Berpisah jalan, pertama harus berada di jalan - namun orang-orang di Kuil Putih tak akan membiarkan Ning Que kabur bersama Sang Sang. Kerumunan yang sebelumnya gentar oleh tindakan berdarahnya, perlahan mulai berani lagi setelah kedatangan Pemimpin Spiritual ke dunia manusia. Sang Pemimpin Spiritual sendiri justru menjadi hambatan terbesar bagi pelarian mereka.
Kakak senior menyangga Ning Que bangkit, mengeluarkan beberapa panah besi dari tempat tak diketahui, lalu menyerahkannya padanya: "Ini panah besimu yang tertinggal di Gunung Wa, sudah diperbaiki adik keenam. Jika kau bisa kabur, perbaiki lagi garis jimatnya. Tabung besi ini juga buatan adik keenam, dia minta kusampaikan padamu."
Ning Que menerima panah besi yang berat itu, memasukkannya ke kotak panah. Salah satu tabung kecil dipasangnya pada kepala panah besi: "Aku dan Sang Sang akan pergi sendiri. Kakak tak perlu mengantar."
Kakak senior menatap kerumunan gelap di sekitar kuil tepi danau, lalu ke arah Pemimpin Spiritual di kejauhan: "Jika kalian bisa pergi sendiri, buat apa sebelumnya menungguku datang?"
Ning Que menatap kelelahan di kerutan sudut mata shixiong-nya, merasa sangat gelisah. Menurutnya, meskipun shixiong telah menembus Lima Batas masuk ke keadaan Wuju, menghadapi Pemimpin Spiritual yang telah mencapai tingkat Vajra Tak Terkalahkan, tetap tidak ada peluang menang.
Sang shixiong tahu kekhawatirannya. Memandangnya dengan lembut ia berkata: "Memang tak banyak yang bisa mengalahkan Pemimpin Spiritual, tapi setidaknya aku bisa menghalanginya."
Lanjutnya: "Pemimpin Spiritual menginjak bumi kokoh, Vajra Tak Terkalahkan. Satu-satunya kelemahan dalam metodenya adalah gerakannya yang terlalu lambat. Dan sesuai janji tahun lalu, dia tak boleh turun tangan. Jadi aku yakin bisa mengantarmu pergi."
Saat dua saudara seperguruan ini berbicara, mereka sengaja tidak mengecilkan volume suara. Karena sepelan apapun bisikan, mustahil lolos dari pendengaran Pemimpin Spiritual.
Pemimpin Spiritual duduk bersila di tanah, tangan kanan menggenggam tengah tongkat xi. Ekspresinya tenang alami, seolah tak mendengar pembicaraan mereka, atau mungkin mendengar tapi tak peduli.
Ning Que mengamati ekspresi tokoh terkuat Buddhisme ini. Kegelisahan di hatinya semakin menjadi, merasa jika shixiong turun tangan, akan terjadi masalah besar. Tangannya segera menggapai lengan baju kapas shixiong.
Namun saat ujung jarinya seharusnya menyentuh lengan itu, yang diraupnya hanya seberkas angin.
Angin sepoi tiba-tiba berhembus. Baju kapas shixiong bergetar halus, lalu wujudnya tiba-tiba memudar menghilang tanpa jejak, hanya meninggalkan satu kata yang bergema di telinganya:
"Pergi!"
Ning Que tahu ini bukan saatnya untuk berpisah atau berteriak. Karena kakak senior sudah turun tangan, dia harus memanfaatkan kesempatan ini untuk melarikan diri. Jika tidak, itu akan merusak pengaturan kakak senior.
Bahkan jika kakak senior bisa menahan Pemimpin Spiritual selama beberapa waktu, kerumunan di Kuil Putih—terutama Master Tujuh Butir dan para ahli Buddhisme, serta para ahli aliran Tao dari Kuil Xiling—semuanya berpotensi menahan dia dan Sang Sang. Maka dengan membawa Sang Sang di punggungnya, tanpa ragu dia berbalik dan berlari ke arah danau tenang di bawah Pagoda Putih.
Namun sebentar kemudian, langkahnya tiba-tiba menjadi berat, menjejak keras ke tanah, sulit untuk diangkat lagi.
……
……
Pelarian yang baru saja dimulai berhenti tiba-tiba.
Bukan karena para ahli Buddhis-Tao yang menghalangi jalannya, atau kerumunan yang kembali menyerbu mereka dengan gila, melainkan karena dia merasakan gelombang aneh di alam sekitar, melihat ekspresi tertegun di wajah orang-orang, dan menduga ada kejadian mengejutkan yang terjadi di belakangnya.
Ning Que langsung berbalik, memandang ke arah Pemimpin Spiritual yang masih bersila.
Kakak senior tiba-tiba menghilang, masuk ke dalam Wuju—tujuannya sudah pasti Pemimpin Spiritual.
Wuju adalah metode kultivasi paling ajaib di dunia fana, kemampuan spiritual menakjubkan di atas Lima Batas. Seperti mengendarai angin atau menunggang awan, dalam sekejap bisa mendaki gunung-rimba, menembus berbagai negara.
Di dunia ini tak ada langkah yang lebih cepat dari Wuju, bahkan gerakan pedang 10.000 li milik Liu Bai sang Legenda Pedang sekalipun.
Menurut perhitungan Ning Que, ketika kakak senior menghilang dan muncul kembali di hadapan makhluk hidup, pastinya sudah berada di depan Sang Pemimpin Spiritual. Bahkan mungkin sudah pergi ribuan li untuk mengambil senjata sakti, lalu kembali ke Kuil Putih untuk menghantam Sang Pemimpin dengan pukulan dahsyat.
Saat ini kakak senior telah muncul kembali di hadapan makhluk hidup.
Tapi dia tidak berada di depan Sang Pemimpin Spiritual.
Jaraknya masih sangat jauh dari Sang Pemimpin, bahkan seolah baru melangkah satu langkah, dia sudah terpaksa menampakkan wujud!
Memandang Sang Pemimpin yang bersila dengan kukuh puluhan zhang di kejauhan, jubah kapas kakak senior bergetar halus. Debu beterbangan perlahan, ekspresinya teramat serius, tubuhnya bagai terikat beban berat sehingga tak bisa melangkah lagi.
Jika diamati seksama, bahkan terlihat sepatu jeraminya tidak benar-benar menginjak tanah - masih ada jarak setengah inci dari lumpur. Namun dia tak bisa bergerak sedikit pun!
Persis di saat itu, lantunan sutra baru mulai terdengar perlahan.
Sang Pemimpin Spiritual duduk bersila memegang tongkat xi, wajahnya penuh wibawa, suaranya bergema bagai mantra Buddha.
"Seperti yang kudengar: Tiga dunia fana adanya, segala yang ada tiada sukacita. Jalan hakiki kodrat sejati, semua kosong tiada wujud. Tiada angin maupun embun, tiada kabut maupun kilat. Dengan pandangan suci ini, bangkitlah dari tubuhmu sendiri."
Kutipan sutra ini berasal dari Gulungan Agung Daci Xu.
Sutra ini bicara tentang sang kakak senior.
Seiring lantunan mantra Buddhis bergema, lingkungan sekitar tiba-tiba mengalami perubahan aneh. Air danau tak lagi bergelombang, pohon willow beku di tepian lunglai merunduk, bahkan sinar jernih yang terus berubah di Pagoda Putih seakan membeku. Di manakah angin?
Kuil Putih diselimuti kesunyian. Danau, pagoda, kuil, dan manusia semuanya tenang. Alam semesta kembali ke keadaan primitif jutaan tahun silam bersama mantra Buddhis, kedamaian yang membuat dada berdebar-debar.
Di dunia yang mutlak sunyi, bagaimana mungkin mengendarai angin tanpa angin? Bagaimana melayang di embun tanpa embun? Bagaimana menembus kabut tanpa kabut? Bagaimana bergerak cepat bagai kilat tanpa listrik?
Tubuh kakak senior terpaksa menggantung di dunia damai ini. Kakinya tak menyentuh tanah, lalu turun perlahan. Baju kapasnya berhenti berkibar, wajahnya semakin pucat.
Konon di dunia ini, tak ada teknik yang tak bisa ditembus kecuali kecepatan. Namun hari ini, keadaan Wuju yang tercepat justru berhasil ditembus!
……
……
Ning Que baru sempat berbalik melangkah mundur satu langkah saat merasakan keanehan. Ia berhenti, menoleh tajam, mendengar lantunan mantra itu, dan melihat kakak senior terjerat jebakan.
Dengan tertegun, tanpa sempat berpikir mengapa keadaan Wuju kakak senior bisa ditembus, ia membuka busur besi bagai kilat dan melesatkan panah ke wajah Pemimpin Spiritual!
Sebelum kakak senior muncul, dia telah memanah Pemimpin Spiritual dengan Yuan Shisan Jian. Menghadapi Pemimpin Spiritual yang tubuh dan jiwanya sekuat Vajra, panah besi yang mengerikan itu berubah menjadi ranting kering, tak berguna sama sekali. Namun dia tetap melepaskan panah besi kedua, karena di kepala panah ini terdapat sebuah tabung besi kecil.
Dia tak percaya ada makhluk abadi di dunia ini. Sekalipun tubuh Pemimpin Spiritual sekuat Vajra yang kebal segala luka fisik, dia yakin ledakan tabung kecil nanti setidaknya bisa mengganggu sang ahli Buddhisme ini, sehingga kakak senior bisa terbebas dari dilema aneh yang sedang dihadapinya.
Tapi sebentar kemudian, dia menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan.
Panah besi yang meninggalkan busur, ekornya menyemburkan arus putih seperti biji dandelion yang diterbangkan angin kencang, lalu berhamburan perlahan. Ning Que sangat hafal proses tembakan Yuan Shisan Jian. Dia tahu arus putih itu adalah perpaduan makna jimat pada panah dengan angin alam. Tapi ini pertama kalinya dia melihat fenomena seperti ini!
Panah yang seharusnya menghilang begitu saja dengan mengabaikan jarak dimensi, kini justru tetap terlihat. Setelah terbang lambat beberapa zhang, panah itu jatuh dari udara ke tanah!
Panah itu sama sekali tak bisa mendekati Pemimpin Spiritual. Tabung besi di kepala panah menghantam tanah dengan dentuman redup. Alih-alih ledakan dahsyat yang dibayangkan, bahkan percikan api pun tak muncul!
Ning Que wajahnya tiba-tiba memucat, kedua pipinya seolah menyusut dalam sekejap, tubuhnya bergetar dahsyat. Kemudian dia mengulurkan jari telunjuk kanannya, mengarah ke Pemimpin Spiritual di kejauhan dan menggores garis horizontal di udara - sekuat kait besi!
Inilah satu-satunya Jimat Dewa tak tentu yang dikuasainya - Karakter Dua!
Setelah berhari-hari melarikan diri bersama Sang Sang, di ambang bahaya di depan rumah kecil, Ning Que menahan diri untuk tidak menggunakan kekuatan pikiran karena khawatir kelelahan. Namun menyaksikan kakak seniornya dalam bahaya, mana mungkin dia masih ragu!
Tapi sekali lagi dia menemukan hal aneh dan mengerikan.
Seberapapun gila kekuatan pikirannya menyembur, seberapa stabil goresan jarinya di udara - garis jimat tak bisa menghasilkan makna spiritual. Bahkan muncul spekulasi mengerikan: andai jimat berhasil digambar, tetap tak bisa menggerakkan energi alam semesta!
Seiring mantra Pemimpin Spiritual yang diucapkan perlahan, energi alam di Kuil Putih menjadi sunyi sepi seperti danau berendapan - tak bisa digerakkan sama sekali!
Setiap suku kata mantra menyusup ke telinga, lautan kesadaran Ning Que mulai hening. Dia tak ingin menggerakkan kekuatan pikiran, tubuhnya mengendur, ingin duduk mendengarkan. Bahkan Qi megah dalam tubuhnya mereda, cairan kristal yang berputar di perut mulai melambat!
Ning Que menatap Pemimpin Spiritual yang duduk bersila itu, tertegun tak bisa bicara. Dalam hati berpikir: Cara apa ini? Bagaimana bisa mempengaruhi batinnya hingga terasa begitu perkasa!
Kakak senior menatap Pemimpin Spiritual itu, berkata dengan terkesima: "Kata-kata adalah hukum!"
……
……
"Seperti yang kudengar: Tiga dunia tak kekal, semua keberadaan tak bahagia. Jalan hakiki kodrat sejati, semuanya kosong belaka. Tiada angin maupun embun, tiada kabut maupun listrik. Dengan prinsip alamiah ini, bangkitlah dari tubuhmu sendiri."
Mantra Pemimpin Spiritual bergema tak henti di Kuil Putih, laksana lonceng yang bergaung jauh, sejernih kentungan kayu, sehalus asap hio yang terbakar, semerdu mantra Buddhis yang menembus relung hati.
Semuanya kosong belaka, angin embun kabut listrik hujan salju pun tiada. Pada masa-masa awal di Dunia Manusia, energi alam semesta pun belum ada. Lalu dari mana menggerakkan dan mengendalikan energi itu?
Pemimpin Spiritual adalah yang tertinggi di Kuil Gantung. Murid-muridnya bahkan lebih berpengaruh daripada tokoh seperti Kepala Biara Pantangan. Ini karena Kuil Gantung pada hakikatnya adalah tempat menyampaikan ajaran Buddha.
Pemimpin Spiritual telah melampaui Lima Batas. Ia memiliki alam Buddha sendiri, menjadikannya Buddha di dunia fana. Mantra yang diucapkannya adalah sutra suci, kata-katanya adalah sabda Buddha.
Sabda Buddha itulah aturan dunia miliknya.
