BAB 201 Jika Benar Ada Langit

　　Sang Guru bertanya: "Pernahkah kau berpikir seperti apa wujud Langit itu sebenarnya?" 　　Ning Que merenung sejenak, tentang konsep Langit yang samar-samar itu, dirinya memang tak punya gambaran jelas. 　　"Tidak, bukankah Guru baru saja berkata, saat manusia berpikir, Langit selalu menertawakan?" 　　"Tapi terkadang, meski diejek, kita tetap harus merenung. Jika bayi jatuh saat pertama kali belajar berjalan lalu tidak mau mencoba lagi, dia takkan bisa berjalan seumur hidup. Jika saat belajar kaligrafi kau berhenti karena huruf pertamamu jelek, kau takkan menjadi Ning Dajia yang sekarang." 　　"Guru, kurasa kali ini Guru sedang mengejekku," kata Ning Que sambil tersenyum. 　　Dia teringat perjuangannya bertahun-tahun mencari metode untuk bertapa, saat menggenggam kitab Tai Shang Gan Ying Pian sampai lupa makan-minum, diejek orang-orang Kota Wei, tapi tak menyerah hingga akhirnya mencapai titik ini. 　　Kemudian dia teringat hidupnya bersama Sang Sang yang penuh pengungsian dan penderitaan, mengonfirmasi bahwa pandangannya selama ini benar—Langit Biru pasti tidak memiliki sepasang mata yang terus-menerus mengawasi perpisahan manusia, karena takdir tidak adil terhadap umat manusia. 　　Setelah merenung sejenak, dia menjawab: "Langit adalah keberadaan yang kosong." 　　Sang Guru agak puas dengan jawabannya: "Apakah Langit Tak Berpelukan memiliki nyawa? Kita tidak mengumpulkan kebajikan. Apakah memiliki bentuk konkret? Kita tidak tahu. Di manakah Langit? Kita masih tak tahu. Tapi apakah Dia memiliki kesadaran? Adik seperguaan telah mengonfirmasi lagi dengan taruhan kematiannya." 　　Angin malam yang dingin menggulung awan mengambang di bawah tebing, membawa hawa basah yang lembap, menghantam tebing terjal dengan tekad baja lalu menyebar ke segala arah, perlahan merambat ke atas tebing dan menambah hawa dingin. 　　Sang Guru menengadah ke langit tinggi yang dingin, berkata perlahan: 　　"Jika benar ada Langit, saat memandang dunia fana, rakyat jelata yang bertahan susah payah di tanah, bahkan praktisi kultivasi yang seolah bisa memanggil angin dan hujan—semuanya hanyalah seperti semut." 　　"Jika benar ada Langit, Dia takkan memberi semut belas kasihan atau perhatian. Ketika beberapa semut tiba-tiba mengangkat kepala memandang-Nya, bahkan mulai menumbuhkan sayap tipis seperti bulu untuk terbang ke langit dan menantang-Nya, bagaimana mungkin kesadaran dan kehendak-Nya mengizinkan hal ini terjadi?" 　　"Jika benar ada Langit, maka Langit tak kasat mata—dan lebih kejam lagi." 　　…… 　　…… 　　Ning Que menatap mentornya yang melayang bak dewa di tepi jurang diterpa angin malam, merenung tentang tiga pertanyaan berturut-turut mengenai Langit. Setelah hening lama, tiba-tiba ia bersikap teguh: "Tapi Guru, kau bukan semut." 　　Sang Guru terkekeh keras, gelak tawa itu sarat dengan keagungan. 　　Gelak tawa itu menyembur dari tepi jurang, menusuk langit malam yang dingin nan angkuh. Lautan awan di tebing bergejolak ketakutan, baru tenang setelah tawa Sang Guru menjauh. 　　Sang Guru berdiri di tepi jurang, memandang bintang dan awan yang berantakan. Setelah lama berdiam, tiba-tiba ia berujar heran: "Tongkat harimau ayam, sayang tak ada ulat." 　　Permainan "tongkat-harimau-ayam" adalah jurus minum arak paling sederhana. Ning Que tahu Sang Guru bukan ingin minum. Ia pikir deskripsi sederhana ini mewakili pemahaman Sang Guru tentang Langit Tak Berpelukan seumur hidupnya - nasihat yang tampak remeh tapi sarat makna, belum bisa ia pahami sekarang. 　　Perkataan Sang Guru sebelumnya menjawab kebingungannya, tapi memunculkan pertanyaan baru: Jika Paman Sepurguruanku dulu adalah semut bersayap yang ingin terbang ke langit lalu dihukum mati karena menodai martabat Langit, mengapa ia nekat? 　　Di dunia fana ini, pasti ada jutaan semut yang pernah menengadah ke langit. Sepanjang masa, pasti banyak manusia mencoba terbang menembus langit biru jernih itu. 　　Ke mana perginya semua orang itu? Apakah mereka mati heroik seperti Paman Sepurguruanku, atau benar-benar kembali ke pelukan cahaya Langit Tak Berpelukan seperti cerita penjelmaan dalam Kitab Suci Xiling, memasuki keabadian yang sempurna? 　　Jika keadaan meditasi tingkat tinggi Paman Sepurguruanku saat itu sudah tidak mengizinkannya tinggal lebih lama di dunia fana, mengapa dia tidak memilih masuk ke keabadian, malah memilih menantang Langit? 　　Hanya karena kesombongan? 　　Tapi harimau seganas apapun tak akan meraung keras ke tongkat pemburu tanpa alasan. 　　Masih ada pertanyaan lain - mengapa Sang Guru masih tetap di dunia manusia? Di mana Sang Guru menyembunyikan sayapnya? Apakah Sang Guru tidak ingin melihat wajah asli Langit? 　　Ia menatap Sang Guru di tepi jurang: "Guru, masih banyak hal yang tak kupahami." 　　Sang Guru berkata: "Kau baru akan mengerti ketika bisa sepenuhnya memahami buku ketiga." 　　Ning Que tahu itu pasti bukan hal yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Setelah hening sejenak, ia melepaskan diri dari atmosfer percakapan metafisik malam ini dan kembali ke realitas dunia fana: "Mahasiswa sekarang bisa menyamarkan Qi megah dalam tubuhku sebagai energi alam semesta, tapi tubuh fisik sulit disembunyikan. Jika senjata orang menyentuhku, pastilah aliran Tao Haotian akan melihat keanehan." 　　Sang Guru berkata: "Bukankah kau menyuruh orang menyebarkan kabar bahwa sedang mempelajari jimat dan ilmu bela diri sekaligus?" 　　Ning Que tersenyum malu dan berkata: "Latihan Tao, mana mungkin bisa menipu orang?" 　　Sang Guru berkomentar sinis: "Dalam hal bertapa, selama kau bisa mengalahkan lawan, secara alamiah akan bisa menipu mereka. Jangan biarkan tubuhmu terluka, siapa yang akan tahu keanehan tubuhmu?" 　　Ning Que diam seribu bahasa. Dalam hati ia berpikir: Pertarungan antar praktisi kultivasi penuh perubahan tak terduga dan bahaya maut. Meski kemampuannya telah meningkat, mana mungkin bisa memastikan pedang nasib lawan tidak menyentuh tubuhnya? Bahkan Tao Chi Ye Hongyu pun takkan berani mengklaim hal seperti ini. 　　Sang Guru menatap matanya, setelah hening sejenak berkata: "Sejak adik seperguruanku meninggalkan gua tebing ini, tak ada satu pun yang pernah menyentuh tubuhnya sampai hari kematiannya." 　　…… 　　…… 　　Sang Guru meninggalkan tebing. Sepanjang malam, Ning Que duduk di antara lereng terjal, merenung dan menganalisis semua perkataan Guru. Ia menyusun secara sistematis hasil latihan tiga bulan di gua, mengubah pencapaian spiritual menjadi kekuatan nyata dalam tubuhnya. 　　Saat fajar menyingsing, Sang Sang kembali ke tebing. Setelah membantunya bersuci, mereka mengemas perlengkapan dan menuruni jalan batu sempit yang miring menuju kaki gunung. 　　Sepanjang jalan, tebing terjal tetap megah, jalan batu curam berbahaya, air terjun kecil mengalir ke lautan awan. 　　Beberapa langkah ke timur menyusuri ngarai, terlihat siluet Chen Pipi. 　　Disusul oleh para shixiong dan shijie. 　　Murid lantai atas Akademi hari ini semua datang menyambut adik seperguruan yang baru keluar dari retret. 　　Tang Xiaotang berlari-lari kecil mendekat, melepaskan beberapa barang bawaan dari tubuh Sang Sang, melirik tajam ke Ning Que, lalu menggandeng tangan mungil Sang Sang berjalan di depan. 　　Shixiong pertama memandang Ning Que dengan senyum lembut, berkata: "Kau bekerja keras hari-hari ini." 　　Ning Que mengatupkan tangan dan membungkuk memberi hormat kepada para shixiong dan shijie: "Shixiong dan shijie yang bekerja keras." 　　Kerumunan orang dengan gembira mengerumuninya memberikan ucapan selamat. 　　Shixiong kesebelas memberinya seikat bunga liar, membuat Sang Sang agak tak senang. 　　Shixiong kesembilan dan kesepuluh mulai bermain guqin dan seruling, tertawa puas. 　　Shixiong kelima dan kedelapan menyadari tak bisa melakukan apapun, tak mungkin menarik Ning Que untuk bermain catur saat ini, hanya bisa mengulang kata "selamat" seperti siklus empat bencana yang membosankan. 　　Shixiong keenam memukul-mukul bahunya untuk menghibur, tangan yang biasa menempa besi itu hampir membuatnya muntahkan darah. Shijie ketujuh maju mencubit pipinya dengan sayang, hampir membuatnya berdarah. 　　Shixiong kedua berdiri di kejauhan dengan ekspresi wajah tak enak, menatap pandangan tegang Ning Que namun tetap mengangguk, sudut bibirnya bahkan memaksakan senyuman yang sangat langka. 　　…… 　　…… 　　Hari ini gunung belakang Akademi dipenuhi tawa riang. Di dalam gubuk jerami yang berlubang di empat sisi, aroma nasi dan lauk memenuhi udara. Shijie ketujuh bersama Tang Xiaotang dan Sang Sang sebagai koki utama menyiapkan pesta pora yang sangat mewah. 　　Perjamuan ini diselenggarakan untuk menyambut adik seperguruan Ning Que yang akhirnya berhasil menembus tahapan latihan spiritual, sehingga tidak perlu terkungkung di gua tebing hingga mati mengenaskan. Juga untuk menyambut mentor yang telah selesai berkelana mengelilingi dunia, meskipun sambutan ini terlambat tiga bulan. Alasan utama acara ini adalah Upacara penerimaan murid Ning Que, dimana ia akan resmi menjadi murid Sang Guru. 　　Ning Que bersujud di depan kursi Sang Guru dengan khidmat dan patuh, tanpa sedikitpun kecurangan. Ia mengetukkan kepala tiga kali ke lantai. Sayangnya tubuhnya yang telah dilatih energi megah (Qi megah) terlalu kuat. Tiga ketukan ini membuat bata biru di depannya retak, namun dahinya sama sekali tidak berdarah atau bahkan memar, hanya berdebu. 　　Gagal memanfaatkan kesempatan untuk menunjukkan ketulusannya pada mentor sekaligus menjilat, ia merasa sangat menyesal. 　　Bangkit berdiri, Ning Que menerima segelas teh hangat dari Kak Ketiga. Dengan kedua tangan ia menyerahkannya pada Sang Guru yang meminumnya perlahan. Dengan ini, Upacara penerimaan murid resmi selesai - proses yang terkesan sangat sederhana. 　　Kakak ketujuh datang membawa setumpuk pakaian sambil bertanya, "Adik seperguruan, pilih warnamu." 　　Ning Que tertegun sebentar. Melihat lebih dekat, pakaian yang dibawa sang kakak adalah seragam akademi. Memasuki musim semi, pakaian yang tersedia tentu seragam musim semi. Dibandingkan seragam halaman depan, seragam mahasiswa lantai dua tidak memiliki perbedaan mencolok, hanya menawarkan lebih banyak variasi warna. 　　Dia menatap para shixiong dan shijie di sekitar gubuk jerami, menyadari pilihan mereka terlihat sembarangan. Kak Ketiga masih mengenakan seragam akademi hijau pucat yang longgar, sementara kakak senior hanya memakai jubah tua tanpa seragam akademi. Warna seragam anggota lain beragam, ada yang merah dan abu. 　　Kakak ketujuh melihat keraguannya lalu bercanda: "Memang harus dipikir matang-matang, setelah memilih tak bisa ditukar lagi." 　　Ning Que secara refleks menoleh ke Sang Sang. Sejak meninggalkan Gunung Min dan berhenti menjadi pemburu kulit binatang di Kota Wei, keputusan pakaian mereka selalu di tangan Sang Sang. 　　Sang Sang mengangguk. 　　Ning Que memahami maksudnya: "Shijie, aku mau yang hitam." 　　Kakak ketujuh tersenyum: "Kau yang pertama memilih hitam di gunung belakang. Adik seperguruan memang punya selera. 'Pria tampak gagah dengan pakaian hitam' - prinsip ini tak dipahami orang bodoh." 　　Shixiong kedua di belakang Sang Guru tiba-tiba terlihat sangat serius. 　　Kakak senior menghela napas pelan melihat Ning Que mengenakan seragam hitam. 　　Sang Guru mengelus janggutnya: "Mengapa memilih hitam?" 　　Dengan bantuan Sang Sang mengikat kancing kain, Ning Que menjawab polos: "Hitam tak mudah kotor." 　　Ini jawaban sebenarnya. Mereka tak pernah memikirkan tentang ketampanan. Tuannya dan pelayan lebih mempertimbangkan cara mengurangi frekuensi mencuci untuk menghemat air dan sabun. 　　Kakak senior tertegun. 　　Jari-jari Sang Guru yang sedang mengusap janggutnya terjadi kekakuan sejenak, lalu ia tersenyum dan menggelengkan kepala.