mungkin akan lebih mudah untuk memahaminya.
Bagian pertama Jilid Air terdiri dari empat halaman. Ning Que membacanya teliti dari awal sampai akhir. Dari lebih 100 rune yang tergambar, banyak kemiripan: enam benang tinta vertikal dari atas ke bawah. Yang membedakan adalah ketebalan, panjang, dan pola susunannya. Beberapa rune paling aneh bahkan memiliki enam benang tinta yang sepenuhnya terjerat.
“Apakah ini semua karakter air? Satu aliran di atas aliran lainnya?”
Ning Que mengerutkan alis menatap rune di bagian tertinggi gulungan air, memandangi enam garis tinta yang tersusun rapi dengan lengkungan halus di tengahnya. Pikirannya perlahan menjadi tenang, mata memvisualisasikan garis-garis tinta itu sebagai aliran air. Samar-samar ia seolah melihat tetesan hujan meluncur dari tepian atap, menghantam genangan air di atas batu hijau, memercikkan beberapa kembang hujan sebelum akhirnya menyatu kembali dengan air hujan di sekitarnya.
Di samping meja tulis tersedia bahan-bahan seperti kuas, tinta, dan Vermilion. Barang-barang biasa dan murah yang ia suruh Sang Sang beli ini, menurut Master Yan Se, merupakan perlengkapan wajib untuk menulis jimat.
Ning Que tak lagi mempelajari enam garis tinta dalam buku. Ia menuangkan air ke batu tinta dan mulai menggerus batang tinta dengan perlahan. Setelah tinta dan air benar-benar menyatu, ia mengambil kuas berbulu sedang dari rak, mencelupkannya ke dalam tinta hingga benar-benar jenuh.
Gerakannya lembut dan tenang, namun sebenarnya ia sedang menjalankan teknik yang diajarkan Master Yan Se: mengalirkan kekuatan pikiran dari Lautan Qi Gunung Salju di dalam kesadarannya, menembus jendela kertas, lalu mendarat di sumur di halaman kecil. Dengan penuh kepekaan ia merasakan esensi dan karakteristik energi vital air.
Mengangkat kuas dari batu tinta, pergelangan tangannya kaku di atas batu tinta, tak kunjung bisa menurunkannya ke kertas.
Ning Que sedikit mengerutkan kening, kembali menatap enam garis tinta pada gulungan itu. Dengan Delapan Metode Yong, ia mencoba memecahkannya dalam kesadarannya. Tiba-tiba enam garis tinta itu terpisah, melayang membentuk awan hujan hitam pekat yang menyelubungi ubun-ubunnya. Namun entah mengapa, awan hitam itu enggan meneteskan setitik air pun.
Pergelangan tangannya bergetar halus. Saat hendak menurunkan kuas ke kertas, ia menghentikan gerakannya. Dalam hati ia tahu: meski telah merasakan makna air sumur dan jimat ini, ia tetap tak mampu menulis jimat miliknya sendiri. Perasaannya tak bisa menyatu dengan esensi air dalam sumur itu.
Malam telah larut, nyala lilin mulai berkobar.
Di atas meja tulis terhampar dua mangkok lauk dan semangkok nasi putih. Di bawah lentera, sebuah mangkuk air jernih bergoyang lembut diterpa angin malam.
Ning Que berdiri kaku di samping meja dekat jendela, tangan kanannya yang menggenggam kuas bulu gemetar. Ia telah bertahan dalam pose ini sangat lama, namun ujung kuasnya tetap menggantung tak kunjung menyentuh kertas.
Sang Sang duduk di tepi perahu sambil menyulam sepatu, sesekali mengangkat pandangan ke arahnya di balik meja tulis.
Beberapa jam sebelumnya, ia sudah makan namun tidak memanggil Ning Que karena tahu sang pemuda sedang menghadapi masalah besar. Dia paham Ning Que kembali pada kebiasaannya bertarung habis-habisan. Meski khawatir, dia memilih hening karena sudah terbiasa.
Ning Que memiliki kualitas luar biasa sekaligus bermasalah. Ketika menemui teka-teki yang memicu rasa penasarannya, seluruh pikirannya akan tersedot dalam proses pembongkaran masalah. Sebelum terpecahkan, dia takkan bisa tidur. Makanan lezat pun terasa seperti lilin di mulutnya, seolah dunia di sekitarnya lenyap.
Kemampuan ini membuatnya dipandang sebagai jenius. Namun semangat membongkar teka-teki ini justru merepotkan orang sekitar. Dia lupa makan, insomnia, menyiksa tubuh sampai lemah bahkan nyaris mati. Baru akan tersadar saat berhasil memecahkan masalah atau menyadari kemampuan tak cukup.
Tahun itu di perbatasan, ketika Ning Que pertama kali melihat Tai Shang Gan Ying Pian, ia tidak tidur selama setengah bulan, terus-menerus memaksa dirinya masuk ke status meditasi untuk merasakan energi alam semesta di sekitarnya. Sang Sang yang masih kecil merawatnya dengan susah payah selama setengah bulan, sampai mantan Jenderal Wei Cheng tak tega melihatnya dan menyuruh prajurit mencambuk Ning Que hingga sadar. Periode ini berakhir dengan keduanya jatuh sakit parah setelahnya.
Tahun lalu ketika pertama kali mengunjungi Gedung Buku Lama, hal serupa terjadi. Saat itu Ning Que terus bekerja sampai pingsan dan dilempar keluar gedung, pulang dengan kereta kuda sambil wajahnya pucat, muntah-muntah di tempat tidur seperti orang mabuk bahkan sampai mengeluarkan darah. Yang tetap berjaga di sisi tempat tidurnya setiap malam tanpa berani tertidur tetap Sang Sang.
Setelah menyelesaikan sulaman bunga, Sang Sang mengangkat kepala dan menggosok pergelangan tangan yang pegal. Ia melirik Ning Que yang terduduk lesu di samping meja tulis bagai patung, lalu kembali menunduk menyulam sol sepatu, menyembunyikan kekhawatiran di kedalaman pupil matanya.
Selama bertahun-tahun ini, ia sudah terbiasa melihat Ning Que menjadi seperti orang gila setiap kali mencoba memecahkan masalah.
Selama bertahun-tahun ini, Ning Que sudah terbiasa bahwa selalu ada seseorang yang merawatnya setiap kali ia mengamuk dalam upaya pemecahan masalah.
……
……
Malam kian larut, minyak habis, lentera padam.
Sang Sang yang tidak tahu kapan tertidur dengan pakaian lengkap di tepi perahu pun terbangun. Ia menggosok matanya, melirik cuaca pagi yang masih remang-remang di luar jendela, dan menemukan Ning Que masih berdiri di meja tulis dengan posisi siap menulis kuas.
Sang Sang berjalan mendekat dan mendorong jendela terbuka. Memutar badan ke meja tulis, ia melihat kertas putih itu masih bersih tanpa setitik tinta pun. Ning Que yang bergulat sepanjang malam terlihat lesu, mata keringnya dipenuhi garis-garis darah.
Berdiri di tepi jendela, Sang Sang membuka mata daun willow-nya lebar-lebar. Ia menatap bola mata Ning Que sekian lama, menyadari sang majikan sama sekali tidak melihat kehadirannya. Menggeleng, ia keluar kamar mulai merebus air dan memasak.
Baru ketika handuk mendidih beruap itu ditempelkan ke wajah Ning Que, kesadarannya kembali dari kondisi trance. Terguncang-guncang, ia terjatuh ke kursi. Seluruh tubuhnya terasa sakit bagai berkarat.
Setelah menggosok wajah dengan air panas, sikat gigi, sarapan, dan meneguk kendi teh kental, Ning Que mulai segar kembali. Dari meja tulis ia mengambil jilid air itu, menyelipkannya ke lengan baju, bersiap berangkat ke akademi.
Berdiri di depan Toko Kuas Tua, dia memutar badan menatap Sang Sang dalam hening sejenak lalu berkata: "Masalah yang kita hadapi kali ini... sepertinya lebih rumit dari sebelumnya, mungkin butuh beberapa malam lagi untuk menyelesaikannya. Mulai malam ini, kau tak perlu lagi menemani aku begadang. Meski sudah setengah tahun lebih tidak kambuh, tapi kau tetap harus menjaga kondisi tubuhmu. Kalau tubuhku rusak masih ada kau yang merawatku, tapi kalau kita berdua sama-sama sakit, mana mungkin kita bisa mengandalkan Tante Wu sebelah untuk mengurus kita."
Sang Sang mengangguk.
Saat tiba di akademi, semua asrama mahasiswa sudah mulai kelas. Ning Que yang sendirian mengikuti rute kemarin menuju Gedung Buku Lama, menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke kabut tebal yang menyelimuti jalan gunung.
Saat kabut menghilang, pemandangan hamparan tebing yang memesona di bawah cahaya fajar yang jernih kembali terpampang.
Di dalam gerbong kereta kuda dari Kota Chang'an menuju akademi, Ning Que memejamkan mata sepanjang perjalanan untuk memulihkan tenaga. Melihat pemandangan indah ini, semangatnya semakin membara. Sambil menggenggam erat buku di balik lengan bajunya, dia berpikir penuh keyakinan: setelah ini akan berbaring sebentar di hamparan rumput lalu lanjut membaca. Gunung belakang akademi yang penuh misteri ini mungkin bisa membantunya memahami ilmu jimat.
Saat hendak melangkah, tiba-tiba terdengar suara jernih di sampingnya.
"Adik seperguruan... Ah, tepat sekali kau datang."
Ning Que menoleh dan melihat kakak senior ketujuh yang mengenakan seragam musim semi akademi berwarna kuning pucat. Dengan cepat dia memberi salam hormat: "Kakak Ketujuh."
“Kakak Ketujuh penasaran menatap alis matanya, bertanya penuh perhatian: "Kenapa kau terlihat kurang segar?"”
“Perbedaan terbesar antara kakak senior dan kakak seperguruan pria adalah kakak senior pasti seorang wanita. Kakak Ketujuh adalah wanita yang terlihat muda dan cantik. Laki-laki berusia berapapun takkan pernah mengaku tak mampu atau mengakui kondisi fisiknya buruk di depan wanita cantik. Ning Que pun tersenyum menjawab: "Kemarin masuk ke gunung belakang akademi, perasaan terlalu bersemangat jadi kurang tidur."”
“"Oh, kalau begitu aku tak perlu khawatir lagi."”
“Kakak Ketujuh mengeluarkan secarik kertas dari lengan bajunya, tersenyum tipis: "Kau tahu formasi kabut sekarang jadi tanggung jawabku. Bulan ini waktunya perbaikan besar, butuh banyak bahan. Tolong ambilkan dari halaman depan, langsung cari Profesor Wenlan saja."”
“Ning Que membuka mulutnya, teringat tawa puas Chen Pipi kemarin, mulai menyesali jawabannya tadi. Dengan wajah masam ia menjawab: "Siap, Kakak Ketujuh."”
“"Cepatlah." Kakak Ketujuh terkikik, agak malu menambahkan: "Sebentar lagi di Pusat Formasi ada bahan kain yang harus diganti, mau minta tolong adik membantu."”
“Mulut Ning Que semakin menganga, menunjuk kabut tebal di belakangnya dengan bingung: "Kakak maksudku harus masuk ke kabut untuk ganti bahan? Aku... penglihatan di dalam kabut tidak begitu baik."”
"Kakak ketujuh tersenyum di balik lengan seperti perempuan lemah, lalu memukul keras dada-nya seperti orang pria kasar, berkata: 'Jika memang membutuhkan bantuanmu, mana mungkin kau kubuat seperti buta yang melihat? Aku harus memantau situasi di pusat formasi, tak bisa pergi sendiri, hanya bisa merepotkanmu.'"
"Kata 'tolong' tak layak kuterima." Ning Que membuka mata lebar-lebar berkata: "Ataukah aku pergi menangkap Chen Pipi dulu? Dua orang seharusnya bisa lebih cepat."
“Adik seperguruan, meski kau akrab dengan Pipi sebelum masuk gunung, tapi sekarang dia adalah shixiong kedua belasmu, seharusnya kau memanggil gelar yang pantas.” Kakak ketujuh tersenyum manis sambil menatapnya: “Lantai dua Akademi kami memang tak kaku seperti aliran dan mazhab spiritual di dunia fana, namun prinsip menghormati guru, menghargai Tao, kakak bersikap bersahabat dan adik menghormati – hal-hal semacam ini tetap harus diindahkan.”
Ning Que jelas memahami makna tersirat dalam perkataan shijie. Sebagai adik seperguruan yang baru masuk lantai dua Akademi, mana mungkin ia berhak menolak?
……
……
Pada hari kedua ketika Ning Que tiba di Akademi dan memasuki gunung belakang, ekspresinya semakin letih, matanya semakin kering, garis-garis darah semakin padat. Setelah dua malam tidak tidur, kemarin dia diperlakukan seperti kuli oleh Kakak ketujuh yang menyuruhnya bolak-balik mengelilingi gunung tinggi. Meski mengalami kontak pertama yang intim dengan keajaiban formasi dalam kabut, kondisi mentalnya benar-benar berada di titik terendah.
"Keluar dari kabut, sambil memikirkan perkataan Shijie ketujuh kemarin bahwa reparasi besar membutuhkan waktu setidaknya sebulan, dan harus diselesaikan sebelum Sang Guru dan kakak senior kembali, tubuhnya langsung menggigil kedinginan. Membungkukkan badan seperti tikus tanah, ia menyelinap masuk ke hutan belakang yang dipenuhi pepohonan musim semi."
"Setelah masuk ke hutan belakang, ia menghindari jalan setapak biasa, malah menerobos semak belukar yang lebat. Memandang danau cermin di tebing bawah yang semakin mengecil, menyaksikan air terjun tipis di tebing seberang yang semakin menghilang, hatinya lega karena yakin Shijie ketujuh takkan bisa menemukannya. Mengusap-usap pipinya yang pegal karena kelelahan, ia bersandar di pohon pinus kuno sambil menatap jauh ke ujung dunia, merasa sangat nyaman."
"Hah, ada yang masuk gunung? Hah, ternyata kau? Hah, adik seperguruan, kenapa ke sini? Apa kau bawa makanan untuk kami?"
"Dari balik pohon pinus berusia ratusan tahun tiba-tiba terdengar dua suara letih nan parau. Meski diucapkan dua orang, suara mereka bercampur menjadi satu, seolah keluar dari satu mulut yang sama secara ajaib."
"Ning Que kaget setengah mati, memutar badan dengan wajah tertegun. Di balik pohon pinus terlihat meja batu dengan dua lelaki berjanggut acak-acakan yang sulit ditebak usianya. Musim semi hampir berakhir, hawa pegunungan pun mulai hangat, tapi anehnya kedua lelaki di meja batu itu masih mengenakan seragam musim dingin tebal akademi yang penuh noda, sepertinya sudah lama tidak dicuci."
“Dia seketika menebak bahwa dua orang ini pasti kakak senior kelima dan kedelapan yang disebutkan Chen Pipi. Menahan kejutan di hatinya, dia dengan khidmat melakukan ritual bersujud panjang sambil berkata: "Ning Que menyapa dua kakak senior."”
“Adik seperguruan, kau datang tepat waktu, cepatlah ke sini.”
Seorang lelaki berjanggut kotor dengan wajah lelah melambai tangan berkata, tak jelas apakah kakak senior kelima atau kedelapan.
Ning Que mendekat sesuai perintah, menemukan meja batu itu penuh ukuran garis lurus vertikal-horizontal membentuk papan catur batu, di atasnya tersebar puluhan biji hitam-putih tak beraturan.
Tiba-tiba dia terkejut, menunduk melihat tangan salah satu kakak senior telah menyusup ke dalam bajunya.
“Kakak senior ini...”
“Aku kakak senior kedelapanmu.”
“Kakak kedelapan... Mengapa kau memasukkan tangan ke bajuku?”
Kakak kedelapan gemetar menarik tangannya, bingung bertanya: “Adik seperguruan, kenapa tak ada makanan di tubuhmu?”
Ning Que terdiam, dalam hati bertanya-tanya apakah mereka ini anak kecil yang langsung minta permen saat melihat orang?
“Adik seperguruan... maksudku si dua belas, kemarin dulu dia bilang mulai sekarang kaulah yang bertugas mengantar makanan kami. Tapi kemarin dia tak datang, kau pun tak muncul.” Suara kakak kedelapan bergetar penuh iba: “Sudah dua hari dua malam kami tak makan, kenapa hari ini pun kau tak bawa bekal?”
Ning Que membuka mulutnya lebar-lebar tapi tak bisa berkata-kata. Dalam hati ia berpikir: "Aku juga sudah dua hari dua malam tidak tidur, masa harus bertanggung jawab atas urusan makan kalian?" Meski begitu, saat melihat dua shixiong di samping papan batu dengan rambut kusut dan tatapan lapar, ia seolah melihat dua anak burung yang malang menunggu makan. Tak tega hatinya, ia menghela napas: "Kalau begitu... aku akan cari makanan untuk kalian."
Wu Shixiong yang selama ini diam hanya menyampaikan kerinduan akan makanan lewat tatapan, mendengar kabar akan segera makan sehingga terhindar dari kematian kelaparan, seketika bersemangat. Sambil membelai kumis panjang di janggutnya dengan ekspresi serius ia berkata: "Ah... tidak usah terburu-buru. Tidak makan sehari tidak akan mati."
Ba Shixiong mengacungkan tiga jarinya di depan wajah Wu Shixiong, bergetar berkata: "Dasar idiot! Kita sudah tiga hari tidak makan!"
Wu Shixiong pura-pura tak melihat tiga jari yang hampir menusuk matanya, menatap Ning Que dengan sungguh-sungguh: "Satu permainan dulu, kamu yang jalan duluan."
Mendengar ini, Ba Shixiong menarik kembali jarinya sambil mengangguk setuju: "Bagus, bagus. Ini baru urusan penting."
Ning Que memandangi dua shixiong yang hampir berubah menjadi hantu kelaparan ini, dalam hati bergumam: "Kalau benar-benar mati kelaparan, itu sudah sepantasnya."
……
……
Pada hari ketiga ketika Ning Que meninggalkan Kuil Pena Tua di Gang Lin 47, kertas di atas meja tulis tetap putih bersih seperti salju pertama, tanpa noda tinta sama sekali. Cahaya fajar dari gunung belakang akademi menyinari wajahnya, memperjelas keletihan di setiap helai alis dan garis-garis darah yang semakin banyak di matanya, membuatnya terlihat semakin memprihatinkan.
Saat melangkah keluar dari kabut menuju pegunungan, belum dua langkah ia melangkah, jalanannya sudah terhalang oleh kilau kuning keemasan. Kakak ketujuh memandangnya dengan lembut: "Adik seperguruan, aku tahu kemarin mungkin kau sibuk, tapi hari ini seharusnya tidak terlalu sibuk lagi kan?"
Ning Que menatap kakak ketujuh sambil mengangkat kotak makanan berat di tangan kanannya: "Kakak, kemarin aku dipaksa main catur seharian oleh Kakak kelima dan kedelapan. Sekarang aku harus buru-buru mengantar makanan mereka, kalau tidak mereka benar-benar bisa mati kelaparan."
"Oh begitu rupanya." Alis kakak ketujuh sedikit terangkat: "Jangan biarkan dua orang gila itu mengganggu waktu latihan spiritualmu. Main catur dan gesek kecapi hanyalah hiburan sampingan. Ikuti aku memperbaiki formasi besar, ini lebih bermanfaat untuk pengembangan spiritualmu sendiri."
Ning Que terus mengangguk setuju, berjanji akan langsung pergi ke paviliun danau setelah turun gunung untuk menonton kakak menyulam bunga, lalu rela jadi kuli membantu merawat formasi. Begitu bebas, dalam hatinya ia berpikir: "Nanti aku sama sekali tidak akan turun gunung, mau ke mana kau cari aku?"
"Sesampainya di bawah pohon pinus, melihat dua kakak senior yang sudah kelaparan sampai perut keroncongan, lemas tak bisa bicara namun mata mereka masih menatap bidak catur di papan batu, Ning Que meletakkan kotak makanan seraya berkata: "Kakak-kakak, cepatlah makan.""
"Ketika kotak makanan dibuka, aroma samar masakan yang dimasak Sang Sang semalaman masih terasa hangat. Dua kakak senior itu gemetar duduk tegak, mulai menyantap sambil sesekali mengangkat kepala memandang Ning Que dengan tatapan penuh dendam, bergumam penuh penyesalan:"
"Adik seperguruan ini benar-benar bukan menyembunyikan kekikukan. Dalam hal permainan catur, dia memang benar-benar kikuk."
"Adik seperguruan ini sama sekali tidak memberi kesempatan. Dia memang belum pernah main catur sama sekali."
"Kemarin saat bermain weiqi di bawah pohon pinus, Ning Que kalah 12 kali berturut-turut. Kedua kakak senior akhirnya yakin dia adalah pemain catur buruk legendaris yang bahkan tak punya dasar. Mereka berhenti mengajaknya main, tapi bagi Ning Que, inilah berkah sejati yang sangat menghibur."
"Setelah mengantar makanan ke bawah pohon pinus, ia melanjutkan perjalanan ke kedalaman awan."
"Dia memutuskan memanfaatkan setengah hari luang yang susah payah dicuri ini untuk beristirahat, atau mempelajari buku-buku peninggalan Master Yan Se."
"Namun belum berjalan beberapa langkah, dari balik rimbunnya pepohonan bunga muncul seseorang menarik lengan bajunya, bertanya dengan tatapan kosong:"
"Adik seperguruan, dari mana kau datang? Ke mana kau akan pergi?""
Ning Que tertegun menatap Shixiong ke-11 yang rambutnya penuh serpihan bunga, tiba-tiba ingin menangis. Untung Shixiong ke-11 tidak bertanya "Siapa kau, adik seperguruan?", kalau tidak mungkin dia akan pingsan seketika. Setelah keheningan sesaat, dia melepas genggaman pergelangan tangan Shixiong ke-11, berlari kencang menuruni gunung sambil berteriak serak: "Kakak ketujuh, di manakah kau? Aku datang membantumu!"
Di antara paviliun danau kaki gunung, jari-jari Kakak ketujuh yang memegang jarum sulam tiba kaku. Ia menoleh ke arah hutan pegunungan, heran berpikir: "Adik seperguruan baru ini kenapa rajin sekali? Dibandingkan dengannya, Pipi benar-benar sampah."
Di rumah kecil berpagar depan air terjun, Shixiong kedua mengangkat alis tipisnya, memuji angsa putih besar yang sombong di bawah tangga: "Gunung belakang akademi telah suram bertahun-tahun, adik-adik seperguruan tak tahu malu. Kini akhirnya muncul adik seperguruan yang sepenuhnya mengabdi pada Tao, mana mungkin aku tidak lega?"
Di belakang gubuk reot suatu tempat di gunung, Chen Pipi yang sedang menggigit paha ayam mengusap wajahnya yang berminyak, menoleh ke kedalaman hutan sambil menghela napas terkejut: "Merayu kakak senior sampai harus berbasa-basi menjilat dengan teriak-teriak, Ning Que, memang aku kalah darimu!"
Suara kecapi dan seruling di hutan lebat lereng tebing perlahan mereda, berganti dengan dialog.
"Aku tiba-tiba ingat, kita lupa satu hal."
"Benar, lagu baru yang digubah bulan lalu belum sempat diperdengarkan ke adik seperguruan."
……
……
Masuk ke lantai atas Akademi selama beberapa hari ini, kehidupan Ning Que sangat penuh, bahkan penuh sampai hampir kelelahan mati. Kuas bulu di Toko Kuas Tua itu tak kunjung menyentuh kertas, kertas putih bersalju tetap putih bersih. Setiap malam ia bergulat dengan soal-soal sulit sampai tak bisa tidur, subuh masuk Akademi masih harus mengantarkan makanan dan air untuk shixiong Song Xia, sibuk mengerjakan banyak hal.
Jika dia tidak ingin ditangkap shixiong ke-11 untuk berdiskusi masalah filosofi, maka akan menjadi kuli yang diperbudak shijie ke-7. Kadang terpaksa harus mengapresiasi karya baru shixiong ke-92, padahal saat duduk di antara rumput panjang itu matanya sudah berkunang-kunang mengangguk-angguk, tak disangka di mata dua shixiong justru menjadi bukti bakat musiknya - kalau tidak mengerti makna lagu, mengapa adik seperguruan terus mengangguk-angguk takjub?
Handuk panas yang diambilkan Sang Sang semakin mendidih, tapi tetap tak bisa menghilangkan kelelahannya. Siang malam mengambang di dunia ilmu jimat yang luas bak samudera dan misterius, ditambah kejar-kejaran memenuhi undangan hangat shixiong-shijie Akademi. Mata Ning Que dipenuhi garis-garis darah seperti jaring, kotoran mata setumpuk gunung, tatapannya kosong bingung. Jari-jari yang keluar dari lengan baju terus menggambar rune di udara, menyalin puluhan ribu karakter yang dihafalnya, terlihat seperti orang bodoh.
Di padang rumput Akademi, Chu Youxian memandang Ning Que yang berwajah mengenaskan itu dengan tertegun: "Kok kau bisa berubah seperti ini?"
“Situ Yilan dan Jin Wucai menyerahkan undangan dari kediaman mereka, mewakili para orang tua keluarga untuk mengundangnya berkunjung. Mendengar perkataan Chu Youxian, barulah mereka menyadari ekspresi letih luar biasa di wajah Ning Que yang membuat mereka terkejut.”
“Ning Que menerima dua undangan dan menyimpannya di dada, dengan ekspresi hampa ia mengatupkan tangan memberi hormat, lalu kembali berjalan ke gunung belakang, terlihat seperti kehilangan hunpo.”
“Ketiganya menatap punggung Ning Que yang berjalan lamban, ternganga takjub hingga lama tak bersuara. Situ Yilan menggelengkan kepala keras-keras untuk mengusir bayangan wajah seteror hantu Ning Que dari benaknya, lalu bergumam: 'Apa di lantai dua ada hantu?'”
……
……
“Gila! Kau melihat hantu!”
“Chen Pipi langsung terpantul mundur 20 meter ketakutan, setelah lama ragu baru berani mendekat kembali. Ia menatap wajah Ning Que dengan ekspresi ternganga takjub.”
“Ning Que berkata lemah: 'Justru kau yang melihat hantu.'”
“Chen Pipi mengangguk, serius berkata: 'Bagus, sekarang kau memang mirip hantu.'”
“Ning Que menatap hutan dengan pandangan kosong: 'Aku memang bertemu hantu. Di gunung belakang akademi ada dua hantu kelaparan yang hanya bisa main catur sampai perlu disuapi, dua hantu seniman yang memaksaku mendengar permainan seruling dan kecapi mereka saat aku tertidur, plus satu hantu filsuf yang terus mengganggu dengan pertanyaan konyol...'”
Dia berbalik menatap Chen Pipi, berkata dengan kesakitan, "Dan kau ini si pengecut yang tak setia kawan."
"Aku tahu ini bukan kehidupan manusia, tapi jangan lupa aku sudah menjalaninya bertahun-tahun." Chen Pipi menatap Ning Que sambil menjawab takut-takut, "Tapi seberapa pun menderitanya, aku tak sampai berubah seperti rupa mu sekarang. Apa sebenarnya yang mengubahmu jadi begini?"
"Aku sedang belajar ilmu jimat dari Master Yan Se." Ning Que memandangnya dengan bingung, "Tapi setelah sekian lama belajar, aku bahkan tak bisa menemukan koneksi. Ini benar-benar sulit, sulit tanpa arah, sulit tanpa logika. Itu yang membuatku frustrasi."
"Delapan Metode Yong mu sudah dicoba?"
"Semua cara sudah kucoba, tapi tetap tak bisa memahami seluk-beluknya."
Ning Que menunduk perlahan, berkata lelah, "Aku mulai merasa takut menghadapi kesulitan, merasa putus asa... Kau tahu? Ini pertama kalinya dalam seumur hidupku aku merasa putus asa dalam belajar."
Chen Pipi teringat wajah Ning Que yang bertarung habis-habisan saat bertapa, secara refleks mengangguk.
Ning Que menggeleng, "Bahkan dulu saat menemukan tak bisa bertapa di Kota Wei, tak separah rasa putus asa ini. Saat itu ketika tertidur, aku masih merasa sedang bermeditasi. Tapi sekarang menghadapi kitab-kitab kuno rune ini, meski masuk kondisi meditasi seperti tidur, aku tetap sadar betul bahwa aku tak mampu."
Chen Pipi memandangi pipinya yang letih dan tatapan yang redup, tiba-tiba berkata: "Aku akan membawamu ke suatu tempat untuk menemui seseorang."
Ning Que bertanya: "Ke mana? Melihat siapa?"
"Jangan sampai shixiong kesebelas mendengar dua pertanyaanmu ini," canda Chen Pipi.
Ning Que ingin tersenyum mendengarnya, namun terlalu lelah hingga tak bisa mengangkat alis.
Chen Pipi menghela napas melihat wajahnya yang mengiba, lalu menggenggam lengan bajunya dan menariknya menuju suatu tempat di gunung belakang.
Sampai di depan sebuah tebing, Chen Pipi berhenti dan berkata: "Saat kau mendaki puncak dulu, kau pernah melihat seorang kakek. Kau mengira dia juga shixiong, tapi sebenarnya bukan."
Ning Que teringat pada pria tua itu: "Kau pernah bilang tak tahu bagaimana memanggilnya."
Chen Pipi menjawab: "Benar, kami tak tahu harus memanggil apa. Kakek itu sudah lama masuk ke gunung belakang akademi, katanya bahkan lebih dulu dari kakak senior dan shixiong kedua. Secara prinsip seharusnya kami memanggilnya paman seperguruan, tapi guru bilang dia bukan bagian dari aliran akademi."
Tiba-tiba Ning Que teringat BOSS tersembunyi dalam berbagai cerita, seperti orang bijak yang memberi petunjuk pada tokoh utama. Semangatnya langsung berkobar: "Kakek ini... ahli ilmu jimat?"
"Bukan." Chen Pipi menggelengkan kepala: "Dia tidak menguasai ilmu jimat, bahkan sama sekali tak punya metode bertapa apapun."
Ning Que melotot: "Lalu untuk apa kau bawa aku menemuinya?"
“Kau bilang ini pertama kalinya dalam kehidupanmu merasa takut menghadapi kesulitan, pertama kali ingin menyerah. Lalu kutanyakan, apakah kau benar-benar suka bertapa?”
Ning Que terdiam sangat lama sebelum menjawab dengan keteguhan: “Suka.”
Chen Pipi menatapnya sambil berkata: “Kalau sudah suka, harusnya kau tetap bertahan. Aku membawamu menemui kakek Taois ini agar kau melihat bagaimana seseorang yang benar-benar gila akan suatu Tao, pasti takkan mudah menyerah.”
“Kalau kakek itu tak bisa bertapa... Lalu apa yang membuatnya gila? Apa yang disukainya?”
“Bersekolah...” Chen Pipi menekankan nada bicaranya: “Dia cuma suka membaca buku.”
