Menyaksikan kuda hitam yang berlari membawa debu, banyak penggembala dan prajurit Istana Raja bersemangat mengejarnya. Para siswa Akademi Tianyu masih diam membatu di padang rumput. Banyak yang sudah menebak identitas asli Ning Que. Mengingat peristiwa yang menggemparkan dunia bertapa sejak musim semi hingga kini, mereka tak bisa menahan kekhawatiran akan perasaan Putri Chenjia.
Tunangan Putri Chenjia adalah Pangeran Long Qing, pria bak putra dewa yang kisah hidupnya selalu mulus. Baik sesepuh Kuil Rotten Ke maupun Rektor Akademi Tianyu tak mampu menembus kesempurnaan lahir batinnya. Hanya sekali ia kalah - saat di akademi sebelah selatan Kota Chang'an. Meski tak banyak yang tahu detil ujian pendakian saat itu, kekalahan tetaplah kekalahan.
Hari ini mungkin pertama kalinya Lu Chenjia melihat pria yang mengalahkan tunangannya? Para siswa Akademi Tianyu semakin khawatir perasaannya akan sedih, semakin takut menatapnya agar tak membuatnya malu. Mereka hanya bisa menunduk, pura-pura memperhatikan padang gurun di bawah kaki.
Di padang rumput berhamburan tujuh kelopak bunga teratai biru yang compang-camping. Wajah Lu Chenjia yang secantik bunga tak menunjukkan rasa malu, namun isi hatinya yang biasa tenang kini berantakan bagai kekacauan itu.
Ia meraih sapu tangan sutra mewah dari pelana kuda putihnya, mendekati baskom bunga yang pecah. Dengan hati-hati ia membungkus bunga teratai biru yang hampir layu diterpa angin dingin itu, lalu memeluknya erat sebelum menunggang kuda menuju tendanya.
Dari belakang, seorang murid Akademi Tianyu memberanikan diri mengingatkan: "Paduka Putri, hari ini Kuil Suci mengadakan rapat untuk merangkum urusan perbatasan selama berbulan-bulan, juga membahas rencana menghadapi Orang Liar tahun depan. Ini masalah penting, seharusnya Paduka hadir."
Lu Chenjia sedikit menarik tali kekang kudanya, tidak menghiraukan suara yang datang dari belakang, juga tidak menghadiri rapat yang diadakan Kuil Suci saat ini. Ia hanya menatap kuda hitam besar yang hampir tiba di tenda di kejauhan, sementara berbagai pikiran berkecamuk di hatinya.
Sejak kabar dibukanya lantai dua Akademi di musim semi tersiar, ia terus diam-diam memperhatikan dan berdoa. Ia berharap pasangannya bisa meraih keinginannya, memasuki gunung belakang, dan menjadi murid langsung Sang Guru. Namun tak disangkanya, pria yang begitu sombong, percaya diri, kuat, dan seolah tak mungkin pernah gagal itu... ternyata kalah.
Setelah Pangeran Longqing kembali ke Xiling, meski mereka tak pernah membahas masalah lantai atas Akademi, ia bisa merasakan perbedaan halus antara Longqing sekarang dan sebelumnya. Masih sama sombong dan percaya diri, memancarkan cahaya kehormatan yang mempesona, namun dalam kesombongan dan kepercayaan dirinya kini ada ketidakwajaran yang tak terungkapkan, serta bayangan hitam samar dalam cahaya itu.
Lu Chenjia tahu semua ini disebabkan oleh seseorang bernama Ning Que.
Kegagalan sebenarnya tidak menakutkan. Bagi Pangeran Longqing dan orang sepertinya yang telah belajar Tao sejak kecil, hubungan antara kegagalan dan kesuksesan sudah dipahami dengan jelas. Namun Longqing yang hampir mencapai tingkat Zhi Ming (Pengetahuan Takdir) dengan jalan Tao yang murni, justru dikalahkan oleh Ning Que yang baru mulai belajar Tao, lemah dan dangkal pengetahuannya. Kekalahan dengan perbedaan kemampuan sebesar ini tentu menjadi pukulan berat bagi kematangan mental seorang praktisi spiritual.
Urusan cinta adalah ketika suka-dukanya seseorang ditentukan oleh suka-duka orang lain, hingga melupakan suka-duka dunia di luar dua insan. Terhadap pria yang mengalahkan Longqing dan memasuki gunung belakang akademi, tentu saja ia tidak suka bahkan memendam permusuhan. Andaikan bukan karena berpikir rintangan Jalan Tao harus diselesaikan Longqing sendiri, mungkin ia akan diam-diam pergi ke Chang'an untuk mempermalukan si brengsek itu.
Selain permusuhan dan ketidaksukaan, wajar jika ada rasa penasaran. Termasuk dirinya, tak ada yang mengira Sang Guru akan memilih murid dengan cara curang. Lalu, dengan cara apa si Ning Que itu bisa lebih menarik perhatian Sang Guru dibanding Longqing? Sebenarnya seperti apa orang itu?
Hari ini akhirnya ia melihat si brengsek itu, dan tahu seperti apa sesungguhnya orang itu.
Ia yakin seumur hidup takkan lupa wajah keji Ning Que yang menjatuhkan bunga dan mengejeknya. Karena itu pula, kenangannya terhadap akademi tak terhindarkan menjadi semakin mendalam. Di balik rasa malu dan marah, ada kekaguman yang tak terelakkan.
Tangan giok menggenggam erat tali kekang, Hua Chi menatap kuda hitam besar yang akan memasuki tenda rapat Kuil Suci di tengah kejaran banyak orang. Dalam keheningan dan kebingungan, ia bertanya-tanya: "Apakah semua murid gunung belakang akademi se-tidak tahu malu seperti orang ini?"
……
……
Negara-negara di wilayah tengah Tiongkok menerima dekrit Kuil Suci untuk membantu Yan melawan suku barbar. Negara Tang dan Yan yang terletak di utara mengirim pasukan kavaleri besar, sementara sekte-sekte dari negara lain mengirim praktisi kultivasi muda generasi mereka untuk tunduk pada perintah. Kini setelah perjanjian damai antara pasukan sekutu dan Istana Raja tercapai, berbagai pengaruh negara akan berkumpul untuk membahas rencana selanjutnya, dengan Kuil Suci sebagai penyelenggara tak terbantahkan.
Wangsa Kerajaan Kiri mengerahkan banyak pasukan dan sumber daya untuk membangun tenda pertemuan megah bagi orang-orang penting Kuil Suci, menunjukkan ketulusan. Tenda seluas radius sekitar seratus langkah ini berdiri dengan rangka bambu dan kain, pencahayaan memadai, dimensi lapang, bahkan mampu menampung lebih dari seratus orang tanpa terasa padat.
Pemimpin Departemen Nubuat Kuil Suci, sebagai figur termulia di tempat itu, duduk di posisi tengah. Jenderal Shu Cheng dari Kekaisaran Tang duduk di samping tangan kanannya, sementara kursi di sebelah kiri tetap kosong.
Perwira militer Yan, murid Paviliun Pedang Nan Jin, biksu Kuil Pagoda Putih Yue Lun, serta murid sekte negara bawahan duduk sesuai kelompok mereka di bagian bawah. Kursi para siswa Akademi Tianyu masih kosong, sementara Mo Shanshan si Gila Tulisan dan murid Kompleks Kolam Tinta dari Negara Dahe telah duduk tenang di seberang kursi-kursi kosong tersebut.
Tempat duduk murid-murid Kolam Tinta berada di dekat kemah Kekaisaran Tang, lebih tinggi peringkatnya dibandingkan negara-negara seperti Nan Jin dan Yuelun. Sebenarnya Negara Dahe yang lemah seharusnya tidak mendapat perlakuan istimewa seperti ini. Namun nama besar Mo Shanshan sebagai 'gila tulisan' begitu termasyhur, di dalam tenda hanya ada beberapa orang saja yang diizinkan duduk di atasnya, sehingga Kuil Suci membuat pengaturan ini.
Pembahasan belum masuk ke inti masalah. Seorang nenek beruban dan kulit keriput, mengenakan jubah tambal sulam seperti pengemis, memegang tongkat masuk dengan langkah perlahan. Sesekali terdengar suaranya mengeluarkan batuk.
Pemimpin Sekte Nubuat membungkuk hormat sambil berkata dengan tersenyum: "Terima kasih atas jerih payah Bibi."
Termasuk Jenderal Shu Cheng dari Kekaisaran Tang, semua orang di dalam tenda berdiri memberikan penghormatan kepada nenek itu. Sebagai kakak perempuan Penguasa Yuelun, meski telah melepaskan gelar putri kerajaan karena menjadi biksuni, di belakangnya tersembunyi kekuatan besar kuil-kuil Buddhisme. Baik Kuil Suci maupun Negara Tang sama-sama tidak berani meremehkannya.
Mo Shanshan tidak berdiri. Ia menatap ujung gaun putihnya yang bersih, seolah menemukan noda yang tidak menyenangkan di sana. Karena dia tidak bangkit, murid-murid Kolam Tinta di belakangnya pun tidak memberikan penghormatan. Sebaliknya, para gadis itu yang tahu bahwa nenek itu pernah berada di padang rumput kala itu, pandangan mereka sulit menahan kebencian.
"Semua orang mabuk hanya aku yang sadar", yang sadar pun menjadi anomali. "Semua orang bangkit aku tetap duduk", yang duduk pun menjadi anomali. Suara salam dan permintaan maaf bergelombang memenuhi ruangan, kerumunan orang yang membungkuk-bungkuk justru menonjolkan gadis-gadis Dahe yang tetap duduk tegak. Suara salam di dalam tenda perlahan mereda, atmosfer tiba-tiba berubah menjadi hening dan canggung.
Bibi Qu Ni Ma Di melirik dingin para gadis. Melihat nona-nona kecil yang tetap segar meski berbulan-bulan diterpa badai pasir padang gurun ini, hatinya mendidih. Tatapan mereka yang tak mengandung rasa hormat bahkan menyimpan permusuhan membuatnya murka. Dengan gerakan kasar mengibaskan lengan baju, ia duduk di samping Ketua Departemen Nubuat, langsung bersuara menggerutu tanpa memberi kesempatan bicara: "Suku Utara Huang punya hubungan erat dengan Iblis Zong. Tak ada yang tahu berapa sisa-sisa Iblis Zong bersembunyi di antara Orang Liar itu. Membasmi iblis dan energi negatif adalah kewajiban pengikut Jalan Benar. Tentunya bukan urusan melelahkan. Tapi untuk menghadapi Orang Liar, yang terpenting adalah persatuan antar sekte aliran benar, dan meningkatkan kemampuan diri sendiri."
Sang nenek memandang para murid generasi muda di dalam tenda dengan suara dingin: "Selama berbulan-bulan berhadapan dengan mereka, kalian para junior menunjukkan performa bagus. Tapi beberapa bertindak semaunya sendiri, malah menciptakan situasi kacau yang nyaris menggagalkan rencana besar Kuil Suci. Sebelum memutuskan hukuman, pertama-tama kalian harus belajar introspeksi diri!"
Orang-orang di dalam tenda sebagian besar sudah mengetahui tentang insiden murid Kolam Tinta yang mengawal persediaan makanan dan pakan ternak namun disergap perampok berkuda. Mereka menduga komentar Bibi Qu merujuk pada kejadian ini, bertanya-tanya bagaimana si gila tulisan dan murid Kolam Tinta akan memberikan penjelasan.
Tepat seperti dugaan, dua sinar jijik bercampur amarah memancar dari mata Qunimalti yang cekung. Dengan suara dingin ia berkata: "Kuil Suci mengirim bantuan logistik untuk memperbaiki hubungan dengan Istana Raja. Kini persediaan itu hancur. Meskipun Sang Khan tak berkomentar dan perjanjian damai tetap berlaku, di bawah Cahaya Buddha Langit Tak Berpelukan, harus ada yang bertanggung jawab."
Mendengar wanita senior yang sangat dihormati ini berbicara langsung ke inti masalah, suasana seketika hening. Hanya desahan panjang-pendek yang terdengar samar. Banyak pasangan mata beralih ke Mo Shanshan yang tetap duduk tenang.
Kepala Departemen Nubuat tersenyum tipis. Ia tahu nenek tua ini ingin memanfaatkan situasi untuk menjatuhkan Kolam Tinta karena alasan tertentu. Namun sebelum keberangkatan, Imam Besar Tianyu telah berpesan: "Si gila tulisan Mo Shanshan terlalu menyendiri. Untuk menjadikannya pilar Kuil Suci, dia masih perlu ditempa." Maka ia memilih diam.
Jenderal Shu Cheng yang datang jauh-jauh dari Kota Chang'an tak tertarik pada intrik internal kuil. Namun melihat Qunimalti menekan gadis Negara Dahe yang bersahabat dengan kekaisaran, alisnya berkerut. "Apa sebenarnya yang terjadi?" tanyanya dengan nada tak senang.
Sinyo Tianshu Divisi Nubuat adalah pria berambut dan janggut putih namun berwajah awet muda. Setelah berpikir sejenak, ia berkata lembut: "Komandan Pasukan Pelindung Divisi Judgement Chen Bachi yang mengalami langsung peristiwa ini. Biarkan dia yang menjelaskan pada kalian."
Perkataan ini tampak biasa namun sebenarnya sangat strategis. Pasukan Pelindung Kuil berada di bawah dua Sinyo Divisi Judgement, sama sekali tidak terkait dengan Divisi Nubuat. Dengan meminta komandan ini memberikan penjelasan, apapun hasil pertikaian nanti, Divisi Nubuat tetap bisa menjaga posisi netral dan adil.
Komandan kavaleri Kuil bernama Chen Bachi itu memandang kerumunan dengan wajah serius: "...Hari itu murid-murid Kolam Tinta pengecut dan takut bertempur, membiarkan perampok menerobos formasi masuk kamp. Rakyat dan tentara Yan menderita korban mengerikan. Melihat situasi genting, saya memimpin pasukan menyerbu secara nekat untuk mengusir para perampok..."
Murid-murid Kolam Tinta saling pandang bingung, tubuh menggigil kedinginan. Tangan mereka yang terkepal gemetar halus. Sejak kecil hidup di Gunung Mo Gan, mana pernah mereka tahu ada orang sebobrok ini di dunia.
Tian Mao Nu yang wajahnya merah padam menerjang ke depan, berteriak marah pada komandan kavaleri itu: "Chen Bachi, kau tidak tahu malu!"
