Langit Tak Berpelukan perlu makan. Apa yang dimakannya adalah pertanyaan. Tapi kulihat, apapun yang ia makan tak perlu dibayar, sedangkan manusia harus selalu membayar untuk makanan mereka.
Sang Guru menyuruh Ning Que menghitung tagihan, lalu mengajak dia dan Sang Sang turun dari gedung arak. Saat menjelajahi ibu kota Negeri Song, mereka melihat cabang toko Chenjinji dan membeli bedak untuk Sang Sang.
Ning Que merasa gurunya terlalu baik pada Sang Sang, tidak seperti sosok guru yang dikenalnya. Tapi saat ini pikirannya sepenuhnya dikuasai oleh pertanyaan-pertanyaan itu, sehingga tak sempat merenungkan lebih dalam.
Kereta kuda hitam meninggalkan ibu kota Negeri Song. Beberapa saat kemudian, mereka kembali ke padang gurun yang dipenuhi rumput hijau.
Ning Que menatap kawanan domba dan rumput liar di padang gurun, lalu berkata: "Guru, bisakah ini disederhanakan?"
Sang Guru turun dari kereta, memandang hamparan padang rumput tak berujung: "Rumput tumbuh di padang belantara, menyerap sinar matahari, embun, dan sari tanah. Inilah yang ia makan."
Sang Guru menunjuk kawanan domba di kejauhan: "Domba makan rumput."
“Dia menunjuk ke tempat yang berjarak sepuluh li lebih jauh, berkata: "Lihat, serigala-serigala itu sedang memakan domba."
"Lalu Langit Tak Berpelukan memakan apa?"
Ning Que tiba-tiba teringat omelan penuh kemarahan Master Liansheng di dalam pintu gerbang gunung Iblis Zong, kekaguman Master Qishan dalam hujan musim gugur di aula Buddha, serta keraguan banyak senior terhormat, dengan suara gemetar bertanya: "Memakan manusia?"
"Domba tak bisa langsung memakan lumpur dan sinar matahari, jadi makan rumput. Serigala tak bisa langsung makan rumput, jadi makan domba. Manusia relatif lebih hebat, kami pada dasarnya memakan apapun. Namun secara umum, hierarki konsumsi ini meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi, akhirnya membuat kehidupan di lapisan atas hanya bisa mengonsumsi kehidupan lapisan bawah."
Sang Guru menggelengkan kepala berkata: "Berdasarkan tebakanku, suplai kehidupan Langit Tak Berpelukan berasal dari Energi alam semesta. Tapi 'itu' tak bisa langsung mengonsumsi Energi alam semesta, seperti domba tak bisa makan lumpur dan sinar matahari langsung, serigala tak bisa makan rumput langsung. Jadi 'itu' perlu mata rantai perantara - yaitu manusia."
Ning Que berkata: "Aku baru saja mengatakan hal yang sama."
Sang Guru berkata: "Orang biasa tak tahu apa itu Energi alam semesta, bagaimana bisa mengubahnya? Tetap diperlukan praktisi kultivasi untuk menapabrata dan meningkatkan Energi alam semesta menjadi penyubur yang dibutuhkan Langit Tak Berpelukan."
Ning Que berkata: "Maksud Anda, Energi alam semesta adalah rumput, praktisi kultivasi adalah domba yang memakan rumput, mengubah nutrisi dalam rumput menjadi sesuatu yang bisa diserap oleh serigala bernama Langit Tak Berpelukan ini?"
Sang Guru berkata: "Kurang lebih seperti itu maksudnya."
Ning Que berkata: "Dalam kitab-kitab aliran Tao selalu dikatakan, kultivasi spiritual adalah hadiah dari Langit Tak Berpelukan untuk umat manusia. Menurut penjelasan Anda, hadiah ini sungguh terasa suram dan menakutkan."
Sang Guru berkata: "Tentu saja, Langit Tak Berpelukan lebih pemilih daripada kawanan serigala di padang gurun. Bagaimanapun, dia adalah kumpulan aturan tertinggi dunia kita. Praktisi biasa di matanya hanyalah domba yang hambar. Para praktisi yang melampaui Lima Batas mulai memiliki dunia mereka sendiri, menciptakan aturan mereka sendiri, memurnikan energi alam semesta menjadi jati diri esensial mereka. Pada tahap ini, mereka menjadi santapan lezat di mata Langit."
Ning Que menatap Sang Guru dan bertanya: "Lalu bagaimana dengan Anda?"
"Pada tingkat guruku ini, tentu menjadi domba lezat." Sang Guru tersenyum: "Tapi seperti hubungan antara singa dan kawanan banteng, jika ada banteng yang terlalu kuat atau kawanannya terlalu besar, singa pun akan merasakan ancaman."
Ning Que tetap tenang. Saat berdiskusi, dia masih sempat memandangi rumput hijau di bawah kaki dan kawanan domba sebanyak awan. Namun sebenarnya hatinya bergejolak hebat - kadang seperti panci sup domba yang hampir mendidih, kadang seperti daging domba beku yang membeku. Hampir ke ambang kehancuran, dia terus menghipnosis diri bahwa ini hanya diskusi akademis yang tidak terkait realitas agar bisa bertahan.
Diskusi akademis akhirnya harus kembali ke dunia nyata. Setelah lama berdiam, dia mengajukan pertanyaan terpenting sepanjang diskusi: "Guru, apakah Anda memiliki bukti?"
“Tidak ada bukti, ini hanyalah diskusi akademis. Dia bisa melepas pikiran ke tempat terdalam, paling tak wajar, paling suram dan horor, tanpa beban psikologis. Jika ada bukti, ini akan menjadi cerita kejam dan menyedihkan yang tak tega didengar, apalagi didiskusikan.”
Sang Guru sangat paham perasaannya saat itu. Beliau tersenyum dan berkata: “Ini bukan cerita sedih, apalagi horor. Selama ribuan tahun, jumlah praktisi kultivasi yang bisa melewati Lima Batas tak sebanyak domba yang dimakan manusia dalam sehari. Jika bicara horor, manusia jauh lebih menakutkan daripada Langit Tak Berpelukan.”
Ning Que sulit terhibur oleh perkataan ini. Karena dia manusia, bukan domba. Matanya terbuka lebar memandang sang mentor dengan tatapan polos dan penuh kasihan, tetap menuntut jawaban.
“Hal semacam ini tentu tidak punya bukti.”
Sang Guru melanjutkan sebelum Ning Que sempat lega: “Tapi Paman Sepurguruanku dan aku sudah membuktikan Langit Tak Berpelukan punya kesadaran. Itu adalah bentuk kehidupan serupa tapi lebih tinggi dari manusia. Jadi pasti perlu makan. Inferensi ini sulit kau tolak.”
Ekspresi Ning Que muram seperti babi yang didorong ke depan ember air panas saat Tahun Baru.
“Kultivasi memang sulit, tapi dengan jumlah manusia sebanyak ini, sebenarnya tidak terlalu mustahil. Pasti ada yang bisa bertapa, ada yang bisa melampaui Lima Batas Dunia Manusia.”
Sang Guru menatapnya berkata: "Meski praktisi kultivasi yang melewati Lima Batas sangat langka, jika terakumulasi selama jutaan tahun, jumlahnya pasti sangat besar. Lalu bisakah kau memberitahuku, ke manakah mereka pergi?"
Ning Que berkata: "Lahir, tua, sakit, mati adalah hal biasa. Mungkin mereka mati karena usia tua secara alami, ini bukan hal aneh."
Sang Guru tersenyum: "Aku telah hidup lebih dari seribu tahun. Jika mau, aku bisa terus hidup. Lahir, tua, sakit, mati benar-benar hal yang tidak biasa bagi mereka yang telah melampaui Lima Batas."
Ning Que merasa mulutnya kering, ada rasa pahit. Setelah beberapa saat dia berkata: "Nirwana Buddhisme, transformasi Tao menjadi dewa, semua ini ada dalam mitos. Apakah mereka pergi ke langit menikmati berkah keabadian?"
Sang Guru tertawa: "Langit? Di manakah langit? Di manakah Kerajaan Langit Hao? Setelah kembali ke esensi dunia, apakah masih ada 'dirimu'? Jika diri sendiri sudah lenyap, apakah itu masih disebut hidup?"
Masalah ini pernah didiskusikan Ning Que dengan Master Qishan di Kuil Rotten Ke. Dia tahu pertanyaan ini tak berjawab. Jika dipikir hingga ke dasar hati, jawaban yang mungkin hanya mengarah pada kenyataan yang membekukan.
"Tak ada yang pernah ke Kerajaan Langit Hao lalu kembali. Paman Sepurguruanku dulu mungkin pernah meliriknya, tapi lupa meninggalkan pesan. Jadi sebelumnya aku juga tak punya jawaban."
Sang Guru memandang langit biru berawan putih di atas padang gurun, bersenandung: "Baru setelah melihat jenderal ilahi bercahaya di gerbong emas tadi, akhirnya aku melihat jawabannya."
Ning Que bertanya: "Di manakah jawabannya?"
"Jawabannya ada di wajahnya."
Sang Guru berkata: "Wajahnya terlalu sempurna, sedangkan di dunia fana tak ada hal yang sempurna. Maka dia tak nyata. Kesempurnaannya berasal dari ribuan Sahabat Lama, karena itu dia bukan bagian dari Sahabat-Sahabat Lamaku."
Perasaan Sang Guru agak sedih, terkesan terharu, seolah sedang mengingat kembali banyak surat yang ditinggalkan.
Lalu ia mengalihkan pandangan, menatap Ning Que sambil berkata: "Di wajahnya kulihat kesatuan kesadaran Langit Tak Berpelukan, tapi tak kulihat kesadaran individu. Yang kusaksikan adalah keabadian, maka secara otomatis kulihat kematian."
Ini dunia yang sederhana, prinsip-prinsip yang sederhana. Hanya saja sebelum Sang Guru mengucapkannya, Ning Que meski sudah mengalami reinkarnasi kedua dan menyaksikan kejadian paling misterius di dunia fana, tetap tak mampu memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini.
Dia terdiam sangat lama, lalu bertanya: "Apakah praktisi kultivasi lain tak pernah memikirkan hal-hal ini?"
"Dulu di gunung belakang akademi, kau pernah berkata padaku: Begitu manusia mulai merenung, Langit Tak Berpelukan akan tertawa. Namun faktanya, banyak manusia yang tak peduli diejek Langit, jauh sebelum aku, maupun setelahku. Banyak praktisi kultivasi terus berpikir, banyak yang mulai memiliki keraguan serupa denganku."
Sang Guru mulai berjalan menuruni padang rumput, melanjutkan: "Mengapa si nak Liu Bai itu takut melangkah keluar, bertahun-tahun bersembunyi di Paviliun Pedang? Mengapa seribu tahun lalu Imam Cahaya itu memberontak dari Kuil Xiling, mendirikan Iblis Zong di padang gurun ini? Semua terkait dengan keraguan-keraguan ini."
"Mendengar tentang Imam Cahaya yang mendirikan Iblis Zong, Ning Que teringat akan Kuil Xiling, bertanya: 'Aliran Tao yang paling dekat dengan Langit Tak Berpelukan, pastilah para ahli di dalamnya sangat memahami hal ini. Selain Imam Cahaya itu, selama puluhan ribu tahun, tak adakah orang lain yang meragukan Langit Tak Berpelukan?'"
"'Aliran Tao mengejar transformasi menjadi dewa. Disambut ke Kerajaan Langit Hao, kembali ke esensi dunia, itulah berkah terbesar mereka, juga tujuan tertinggi perjuangan hidup mereka. Ini kerinduan mereka, untuk apa diragukan?'"
"Sang Guru menatapnya berkata: 'Hanya bagi banyak praktisi kultivasi lain, tetap abadi bersama Langit Tak Berpelukan atau mati dalam kesepian, ini tetap menjadi pertanyaan.'"
……
……
"Hidup atau mati, ini sebuah pertanyaan. Abadi bersama Langit Tak Berpelukan atau mati sendirian, ini juga pertanyaan. Tapi apakah semua pertanyaan bisa menemukan jawaban?"
"Ning Que kembali teringat ucapan Master Liansheng di pintu gerbang gunung Iblis Zong."
"'Lihatlah dunia kotor ini! Berapa banyak orang bodoh seperti babi yang hidup tak berarti? Takkah kau merasa udara yang dihirup pun bau busuk? Di bawah langit pencuri yang membisu puluhan ribu tahun, takkah napasmu terasa sesak? Manusia hidup di alam semesta wajar saja makan daging - makan babi, anjing, ayam, bahkan alam semesta! Mana ada prinsip yang perlu dijelaskan!'"
“Menurutku cara kita berada di dunia ini adalah kumpulan metode mengenal dunia melalui diri sendiri. Malam hujan deras di kuburan tahun itu, aku terus mencari esensi dunia nyata. Akhirnya mengubah cara eksistensiku di dunia fana, berharap bisa mengubah dunia ini dan menemukan dunia yang tak mungkin kembali.”
“Aku hanya mengejar kekuatan dan metode mengubah dunia. Tak peduli perbedaan Tao dan Iblis Zong, juga tak peduli siapa yang menang. Alasan aku mau ke Iblis Zong adalah untuk melihat Kitab Langit yang hilang itu.”
“Aku pergi ke Sungai Besar Nan Jin, ke Yue Lun, akhirnya menuju barat ke tanah tak terjangkau. Di Kuil Gantung, akhirnya dengar Sang Pemimpin berkhotbah, melihat cahaya Buddha, mendengar sabda Buddha yang mengguncang. Tapi setelah bertahun-tahun, ku sadar biksu di sana hanya kumpulan kotoran. Sabda Buddha penuh kepalsuan, tak beda dengan peramal jalanan di Negeri Song. Yang paling menjijikkan, Buddhisme hanya mengajar bertapa dan pasrah menunggu pergeseran roda takdir. Bagaimana mungkin mencapai Nirvana begini?”
“Kupikir akhirnya menemukan tempat yang tepat untuk mengenal dunia sejati. Tapi setelah beberapa hari di Gunung Persik, baru tahu Kuil Xiling penuh idiot pengecut. Sekumpulan anjing! Kuil rusak itu apa bedanya? Tetaplah anjing peliharaan Langit Tak Berpelukan! Ha ha... Semuanya anjing!”
"Selama ini Ning Que selalu mengira ucapan Master Liansheng hanyalah omong kosong, baru saat inilah ia akhirnya menyadari betapa hebatnya sang ahli sekte sesat yang menguasai Buddhisme dan Tao ini."
"Master Liansheng selalu berdiri di puncak dunia pertapaan. Tujuan hidupnya adalah menghancurkan tatanan lama dan menciptakan dunia baru. Pada hakikatnya, dia tak berbeda dengan Sang Guru maupun Paman Sepurguruanku, hanya saja metode yang dipilihnya lebih berdarah dan beraura yin yang dingin."
"Ning Que tahu seumur hidupnya mungkin takkan pernah berhak memilih jawaban ini, karena mungkin takkan mencapai tingkat meditasi Master Liansheng. Tapi setelah merenung, jika benar harus menghadapi pilihan ini, mungkin dia akan memilih jawaban dan cara yang sama dengan Liansheng."
"Master Liansheng luar biasa, tapi mentorku lebih hebat lagi. Dia sudah tahu pilihan Liansheng, menduga pilihan mentornya, tapi tak tahu bagaimana sang mentor akan merealisasikannya."
"Guru, apa yang akan Guru lakukan?" tanyanya.
Sang Guru bertanya: "Dulu apa rencana Liansheng?"
Ning Que menjawab: "Dia berencana memusnahkan dunia lama, menciptakan dunia baru, lalu melawan Langit."
Sang Guru menggeleng: "Pada akhirnya tetap hubungan pemangsa dan mangsa. Langit tak memakan manusia, untuk apa menarik miliaran orang biasa ke dalam perang ini?"
"Saat ini hubungan guru-murid kami telah mencapai bagian bawah padang rumput. Air jernih dalam panci telah mendidih, talenan dipenuhi tumpukan daging domba segar yang baru dipotong. Sang Sang mengangkat lengannya menyeka keringat di dahinya, dengan gembira berkata: 'Bisa dimakan.'"
Trio itu mulai menyantap daging kambing rebus.
"Daging kambing rebus harus dimakan saat masih segar, daging beku rasanya jauh berkurang."
Sang Guru tiba-tiba mengeluarkan manisan bawang putih dari suatu tempat, mengunyahnya dengan suara renyah, lalu sambil mengusap perutnya yang puas ia menatap Ning Que: "Aku ini orang yang suka makan."
Ning Que berpikir dalam hati: Jika menggunakan istilah yang lebih ringkas untuk mendeskripsikannya, itu adalah foodie.
Sang Guru mengambil sumpit dan mengaduk-aduk dalam panci berisi air jernih, menemukan tidak ada lagi daging domba, dengan penuh penyesalan ia menunjuk langit dengan sumpit: "Karena aku suka makan, tentu aku tidak suka dimakan."
"Mengapa harus melawan langit? Karena ia ingin memakanku, maka aku harus mencari cara agar tidak dimakan."
"Bagaimana caranya agar tidak dimakan?"
Sang Guru menjepit sepotong tahu beku ke mangkok Sang Sang, memandangi gadis kecil yang menunduk menyantap daging, menghela napas: "Ini memang masalah yang sangat rumit."
Ning Que mendorong kuda hitam Da Hei yang mendekati mangkoknya ingin mencuri daging, tiba-tiba terpikir suatu kemungkinan sambil menatap matahari di atas kepala: "Jika Langit Tak Berpelukan butuh makan, cukup makan sinar matahari saja, untuk apa menelan Energi alam semesta?"
Padang gurun terletak di utara yang dingin, meski sudah memasuki musim semi, sinar matahari tetap tak mampu membara, samar-samar bagai lukisan palsu.
Sang Guru kembali mengangkat sumpitnya ke langit, menunjuk matahari itu berkata: "Bagaimana jika ini semua palsu?"
……
……
(Menulis sampai bab ini, mengingat kembali Jilid II yang membahas jalan iblis selama lebih dari sepuluh bab, aku merasa heran. Pekerjaan seperti ini mungkin dulu efeknya kurang bagus, tapi pada akhirnya, akan memberikan kepuasan. Ning Que akan mewarisi keinginan besar Sang Guru, semangat keberanian Ke Haoran, tapi seperti kata Liansheng sebelum ajal: Warisan Ning Que adalah ilmunya. Pengaruh Liansheng terhadap Ning Que, khususnya pada dua per lima akhir cerita, sangatlah penting.)
