Luka muncul di dahi Sang Sang, darah mengalir perlahan. Mungkin karena wajah kecilnya yang pucat, darah itu tidak sepenuhnya merah, terlihat agak menghitam.
Ia menatap bocah lelaki itu dengan ekspresi bingung, tak mengerti mengapa ia melempar batu. Setelah paham, ekspresinya semakin memudar, sedih namun diam.
Lu Chenjia menyaksikan adegan ini, tanpa disangka hatinya terbesit rasa mengasihani. Quni Malti menyeringai dingin, tak menyembunyikan kepuasannya.
Sang Sang kesakitan dan sedih, tapi ia hanya membenamkan wajah di pundak Ning Que. Ia tak ingin mempengaruhinya, tahu sang tuan juga sedang susah.
Tapi bagaimana Ning Que tak tahu? Ia menoleh ke bocah itu, tangan kiri mencengkeram sarung sambil perlahan mencabut pisau tajam.
Quni Malti menyeringai: "Ning Que, kau memang monster berhati es!"
Lu Chenjia berubah ekspresi: "Dia masih anak-anak..."
Ning Que seolah tak mendengar perkataan mereka, pisau tajamnya sudah setengah tercabut dari sarung. Ia menatap bocah lelaki itu, wajah berlumuran darah yang tak menunjukkan ekspresi apapun semakin menakutkan.
Bocah lelaki itu menjerit histeris, kembali menangis.
Di kerumunan, Biksu Qimei memandang Ning Que dengan sedikit penyesalan, bergumam berat: "Guru ke-13, pengepungan Kuil Putih hari ini sepenuhnya kesalahan Buddhisme, aku yang bertanggung jawab. Kumohon tunjukkan belas kasihan."
Saat itu bocah lelaki itu berada di samping Ning Que. Begitu pisau itu tercabut, pasti berakhir fatal. Meski Qimei adalah biksu senior Kuil Gantung yang sakti, tak ada cara menghentikan ini.
Ning Que yang terjepit sampai ujung tanduk, setelah melarikan diri ke sini dengan membunuh banyak orang dan tubuh berlumuran darah, hatinya sudah mati rasa dan dingin. Bahkan Sang Guru atau kakak senior pun mungkin tak bisa menghentikannya membunuh bocah ini.
Di seluruh dunia fana, hanya satu orang yang bisa menghentikannya dalam situasi seperti ini.
Sang Sang yang bersandar di pundaknya menggeleng lemas: "Jangan."
Tangan Ning Que yang menggenggam hulu pisau mendadak kaku.
Bertahun lalu, di kedalaman Gunung Min, mereka bersama-sama membunuh Kakek tua. Sebelum meninggalkan pondok, atas permintaan Sang Sang yang masih kecil, ia melepaskan dua anak domba gunung yang saat itu adalah makanan berharga.
Kisah masa lalu seakan terulang hari ini.
Ning Que memasukkan pisau ke dalam sarungnya, menggunakan ujung sarung untuk mengangkat anak laki-laki yang masih menangis ketakutan ke belakang kerumunan.
……
……
Di tepi danau bergelimpangan banyak mayat, sementara yang terluka parah mengerang kesakitan di genangan darah.
Ning Que menatap tembok kuil di kejauhan, menyadari bahwa setelah membunuh begitu banyak orang, ternyata baru berjalan beberapa zhang. Masih jauh untuk keluar, berapa banyak lagi yang harus dibunuh.
Tiba-tiba ia merasa kelelahan, menundukkan kepala.
Sang Sang mencengkeram lengan bajunya dengan jari, menggunakan kain lengan untuk membersihkan darah di wajahnya dengan lembut.
Ning Que mengangkat kepala, melepaskan tali yang diikat di lengannya, kemudian melanjutkan langkah ke depan.
Qunimalti dan Lu Chenjia terdiam di tempat, tak mengerti mengapa dia membiarkan mereka hidup.
Sesuatu yang aneh terjadi tepat pada momen ini.
Saat Ning Que melangkah maju, kerumunan di depannya berpisah perlahan. Hening yang menyebar lebih cepat daripada ketakutan, suara hiruk-pikuk dan umpatan di belakang pun berangsur menghilang.
Bahkan para biksu Buddha pun terdiam, berhenti melantunkan mantra suci.
Lautan manusia yang menggila di Kuil Putih perlahan menjadi tenang.
Tak seorang pun memahami sumber ketenangan ini - Ning Que tidak, Master Qimei tidak, Qunimalti tidak, bahkan jika Langit Tak Berpelukan sedang melihat dunia fana dari atas, mungkin juga tak akan mengerti.
Karena ketakutan, muncul kemarahan. Ning Que saat ini kelelahan, ketakutan orang-orang tampak berkurang, jadi tidak lagi marah seperti sebelumnya? Atau dia sudah membunuh cukup banyak orang, sehingga kerumunan menjadi gentar?
Atau karena dia terus membunuh, orang-orang ingin membalasnya. Kini saat dia berhenti membunuh, mereka pun enggan mempertaruhkan nyawa untuk menyerang dan membunuhnya?
Ning Que melangkah melewati genangan darah, melirik wajah para korban tewas dan terluka. Kemudian dia mengangkat kepala, menatap wajah ribuan orang dalam kerumunan.
Wajah-wajah itu biasa saja, jika dilempar ke gang-gang Kota Chaoyang pasti tak bisa dikenali. Namun setiap wajah punya suka-dukanya sendiri, ceritanya sendiri. Dan banyak cerita berakhir hari ini.
Kerumunan perlahan berpisah di hadapannya, seperti laut yang membelah terowongan.
Ning Que membawa Sang Sang di punggungnya melewati kerumunan dengan lesu. Darah terus menetes dari helai rambutnya. Darah yang sebelumnya sudah membeku membuat rambutnya lengket berantakan, terlihat sangat memalukan.
Melihat dia dan Putri Raja Kematian di punggungnya, ekspresi orang-orang sangat kompleks. Sebagian besar wajah dipenuhi ketakutan, setengahnya bercampur kelegaan, sebagian kecil masih menyisakan kemarahan. Namun apapun perbedaannya, tatapan mereka pada Ning Que serupa.
Itu adalah tatapan yang melihat makhluk asing. Di mata orang-orang, Ning Que yang berlumuran darah adalah iblis, penjaga dunia bawah, makhluk buas yang kejam, namun pada akhirnya orang ini bukan manusia.
Kuil Putih sunyi senyap, hanya terdengar suara langkah kaki Ning Que. Orang-orang yang tak terhitung menyaksikannya dalam hening, masih erat menggenggam sekop dan bata. Mata mereka penuh dendam dan kemarahan, namun tubuh yang sedikit condong ke belakang mengungkap ketakutan ekstrem dalam hati. Semua ini menyatu menjadi sikap acuh yang mutlak.
Kerumunan manusia bagai laut yang terbelah. Jalan yang terbuka bukan untuk menyambut, tapi untuk mengusirmu ribuan li jauhnya, seperti kawanan domba di padang gurun yang mengusir sesamanya yang belajar memakan domba dan akhirnya berubah menjadi serigala jahat.
Inilah mungkin rasanya ditinggalkan seluruh dunia - Ning Que mengusap tangan berlumuran darah di bajunya, lalu mengulurkan tangan ke bahu untuk menepuk lembut pipi kecil Sang Sang.
……
……
Aura kuat itu semakin mendekat.
Ning Que mempercepat langkah. Menurut perhitungan Sang Sang sebelumnya, masih sempat asalkan kerumunan di depannya berhenti menyerang, dan Tujuh Master jelas sudah tak berniat turun tangan.
Qunimalti menatap siluet yang semakin menjauh di depan, tubuhnya tiba-tiba gemetar hebat. Ekspresi kebencian yang mendalam di wajahnya kian menjadi, bahkan tampak agak mengerikan.
Berbeda dengan Master Qi Mei dan warga di arena, ia tak pernah peduli apakah Sang Sang adalah putri Raja Kematian. Yang ia inginkan hanyalah Ning Que MATI – membalas dendam untuk suami dan anak laki-lakinya.
Efek jimat yang ditampar Ning Que di tubuhnya di balai pertapaan mulai memudar. Kekuatan pikiran dan cultivation-nya kembali. Dengan teriakan keras, tubuhnya bergerak tiba-tiba ke depan! Telapak tangan menghantam ke arah Sang Sang di punggung Ning Que!
