Biksu tua itu menjerit pilu, kedua tangannya yang menjepit mata pedang seperti bunga teratai putih mulai bergetar cepat.
Aliran kekuatan fisik menyembur melalui mata pedang, bertabrakan dengan energi Pedang Megah yang dipompakan Ning Que.
Gemuruh dahsyat menggelegar!
Ruang iblis yang redup dipenuhi debu, gunungan tulang runtuh berantakan. Potongan tulang beterbangan ditiup angin kencang, menghantam tembok batu hijau dengan suara plak-plak.
Mo Shanshan dan Ye Hongyu yang tak sadarkan diri terhempas ke sudut dinding oleh gelombang kejut.
……
……
Energi alam semesta yang pertama kali dirasakan setelah puluhan tahun terus memperbaiki tubuh rusak Master Liansheng, memulihkan kekuatan spiritualnya dengan kecepatan mengerikan.
Energi kosmis ini juga diserap Ning Que, diubah menjadi energi vital dalam tubuhnya, menjadi kekuatan dahsyat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Pertarungan akhirnya bermuara pada perlombaan waktu - apakah Ning Que bisa menjadi cukup kuat untuk membunuh lawannya sebelum sang biksu pulih sepenuhnya.
Jadi Ning Que tidak menggunakan jimat dalam kantong brokat, tidak menggunakan Yuan Shisan Jian, karena metode ini memerlukan energi alam semesta mencapai intensitas tertentu dan juga membutuhkan kekuatan pikirannya yang sama sekali tak terganggu oleh energi spiritual lawan.
Dalam situasi ini, yang paling ia percayai - dan hanya bisa percayai - adalah tiga pisau tajam di punggungnya. Tiga pisau tentara yang telah membunuh musuh tak terhitung dari Gunung Min ke Kota Wei, dari Kota Wei ke Paviliun Angin Semi.
Sayangnya, menyerap energi vital alam semesta adalah cara sekte iblis. Master Liansheng sebagai tetua generasi sebelumnya sekte iblis, baik dalam keahlian maupun tingkat meditasi, jauh melampaui Ning Que.
Kesepakatan tingkat meditasi antara kedua pihak terlalu berbeda. Waktu pun berhenti menjadi adil. Ning Que gagal menusuk lawan hingga mati. Seiring waktu yang berlalu perlahan namun tak terhindarkan, situasi semakin merugikannya.
Ia jelas merasakan tubuhnya lebih kuat dari sebelumnya, namun tangan yang mencengkeram hulu pisau gemetar lemah. Hampir tak bisa lagi memegang erat, karena kekuatan dari mata pisau itu hampir mengalahkannya!
Ia menengadah, memandang mata dingin sang biksu tua.
Tatapan mereka tak menghasilkan efek menghancurkan seperti saat energi bertabrakan di mata pisau sebelumnya. Sebaliknya, lembut dan tenang bagai butir embun jatuh dari daun teratai ke danau, mengirim riak-riak kecil.
Riak air yang merekah membentuk dunia baru.
……
……
Suara welas asih Master Liansheng bergema di langit malam.
“Ini adalah dunianya aku.”
Ning Que menatap milyaran bintang yang tertanam di langit malam, tetap hening. Ia tahu laut kesadarannya akhirnya kembali diserang oleh energi spiritual mengerikan sang Biksu Tua. Akhirnya ia mengerti: satu chi di depan praktisi kultivasi sejati di dunia fana, mutlak adalah wilayah kekuasaan mereka. Baik kekuatan maupun kesadaran akan berada dalam kendali mereka.
Langit malam tiba-tiba bergetar. Meski tak retak, milyaran bintang yang menempel di atasnya runtuh. Bintang-bintang itu menyibak angkasa, menghantam padang gurun di depannya dengan ekor cahaya panjang. Tanah merintih kesakitan sambil bergetar. Pohon musim dingin dan rumput berembun terkubur lumpur yang berterbangan, atau terbakar menjadi abu oleh suhu ekstrem.
Ia tahu makna dari gambar ini.
Bintang-bintang yang jatuh dari langit malam adalah energi spiritual Master Lian Sheng. Padang gurun dan vegetasi yang merintih kesakitan itu adalah laut kesadarannya. Ketika padang gurun itu berubah menjadi neraka yang hangus terbakar, laut kesadarannya akan tertembus. Ia akan mati, atau menjadi orang lumpuh tanpa kesadaran.
Ning Que berdiri di padang gurun. Memandang kobaran api liar di kejauhan akibat hantaman bintang. Memandang kawah mengerikan di dekatnya. Ia tak membersihkan lumpur hitam di tubuhnya, juga tak menghindar. Karena ia tak tahu cara menghindar.
Mempertaruhkan risiko dihukum langit, baru saja mewarisi ilmu Paman Sepurguruanku, melihat kesempatan untuk lolos dari maut, namun malah terperangkap dalam jurang keputusasaan. Apakah ini sungguh takdir? Kutukan Langit Tak Berpelukan?
Hatinya membeku oleh kedinginan, bahkan merasakan keputusasaan yang sesungguhnya. Namun di kedalaman jiwa yang putus asa, masih tersembunyi ketidakrelaan membara dan hasrat kuat untuk menghancurkan semua bintang itu.
Seolah ada kekuatan tak kasat mata yang merasakan ketidakrelaan dan kerinduannya, bayangan samar mulai merayap perlahan, melintasi ubun-ubunnya, menyelubungi seluruh tubuhnya.
Ia menatap bayangan di depannya yang menyatu dengan siluet dirinya yang lebih pekat, lalu tiba-tiba berbalik badan.
Padang gurun di belakangnya kosong melompong.
Hanya ada sebuah patung.
Patung hitam.
Siluetnya mirip manusia, tapi juga mengingatkan pada dewa. Karena membelakangi cahaya, wajah dan tubuhnya tenggelam dalam bayangan pekat yang tak tertembus.
Bintang-bintang di langit malam terus berjatuhan.
Miliaran meteor menghantam padang gurun semakin padat, perlahan mengikis keberadaan Ning Que hingga hampir musnah.
Saat patung hitam itu muncul, bintang jatuh bagai ngengat melihat api, tertarik oleh kekuatan tak kasat mata, berduyun melesat miring ke arah patung tersebut.
Bintang-bintang yang sebelumnya mengeluarkan gelombang energi mengerikan, menghantam patung hitam raksasa. Kelemahannya bagaikan kunang-kunang tak berarti.
Ratusan juta bintang bagaikan sekumpulan kunang-kunang lemah, terus-menerus menghantam, memercikkan cahaya api redup yang bertebaran.
Semua cahaya api redup itu pun diserap seluruhnya oleh patung hitam.
Patung hitam itu perlahan memanas, lalu seluruh permukaannya berubah merah, seolah dilapisi warna kemerahan.
Pasti terasa sangat panas, bukan?
Ning Que menatap patung raksasa itu dengan ekspresi kebingungan, sambil berpikir demikian.
Tiba-tiba, ia merasakan sakit luar biasa di pinggangnya. Menunduk melihat, ikat pinggangnya mengeluarkan asap kehijauan tipis - seolah hendak terbakar! Benda di dalamnya terasa kepanasan luar biasa!
……
……
Ning Que kembali ke dunia nyata.
Baru sekarang ia sadar, sang biksu tua telah mendorong mata pedang keluar beberapa inci dari dadanya. Hulu pedang yang keras telah menekan ikat pinggangnya, menyentuh suatu benda yang panas bagai terbakar! Membuatnya ingin mengamuk!
Ning Que menatap tajam ke pupil sang biksu yang jernih namun dingin. Kedua tangannya mencengkeram erat hulu pedang, lalu mendorongnya maju sekuat tenaga!
Darah mengalir dari sudut bibirnya, deras seperti air terjun.
Dia mengaum kesakitan, kedua kakinya seperti paku yang menancap dalam ke tanah batu hijau, tubuhnya condong ke depan menggunakan benda keras di pinggang untuk menahan hulu pedang, mengerahkan seluruh berat badan ke atasnya, mata pedang maju seinci lagi!
Biksu tua itu menatapi mata pedang yang perlahan menembus dadanya, pupil matanya memancarkan ekspresi tak wajar.
Energi spiritualnya yang menyentuh tubuh Ning Que langsung menghilang bagai patung lumpur tenggelam di laut, kecepatan kebocorannya sungguh mencengangkan, dalam sekejap lautan kesadarannya sudah kosong separuh!
Menyerap energi alam semesta dengan sihir iblis mengandalkan kontrol kekuatan pikiran murni, kini saat cadangan kekuatan pikiran di lautan kesadaran menipis, energi alam semesta yang melayang di istana iblis pun berhenti masuk ke tubuhnya dan justru mengalir ke tubuh Ning Que!
Biksu tua itu jelas merasakan kekuatan tiba-tiba meningkat dari mata pedang di antara kedua tangannya.
Ia melotot ke Ning Que sejenak, lalu menunduk memandang bagian pinggangnya.
Suara gesekan halus terdengar.
Seperti angin danau yang membelai lembut daun teratai.
Mata pedang tajam memutuskan beberapa jari, potongan jari-jemari itu jatuh perlahan.
Bunga teratai putih yang suci, kelopak demi kelopak berguguran.
Ning Que mengeluarkan suara "hng", pisau tajam di tangannya menusuk ke depan dengan kekuatan meledak-ledak. Dibarengi aura pedang megah yang tak terbendung, mata pisau berkilauan itu menembus dada biksu tua dengan suara "bruk", langsung menembus jantungnya.
