Setelah saling membantu menarik busur di tepi Lautan Hijau, berburu bersama sepanjang perjalanan ke padang gurun, Ning Que dan murid-murid Mo Chi Yuan dari Negara Dahe sudah sangat akrab. Pertempuran berlumuran darah di bawah padang rumput itu membuat kedua belah pihak semakin mesra tanpa sekat.
Beberapa hari berikutnya, Ning Que tetap di kereta kuda untuk memulihkan luka. Ia juga terus "mereformasi" pandangan dunia, kehidupan, dan pertempuran sang gadis ahli talisman. Jarang turun, bahkan makan dan istirahat pun di gerbong.
Murid-murid Mo Chi Yuan memandangnya dengan perasaan aneh. Mereka tahu watak Guru Leluhur yang terkesan dingin tapi sebenarnya lembut. Tapi belum pernah melihatnya begitu dekat dengan pria muda. Zhuo Zhihua juga merasa ini tak pantas, tapi mengingat Ning Que terluka parah, tak tega menyuruhnya turun.
Faktanya, luka Ning Que pulih dengan cepat. Pada malam hari kedua, ia sudah tidak batuk darah lagi. Lautan kesadarannya yang sempat terguncang dahsyat juga berangsur tenang. Rasa pising yang sesekali kambuh pun tak pernah muncul lagi.
Murid-murid Kompleks Kolam Tinta seperti Zhuo Zhihua tak terlalu paham kondisi fisiknya. Namun Mo Shanshan yang menyaksikan langsung proses pemulihannya justru merasa heran.
Saat Ning Que membunuh beberapa perampok berkuda dengan panah di malam itu, Mo Shanshan telah merasakan gelombang kekuatan pikiran. Saat itu ia sudah menduga Ning Que pastinya seorang praktisi kultivasi. Hal ini tidak terlalu mengejutkannya. Sebagai mahasiswa yang dipilih Akademi elit seperti Akademi Buku untuk menjalankan misi solo di padang gurun, tentu ia bukan orang sembarangan.
Namun pemimpin perampok itu adalah Ahli Pikiran tingkat Pemahaman Mendalam tingkat atas. Jika saja Mo Shanshan tidak memahami setengah jimat dewa di Gunung Mogan musim semi lalu, ia tak mungkin bisa melukai lawan sekuat itu. Ahli Pikiran sehebat itu mengerahkan serangan penuh pada Ning Che. Menurut logika biasa, bahkan jika bisa selamat, lautan kesadarannya pasti rusak parah hingga menjadi idiot. Tapi nyatanya Ning Che masih bisa berbicara lancar dengan ekspresi hidup? Apakah kekuatan pikiran Ning Che bahkan melebihi dirinya?
Si gila tulisan tidak pandai berbicara dengan orang, terutama enggan mengintip privasi orang lain. Meski kebingungannya tentang Ning Que bertumpuk, ia tidak bertanya. Ia hanya duduk tenang di tepi gerbong kereta, mencatat petunjuk Ning Que dengan kaligrafi kecil yang anggun, lalu serius memilih bagian yang bisa dipelajari untuk direnungkan.
Ning Que takjub melihat tulisannya, karena kaligrafi Mo Shanshan memang luar biasa. Goresan kuas di kertas bulat tanpa kesan genit, lembut namun berkarakter. Ujung kuas samar tapi jelas, intensitas tinta pas, segar dan menyenangkan mata.
Baru sekarang ia pahap, mengapa murid-murid Perempuan Kompleks Kolam Tinta tertawa terbahak-bahak saat ia memuji ahli talisman gadis yang terobsesi menulis memiliki sedikit kharismanya. "Gila tulisan" di sini merujuk pada obsesi terhadap seni kaligrafi, bukan sekadar membaca atau menulis buku. Bagi murid Kompleks Kolam Tinta, seorang biasa berani menyamakan diri dengan maestro kaligrafi dunia memang hal yang menggelikan.
Murid-murid Kompleks Kolam Tinta melanjutkan perjalanan dengan gerbong dan kuda. Di suatu jalur es mereka belok, dari timur laut menuju barat laut langsung ke Istana Raja. Sepanjang jalan jarang terlihat pemukiman, lebih banyak domba berbulu tebal dan tanah gersang. Jalan tetap sulit dilalui.
Gerbong terus berguncang. Ning Que memperhatikan pergelangan tangannya yang tetap stabil mengangkat kuas di tepi jendela, coretan di kertas tak sedikit pun berantakan. Ia pun berpikir: Gelar "jenius ilmu jimat"-nya mulai diragukan di hadapan gadis ini. Jangan-jangan gelar "maestro kaligrafi"-nya juga akan direbut?
Setelah meletakkan bantalan kapas di belakang papan gerbong, ia berbaring nyaman. Wajahnya hampir menyentuh ujung gaun putih Mo Shanshan yang menjuntai di lantai. Tangannya meraih selembar kertas dari tumpukan di meja kecil, tatapannya terpaku sesaat saat melihat isinya.
Di atas kertas itu tertulis karakter-karakter yang terasa sangat familiar baginya.
"Young Master Sang Sang, hari ini aku mabuk jadi tidak......"
Saat menyaksikan gadis ahli talisman itu menulis dengan tenang di tepi jendela, Ning Que teringat pada Kakak Ketiga di sisi jendela timur Gedung Buku Lama. Kerinduannya pada akademi di selatan Chang'an, hari-hari di gunung belakang, dan rekan-rekan seperguruan yang menyenangkan pun menggelora. Kini, di padang gurun ribuan li jauhnya, ketika melihat salinan Karya Kaldu Ayam miliknya, hatinya kembali merindukan gang di kawasan timur Chang'an, hari-hari di Toko Kuas Tua, dan sosok hitam kurus itu.
Dari sudut matanya, Mo Shanshan menangkap perubahan ekspresinya. Dengan menopang tubuh menggunakan tangan, ia berbalik dan menemukan Ning Que sedang memandangi salinan Karya Kaldu Ayam yang dibelinya dengan harga mahal. "Shishiong Ketiga Belas, kau juga paham kaligrafi?" tanyanya sambil tertegun.
Harus diakui, si gadis 'gila tulisan' ini memang tidak mahir berkomunikasi. Seandainya orang lain yang bertanya, mungkin akan berkata "Shixiong juga suka kaligrafi?". Tapi caranya langsung menusuk seperti mahkota kuno milik Shixiong kedua, sama sekali tidak mempertimbangkan perasaan lawan bicara.
Ning Que yang sudah terbiasa dengan ucapan-ucapannya yang kadang menyengat seperti mahkota antik Shixiong kedua itu hanya mengangkat bahu. "Sedikit paham," jawabnya santai.
Mo Shanshan pernah bertanya apakah dia juga memahami ilmu jimat, saat itu jawabannya adalah "sedikit paham". Kini ketika membahas jalan seni kaligrafi, jawabannya tetap sama. Di hadapan orang lain mungkin dia akan berkata dengan keyakinan diri bahwa dirinya adalah jenius ilmu jimat dan maestro kaligrafi, tetapi di hadapan para penggemar kaligrafi sejati di dunia, dia merasa lebih baik tetap rendah hati agar tidak kehilangan muka.
Mo Shanshan menatapnya, tiba-tiba bertanya: "Menurutmu bagaimana karya kaligrafi ini?"
Ekspresinya sangat fokus, seolah sangat menghargai tanggapan yang akan diberikan Ning Que.
Ning Que tidak menyangka dia akan meminta pendapatnya, heran bertanya: "Maksudmu Karya Kaldu Ayam?"
Mo Shanshan menatapnya dengan serius berkata: "Shixiong adalah mahasiswa Akademi Chang'an, tentu pernah mendengar tentang Karya Kaldu Ayam. Kabarnya karya ini adalah mahakarya orang akademi, jadi aku ingin mendengar pendapatmu."
Ada pepatah sinis: Mengenali diri sendiri selalu yang tersulit, tapi tak disadari menilai diri sendiri juga sulit, apalagi ketika pendengar tidak tahu konteksnya, jika kau masih ingin memuji diri sendiri.
Ning Que menyembunyikan identitas aslinya dari murid-murid Kompleks Kolam Tinta, meski tidak ada niat jahat. Tapi kini hubungan mereka sudah begitu dekat, jika terbongkar pasti akan memalukan. Sebelum ada kesempatan yang tepat, dia terpaksa terus merahasiakannya. Kini menghadapi jebakan seperti ini, rasa malunya semakin menjadi.
"Dan dia tak tahu pendapat gadis ahli talisman terhadap Karya Kaldu Ayam dan dirinya yang menulisnya. Jika dia menyukai dan mengagumi, tak masalah. Tapi bagaimana jika dia sangat membenci kaligrafiku? Ini kemungkinan yang cukup besar. Meski ada pepatah 'tak ada yang nomor satu dalam sastra', kenyataannya konflik antar penyair dan kaligrafer di Chang'an membuktikan bahwa orang seperti Mo Shanshan yang ahli Tao tulisan pasti memandang rendah karya kaligrafer lain."
Para sastrawan saling meremehkan, apalagi sesama kaligrafer?
"Karya ini penuh goresan tajam tanpa kesederhanaan, bentuknya kacau dan tak berjiwa. Terkesan inovatif, tapi sebenarnya cuma trik licik, teknik tinta menyimpang yang kehilangan keanggunan sejati. Tak layak dibahas."
Tanpa ragu dia mencerca habis Karya Kaldu Ayam, wajahnya tenang menyembunyikan rasa malu dan kepahitan dalam tubuhnya. Inilah konsekuensi yang harus ditanggung.
Mo Shanshan memandangnya lama, seolah ingin memastikan kejujuran ucapannya. Setelah lama, dia bertanya serius: "Lalu bagaimana pendapat shixiong tentang Hua Kai Tie?"
Ning Que terkejut: "Shimei bahkan pernah melihat Hua Kai Tie?"
Mo Shanshan menggeleng: "Aku punya beberapa salinan naskah dari akademi, tapi Hua Kai Tie asli tersimpan di istana. Salinannya pun jadi koleksi para bangsawan di Chang'an. Aku hanya tahu namanya, belum pernah lihat wujudnya."
Ning Que merasa sedikit lega, tersenyum menjawab: "Aku juga belum pernah melihatnya, jadi tak bisa berkomentar."
Mo Shanshan menundukkan pandangannya ke salinan Karya Kaldu Ayam di tangannya, tak jelas apa yang dipikirkannya. Hanya terdengar helaan napas pelan sebelum ia berbalik melanjutkan menulis Zanhua Xiao Kai-nya.
Dalam pertempuran di padang rumput itu, ia melihat tembok api di seberang namun tak menyadari kilatan api sesaat di wajah pemimpin perampok. Andai tahu Ning Que di sampingnya juga ahli ilmu jimat, mungkin reaksinya akan berbeda.
……
……
Masuk lebih dalam ke padang gurun, dari timur laut belok ke barat laut, tak lama kemudian siluet gunung samar mulai terlihat di ujung langit.
Gunung Min adalah pegunungan terbesar dan terpanjang di dunia fana, membentang dari jantung padang gurun hingga dekat Kota Chang'an di Hebei, seolah pedang langit yang ditancapkan Langit Tak Berpelukan di utara.
Di bagian tengah padang gurun, Gunung Min terputus membentuk ngarai alami. Di sisi baratnya berdiri kota benteng yang dijaga ketat pasukan elit perbatasan Tang Utara, memisahkan gunung menjadi lereng selatan dan utara.
Wilayah Gunung Min selatan yang dulu dihuni Ning Que disebut Zashi (Gunung Terlantar) oleh suku barbar di utara, bermakna "ditinggalkan langit" bagi yang berani melintasinya.
Di sisi timur Gunung Tian Qi terdapat padang rumput subur, di mana suku Khan Wangting Kiri telah hidup turun-temurun. Istana Raja pun berada di sana.
Melihat bayangan gunung di ujung langit dari jendela gerbong, Ning Que teringat Gunung Min di selatan, benteng Pasukan Utara di seberang gunung, dan kawan-kawan lamanya di Kota Wei. Sudah berhari-hari sejak ia meninggalkan Kamp Bi Shui bergabung dengan rombongan logistik memasuki padang gurun, namun rangkaian pegunungan itu tetap tegak tak berubah wujud.
"Melihat gunung dekat, tapi kuda bisa mati kelelahan mencapainya" - apalagi menghadapi rangkaian pegunungan berkelok nan megah ini. Meski Istana Raja sudah dekat, masih perlu waktu untuk tiba. Semakin mendekat, Ning Que semakin membisu, lebih banyak bersembunyi dalam kereta kuda bahkan ketika Tian Mao Nu mengajaknya melihat bangau putih di lahan basah.
Sebab ia butuh waktu untuk merenung dua pertanyaan penting.
Perampok berkuda yang menyerang mereka di padang rumput telah mengikuti rombongan berhari-hari. Kini sudah pasti target mereka adalah dirinya sendiri. Artinya sejak meninggalkan Kamp Bi Shui menyusup ke rombongan logistik, kekuatan di balik perampok itu telah mengetahui keberadaannya.
Siapakah sebenarnya para perampok berkuda ini? Siapa yang ingin membunuhnya? Siapakah pemimpin mereka? Seorang Ahli Pikiran tingkat Pemahaman Mendalam tentu bukan sekelompok perampok biasa. Aura tentara yang terasa dalam pertempuran membuat perasaan Ning Que semakin berat.
Lengan kanan pemimpin perampok berkuda ditebasnya, setelah diselamatkan anak buah jika tidak mati di padang gurun, pasti membutuhkan tempat pengobatan. Luka seberat ini tidak bisa disembuhkan di sarang biasa perampok, orang itu butuh dokter dan obat, perlu buru-buru, tempat terdekat dari padang rumput yang bisa menyembuhkan lengan putus itu kebetulan adalah Wangsa Kerajaan Kiri.
Perbekalan hancur, Mo Shanshan bersikeras membawa murid Kompleks Kolam Tinta ke istana raja. Ning Que tidak menolak, selain ikatan persahabatan dalam pertempuran, juga karena alasan ini.
Entah orang di balik perampok itu Khan Wangsa atau siapa pun, dia yakin jika pemimpin perampok itu masih hidup, setidaknya sembilan puluh persen kemungkinan bersembunyi di istana.
Dia harus mencari lawan, mengajukan beberapa pertanyaan, lalu membunuhnya.
Selain itu, dia juga merefleksikan segala tindakannya sejak meninggalkan akademi menuju padang gurun.
Sejak kecil, setiap kali selesai pertarungan hidup-mati sulit, dia selalu menganalisis dan menyimpulkan. Karena itulah dia dan Sang Sang bisa bertahan hidup.
Perenungan telah menjadi sesuatu yang instinctif, namun kali ini di gerbong kereta perenungannya lebih dalam daripada tahun-tahun sebelumnya, bahkan menelusuri semua perilaku sejak meninggalkan Kota Wei masuk Chang'an.
Setelah lama merenung dalam hening, dia menyadari sejak keluar Kota Wei terutama setelah masuk akademi, banyak tindakan atau pilihannya yang kurang tepat karena terjerat kesalahpahaman berpikir.
Saat di Kota Wei, dia terbiasa menyusup sendirian ke padang gurun untuk mengintai musuh bagi sang jenderal, mengejar perampok berkuda bersama rekan seperjuangan. Maka kali ini saat membawa para siswa akademi ke padang gurun untuk praktik, meski memikul dua misi penting dari Kaisar dan Guru Negara, tetap memilih bertindak diam-diam dengan menyamar menyusup ke kafilah logistik.
Namun dia lupa bahwa dirinya kini bukan lagi prajurit kecil Kota Wei, bukan pengintai, bukan Penebas Perampok Berkuda Danau Shubi. Melainkan murid langsung Sang Guru, mahasiswa gunung belakang akademi, agen rahasia emas Kaisar, serta konsultan kehormatan Gerbang Selatan Tao Langit dan Tian Shu.
Bertindak diam-diam berarti semua latar belakang menginspirasi rasa hormat yang diiri banyak orang ini menjadi tak berarti. Seperti Komandan pasukan kavaleri Kuil yang tak berani lancang setelah tahu Mo Shanshan adalah si gila tulisan. Andai dia mengumbar identitas sebagai murid gunung belakang akademi, mana mungkin para perampok berani berkumpul menyerang?
Ada poin krusial lain: Sebelum meninggalkan akademi, shixiong kedua khusus mengingatkan di gunung belakang - orang yang keluar dari akademi hanya boleh merendahkan orang lain, tidak boleh direndahkan. Ucapan itu begitu perkasa dan sombong. Tapi tanpa identitas sebagai murid gunung belakang akademi, sekalipun bertindak sombong, siapa yang tahu itu orang akademi?
Ning Que menopang dagu dengan tangan, bersandar di jendela gerbong kereta, menatap pegunungan nun jauh dan tenda-tenda yang samar terlihat. Dengan perasaan pasrah, ia berpikir: Anak desa miskin yang merantau ke kota meski sudah kaya raya, tetap hanya diam-diam membeli rumah, menyantap beberapa mangkok sup asam pedas dengan irisan daging. Akar rumput yang terlalu lama tertanam, untuk membiasakan diri bersikap semena-mena dengan kekuasaan, tetap membutuhkan waktu.
……
……
Musim dingin yang ganas telah tiba, langit membeku dan bumi mengeras. Padang rumput di kaki Gunung Tianqi entah karena panas bumi pegunungan, masih menyisakan hamparan rumput hijau di sana-sini. Tenda-tenda putih bagai awan bermekaran di padang itu.
Dua gerbong kereta dan beberapa kuda lesu mengantar murid-murid Mo Chi Yuan dari Negara Dahe ke pinggiran padang rumput. Tak ada rombongan logistik, apalagi pengawal kavaleri, membuat pemandangan mereka terlihat menyedihkan.
Perundingan damai antara Wangsa Kerajaan Kiri suku barbar padang rumput dan pasukan sekutu Zhongyuan resmi dimulai. Berbagai kekuatan datang dengan pasukan berkuda, riuh rendah suara hiruk-pikuk terdengar dari kejauhan, tak terhitung orang yang sedang minum arak dan berdiskusi.
Pasukan kavaleri Wangsa Kerajaan menyambut murid-murid Mo Chi Yuan ke dalam kemah. Jelas kabar serangan di padang rumput dan jimat dewa setengah jadi itu telah tersebar. Beberapa orang tahu si Gila Tulisan berada dalam gerbong kereta, sehingga kavaleri bersikap cukup menghargai.
Sebaliknya, para pengawal utusan dari Zhongyuan di perkemahan memandang murid-murid Mo Chi Yuan dengan tatapan dingin. Mereka tidak mengerti mengapa rombongan ini tidak mundur ke Yan Utara meski persediaan logistik hancur, malah datang ke Kerajaan Barbar. Apakah murid-murid Mo Chi Yuan tidak tahu bahwa para petinggi Kuil Suci dan pasukan sekutu sangat kecewa dengan kinerja mereka?
