Kapak tajam yang meraung di udara lalu menghunjam, menebas tengkorak kuda perang, memutus lengan kavaleri. Disertai dengusan dan jeritan menyayat, ribuan kuda terjatuh, prajurit berkuda terhempas mengenaskan.
Kematian dan darah tak mematahkan kehendak bertarung kavaleri. Sebaliknya, pasukan elit Kerajaan Kiri ini justru berkobar semangat tempurnya. Mereka mengayun pisau melengkung, mengaum sambil menerjang menerobos hujan kapak.
Berbeda dengan kavaleri padang rumput yang hampir histeris, prajurit Huangren tetap menjaga keheningan sejak pertempuran dimulai. Entah saat berlari kencang, menghindari hujan panah, terjatuh terluka, atau melemparkan kapak terbang sekuat tenaga, bibir mereka tetap terkunci rapat. Di medan perang yang dipenuhi darah dan anggota tubuh terpotong yang seharusnya riuh oleh teriakan, keheningan ini justru semakin menyeramkan.
Namun jika ada pengamat di pinggiran medan perang, dalam pandangan mereka, gelombang kavaleri padang rumput yang meraung liar dan menyerbu maju dengan kuda, telah jauh melampaui prajurit Huangren yang diam ini dalam hal energi tempur.
Arus hitam yang terbentuk dari kavaleri padang rumput akhirnya mendekati prajurit Huangren yang diam-diam menyerbu. Tabrakan pertama terjadi. Yang mengejutkan, prajurit Huangren yang terkesan kurang energi karena diam ini ternyata tidak tercerai-berai oleh serbuan berat kavaleri. Mereka berdiri bagai karang di tengah arus hitam, tetap utuh!
Seorang prajurit muda Huangren berjongkok. Pisau panjangnya menyambar kilat dari pinggang. Kavaleri padang rumput yang menyerangnya tertegun melihat tubuhnya tiba-tiba ambruk. Kuda di bawahnya meraung menyayat-nyayat - kedua kaki depannya telah terpotong rapi tanpa disadari.
Seorang prajurit Padang Gurun berusia paruh baya menatap pasukan kavaleri padang rumput yang menyambar bagai angin dan petir. Kaki kanannya melangkah ke depan, tubuhnya merendah dengan bahu terkokoh baja. Tubuh manusia menghantam kuda – tindakan yang bagaimanapun tampak seperti jalan bunuh diri. Namun bahu prajurit itu sekeras baja, sudut tabrakannya terukur presisi, menghindari pisau melengkung yang diayunkan penunggang kuda, tepat menghantam titik terlemah di bahu depan kuda perang.
Suara raungan parau – entah dari manusia atau kuda – memenuhi udara. Kuda itu meringkik kesakitan sambil terguling. Penunggangnya menunjukkan keahlian berkuda luar biasa, berputar di udara untuk melepaskan diri dari pelana, menghindari nasib mengenaskan tertindih kuda seberat itu. Namun... Begitu kedua kakinya mendarat, pedang panjang prajurit Padang Gurun itu sudah menderu menyambar! Swis! Kepala penunggang kuda terpenggal bersih.
Glekuk!
Pasukan kuda hitam bagai ombak menyapu padang gurun. Prajurit Padang Gurun berdiri tegak dengan pedang terhunus, diserap gelombang hitam itu. Sesaat kemudian, ribuan percikan darah bermekaran dari dalam gulungan pasukan. Para prajurit – yang matang maupun yang masih hijau – muncul kembali ke permukaan. Tubuh mereka berlumuran darah segar, siap menyambut gelombang serangan kedua.
Air bah meluapi karang, lalu mundur perlahan, karang tetap berdiri hening di tepi laut, seolah akan tetap demikian bahkan setelah ratusan juta tahun, pasti takkan runtuh diterjang air bah!
Penjaga bukanlah karang yang tak berperasaan. Menghadapi pasukan kavaleri padang rumput yang bergelombang bagai pasang surut, mereka tidak memilih untuk selamanya hening, selamanya berhadapan, melainkan bereaksi kedua kali dengan kecepatan tercepat.
Kaki yang diikat kulit binatang berlari cepat di padang rumput yang mengeras oleh hawa dingin, membawa akar rumput dan tanah remuk, para penjaga bermain di antara arus hitam kavaleri padang rumput seperti bayangan yang tak terhitung.
Mereka menghindari panah yang presisi, pisau melengkung yang tajam, serangan kuda perang, saling merapat dengan keselarasan, membentuk kelompok lima orang, mengepung kavaleri padang rumput di bagian tengah arus hitam.
Adegan saat itu sangat menakjubkan. Pasukan kavaleri padang rumput bagaikan gelombang hitam telah membanjiri seluruh medan perang, namun mereka tak mampu menelan orang-orang suku Huang yang sekeras batu dalam waktu singkat. Para pria suku Huang itu sama sekali tidak peduli dengan pedang dan panah di belakang mereka, mengabaikan jumlah pasukan kavaleri yang telah dikepung oleh lima orang sekompi, lalu mengayunkan pedang panjang dengan hening dan kebengisan sambil menerjang. Pedang panjang yang tajam membelah udara, kaki mereka bergerak lincah bagai angin. Di mana darah memancar, tak jarang pasukan kavaleri terjatuh dari pelana, lalu seketika terbelah menjadi potongan daging yang mengenaskan oleh beberapa hembusan angin pedang.
Pasukan kavaleri di pinggiran dan yang telah menerobos garis pertahanan sama sekali tidak bisa memberikan bantuan efektif. Mereka bertarung habis-habisan memegang tali kekang dan melepaskan panah, namun jumlah prajurit suku Huang yang berhasil ditembak mati tetap sangat terbatas.
Dengan kekuatan pertahanan jarak dekat yang mengerikan dan kecepatan lari yang tak terbayangkan, pertempuran antara kavaleri versus infanteri di padang rumput luas yang seharusnya menjadi pembantaian sepihak ini, justru berkembang menuju arah kemenangan yang mustahil dipahami.
Sebenarnya, sejak suku Huang bermigrasi ke selatan dan mulai berinteraksi dengan suku Khan Wang sayap kiri padang rumput, adegan yang benar-benar melanggar prinsip pertempuran kavaleri padang rumput ini terus-terusan terulang.
Hal yang paling menakutkan dalam pertarungan bukanlah kekalahan, melainkan ketika kau menyadari bahwa prinsip bertarung yang selama ini dipelajari dan metode tempur paling efektif tiba-tiba kehilangan efektivitas. Pukulan mental ini secara langsung akan menghilangkan keyakinan untuk bertarung. Dalam pertempuran sebelumnya, kekalahan telak kavaleri padang rumput sangat terkait dengan kepanikan psikologis yang tak bisa dijelaskan ini. Setiap kali mereka melancarkan serangan yang tampak sempurna, ternyata tak membuahkan hasil malah justru menjadi target pembantaian para prajurit Huangren yang kurus. Pasukan sekuat apapun dan disiplin tempur sekaku apapun, tak mampu mencegah keruntuhan berikutnya.
Menurut pola pertempuran sebelumnya, seharusnya kavaleri padang rumput mengalami kehancuran mental saat ini, lalu mundur secara panik dari medan perang. Mereka akan berkumpul lagi untuk memulihkan semangat dan stamina fisik, menunggu serangan berikutnya hanya untuk mengalami kegagalan lagi... Namun situasi hari ini jelas berbeda.
Kavaleri yang terkepung dan terpecah oleh prajurit Huangren tak mengalami kehancuran mental. Mereka sudah lama mempersiapkan diri secara psikologis untuk menghadapi akhir berupa kematian. Sebelum ajal tiba, mereka memancarkan keberanian luar biasa dengan mengayunkan pisau melengkung habis-habisan, menunjukkan kekuatan tempur yang dahsyat. Meski akhirnya tetap tumbang di bawah pedang panjang prajurit Huangren, kini untuk membunuh satu kavaleri padang rumput, prajurit Huangren harus membayar harga lebih mahal dibanding pertempuran sebelumnya.
Di sekitar pusat medan perang yang dipenuhi gelombang darah, para kavaleri padang rumput yang seharusnya membantu rekan seperjuangan yang terkepung, setelah mendengar suara terompet rendah, justru menarik tali kekang kuda dan pergi tanpa ragu. Mereka sama sekali tidak peduli rekan-rekan yang jatuh satu per satu di bawah kepungan penjaga suku Barbar, melainkan membagi diri menjadi dua kelompok dengan cepat, menyusur medan perang inti menuju arah timur dan barat.
Ombak besar yang menghantam karang tiba-tiba terbelah menjadi dua sisi, menyisakan riak-riak sisa yang masih menempel pada karang hitam di tengah. Di belakang percabangan yang memisahkan dua sayap kavaleri padang rumput, perlahan muncul sebuah kereta kuda mewah.
……
……
Kereta itu dihiasi emas dan perak dengan kemewahan luar biasa. Pada cakram baja di tengah gerbong, garis-garis yang rapat dan saling terhubung terukir sedemikian rumitnya, bahkan seolah melebihi kompleksitas ratusan juta bintang di langit malam.
Di kedua sisi cakram logam berdiri dua pria kuat padang rumput tanpa ekspresi. Seluruh tubuh mereka tertutup baju besi logam berat, tangan menggenggam pisau melengkung tajam yang berat. Negara-negara Zhongyuan memberlakukan kontrol ketat atas ekspor garam dan logam, membuat baju besi logam penuh sangat langka di padang rumput. Prajurit yang berhak mengenakan baju besi ini pasti adalah prajurit terkuat dan paling terhormat di istana-istana kerajaan.
Hari ini, dua penjaga terkuat dari Khan Kiri Padang Rumput ini tidak bertugas untuk bertarung, melainkan melindungi cakram logam di kereta dan orang yang duduk di atasnya.
Di atas peping logam duduk seorang lelaki tua kurus kering. Ia mengenakan pakaian kebesaran berwarna emas Wangsa Kerajaan Kiri, cincin akik di sela jari kiri, rune darah serigala terukir di dahi - tanda pengenal bahwa ia adalah salah satu dari Tujuh Dàwū paling dihormati di Wangsa Kerajaan Kiri.
Dàwū tua itu menatap tanpa ekspresi ke arah padang rumput tempat prajurit masih bertempur. Bibir keriputnya bergetar cepat, sepuluh jari kurusnya mengetuk-ngetuk piring logam bagai genderang perang, bergema bersama mantra yang keluar dari mulutnya - menciptakan daya magis yang luar biasa.
Langit biru tiba-tiba tertutup awan, menyelubungi matahari pucat dan membayangi bagian tengah medan perang di padang rumput yang dipenuhi mayat berserakan.
Sebelumnya, prajurit Huangren senior telah menyadari keanehan gerakan kavaleri padang rumput hari ini. Ketika kavaleri yang seharusnya menyerang mereka tiba-tiba berbelok ke pinggiran medan, meninggalkan hampir seribu rekan, teriakan gertakan segera terdengar. Prajurit Huangren mempercepat pembantaian, sementara 200 prajurit di utara langsung menyusul dua formasi kavaleri yang terpecah itu ke pinggiran medan.
Namun tepat pada saat awan menutupi matahari dan bayangan menutupi padang rumput, para penjaga suku liar tiba-tiba menyadari bahwa mereka tak bisa lagi mengejar kavaleri padang rumput yang telah mencapai pinggiran dan mulai berputar mengikuti lingkaran besar sambil memasang busur kembali, karena kecepatan lari mengerikan mereka yang paling ditakuti musuh tiba-tiba melambat drastis.
Alasan melambatnya kecepatan lari para penjaga suku liar adalah karena tanah padang rumput yang awalnya keras di bawah kaki mereka tiba-tiba berubah menjadi lembek!
Akar rumput yang terangkat perlahan meresap ke dalam lumpur, senjata patah yang tersisa di permukaan mulai tenggelam ke dasar lumpur, kaki mereka pun terhisap semakin dalam. Setiap langkah lari harus mengeluarkan tenaga besar untuk menarik kaki dari tanah lembek itu. Padang rumput di pusat medan perang ini berubah bagaikan rawa!
Para penjaga suku liar yang selama ini teguh dan pendiam akhirnya menunjukkan perubahan ekspresi. Meski yakin akan memenangkan setiap perang, kini mereka masuk ke dalam jebakan yang telah dipersiapkan kavaleri padang rumput. Tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Meski hanya lapisan permukaan yang berubah menjadi lumpur lembek - tidak seperti pasir hisap yang bisa menelan manusia beserta kuda - berdiri di tanah tak stabil membuat mereka sulit menjaga keseimbangan. Kaki yang terbenam dalam lumpur juga menghalangi kemampuan lari mengerikan mereka.
Selama ribuan tahun mengejar serigala salju dan rusa salju di tepi lautan panas yang tak bertepi, kaki para Orang Liar telah berubah menjadi cakar serigala yang tak kenal lelah, cepat, dan memiliki stamina luar biasa - senjata terkuat mereka. Namun hari ini senjata mereka tiba-tiba kehilangan fungsi. Mereka tak bisa mengejar kavaleri padang rumput yang bermain-main di sekeliling, yang lebih menakutkan, mereka tak lagi bisa menghindari panah bulu seperti dulu, bahkan tak bisa mencegah anak panah musuh menghujam titik vital mereka!
Swoosh! Swoosh!
Kavaleri Wangting yang berkeliaran di pinggiran padang rumput dengan cepat membentuk formasi baru. Mereka terbagi menjadi dua kelompok besar yang masing-masing terdiri dari seribu kuda perang, berlari kencang ke arah berlawanan sambil memasang busur dan melepaskan anak panah ke arah para pejuang Orang Liar yang terkepung di tengah!
Bruk! Sebuah panah tajam menembus dada remaja Orang Liar. Dengan wajah kesakitan ia mengerutkan kening, mencabut panah dari dadanya. Tapi sebelum sempat mengangkat pisau panjangnya kembali, panah kedua, ketiga, dan lebih banyak lagi menghujam tubuhnya... Akhirnya remaja itu melirik tajam dengan mata penuh ketidakrelaan, perlahan bersujud dengan lutut tenggelam dalam tanah lembek, lalu terjatuh ke depan.
……
……
Langit gelap, padang rumput berubah menjadi rawa.
Prajurit suku barbar sekuat apapun, begitu kehilangan kemampuan berlari cepat dan tahan lama seperti kawanan serigala di tepi Laut Panas, langsung menjadi sasaran panah statis di mata pasukan kavaleri padang rumput yang bergerak mengelilingi. Betapapun hebatnya pertahanan jarak dekat mereka, dihujani panah beruntun, akhirnya hanya tinggal menunggu darah habis dan tewas.
Tentu saja membunuh prajurit barbar berkulit besi dan bertulang batu ini dengan panah jarak jauh, meski lawan tidak menghindar, membutuhkan jumlah panah yang luar biasa banyak. Dalam situasi pertempuran biasa, tak ada pasukan kavaleri yang membawa panah sebanyak ini. Namun selama invasi ke selatan suku barbar ini, puluhan suku besar Kerajaan Kiri Tenda telah mengalami kekalahan beruntun. Orang padang rumput belajar dari kegagalan, akhirnya merumuskan strategi hari ini: Kerajaan mengirim salah satu dari Tujuh Dàwū dan pasukan kavaleri elit langsung di bawah komando. Mana mungkin persediaan panah mereka kurang?
Kuda melesat seperti angin, panah menghujam seperti hujan. Kesatria padang rumput bersiul nyaring, menendang perut kuda dengan tumit, menarik busur dengan presisi mematikan. Di tengah lingkaran, di tanah berlumpur seperti rawa, prajurit barbar mencabut kaki dari lumpur dengan susah payah, berjuang melangkah ke pinggiran medan perang.
Namun langkah kedua yang diinjakkan juga terbenam dalam lumpur, ditambah dengan panah yang presisi dan mengerikan, kecepatan Orang Barbar menerobos sangat lambat. Seorang penjaga terkuat mengabaikan tubuhnya yang dipenuhi panah, dengan kekuatan berani menerobos lumpur tebal, mendekati kavaleri padang rumput hingga kurang dari dua puluh langkah. Hasilnya, lututnya tertembus panah, mendengus hng putus asa sebelum ambruk.
Menghadapi penyergapan aneh yang tiba-tiba ini, sesepuh tua di antara pasukan Orang Barbar telah memperhatikan kereta kuda aneh dan orang-orang aneh di belakang kavaleri padang rumput. Ia menebak perubahan mendadak di padang rumput pasti terkait kereta itu. Hanya dengan mendengar teriakan keras sang orang tua, seorang penjaga Orang Barbar dengan lengan sangat kekar berjalan susah payah mendekat, berdiri di hadapannya.
Sesepuh Orang Barbar menekan telapak tangannya ke punggung prajurit itu. Hng! Ekspresi wajahnya berangsur pucat. Sebuah kekuatan dahsyat yang tak terjelaskan merambat melalui telapak tangan masuk ke tubuh sang prajurit.
Lengan prajurit Orang Barbar ini tiba-tiba membesar lagi, seolah sesuatu telah menyusup ke tubuhnya. Ia menanggung derita mengerikan yang merobek kulitnya, mengabaikan darah yang mengucur dari sudut mata. Menatap kereta kuda di kejauhan, tiba-tiba ia mengaum bagai binatang buas! Kapak besar di pinggangnya dicabut, lalu dilempar dengan dahsyat ke arah itu!
Ciit-ciit suara memecah udara! Dengan kekuatan dahsyat yang terberkati, kapak raksasa itu melesat bagai kilat, menempuh jarak ratusan zhang dalam sekejap, menghujam ke arah ahli ilmu gaib tua Wangting berbaju jubah emas yang berdiri di atas gerbong!
Menyaksikan kapak maut menyambar, dua prajurit Wangting perkasa yang selama ini hening berdiri di samping ahli ilmu gaib tua itu, pada detik paling krusial mengangkat perisai raksasa di kaki mereka, menyatukan tameng untuk melindungi sang ahli ilmu gaib!
Ujung kapak bertabrakan dahsyat dengan perisai logam raksasa, memproduksi dentang nyaring "Dang!" yang menggema.
Prajurit padang rumput di sekitar gerbong tergetar sampai menutup telinga dan bersujud.
Kereta mewah itu hanya bergetar halus, lalu kembali tenang.
Di dalam gerbong, ahli ilmu gaib tua yang duduk di atas piringan logam tetap tanpa ekspresi. Mantranya meluncur cepat dan terengah-engah. Kerutan di wajahnya semakin dalam. Energi alam semesta di sekujur tubuhnya mengalir masuk ke piringan logam mengikuti mantranya, lalu merambat melalui pola-pola jimat rumit bak rasi bintang menembus perut bumi padang rumput, sebelum akhirnya terlepaskan melalui piringan logam lain yang telah dikubur Wangting di lokasi sasaran, mengubah tanah di atasnya semakin basah dan lembek.
Harapan terakhir Orang-orang Huang untuk dibebaskan pupus. Mereka mengangkat pedang panjang yang berat, berusaha menerobos keluar melalui tanah berlumpur yang lembek. Satu per satu tubuh mereka tertusuk puluhan panah seperti landak, mengucurkan darah hingga roboh. Suara siulan kavaleri padang rumput yang bergerak lincah di sekeliling semakin melengking, wajah mengerikan dipenuhi kepuasan balas dendam.
Rumput basah, lumpur berdarah, kuda yang berlarian – membentuk gambar kejam nan penuh keputusasaan.
……
……
Tiba-tiba alam padang rumput berubah sunyi dan lapang.
Pembantaian kejam dengan panah terus berlanjut. Namun selain gemeretang tali busur, desisan panah, dan siulan kavaleri, tak ada suara lain. Entah mengapa, Orang-orang Huang berhenti melangkah, merendahkan tubuh di rawa-rawa, bertahan dalam kesunyian tanpa mencoba kabur.
Bahkan gemeretang tali busur, desisan panah, dan siulan pun menghilang. Medan perang yang semestinya riuh kini sunyi mencekam. Kesunyian ini relatif – sebab semua suara itu lenyap digantikan satu suara dominan.
Gemuruh rendah benda berat yang memecah udara. Bukan panah, bukan pula pedang terbang orang Zhongyuan. Seolah batu raksasa dijatuhkan Langit Tak Berpelukan dari awan, terus melesat makin kencang.
Prajurit Orang Buang yang mengubur tubuh mereka di lumpur jerami dengan susah payah mengangkat kepala, memandang ke langit. Mereka yang sebelumnya sudah mempersiapkan mental untuk mati dengan tenang, tatapan mata mereka yang awalnya sudah mencapai ketenangan luar biasa, tiba-tiba dipenuhi oleh kehangatan dan kekaguman.
Pasukan kavaleri padang rumput yang berkeliaran di sekitar medan perang pusat padang rumput, karena alasan tak diketahui merasakan ketakutan di hati, secara refleks memperlambat kecepatan menarik busur, tertegun mengangkat kepala.
Semua orang dari kedua belah pihak yang bertempur mengangkat kepala.
Memandang ke arah sumber suara mengerikan yang bergema di langit.
Awan menutupi sinar matahari, menebarkan bayangan.
Tepat di dalam bayangan di bawah awan.
Seorang pria jatuh dari langit.
Dia membelah langit, tubuhnya diselimuti api seperti darah, jatuh dari ketinggian puluhan meter seolah melompat dari awan. Kecepatan dahsyatnya memecahkan udara di sekitar tubuhnya, menyemburkan kabut air berbentuk setengah bola. Di kaki belakangnya, mungkin karena gesekan yang hebat, memercikkan api berwarna darah.
Pria ini bagai meteor yang menghantam Tanah.
Tempat jatuhnya meteor itu tepat di gerbong kereta mewah milik Istana Kiri Padang Rumput.
Dua penjaga terkuat istana di atas gerbong kereta itu mengaum sambil mengangkat perisai besar berat, menahan di atas kepala ahli ilmu gaib tua yang sudah beruban.
Ahli ilmu gaib yang tampak jauh lebih tua itu kedua tangannya bergetar hebat. Kekuatan pikiran di lautan kesadaran memuntahkan diri, menggerakkan energi alam semesta di sekitarnya untuk berkumpul dengan cepat. Kemudian ia mengangkat kepala, mata penuh ketakutan menembus celah perisai, melihat sebuah kaki.
Kaki itu mengenakan sepatu kulit biasa yang sudah usang. Sol sepatu itu kotor, tak diketahui pernah menginjak padang rumput mana, gurun batu mana, air kotor mana, atau gunung dan sungai mana.
Pada saat melihat kaki itu, ahli ilmu gaib tua dari Istana Raja memahami sebuah prinsip universal.
Kematian telah datang.
……
……
Pria yang jatuh bagai meteor menginjak perisai logam raksasa yang keras.
Sol sepatu usang itu sama sekali tak mampu menahan kekuatan dahsyat ini, retak berantakan.
Namun perisai logam raksasa yang keras itu, ternyata juga ikut retak berantakan!
Dua ahli Istana Raja yang mengangkat perisai raksasa itu bahkan tak sempat mendengus. Lengan kekar mereka berubah menjadi serat daging bagai kapas di bawah kekuatan mengerikan yang tak tertahankan. Tulang yang baru terpapar langsung hancur menjadi debu halus, darah menyembur dari hidung, mata, telinga, dan mulut mereka bagai panah.
Kaki tanpa sol itu menembus perisai raksasa, terus menerjang ke bawah di antara serpihan logam yang beterbangan, dengan mudah menghancurkan perisai energi vital yang dikristalkan ahli tua itu, lalu menginjak ubun-ubunnya.
Kepala ahli ilmu gaib tua dengan pupil kosong itu diinjak langsung ke rongga leher oleh sepatu kulit itu. Kaki itu terus menekan ke bawah, menginjak tubuhnya. Tubuh tua itu tiba-tiba mengendap dan memipih hingga berubah menjadi bubur daging.
Sepatu kulit itu masih terus menekan ke bawah.
Menembus bubur daging ahli ilmu gaib itu.
Menembus cakram logam keras.
Menembus lantai gerbong.
Gemuruh dahsyat menggema!
Debu dan serbuk daging bertebaran, asap beterbangan. Kereta mewah berubah menjadi tumpukan sampah. Serpihan logam tajam yang beterbangan menembus puluhan prajurit padang rumput yang berdiri di sekitar kereta!
Kaki yang menembus awan dan membelah langit ini akhirnya menginjak padang rumput yang telah dikuasai suku barbar selama ribuan tahun!
Pria paruh baya berbaju kulit dengan pisau darah raksasa di punggungnya berdiri di tengah puing, memandang tanpa ekspresi ke arah patung-patung manusia barbar yang tertegun di sekelilingnya.
Para penjaga Huang yang terperangkap di rawa padang rumput itu memandang pria perkasa di kejauhan. Akhirnya mereka memecahkan keheningan dengan auman histeris. Beberapa remaja Huang bahkan mengeluarkan air mata karena heboh.
……
……
Di suatu pegunungan dalam di selatan, berdiri sebuah kuil Tao yang tampak sangat sederhana dan apa adanya. Karena lokasinya terpencil tanpa jalur akses, tak pernah ada peziarah atau wisatawan yang datang, sehingga sama sekali tidak ada aktivitas ritual hio dan lilin. Para praktisi spiritual di kuil ini pun tidak menyukai ritual semacam itu. Mereka menganggap aroma hio terlalu duniawi, bahkan bertolak belakang dengan keyakinan umum praktisi Kekaisaran Tao. Para penghuni kuil tua ini bahkan tidak pernah mempedulikan uang persembahan ritual.
Di dasar kompleks kuil yang sunyi, tepat di tepi danau yang jernih, berdiri tujuh gubuk jerami. Meskipun atapnya terbuat dari jerami biasa, bangunan-bangunan ini memancarkan aura kemegahan yang luar biasa. Setiap helai jerami berwarna kekuningan-putihan bagai emas dan giok, tetap segar meski telah melalui ribuan tahun terpaan angin dan hujan.
Di dalam gubuk pertama, di atas meja kayu cendana dekat jendela, terbaring sebuah kitab kuno tebal yang kulitnya hitam legam seperti darah beku, atau mungkin batu darah hitam yang terbentuk selama ribuan tahun. Di permukaannya terukir karakter "Sial" berwarna merah menyala.
Kitab itu telah terbuka. Ujung kuas yang telah menyerap tinta bergerak perlahan, melukiskan goresan miring ke kanan dengan lancar.
Praktisi spiritual paruh baya itu meletakkan kuas dan mengamati sejenak, lalu mengangguk puas.
Di atas kertas putih itu kini tertera dua karakter - nama seseorang.
"Ning Que"
（Angin sepoi-sepoi tak bisa membaca, namun membantu mengentalkan tinta, membuat tulisan menempel di kertas. Sejenak kemudian, angin sepoi-sepoi bertiup lagi dari jendela, membalik halaman kitab berdebur-debur, terus maju ke depan. Tak terhitung berapa halaman terbalik, kitab bertuliskan karakter Sial di sampul ini akhirnya membalik dari halaman bertuliskan "Ning Que" ke halaman paling depan.）
Halaman pertama kitab sepenuhnya kosong, seperti salju.
Di halaman kedua berikutnya terdapat beberapa nama. Paling atas tertulis Liu Bai, tak jauh terlihat samar karakter Jun. Sebuah nama di kertas ini berbeda dari yang lain, jauh dari semua nama sehingga terlihat sangat menyendiri, namun luar biasa perkasa - seolah ia sama sekali tak mau berdiri bersama para ahli Jalan Benar Zhongyuan yang gemuruh itu.
Karena ia adalah Praktisi Iblis Zong Pengembara Dunia.
Ia ahli terkuat pertama di Utara Gurun.
Namanya adalah Tang.
……
……
（Saat merancang Jiang Ye, aku sering bilang pada banyak orang: Aku ingin menulis cerita memuaskan versiku. Seperti kaki yang disebut hari ini, inilah yang kumaksud sebagai "memuaskan". Menulis jenis ini benar-benar mudah membuat senang, kuharap kalian juga merasakannya.）
