“Inikah semua jurusmu?”
“Kau pikir begini bisa membunuhku?”
“Jurus andalanku belum kukeluarkan, jangan bilang kau sudah menyerah.”
Jerit pilu bergema di atas danau bersalju, Xiahou berjalan menuju sisi selatan Danau Yanming dalam gelapnya malam. Langkahnya tertatih akibat luka di paha, suaranya bergetar, namun pola injakan kakinya tetap mantap, sorot matanya masih sama perkasanya.
Ning Que yang berdiri di tepi jurang menatap sosok Xiahou yang bergerak lambat di atas es danau malam itu. Wajahnya dingin, tapi hatinya risau oleh dinginnya badai salju.
Kotak panah Yuan Shisan Jian telah kosong, ratusan kertas Fu yang dikumpulkan selama dua tahun di vila utara danau telah berubah menjadi air terjun kuning dan badai pelangi. Kendi besi kecil di lumpur dasar danau musim dingin telah habis meledak. Segala jurus andalannya seolah telah dikerahkan, namun tetap gagal membunuh Xiahou, bahkan tak mampu menghentikan langkahnya yang perlahan mendekati sisi selatan.
"Inikah kemampuan pendekar puncak seni bela diri?"
……
……
Kepingan salju yang jatuh di tembok kota mulai menipis.
Kakak senior menatap arah Danau Yanming, kerutan di sudut matanya yang jernih tak bisa menyembunyikan kecemasan. Jubah kapas usangnya bergetar halus, seakan ragu untuk melayang.
Ekspresi Ye Su sedikit kaku. Tak disangkanya pertarungan di Danau Musim Dingin yang Ganas ini memperlihatkan situasi dimana Xiahou justru terdesak sejak awal dan menerima luka parah.
"Aku harus mengakui, Ning Que terus mengejutkanku. Murid terakhir Sang Guru memang bukan orang biasa. Sayangnya, malam ini dia akan menemui ajal."
Dia menatap kakak senior: "Kecuali kau turun tangan."
Kakak senior memahami makna ucapan itu.
Malam ini para ahli berkumpul di Kota Chang'an. Dari akademi, hanya dia dan Jun Mo yang datang untuk menciptakan lingkungan adil bagi Ning Que. Jun Mo bertanggung jawab mengawasi militer Tang, sementara dia mengawasi jenius Gerbang Tao Haotian ini - dengan konsekuensi mereka pun diawasi balik.
Jika dia bertindak, Ye Su pasti akan menyusul.
Entah teringat apa, wajah kakak senior berangsur tenang dan damai.
"Guru sering menyuruhku belajar dari adik seperguruan. Selama ini ku renungkan apa yang harus dipelajari. Sekarang ku pahami, sikapnya menghadapi kesulitanlah yang patut diteladani."
"Dia menatap arah Danau Yanming, berkata: 'Yang paling patut dihormati dari adik seperguruan adalah dirinya sendiri. Dialah langit bagi dirinya, tanpa batas. Saat semua orang di dunia fana menganggapnya tak mampu, dia selalu bisa melangkah lebih jauh, menaiki satu anak tangga lagi. Begitu saat masuk akademi, mendaki akademi tua, maupun saat menapaki jalan setapak gunung masuk lantai atas. Maka malam ini mana mungkin ada kejadian tak terduga?'"
……
……
Di luar kemah Pasukan Yulin, banyak obor menyala terang membingkai jembatan salju bagai pita giok. Pria bermahkota tinggi di atas jembatan itu laksana dewa di atas pita giok.
Seiring badai salju yang berlalu, waktu terus mengalir.
Dari siang hari hingga tengah malam ini, entah berapa lama telah berlalu. Konfrontasi di jembatan salju masih berlangsung.
Shixiong kedua akademi Jun Mo tetap bersila di atas jembatan salju.
Jenderal Besar Penjaga Negara Xu Shi bersama Pasukan Yulin yang perkasa masih berada di bawah jembatan salju.
Jenderal Xu Shi bersandar di pagar bawah jembatan, memandang shixiong kedua yang bersila di atas salju. Dengan batuk menyakitkan, dia berkata: "Tantangan Ning Que terhadap Xiahou, dalam pandanganku, adalah provokasi terhadap harga diri militer Tang. Karena itu aku ingin menghentikan pertarungan ini."
Shixiong kedua menengadah perlahan. Salju tipis di alis dan rambutnya bertebaran. "Bila pertarungan telah dimulai, kata-kata tak lagi diperlukan."
"Benar, sudah tak perlu."
“Xu Shi alisnya berangin, memandangnya dengan amarah yang sulit ditahan berkata: ‘Jadi kau benar-benar ingin Ning Que mati?’”
Shixiong kedua berkata: “Pertarungan sudah dimulai, pasti ada hidup dan mati. Kalian sebagai tentara Tang, masa tidak paham prinsip sederhana ini?”
Setelah jeda sebentar, dengan ekspresi dingin ia berkata: “Lagi pula Xiahou bukan orang hebat, siapa berani bilang adik seperguruanku pasti kalah?”
Di mata Guru Kedua akademi, jenderal besar Tang bernama Xiahou mungkin memang bukan lawan yang mengerikan. Tapi sekarang yang bertarung melawan Xiahou adalah Ning Que.
Xu Shi berpikir demikian, lalu dengan wajah datar berkata: “Dunia fana tidak punya keajaiban.”
Shixiong kedua menatapnya serius: “Akademi adalah tempat menciptakan keajaiban.”
……
……
“Jika persiapan lima belas tahun masih tidak bisa membunuh orang ini, maka sisanya hanya bergantung pada Tian Ming. Tapi Guru pernah bilang, di dunia ini tidak ada Tian Ming.”
Ning Que berdiri di tebing gunung sambil berpikir begitu. Ia menengadah ke langit, lalu menunduk melihat orang yang berjalan di danau salju, alisnya perlahan terangkat: “Kita benar-benar... bisa berhasil?”
Setelah kotak panah kosong, Sang Sang membuka mata. Ia memegang payung Da Hei, menatap mata Ning Que, mengangguk kuat-kuat: “Karena kita harus berhasil.”
Ning Que tersenyum, berpikir memang begitu. Entah dunia punya Tian Ming atau tidak, entah dirinya bisa berhasil atau tidak, dia harus berhasil. Maka selain keberhasilan, tidak perlu pikirkan hal lain.
Dia menatap sosok otoriter di Danau Salju, berkata: "Kau hanya punya tinju lemah dan setengah tubuh uzur. Aku masih punya pisau tajam. Apa hakku untuk tidak bisa membunuhmu?"
Di Danau Salju, tubuh Xiahou mendadak beku sejenak.
Dalam sekejap kebekuan itu, Ning Que mengulurkan tangan kanannya. Di tengah hembusan angin dingin, jarinya merasakan tekstur rumput Harong yang familiar, lalu menggenggam erat hulu pedang.
Gemerincing! Pisau tajam tercabut dari sarungnya.
Sejak bertahun-tahun lalu untuk menghadapi kelompok tiga assassin di bawah Xiahou, Ning Que terbiasa membawa tiga pisau. Kini dia hanya perlu fokus pada Xiahou sendiri. Maka dia meminta Shixiong keenam dari Akademi menyatukan tiga pisau itu menjadi satu.
Pisau ini ramping namun amat berat. Garisnya lincah tapi tak indah. Mata pedangnya tak berkilau, polos saja - benar-benar senjata pembunuh sejati.
Ning Que memegang pisau satu tangan, melesat menuruni tebing.
Tebing yang curam. Kecepatannya semakin meningkat, hampir berubah menjadi bayangan hitam.
Di belakang bayangan hitam itu, terseret bayangan tipis mata pedang.
Entah mengapa, Ning Que bersikeras tidak mengukir garis jimat pada pisau ini. Biarkan ia tetap polos dan sederhana.
Mungkin karena dia ingin menggunakan teknik pedang yang paling dasar.
Karena ia yakin, yang paling sederhana adalah yang paling kuat.
Seperti saat ini saat ia menerjang turun dari tebing, menghujamkan pedangnya ke arah pria perkasa di atas Danau Salju.
Padahal jarak antara dia dan Xiahou masih lebih dari seratus zhang.
Tapi kecenderungan pedangnya sudah muncul lebih dulu.
Langsung menerjang, lalu menyambar horizontal, mengangkat miring, terakhir menebas ke bawah.
Ning Que memang berniat melakukan ini.
Ia tahu Xiahou bisa membaca persiapannya.
Ia penasaran bagaimana Xiahou akan menanggapinya.
Jika Xiahou benar-benar menangkis tebasan ini, maka itulah kesempatan yang ditunggunya.
……
……
Xiahou tidak memilih menahan tebasan Ning Que yang telah lama dikumpulkan energinya. Ia juga tidak membalas dengan tinju besi seperti biasanya, apalagi berteriak mengguntur lalu melumpuhkan dua ahli Pemahaman Mendalam menjadi idiot seperti saat menghadapi assassin Yan di kemah militer.
Karena ia pernah terluka di tangan Tang, baju zirahnya ditembus pisau darah Iblis Zong. Di tubuhnya masih tersembunyi banyak jurus pukulan Tang. Kondisinya tidak berada di puncak, dan sebelumnya ia juga terluka cukup parah oleh badai jimat serta serangan panah-bunga Ning Que.
Xiahou juga tidak menghindari mata pedang. Sebagai pendekar puncak seni bela diri, keahlian utamanya adalah pertarungan jarak dekat. Mana mungkin ia gentar menghadapi kecenderungan pedang yang sederhana namun kuat ini?
Sebelumnya ia menyebut masih menyimpan senjata pamungkas.
Kini akhirnya ia menggunakannya.
Dia berdiri di atas Danau Salju, menutup mata, kedua tangannya yang masih berdarah terentang ke dalam angin malam yang dingin. Kekuatan pikiran dari lautan kesadaran memancar melalui Gunung Salju dan Lautan Qi, seketika menyatu dengan energi alam semesta di sekitar Danau Yanming. Benang-benang energi yang dirajut menjadi tali itu melesat melintasi beberapa li dalam sekejap, mendarat di suatu tempat di tepi utara.
Di luar pintu gerbang pekarangan tepi utara Danau Yanming, berdiri tegak bendera militer berwarna darah.
Itulah bendera komandan Xiahou.
Bendera militer yang berkibar perlahan dalam angin malam tiba-tiba menjadi tegang bagai mendengar perintah, menggelepar liar di depan pintu gerbang seperti monster yang ingin melepaskan diri dari rantai besi untuk bertarung di medan perang!
Sebelum Xiahou memasuki pekarangan, bendera itu ditancapkan dalam ke tanah batu. Di samping tiang bendera yang bergetar tak karuan kini terdapat beberapa retakan batu yang tiba-tiba membesar dan menjalar ke segala penjuru, membentuk pola seperti jaring laba-laba.
Dentuman pecahan batu bergema saat tanah di bawah tiang bendera remuk. Bendera berwarna darah itu melepaskan diri dari belenggu bumi, melesat ke angkasa sambil meraung-raung menuju Danau Yanming.
Badai dahsyat menerjang depan pekarangan.
Ranting-ranting bendera yang tercabik badai berjatuhan bagai salju darah.
Dari balik awan malam yang menggantung rendah di atas danau, terdengar dengungan mengerikan disertai bayangan hitam samar.
Seolah ada orang suci yang mengendarai pedang terbang di antara awan.
……
……
Ning Que sama sekali tidak tahu bahwa di depan pekarangan rumahnya telah terjadi adegan aneh dan mengerikan, apalagi mengetahui bendera militer berwarna darah itu telah hancur berkeping-keping, hanya menyisakan tiang bendera yang menderu di awan.
Saat ini ia sedang berlari kencang di tebing, matanya hanya tertuju pada siluet Xiahou yang berjarak seratus zhang. Namun tiba-tiba, di kedalaman hatinya timbul sedikit peringatan bahaya, serpihan di dasar laut kesadarannya tiba-tiba berpendar terang.
Dalam sekejap, kaki kanannya menginjak kuat tonjolan batu di tebing, meminjam kekuatan untuk memutar tubuhnya di udara dengan paksa menghadap arah awan malam. Qi megah dalam tubuhnya membanjiri kedua lengannya, mengayunkan pisau tajam yang berat dan kokoh di depannya membentuk jaring bunga pisau rapat. Di mana bilah pisau itu menyambar, batu-batu tebing beterbangan!
Awan malam di atas danau tiba-tiba kacau balau. Bayangan hitam berbentuk tongkat menembus awan, dalam sekejap sampai di tepi jurang, dengan sikap arogan tak kenal kompromi, menusuk keras ke dalam jaring bunga pisau di hadapannya.
Gemuruh keras terdengar.
Ning Que merasakan kekuatan dahsyat yang tak tertahankan merambat dari pisau tajam ke tubuhnya.
Tubuhnya yang masih di udara tiba-tiba mendapat pukulan berat, langsung terhempas ke bawah dengan cepat, lalu menghantam keras ke dalam danau salju di bawah tebing, menyemburkan gelombang salju setinggi langit.
Ning Que bangkit dari tumpukan salju, mengusap darah di sudut bibirnya. Tatapannya tertuju pada tongkat hitam pekat yang kini digenggam Xiahou, peringatan bahaya yang amat kuat bergemuruh di hatinya.
Xiahou menatapnya, matanya perlahan menyempit seolah menemukan sesuatu yang sangat aneh.
Ning Que bertanya, "Apa ini?"
Xiahou berkata, "Tombak."
Bendera militer berwarna darah hanya tersisa tiangnya.
Tiang bendera itulah tombak.
