Suara belum habis, Chen Pipi sudah masuk. Tampak dia lebih kurus dari biasanya, tapi orang gemuk sekurus apapun tetaplah gemuk, apalagi dibandingkan dengan Tang Xiaotang di sampingnya.
Cui Xiu mendengar ucapan itu, tubuhnya kaku sejenak. Saat hendak mengucapkan basa-basi lalu pergi, Chen Pipi sudah mencengkeram kerah bajunya siap menghardik: "Pergi!"
Cui Xiu terkejut. Tapi kemudian dia sadari hal aneh: tenaga di lehernya tak seberapa, sementara muka si gemuk sudah merah padahal jelas sudah mengerahkan seluruh tenaga.
Ternyata cuma pelajar tak berdaya? Pasti bukan dari lantai dua legenda itu, paling banter mahasiswa biasa akademi. Sebagai tokoh Klan Cui dari Kabupaten Qinghe, mana mungkin takut pada mahasiswa biasa? Mengingat kengeriannya tadi, rasa malunya berubah jadi amarah: "Berani-beraninya! Tangkap dia!"
Pintu gerbang Kediaman Sarjana yang masih terbuka memungkinkan para pelayan Klan Cui di luar langsung menerobos masuk setelah mendengar teriakan tuannya.
Chen Pipi malu tak bisa menggeser lawan. Dengan canggung melepaskan cengkeraman, dia menoleh ke Tang Xiaotang: "Aku tak sudi berurusan dengan mereka."
Tang Xiaotang menghela napas, berbalik menghadapi para pengawas dan pelayan yang penuh amarah. Sambil menggulung lengan bajunya, ia berkata: "Apakah semua pekerjaan kasar nanti harus kulakukan sendiri?"
Suara dentangan keras bergema di pekarangan. Para pengawas Klan Cui dan pelayan yang menerobos Kediaman Sarjana sama sekali tak sempat bereaksi sebelum akhirnya tersungkur di tanah, merintih kesakitan.
Target Gadis Sekte Iblis adalah menjadi perempuan terkuat di dunia fana. Menghajar para pengawas ini sama sekali tak butuh tenaga ekstra - gerakannya begitu cekatan bahkan terkesan elegan.
Cui Xiu memandangi pengawalnya yang patah kaki dan berlumuran darah. Wajahnya berubah pucat. Sadar situasi memburuk, ia hendak memperkenalkan identitasnya. Tapi Tang Xiaotang lebih cepat bertindak. Menjambak leher Cui Xiu seperti mencabut ayam, ia melemparkan tubuhnya melampaui tembok kediaman.
Tubuh Cui Xiu melayang di atas tembok, lalu menghunjam tanah. Suara krak! terdengar jelas - entah kaki mana yang patah. Rasa sakitnya begitu hebat hingga nyaris membuatnya pingsan.
Tang Xiaotang kemudian membersihkan seluruh penyusup. Tapi berbeda dengan Cui Xiu, para pelayan itu tidak dilempar. Dengan tendangan sekuat menendang batu, satu per satu mereka terpental keluar pagar. Udara berdesir, jerit kesakitan bergema, diselingi dentuman tubuh menghantam tanah.
“Chen Pipi memandangi Tang Xiaotang yang menendang orang layaknya batu terbang, rasa irinya sampai memuncak. Dia hampir ingin mengubah jalur latihannya ke teknik Iblis Zong, namun juga merasa takut akan kehidupan masa depan. Perasaannya campur aduk tak karuan.”
“Zeng Jing dan suaminya melihat adegan ini sambil terus menggelengkan kepala dengan senyum getir. Mereka tahu putri dan menantu mereka Ning Que bergaul dengan orang-orang luar biasa, tapi tak menyangka gadis kecil yang tampak lugu ini punya tenaga sehebat itu, dan caranya bertindak begitu tegas.”
“Guru Kedua Belas, setahun terakhir ini kami sangat berterima kasih atas perawatan Anda.”
Zeng Jing berkata penuh rasa terima kasih kepada Chen Pipi.
Saat itu Chen Pipi sedang merasa diri tak pantas. Mendengar perkataan Zeng Jing, mana berani dia bersikap sok seperti biasa. Tangannya dikibaskan cepat: “Dulu saat Ning Que di padang gurun, saya yang bertugas mengawasi Sang Sang. Kini mereka berdua entah ke mana, tentu Bapak-Ibu juga jadi tanggung jawab saya. Hanya saja saya sebentar lagi akan meninggalkan Chang'an, jadi saya bawa... keponakan seperguruan saya ke sini. Untuk urusan rumah tangga ke depannya, dialah yang akan mengurus. Seperti yang Bapak lihat, dia jauh lebih hebat dari saya. Lagipula hubungannya dengan Sang Sang sangat akrab, tak perlu sungkan.”
Zeng Jing agak heran. Dalam hatinya berpikir, jarang sekali ahli dari lantai atas Akademi turun gunung. Kenapa Guru Kedua Belas malah hendak pergi jauh? Beberapa kali dia menanyakan, tapi Chen Pipi hanya menjawab sekenanya tanpa semangat menjelaskan detail.
……
……
Orang-orang Klan Cui dari Kabupaten Qinghe ditolak keluar dari Kediaman Sarjana oleh Tang Xiaotang. Secara logika seharusnya mereka saling menopang atau naik gerbong kereta untuk segera pergi mengobati luka. Namun metode Tang Xiaotang tidak sesederhana itu - beberapa pengawal yang terkenal gagah berani pun mencoba berkali-kali namun tak bisa berdiri, wajah mereka pucat pasi menahan kesakitan.
Kediaman Sarjana terletak di kawasan elite utara kota. Jalan-jalan di sekitarnya dihuni pejabat tinggi dan bangsawan kerajaan yang biasanya sunyi dan khidmat. Tiba-tiba muncul belasan orang terluka yang menjerit-jerit di jalanan, langsung mengundang perhatian banyak orang. Beberapa segera melaporkan ke Pemerintah Kota Chang'an agar dikirim petugas untuk memeriksa kejadian ini.
Untuk perkelahian jalanan biasa, kantor walikota paling hanya mengirim seorang kepala regu. Tapi mendengar ini terkait Kediaman Sarjana Universitas, alis mata segitiga Shangguan Yangyu langsung berkerenyit.
Sebagai Walikota Chang'an, dia sangat paham siapa penghuni kediaman itu - seorang Sarjana Universitas Paviliun Wenyuan yang terhormat. Meski sudah mengundurkan diri enam bulan lalu, tetap bukan orang yang bisa diremehkannya. Akhirnya terpaksa datang sendiri.
Di depan Kediaman Sarjana, mengetahui yang terluka adalah orang Klan Cui dari Qinghe, Shangguan Yangyu langsung menyesal. Dalam hati berpikir: "Seandainya tahu akan begini, lebih baik aku pura-pura sakit berat atau kabur dengan alasan ibu meninggal! Daripada sekarang terjepit antara marga besar Qinghe dan Duta Besar Akademi Zeng Jing seperti ini!"
Posisi Walikota Chang'an sangat krusial sekaligus sulit. Shangguan Yangyu bisa duduk tegak selama bertahun-tahun sambil mengumpulkan perak dengan licik, mengandalkan prinsip "licik" dan "bermain lumpur encer". Melihat tak bisa kabur, matanya berkedip mencari cara merajut lumpur hari ini. Ia menyuruh bawahan mengantar Cui Xiu ke kereta kuda untuk berobat, lalu bersiap menghadap Duta Besar Akademi untuk mengemis belas kasihan.
Kebetulan Zeng Jing sedang mengantar Chen Pipi dan Tang Xiaotang keluar kediaman. Kedua pihak bertemu di pintu gerbang. Shangguan menatap pria gemuk dengan alis indah itu, tiba-tiba dadanya menggigil mengingat kasus persembunyian buronan pelayan Toko Kuas Tua yang diadili dua tahun lalu.
Kala itu, Shangguan pertama pura-pura sakit, lalu memukul kepalanya sendiri dengan tongkat sampai pingsan demi lolos dari kasus itu. Lama setelahnya, barulah ia tahu pelayan Guru ke-13 Akademi itu ternyata putri Zeng Jing yang terpisah. Yang membawa pelayan itu di hadapan pejabat Tian Shu Zhuge Wuren dan Wang Jinglue di kediaman resmi, adalah seorang pria gemuk dari Akademi...
Shangguan Yangyu menggigil kedinginan, bersyukur belum sempat bermain lumpur. Ia membungkuk hormat pada Akademisi Zeng Jing, lalu berbalik dengan gerakan cepat sambil membentak bawahan: "Apa kalian beku di situ? Cepat bawa para penjahat ini kembali!"
Petugas hukum di kantor pemerintahan langsung terdiam, dalam hati bertanya-tanya kapan sang atasan mereka pernah seberani ini menegakkan keadilan? Meski sarjana istana bukan lawan sepele, tapi di sisi ini ada Klan Cui dari Kabupaten Qinghe, sikap Anda sebelumnya sangatlah lunak.
Meski dalam hati menggerutu, mana mungkin tidak menuruti perintah atasan. Seorang petugas segera maju, menarik Cui Xiu dari gerbong kereta, mengeluarkan belenggu besi dan bersiap memborgolnya.
Cui Xiu ternganga takjub, dalam hati berpikir: Setelah sebelumnya mengungkap identitas, sikap Tuan Bupati sangatlah ramah. Mengapa tiba-tiba berganti ekspresi?
Chen Pipi yang tampak tulus itu sebenarnya memiliki hati secerdik kristal. Mana mungkin tidak memahami maksud Shangguan Yangyu? Ia mengangguk puas, berkata: "Tahan semua orang ini. Sampai aku kembali ke Chang'an, jangan dilepaskan."
Tang Xiaotang meliriknya, dalam hati bertanya: Perjalananmu kali ini mungkin memakan waktu dua tiga tahun. Apakah Pemerintah Kota Chang'an harus memenjarakan mereka selama itu?
Cui Xiu kini sadar betul sedang berhadapan dengan orang penting. Sangat mungkin pria ini adalah seorang Guru dari lantai dua Akademi. Tak ingin dipermalukan, ia buru-buru berkata: "Ini salah paham! Guru pasti tidak tahu bahwa aku adalah..."
Dalam hatinya, meski lawannya berasal dari lantai dua Akademi, dengan mengungkap garis keturunannya di depan umum, tentu mereka takkan berani menghina marga besar Kabupaten Qinghe yang mewarisi ribuan tahun sejarah.
Namun mana sangka, Chen Pipi bahkan malas mendengar, melambaikan tangan berkata: "Adik seperguruan pernah bilang dalam surat, Kabupaten Qinghe penuh orang idiot, apa aku harus peduli sama kalian?"
Cui Xiu merasa dadanya sesak, rasa sakit di kakinya tiba-tiba bertambah parah, wajahnya pucat.
Shangguan Yangyu berdiri di samping Chen Pipi, membelai tiga helai janggutnya sambil berkata dengan enggan: "Hukum Tang keras tak bisa dilanggar, Akademi mana bisa pengecualian? Pemerintah Kota Chang'an juga tak bisa sembarangan menahan orang."
Chen Pipi tahu lawannya orang pintar, tapi tak punya waktu untuk berdebat, berkata: "Menembus pintu gerbang, berniat membunuh pejabat kekaisaran, ambil saja pasal hukum mana pun, jangan bilang kau tidak bisa."
Shangguan Yangyu hampir mencabut janggutnya sendiri, menghela napas getir: "Kalau dirinci begini, mungkin ada belasan pasal yang cocok, tapi enting mana yang dipakai?"
Chen Pipi bertanya: "Hukuman mana yang berat?"
Shangguan Yangyu meski licik dan keji, tapi memang punya keahlian. Dengan enteng ia menjawab: "Mencoba membunuh pejabat meski gagal, bisa dipenggal atau dihukum buang 3000 li. Kalau masuk kategori perampok masuk rumah, hukuman terberat kerja paksa di tambang 3 tahun. Kalau pakai pasal fitnah..."
Chen Pipi mendengar "kerja paksa di tambang 3 tahun", matanya berbinar: "Ini bagus."
Shangguan Yangyu pasrah berkata: "Tapi Kediaman Sarjana Universitas bukan rumah biasa."
“Duta Besar Akademi Zeng Jing yang sejak tadi diam membisu di samping, menatap Cui Xiu yang duduk pucat di tanah sebelah kereta kuda, rasa puas mulai menggelora di hatinya meski ekspresinya tetap datar. Tiba-tiba ia berkata, "Aku sudah mengundurkan diri dari jabatan, otomatis kini statusku sama dengan rakyat biasa."”
“Ekspresi Shangguan Yangyu tetap tenang, namun gejolak dahsyat bergolak di dalam hatinya. Dalam hati ia bergumam, 'Duta Besar yang terkenal sederhana dan lembut ini, ternyata satu kalimat santainya bisa menusuk pinggang lawan bak pisau. Sungguh luar biasa! Rupanya aku masih kurang licik dan kejam, bertindak terlalu kaku. Jika ingin terus menanjak, harus banyak belajar dari para senior seperti ini...'”
“Sementara Tuan Bupati tengah mempelajari ilmu politik, Cui Xiu langsung paham bahwa ketiga orang di depan gerbang ini hanya dengan beberapa kalimat santai telah menjatuhkan hukuman berat pada kelompoknya. Wajahnya semakin pucat. Ia sadar statusnya mustahil benar-benar dikirim ke tambang, tapi para pengawalnya mungkin takkan luput dari nasib malang ini.”
“BAB 109 Pergi dan Kembali”
“Di selatan Kota Chang'an, angin musim gugur yang kejam menerpa, hanya sedikit pengelana yang terlihat. Sinar matahari menembus awan, jernih bagai air tanpa kehangatan. Di paviliun pinggir jalan, dua orang sedang berpamitan: Chen Pipi dan Tang Xiaotang.”
“Entah Ning Que hilang atau sudah meninggal, yang jelas akademi kini kehilangan wakil di dunia fana. Situasi genting ini menuntut akademi menunjukkan kuku besi. Kabupaten Qinghe mengirimkan para idiotnya sendiri, mana mungkin tidak kita manfaatkan. Selainmu yang tak terhitung, aku yang paling junior ini ingin berbuat sesuatu sebelum perpisahan.”
“Kau juga tahu situasi sekarang genting, meski akademi tidak takut, kami juga tak ingin dunia fana kacau. Di saat seperti ini, mengapa kau bersikeras pergi?”
Chen Pipi menatap wajah lugu gadis itu, berkata: “Hal antara kita tetap perlu persetujuan orang tua. Aku ingin tahu sikap ayah tentang ini.”
Tang Xiaotang yang tahu ayah Chen Pipi adalah Sang legendaris, perasaannya campur aduk. Tapi kini sudah tenang, bertanya: “Jika ayahmu tidak setuju?”
Putra Guru Utama Kuil Penjagaan ingin menikahi gadis Iblis Zong. Bagaimanapun diliat, akhirnya akan berujung pada jalan usang berdarah atau racun seperti si Anu dan si Itu.
Chen Pipi berkata: “Aku tanya pendapatnya sebagai anak yang menghormati ayah. Karena mentor tidak melarang kita bersama, setuju atau tidaknya tidak penting. Jika dia menolak, aku akan kembali. Masak dia bisa mengurungku? Apa dia mau dipukul tongkat mentor lagi?”
Tang Xiaotang tersenyum: “Ada-bisanya orang mengejek ayah sendiri begini?”
Chen Pipi tersenyum lebar: “Bukannya ada satu di hadapanmu?”
Tang Xiaotang bertanya lagi: “Kau langsung ke Nanhai, atau mampir ke Kuil Penjagaan dulu?”
Ekspresi Chen Pipi berubah serius, senyumannya menghilang. "Aku akan pergi ke Kuil Penjagaan terlebih dahulu, lalu mencari kesempatan ke Kuil Suci Xiling. Ingin kuselidiki kebenaran peristiwa di Kuil Ranke tahun lalu. Tampaknya Kuil Xiling berencana mengungkap identitas Sang Sang. Jika hal ini benar-benar terjadi, Ning Que dan Sang Sang akan terus diburu meski muncul kembali di dunia fana. Aku ingin mencoba menunda waktu sebisa mungkin."
Tang Xiaotang mengangguk, "Kapan kau kembali?"
Langit tiba-tiba gelap. Angin dingin berhembus membawa titik-titik hujan. Chen Pipi menatap rintikan hujan musim gugur di luar paviliun, "Aku akan kembali sebelum hujan pertama musim semi tahun depan."
Tang Xiaotang berkata, "Hati-hati di perjalanan."
Chen Pipi menambahkan, "Jika Ning Que kembali, beritahu aku."
"Bagaimana cara memberitahumu?" tanya Tang Xiaotang.
"Hubungi Kuil Gerbang Selatan. Mereka memiliki jaringan komunikasi tercepat dengan aliran Tao," jawab Chen Pipi.
Tang Xiaotang mengangguk lagi, "Kalau begitu, berhati-hatilah."
Chen Pipi berbalik hendak masuk ke hujan, tiba-tiba kembali lagi.
Tang Xiaotang tertawa, "Apa kau takut kehujanan sampai sakit?"
Dengan wajah serius Chen Pipi menjawab, "Hujan takkan membuatku sakit, tapi rindu yang bisa membuatku jatuh sakit."
Wajah Tang Xiaotang memerah. Refleks, tangannya mulai menggulung lengan bajunya.
Chen Pipi kaget, "Kau mengucapkan 'hati-hati' dua kali. Apa kau sangat ingin aku pergi?"
Tang Xiaotang menggigit bibir bawahnya, tidak mau bicara.
Chen Pipi awalnya hendak pergi, namun rasa ketidakrelaan menguasainya. Dengan keberanian terkumpul, ia mendekat dan memeluk gadis itu erat-erat.
Gadis itu dalam pelukannya, namun tak ada rasa bangga atau kepuasan di hatinya. Dengan waspada, matanya mengawasi kedua tangan sang gadis. Meski tangan gadis itu mengepal kencang dan bergetar halus, tak ada tanda-tanda serangan. Perlahan ia tenang, lalu memeluknya lebih erat sambil menundukkan kepala.
Tak terasa berapa lama, dua bayangan di paviliun Li Ting perlahan berpisah.
Chen Pipi berjalan heroik memasuki hujan, tak menoleh sambil melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.
Di dalam Li Ting, Tang Xiaotang melihat punggung lebar yang menjauh. Tangan kecilnya melambai pelan, pipi masih memerah.
Angin musim gugur berhembus kencang. Rambut acak-acakannya dan gejolak hatinya - entah karena ulah angin yang usil, ataukah si pemilik punggung lebar tadi?
……
……
Ada yang meninggalkan Chang'an, tentu ada pula yang kembali.
Tak lama setelah Chen Pipi dan Tang Xiaotang berpisah di Li Ting, sepasang suami istri dengan payung kertas hijau memasuki paviliun di tengah rintik hujan musim gugur.
Sang istri adalah gadis cantik beraura lembut. Tatapannya pada benteng megah Chang'an yang samar-samar tertutup hujan memancarkan kekaguman. "Tinggi sekali," bisiknya.
Suaminya, pria paruh baya, hanya tersenyum mendengar ucapan itu.
Pria ini mengenakan jubah hijau, ekspresinya lembut, wajahnya anggun. Setiap gerak-geriknya memancarkan kharisma yang natural. Jika bukan karena punggungnya yang menggendong seorang bocah perempuan, entah berapa banyak gadis di Kota Chang'an yang akan terpesona.
Bocah perempuan itu berusia sekitar dua tahun. Tangannya yang mungil mencengkeram erat pakaian pria paruh baya itu. Ia berusaha mengangkat kepala melihat tembok kota di kejauhan. Matanya yang jernih bagai dilukis tinta, berputar-putar lincah penuh vitalitas.
Hujan musim gugur reda. Pria paruh baya itu membawa istrinya, menggendong putrinya, sambil membawa barang bawaan sederhana keluar dari paviliun. Mereka menuju Pintu Gerbang Selatan Kota Chang'an. Langkahnya semakin ringan meski ritme geraknya tak berubah.
Area Pintu Gerbang Selatan sunyi, tapi tidak sepi.
Sebaliknya, hari ini gerbang dipenuhi kerumunan: perwira berbaju zirah, pejabat berjubah resmi, ratusan preman berbaju hijau yang beraura jahat, bahkan seorang kasim kekaisaran.
Melihat kerumunan di gerbang, pria itu tak menghentikan langkah. Hanya menggeleng pasrah. Istrinya yang berasal dari desa—meski pernah dua tahun tinggal di ibu kota Negara Dahe—tak pernah menyaksikan situasi segenting ini. Dengan reflek ia mencengkeram lengan baju suaminya, wajahnya memancarkan kecemasan.
Menatap keluarga tiga orang yang berjalan mendekati pintu gerbang, kerumunan mulai gempar, bahkan mata beberapa pria berbaju hijau berkaca-kaca. Seorang pria berbaju seragam Komandan Batalyon Kavaleri Xiaogi memimpin memberi hormat, diikuti oleh ribuan orang yang bersujud. Hanya saja teriakan mereka berbeda-beda.
"Selamat datang Ketua Gang!"
"Hormat kepada Kakak!"
"Kakak Kedua Chao!"
"Guru Paviliun Angin Semi, segeralah ikut hamba masuk istana! Kaisar sudah gelisah menanti!"
……
……
Keluarga tiga orang yang kembali ke Chang'an dalam hujan musim gugur tak lain adalah Chao Xiaoshu dari Paviliun Angin Semi beserta istri dan putrinya. Sebenarnya musim gugur lalu ia sudah merencanakan pulang, namun karena putrinya Labu Kecil tiba-tiba sakit parah hingga dokter melarang perjalanan jauh, kepulangan pun ditunda sampai musim gugur ini.
Chao Xiaoshu tidak ikut Lin Gonggong ke istana. Setelah bertemu para saudara, ia langsung menuju Gang Heng II Paviliun Angin Semi di kawasan timur. Mengingat bakti kepada orang tua adalah prioritas, Lin Gonggong hanya bisa mengelus dada menyesali sikap tidak hormat sang Kaisar.
Rombongan memasuki rumah tua Paviliun Angin Semi. Kakek Chao sama sekali malas berbicara dengan anak durhaka ini. Dengan cucu perempuan digendongnya, ia tersenyum lebar menuju taman belakang untuk memetik buah musim gugur. Sementara Lin Zi, istri Chao Xiaoshu, yang masih terpana oleh serangkaian kejutan hari ini, sudah dibawa beberapa wanita ke bagian dalam rumah.
Memandangi para saudara di ruangan, Chao Xiaoshu menemukan semua orang dalam beberapa tahun terakhir tak mengalami penderitaan maupun musibah. Hatinya terasa terhibur. Selepas berpisah lama, wajar jika cawan arak saling bersentuhan, suasana sangat meriah. Namun ia menyadari, di meja itu ada seorang yang tampak hening, dan orang itu tak lain adalah Chen Qi, penasihat paling diandalkan semua orang.
Chao Xiaoshu paham bahwa keheningan Chen Qi biasanya mewakili hal-hal pelik. Tapi malam ini ia tak berencana membahas hal-hal tersebut, bahkan sama sekali tak ingin mengangkat topik itu.
Dengan tenang ia menatap cawan arak di tangannya, tiba-tiba bertanya: "Toko Kuas Tua masih ada?"
Begitu kata-kata ini meluncur, suasana meja makan mendadak hening tak wajar. Chang San dan lain-lain menatap Chen Qi. Tuan Qi Si menggelengkan kepala, seolah memiliki pandangan berbeda tentang beberapa hal.
Chen Qi tahu pertanyaan ini ditujukan padanya. Dengan memutar pelan cawan arak, ia berkata: "Semua kontrak sewa rumah di Gang Lin 47 sudah habis masa berlakunya. Mengambil kembali semuanya pun tak akan mencolok mata."
Chao Xiaoshu berkata tenang: "Toko lain tak kupedulikan. Toko Kuas Tua kusewakan padanya. Selama ia belum kembali, tetap akan kusewakan. Jangan ada yang berniat mengambilnya kembali."
Tuan Qi Si akhirnya mendapat kesempatan menyela: "Dividen dari Arena Judi Kawasan Barat terus dihitung. Pokok dan bunganya disimpan untuk Guru ke-13. Vila di Danau Yanming juga selalu ada saudara yang menjaga."
Chao Xiaoshu mengangguk pelan.
“Chen Qi meletakkan cawan arak di tangannya, menatap Chao Xiaoshu berkata: 'Jika kabar angin itu benar... Kenyataannya sekarang ada sembilan puluh persen keyakinan kabar itu benar, sementara belum ada yang memperhatikan, pemisahan yang perlu dilakukan tetap harus dilakukan. Kami tidak berhutang pada Ning Que, tak ada alasan untuk menyeret semua orang karena dia.'”
“Lao Qi, kau selalu yang paling cerdas di antara kami para saudara. Baik itu kasus hukum dengan Departemen Keuangan dulu maupun persaingan dengan Kementerian Pertahanan, semua mengandalkan strategimu. Bahkan Kaisar sangat mengagumimu. Jika bukan karena catatan kriminal masa lalu, mungkin kau sudah lama masuk Kementerian Pertahanan. Pikiranmu tidak salah, nasihat bijaksanamu selalu masuk akal di segala waktu dan tempat.”
Chao Xiaoshu mengangkat cawan araknya, menghormati Chen Qi, lalu meminumnya perlahan hingga habis.
Chen Qi menghela napas pelan. Dia sangat paham watak Kakak Kedua Chao. Begitu mulai berbicara seperti ini, artinya tak ada lagi ruang untuk bernegosiasi. Diambilnya cawan arak dan diminum habis, terasa getir di lidah.
Seperti diduga, Chao Xiaoshu melanjutkan: “Tapi Gang Lin 47 bukan aset bersama geng, itu properti pribadiku. Jadi untuk sementara aku masih ingin mempertahankan status quo.”
Chen Qi menatap kakak yang paling dihormatinya, masih tak rela. Dengan cemas dia berkata: “Perkara ini terlalu besar. Jangankan Gang Naga Ikan kami, bahkan pemerintah dan akademi pun takkan mampu menahannya.”
"Chao Xiaoshu meletakkan cawan arak, berkata dengan tenang: 'Beberapa hal di dunia fana tidak ada hubungannya dengan kemampuan menopang, hanya perlu dilihat apakah pantas ditopang. Dulu di malam hujan musim semi, aku mengundang Ning Que di depan Toko Kuas Tua untuk pergi bersama ke Paviliun Angin Semi membunuh orang. Dia tidak bertanya siapa diriku, maka sekarang aku pun tak ingin mempedulikan siapa sebenarnya dia.'"
……
……
"Ning Que dan Sang Sang telah menghilang selama setahun penuh. Tak ada yang tahu ke mana mereka pergi, seolah lenyap begitu saja. Secara prinsip, keduanya pasti sudah mati. Walikota Chang'an pun telah mengeluarkan surat kematian resmi. Namun kenyataannya, banyak yang masih percaya mereka hidup."
"Sebagian tak percaya kematian Ning Que dan Sang Sang karena mayat mereka tidak ditemukan di Kuil Rotten Ke. Sebagian lain karena tak rela menerima kematian mereka. Tapi apapun alasannya, orang-orang tak bisa menemukan atau bahkan menebak di mana mereka berada jika memang masih hidup."
"Bahkan Sang Guru pun tak tahu keberadaan Ning Que dan Sang Sang jika mereka masih hidup."
"Di tebing terbalik gunung belakang akademi, Sang Guru sedang menikmati krisan, kepiting, dan arak kuning. Meski bunga krisan itu tumbuh di pedalaman selatan Kota Chang'an, pandangannya tetap jelas membedakan setiap kelopak."
"'Jika papan catur itu adalah dunia lain, dimensi paralel, maka kehancurannya akan membawa kebinasaan Ning Que dan Sang Sang. Jika Qinian saat itu berhasil mempercepat aliran waktu dalam catur, maka satu tahun di dunia kita mungkin telah menjadi tiga kehidupan bagi dua anak malang itu dalam catur.'"
Sang Guru mengangkat botol arak kecil yang masih hangat, mendekatkannya ke bibir dan menyesap perlahan. *Plak-plak* suaranya bergema. "Apapun jenisnya, sepertinya bukan akhir yang baik. Kabar baiknya, aku tak percaya ada yang bisa menghancurkan papan catur itu. Itu adalah warisan Buddha untuk biarawan Kuil Gantung sebagai alat penyelamat nyawa. Juga tak kukira biksu kecil Qinian mampu mengendalikan aliran waktu di dunia papan catur sampai-sampai bisa membaliknya. Jadi mereka mungkin masih hidup, dan belum lama berada di dalam. Tinggal menunggu kapan bisa keluar."
Jun Mo bersujud di samping mentornya, sibuk membedah kepiting dengan peralatan rumit. "Menurut kabar dari penggila tulisan ke Gunung Qi, hanya Anda yang bisa membuka papan catur itu. Masalahnya, kami bahkan tak tahu dimana papan catur itu sekarang."
Sang Guru berkata: "Papan catur ada di dalam papan catur itu sendiri."
Jun Mo segera menangkap maknanya, alisnya berkerut halus. "Bukankah ini siklus kutukan abadi?"
Sang Guru menggeleng: "Justru karena siklus, maka abadi. Mana mungkin jadi kutukan? Papan catur sendiri akan menembus takdir buruk ini. Hanya tak tahu berapa lama waktu yang ditetapkan Gunung Qi."
Jun Mo melanjutkan: "Kuil Suci Xiling akan mengumumkan ke seluruh dunia dalam tiga hari. Surat keputusan sudah dikirim, menyatakan Sang Sang sebagai putri Raja Kematian. Memerintahkan pengikut Langit Tak Berpelukan untuk memburunya, lengkap dengan lukisan dirinya. Tapi tak disebutkan akademi maupun adik seperguruan kita."
Setelah terdiam sejenak, dia melanjutkan: "Kakak senior telah mencari adik seperguruan dan Sang Sang di dunia fana selama setahun penuh. Entah apakah dia bisa menemukan mereka sebelum Buddhisme dan Tao."
Sang Guru menengadah ke langit musim gugur yang dihiasi rintik hujan, berkata: "Jika para biksu dan Taois itu benar-benar bisa menemukan Ning Que dan Sang Sang sebelum kakakmu, maka itu memang takdir dari langit."
Jun Mo yang telah membersihkan seekor kepiting danau dengan sempurna, menghidangkannya di piring lalu menyodorkannya dengan khidmat kepada sang guru.
Sang Guru menatap kepiting di piring yang tampak utuh namun sebenarnya cangkang dan dagingnya telah terpisah rapi, bahkan daging kaki terkecil pun telah dibersihkan, berkata: "Kenikmatan makan kepiting terletak pada proses mengolahnya sendiri, baik dikunyah kasar atau dipilah halus. Tapi dalam situasi ini, mana ada hiburan?"
……
……
Musim gugur tahun lalu, seorang pelajar meninggalkan Kuil Rotten Ke, lalu muncul di padang rumput terpencil di ujung barat padang gurun. Di hadapannya berdiri ratusan biksu dengan Dharma mendalam dan keadaan meditasi tingkat tinggi. Para biksu itu memandangi pelajar berdebu dengan ekspresi lembut itu bagai menghadapi musuh bebuyutan.
Di padang rumput bergema suara yang hanya bisa dideskripsikan sebagai megah. Suara itu mengucapkan mantra Buddha terlebih dahulu, lalu bertanya dengan tenang: "Guru Pertama yang terhormat mengunjungi Kuil Gantung kami, ada keperluan apa?"
Kakak senior menjawab: "Sudah bertemu dengan Pemimpin Spiritual. Aku ingin tahu apakah Anda pernah melihat adik seperguruanku?"
Tiga hari kemudian, Bunyi Lonceng di Kuil Gantung bergema keras, cahaya Buddha bersinar terang, bayangan samar berkilauan, seolah angin terus bertiup di dalam kuil. Pelajar itu tak menemukan apa pun lalu berpamitan pergi.
Di musim semi tahun ini, pelajar tersebut mengunjungi 72 kuil hujan gerimis di Negeri Yue Lun. Setiap tiba di sebuah kuil, ia mengeluarkan lukisan dari lipatan bajunya dan bertanya pada para biksu: "Sudahkah Anda melihat adik seperguruan kami dan gadis kecil ini?"
Saat musim panas, pelajar itu mendatangi kuil-kuil Tao di Negeri Song namun tak mendapat hasil.
Di musim gugur, ia kembali ke Kuil Rotten Ke. Ia meminta Pendeta Utama Guanhai mengerahkan ribuan pekerja untuk mengangkat beberapa batu raksasa di belakang kuil. Berdiri di antara reruntuhan, ia menatap puing-puing sumur dan tembok yang roboh dalam keheningan lama.
Ia terus merasa bertanggung jawab atas nasib adik seperguruannya yang entah hidup mati.
Beberapa saat kemudian, ia tiba di depan kuil Tao yang lusuh. Setelah mengetuk pintu dengan sopan, ia mengeluarkan lukisan yang sudah kusut dari pelukannya. Memandangi Taoist tua di kuil itu, ia batuk dua kali lalu bertanya dengan suara serak: "Jika Anda berasal dari kota kecamatan Wa, pernahkah Anda melihat dua orang ini?"
Taoist tua itu sama sekali tak memahami ucapannya, bingung bagaimana pelajar ini tahu asalnya dari kota Wa. Ia menggelengkan kepala linglung. Tak tampak kekecewaan di wajah pelajar itu. Dengan tenang ia meminta maaf lalu berbalik meninggalkan kuil Tao, menuju destinasi berikutnya.
Dari musim gugur ke musim gugur, lebih dari 300 hari dalam setahun, |kakak senior akademi mencari jejak |Ning Que dan |Sang Sang di dunia fana. Dia telah mengunjungi 400 |kuil Buddha, 2.100 |kuil Tao, 47 kota, menjelajahi berbagai gunung dan melintasi lautan. Kelelahan dan letih, penuh debu perjalanan, namun tak pernah berhenti melangkah.
……
……
Hujan musim gugur membasahi |Chang'an.
Seekor kucing |tergeletak di atas tembok |Toko Kuas Tua, basah kuyup oleh hujan. Dengan suara |menyayat hati, ia mengeong ke langit lalu melompat ke dalam |rumah kecil berpagar. Dengan hafal jalan, kucing itu masuk ke |kamar tidur, melompat ke |tempat tidur dan |menggesekkan tubuhnya yang basah pada |selimut.
Rumah kecil ini telah lama tak berpenghuni. Pria muda yang |menyebalkan suka |hantamnya dengan |batu juga entah pergi ke alam baka. Maka kucing itu merasa hidupnya kini penuh |berkah.
Ia tidur nyenyak di atas selimut berdebu, berguling-guling dalam berbagai pose: |telungkup, |telentang, |dengan ekor terjepit, |memeluk ekornya sendiri. Setelah berhari-hari, akhirnya kebosanan mulai menyergap.
Kucing itu menekuk kedua kaki depan, menyandarkan kepala di bantalan kaki yang lembut. Matanya |melirik ke arah |pintu kamar. Tiba-tiba ia merasa |kesepian, bahkan mulai berharap mendengar suara orang |mendorong pintu masuk.
Semua pelayan di vila tepi Danau Yanming telah dikembalikan ke Kediaman Sarjana atau diberhentikan. Tak ada satu pun lampu menyala di seluruh kompleks vila, menciptakan kesunyian yang mencekam. Daun teratai di danau yang telah layu bergoyang lemah di bawah hujan musim gugur, entah masih adakah yang mengingat petir-petir dahulu kala, atau peristiwa-peristiwa masa lampau.
……
……
Di atas padang gurun tergantung matahari yang membeku.
Rumput kuning diselimuti embun beku. Dua ikan kecil seukuran jari yang terperangkap di kubangan air, meski ingin bertahan melewati masa sulit dengan saling meludahkan lendir, namun ludah mereka akan membeku menjadi butiran es dalam sekejap. Tiba-tiba, kubangan dangkal itu mendadak dalam!
Roda berderu melintas.
Sebuah gerbong kereta hitam menyembur keluar dari udara, membawa energi menggila yang menghujam keras ke tanah padang gurun yang mulai mengeras. Dengan kecepatan luar biasa, ia terus menyentak maju, seolah ingin mengejar matahari di kejauhan!
