“Jangan pakai daun bawang.”
“Jangan tambah cuka.”
“Taruh lebih banyak mi.”
Orang terakhir yang mengajukan permintaan jelas-jelas Chen Pipi. Ia menatap papan catur yang telah kembali utuh, mengangkat alis tebalnya yang seperti ulat sutera. Wajahnya dipenuhi ekspresi frustrasi dan rasa malu, bahkan lupa bahwa dirinya sedang berada dalam lingkungan yang sangat mengerikan. Dalam hati ia berpikir, pelayan kecil ini hanya perlu sekali lihat saja sudah bisa mengingat semua posisi bidak, lalu apa haknya untuk merasa sombong tentang kepintaran otaknya di hadapannya? Masih berani menyebut diri jenius?
Orang tua Wei Guangming tersenyum melihat Master Yan Se: “Murid perempuanku ini sangat berbakat.”
Master Yan Se menatap siluet kurus yang menghilang di halaman belakang: “Benar-benar luar biasa.”
Pujian “berbakat” dan “luar biasa” dari kedua orang tua itu tidak terkait dengan kecerdasan Sang Sang yang mengejutkan Pipi, melainkan merujuk pada aura diri yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang di tingkat meditasi tinggi seperti mereka – aura transparan sempurna yang terlihat kikuk namun mampu merefleksikan dunia dengan presisi.
Master Yan Se mengalihkan pandangan, berkata pada sang orang tua: “Kita sudah tua. Meski tidak saling bunuh, sudah dekat dengan gerbang hidup-mati. Ini pasti pertemuan terakhir kita. Mari makan semangkok mi.”
Mi telur dadar wangi pun dihidangkan: satu mangkok tanpa cuka, satu tanpa daun bawang, dan satu lagi mi-nya meluap melebihi pinggiran mangkok.
Setelah menghabiskan mi, kedua orang tua itu menyelesaikan sisa permainan catur dalam keheningan. Tanpa menghitung jumlah, jadi tak diketahui siapa yang menang.
Kemudian mereka menolak penawaran Sang Sang untuk bermain lagi setelah menyantap semangkok mi, lalu mulai mengingat kembali masa lalu.
Sang Sang menyeduh tiga mangkuk teh baru, kemudian bersama Chen Pipi masing-masing membawa bangku kecil, duduk seperti murid yang mendengarkan kisah masa lalu.
Yan Se dan Wei Guangming adalah generasi yang paling lama bertahan di Gerbang Tao Haotian saat ini. Meski selama 14 tahun terakhir yang satu berkeliaran di dunia manusia dengan riang, sementara yang lain dikurung di lereng belakang Gunung Persik, dibandingkan dengan lamanya mereka saling mengenal, 14 tahun tetap terlalu singkat. Maka kisah masa lalu mereka sangat panjang, kenangan bersama yang sangat kaya.
Mulai dari masa sebagai Taoist muda, hingga cerita mengganggu Akademi Tianyu, kemudian kiswal mereka pergi ke Kuil Penjagaan untuk menerima jabatan Imam Besar. Dua orang tua ini terus berceloteh tanpa henti.
Tentu saja sebagian besar waktu diisi oleh Master Yan Se yang cerewet. Imam Cahaya hanya tersenyum tenang mendengarkan, sesekali menyela untuk menghindari kesalahpahaman generasi muda. Misalnya, jenggot Rektor Akademi Tianyu dulu dibakar oleh Pendeta Agung sekarang, bukan oleh ritual saktinya. Atau contoh lain, di perjalanan ke Kuil Penjagaan dulu, dia tidak mengalami diare karena gugup, melainkan karena Yan Se diam-diam memasang jimat dingin.
"Murid-murid Tao nakal tahun itu kini telah menjadi orang-orang penting di dunia fana. Orang yang dulu berani membakar janggut Rektor Akademi Tianyu sekarang menjadi Pendeta Agung Kuil Suci yang berwibawa. Seseorang menjadi Master Yan Se, seseorang menjadi Singgasana Cahaya. Namun siapa yang bisa menahan diri untuk tidak sesekali mengingat masa-masa itu?"
Kenangan ini hangat, membawa aroma nostalgia khas senja yang melekat di waktu maghrib.
Imam Cahaya menatap cahaya senja yang hangat di luar Toko Kuas Tua, baru menyadari tanpa terasa waktu telah berlalu begitu cepat bersama kilasan kenangan ini - kini benar-benar tiba senja.
Di luar Toko Kuas Tua saat senja sunyi sepi, tak ada suara terdengar sepanjang Gang Lin 47.
Orang tua itu tersenyum tipis menatap ke luar pintu, tak mengucapkan sepatah kata pun.
"Dulu kami masih muda, sangat bejat dan nakal. Tapi kau selalu yang paling cerdas sekaligus paling sopan."
Master Yan Se memandangnya berkata: "Baru setelah kau ingatkan, kau sadar Nona kecil Sang Sang ini benar-benar miripmu dulu - transparan dari dalam hingga luar, tanpa noda sedikit pun."
Sang tua itu memandang Sang Sang yang duduk di bangku kecil dengan penuh kasih, berujar: "Aku tak sebanding dengannya."
Master Yan Se berkata dengan perasaan campur aduk: "Apakah orang yang bisa duduk di Singgasana Cahaya harus begitu transparan? Baru bisa lebih dekat dengan esensi Langit dibanding kami? Tapi apa arti transparan? Bisa merefleksikan wajah asli dunia? Jika dunia hitam, kalian pun jadi hitam? Makanya begitu banyak pemegang Singgasana Cahaya akhirnya tersesat?"
Si Kakek menggeleng sambil tersenyum: "Transparan berarti tak berwarna. Hitam adalah ketiadaan warna plus kehilangan cahaya. Di dunia Langit yang penuh cahaya ini, transparan adalah terang, musuh kegelapan."
Mendengar frasa "musuh kegelapan", Master Yan Se terhenyak lama. Setelah sekian waktu, ia mengangkat kepala perlahan dengan ekspresi serius: "Masih ingat Lian Sheng?"
Si Kakek mengerutkan kening: "Bagaimana mungkin tidak ingat?"
Master Yan Se bertanya: "Dia Cahaya atau Kegelapan?"
Si Kakek menggeleng: "Dulu dia di Tahta Pengadilan, aku di Singgasana Cahaya. Kulihat Singgasana Giok Hitamnya mengeluarkan darah kotor. Sejak itu kumeragukannya. Tapi sebelum kutungkap, dia lebih dulu kabur dari Gunung Persik setelah membaca ramalan takdir, akhirnya tewas di pedang Guruku. Kuil menutupi ini demi reputasi Gerbang Tao Haotian. Bagiku, Lian Sheng 32 kelopak itu, secemerlang apapun gioknya, tetap saja lumpur berlapis cat."
Master Yan Se menatap matanya dan bergumam berat: "Setelah Iblis Zong punah, Kuil Suci merekrut banyak ahli Iblis Zong. Jika cahaya tak memberi peluang pada kegelapan, bagaimana kau menjelaskan ini? Jika pembunuhan masa lalu adalah cara terpaksa untuk menghancurkan bayangan kegelapan, lalu bagaimana dengan bayangan Kuil sekarang?"
Orang tua itu berkata: "Berbeda. Bayangan hitam itu adalah keturunan Penguasa Alam Baka."
Master Yan Se memukul meja dengan keras, wajahnya merah marah: "Kenapa kau sesekali begini? Alam baka cuma legenda! Dulu kau palsukan perintah Pendeta Agung, membuat Kota Chang'an banjir darah, tapi akhirnya tak menemukan Putra Raja Dunia Bawah! Kenapa sampai sekarang masih ngawur begini?"
Orang tua itu menjawab: "Faktanya dulu baik Guru Utama maupun Pendeta Agung sudah mempercayai apa yang kulihat."
Master Yan Se menatap tajam matanya, suaranya dingin: "Tapi hasilnya kau dikurung di Youge!"
Orang tua itu menatap balik dengan tenang: "Akulah cahaya dunia. Yang mengikutiku tak akan berjalan dalam gelap, tapi mendapat cahaya kehidupan. Yang meraguiku akan tersesat dalam gelap, takkan bebas."
Master Yan Se yang tak tahan melihat kekerasan hatinya mengibaskan lengan jubah Tao, berteriak keras: "Kalau begitu katakan di mana bayangan hitam itu! Di mana Putra Raja Dunia Bawah! Siapa yang mau kau bunuh di Chang'an!"
Orang tua itu berbisik lembut: "Aku pun tak tahu."
Mendengar jawaban ini, Master Yan Se tertegun, senyum pahit muncul di wajahnya. Dengan suara gemetar penuh kepedihan, ia berkata pada orang tua itu: "Hanya demi seorang Putra Raja Dunia Bawah yang bahkan kau sendiri tak tahu siapa dan apakah benar-benar ada, dulu Imam Cahaya yang jernih bagai kristal, bersinar tulus seperti lentera itu, tega menjadi iblis besar bertangan berlumuran darah? Rela dikurung di Youge selama 14 tahun, membuat banyak orang sedih. Tidakkah kau menyesal sedikitpun?"
Orang tua itu terdiam lama. Di pipi keriputnya sesekali terlihat kebingungan setelah introspeksi, lalu dengan cepat berubah menjadi keteguhan yang tenang: "Masalahnya adalah aku tahu dia ada."
Master Yan Se mengerutkan alis sambil menatapnya: "Lalu siapa sebenarnya dia?"
Sang orang tua memandang pemandangan malam pekat yang mulai menyelimuti Toko Kuas Tua, menjawab dengan tenang: "Sebagai Putra Raja Dunia Bawah, pastilah persembunyiannya sangat dalam. Bahkan mungkin sampai sekarang dia tak tahu identitas aslinya. Kau tanya siapa dia? Saat ini aku tak bisa memberimu jawaban. Tapi dulu ketika aku melihatnya di Kota Chang'an, dia pasti ada. Entah melarikan diri dari Kediaman Jenderal, atau selamat dari tumpukan mayat di desa perbatasan Yan - dia tetaplah dia."
Tiba-tiba alis sang orang tua berkerut. Ia menoleh ke Sang Sang: "Ada apa?"
Wajah kecil Sang Sang yang sawo matang kini terlihat pucat. Kedua tangan mungilnya menggenggam erat ujung kain, tapi ekspresinya masih tenang. Dengan suara lemah ia menjawab: "Entah kenapa tiba-tiba merasa sangat lelah."
Orang tua berkata dengan belas kasihan: "Kalau begitu cepatlah tidur."
Sang Sang menoleh memandang Master Yan Se, menggigit bibirnya tanpa sepatah kata.
Master Yan Se menghela napas: "Jika muridku tahu aku membuatmu tidak bisa istirahat dengan baik, pasti takkan membiarkanku. Tenanglah tidur, kami dua orang tua ini tidak akan melakukan apapun saat kau tertidur, pasti akan membangunkanmu."
Orang tua itu memandang Chen Pipi: "Hari sudah larut, orang yang kau tunggu telah datang. Pergilah."
Chen Pipi mengusap keringat yang seolah tak pernah berhenti mengucur di dahinya hari ini, memberi hormat panjang dengan penuh khidmat kepada kedua orang tua itu, kemudian mendorong pintu keluar dari Toko Kuas Tua.
……
……
Asap dari ranting pinus pengasap daging di halaman belakang masih mengepul. Karena lupa memeriksanya beberapa waktu, asapnya menjadi agak tebal. Mungkin karena inilah mata Sang Sang memerah akibat iritasi asap.
Ia dengan tenang membasuh muka dan kaki, naik ke kang* utara dan menyelip ke dalam selimut yang dingin. Matanya terbuka menatap cahaya bintang samar di luar jendela, membayangkan jika Ning Que juga melihat bintang yang sama, mungkin akan mulai mengoceh lagi.
Karena hemat, permukaan kang* terasa agak sejuk. Tahun ini Kota Chang'an lebih dingin dari tahun lalu. Setelah lama berbaring belum juga merasa hangat, tak tahan mengulurkan tangan mungilnya ke dekat mulut dan meniupkan dua hembusan udara hangat.
Cahaya bintang menerangi telapak tangan, dipenuhi jejak cubitan kuku berdarah.
"Tadi saat mendengar guru menyebutkan Kediaman Jenderal dan desa perbatasan Yan, ketakutan besar muncul dalam hati Sang Sang. Jika bukan karena memaksakan ketenangan pikiran melalui rasa sakit, mungkin tubuhnya akan gemetar saat itu juga."
"Dia tidak pernah mendengar Ning Que bercerita tentang urusan Kediaman Jenderal, tapi dia tahu - hanya tidak bertanya. Ning Que membunuh Yushi Zhang Yiqi, membunuh pandai besi itu, dia juga tahu. Bahkan pernah menulis puisi pendek yang biasa-biasa saja, tapi tetap tidak bertanya."
"Ning Que tidak ingin bicara, jadi dia tidak bertanya. Tapi seperti kata Ning Que, dia bukan bodoh hanya agak lambat. Saat diperlukan kecerdasan, dialah yang paling cerdas. Karena itu Sang Sang tahu segalanya."
"Putra Raja Dunia Bawah... Kedengarannya seperti sesuatu yang sangat menyeramkan."
"Wajah kecil Sang Sang menggesekkan bantal dingin, menatap cahaya bintang musim dingin di depan jendela. Bergumam sendiri: 'Tapi sudah hidup bersamamu bertahun-tahun, tetap harus terus sembunyi-sembunyi untuk bertahan hidup.'"
