Beribu-ribu panah berserakan tak beraturan di atas tenda logam, menumpuk setebal jerami kering berwarna gelap yang menutupi permukaan logam, membentuk semacam gubuk jerami.
Angin musim gugur yang sedikit dingin menerpa tepian terpal logam tipis, menimbulkan suara wah-wah seperti sedang menyapu kertas di kamar putri suatu istana, entah kapan akan merobek kertas-kertas itu.
Murid-murid Akademi tidak khawatir terpal di atas kepala mereka akan robek oleh angin musim gugur, mereka sangat percaya pada bakat Shixiong keenam di bidang ilmu material, sehingga melanjutkan aktivitas masing-masing dengan tenang.
Pedang licik Liu Yiqing telah berubah menjadi batang besi tipis hangus tanpa mata di atas tungku, Shixiong keenam masih terus mengayunkan palu besinya, tak jelas apa yang ingin ditempanya dari pedang ini.
Beigong Weiyang menyetel tali qin, membalut sepuluh jarinya dengan lapisan katun lembut secara hati-hati. Membran yang ditempel Ximen Bukou telah mengering, membentuk lapisan pelindung di permukaan jari, kini sedang menekan lubang-lubang seruling satu per satu untuk menguji teksturnya.
Alis Shixiong keempat berkerut kencang, matanya yang tenang dan dewasa sesekali memancarkan kilatan kecerdasan sambil menatap garis-garis yang berubah sendiri di peta pasir, tak jelas apa yang sedang dihitungnya - nasib hidup-mati semua orang atau akhir pertempuran ini.
Hanya perasaan Shijie ketujuh yang terasa aneh.
Sebagai satu-satunya perempuan di jalan keluar Ngarai Hijau, ia memegang bingkai sulam, mengangkat pergelangan tangan, menjepit jarum sulam sambil menunduk melihat gambar bebek mandarin di kain sulam - sebenarnya pandangan sampingnya terus tertuju pada ladang di kejauhan.
Shixiong kedua berdiri tegak di sana bagaikan gunung hijau.
Di antara alisnya terlihat kekhawatiran, yang dikhawatirkannya bukanlah situasi saat ini, bukan keselamatan rekan seperguruan di bawah tenda, melainkan keamanan shixiong kedua. Ketika pedang licik Liu Yiqing sebelumnya terikat oleh formasi, hanya dia yang memperhatikan bahwa di permukaan baju zirah shixiong kedua muncul arus putih yang samar.
Itu adalah hasil kontak antara makna pedang dan makna jimat.
Tenda di pintu keluar Ngarai Hijau adalah sebuah formasi, dirancang oleh shixiong keempat dan dirinya, kemudian diselesaikan oleh dirinya dan shixiong keenam bersama-sama, menunjukkan tingkat tertinggi yang dipelajari ketiganya selama bertahun-tahun di Akademi.
Formasi tenda yang tampak biasa ini mampu menahan hujan musim gugur, menghalangi terik matahari sore, takkan hancur diterpa angin musim gugur...
Yang paling krusial, formasi tenda ini bisa melindungi semua orang di bawahnya, serta memindahkan serangan yang tak bisa ditanggung formasi, serangan yang diterima para murid di bawah tenda, seluruhnya ke... tubuh shixiong kedua.
Ngarai Hijau runtuh, assassin yang telah dipersiapkan Kekaisaran Tang selama ribuan tahun tiba-tiba menyerang, membunuh tiga ahli jimat dewa dari Kuil Xiling. Shixiong kedua pernah berkata, jika pasukan sekutu Kuil ingin melewati Ngarai Hijau, mereka harus mengalahkannya terlebih dahulu.
Bukan berarti dia meremehkan rekan seperguruannya di Akademi, ini adalah pernyataan fakta.
Shixiong kedua menggantikan semua adik seperguruannya menanggung seluruh serangan dari pihak Kuil Xiling, karenanya sebelum dia jatuh, murid-murid Akademi pasti bisa mempertahankan Ngarai Hijau.
Namun ini juga berarti dia harus menanggung lebih banyak.
……
……
“Paviliun Pedang Nan Jin turun tangan, meski tak ada yang berharap beberapa murid generasi kedua dari paviliun pedang itu bisa mengalahkan anggota Akademi, namun akhirnya berakhir begitu mengenaskan tanpa kata, tetap membuat orang terkesima tanpa kata.”
“Perkemahan pasukan sekutu Kuil Xiling sunyi senyap.”
“Jelas hanya tingkat Pemahaman Mendalam… semua tahu murid-murid Akademi itu hanya di tingkat Pemahaman Mendalam… bagaimana mereka bisa menyiapkan formasi yang begitu indah?”
“Seorang ahli formasi Kuil Xiling yang sangat berpengalaman, menatap formasi tenda sederhana di jalan keluar Ngarai Hijau, wajahnya tak bisa menyembunyikan ekspresi kekaguman.”
“Suara ahli formasi itu masuk ke dalam tandu suci.”
“Yeh Hongyu sedikit mengerutkan alis, warna seperti darah pada jubah Tahta Pengadilan semakin pekat.”
“Ia pernah tinggal di Kota Chang'an beberapa waktu, sering berinteraksi dengan Akademi, namun baru saat ini ia menyadari potensi Akademi ternyata jauh melampaui perkiraan semua orang.”
“Selama puluhan tahun antara generasi Ke Haoran dan Ning Que - orang-orang Akademi yang menyelaraskan diri dengan dunia - Akademi selalu bersikap rendah hati, bahkan tak banyak yang tahu siapa sebenarnya yang ada di gunung belakang akademi.”
“Kuil Xiling dan Paviliun Pedang Nan Jin tentu tahu lebih banyak, namun perhatian mereka selalu tertuju pada Guru Pertama, Guru Kedua, serta Chen Pipi dan Ning Que yang terakhir bergabung, karena dipastikan hanya empat orang ini di gunung belakang akademi yang mencapai tingkat Zhi Ming (Pengetahuan Takdir), sisanya bertahun-tahun tetap di tingkat Pemahaman Mendalam.”
Hari ini bertemu di mulut Ngarai Hijau, spekulasi ini akhirnya dikonfirmasi. Murid-murid gunung belakang akademi memang hanya berada di tingkat Pemahaman Mendalam. Di dunia pertapaan mereka bisa dianggap ahli, namun dalam konteks perang dunia manusia saat ini dimana ahli-ahli Zhi Ming (Pengetahuan Takdir) bermunculan, murid-murid Pemahaman Mendalam ini terlihat sangat biasa.
Meski dulu murid-murid gunung belakang akademi itu adalah sosok paling jenius di bidang masing-masing, setelah bertahun-tahun berlalu, siapa yang masih ingat nama mereka? Lagipula, seberapa besar manfaat kejeniusan bagi kultivasi spiritual?
Jadi tak ada yang memperhatikan mereka.
Pandangan Kuil Xiling tetap tertuju pada shixiong kedua yang muncul di padang rumput bagai bulan purnama terbit dari gunung hijau.
Baru setelah serangan kavaleri berat dimulai, setelah pedang licik Liu Yiqing dihantam menjadi besi tak berguna, mereka baru menyadari kesalahan mereka.
Sama-sama murid generasi kedua, tapi akademi bukan Paviliun Pedang.
Akademi bukan tempat mana pun.
Tak ada tempat yang bisa disamakan dengan akademi.
Pemahaman Mendalam versi akademi bukan Pemahaman Mendalam biasa.
Murid gunung belakang akademi, hanya dengan seuntai guqin dan seruling gua, mampu menghadang pasukan berkuda dalam jumlah besar.
Yang lebih mengejutkan orang-orang penting di pasukan sekutu, setiap murid gunung belakang akademi memiliki bidang keahlian khusus masing-masing. Kombinasi dari mereka menghasilkan efek yang tak wajar.
Inilah prinsip "terbuka untuk semua".
Makanya akademi mau menerima anggota Iblis Zong, jenius-jenius aliran Tao, melahirkan sosok seperti Ke Haoran dan Ning Que.
Inilah yang disebut pendidikan berbakat.
"Jadi baik yang bermain catur maupun mengunyah bunga, setelah belajar di akademi, akan menemukan dunia mereka sendiri."
"Apakah Sang Guru sudah memikirkan situasi saat ini sejak menerima murid bertahun-tahun lalu?"
Ye Hongyu diam-diam merenung, rasa hormat dan kekagumannya pada Sang Guru semakin membuncah dalam hati.
……
……
"Kami tidak boleh terhalang di luar Ngarai Hijau."
Imam Besar Tianyu mengangkat kepalanya, pandangannya menembus tirai tandu suci dan tertuju pada langit biru tanpa awan, berkata: "Langit Tak Berpelukan sedang bertarung dengan Sang Guru, hasilnya belum jelas. Maka kemenangan dalam pertempuran dunia manusia menjadi sangat krusial, dan Kota Chang'an adalah kunci pertempuran ini."
Cheng Lixue bersujud di sampingnya, mengangkat secangkir teh jernih.
Imam Besar Tianyu meneguk teh untuk melembapkan tenggorokannya yang kering, lalu berkata: "Sekarang Formasi Kejutan Pikiran telah dirusak sementara oleh perintah Pendeta Agung. Kunci Kota Chang'an terletak pada pertarungan antara guru utama dengan Guru Pertama. Selama Guru Pertama tidak bisa menahan guru utama, guru utama akan bisa membuka pintu gerbang Kota Chang'an."
Jari-jari Cheng Lixue bergetar halus. Baru sekarang ini dia mengetahui rencana lengkap aliran Tao, baru menyadari Kota Chang'an sedang berada dalam jebakan berbahaya seperti ini.
"Enam hari lagi pintu gerbang Kota Chang'an akan terbuka. Tapi sekalipun guru utama tidak bisa sepenuhnya menembus Formasi Kejutan Pikiran. Tak ada yang tahu kapan benteng megah itu bisa diperbaiki secara alami. Jadi pasukan harus buru-buru bergerak sebelum waktu habis."
Imam Besar Tianyu menatap ke arah utara di mana gunung hijau membentang di padang rumput, memandangi jalan keluar sempit Ngarai Hijau itu, dan berkata dengan ekspresi datar: "Lanjutkan. Selama mereka manusia, pasti akan ada saatnya kelelahan."
……
……
Bendera komandan berkibar di perkemahan pasukan sekutu.
Ratusan perintah militer mengalir dari markas komandan Bai Haixin ke berbagai kemah tentara.
Beberapa saat kemudian, derap kaki kuda yang padat bahkan terkesan keras kembali bergema.
Lebih dari dua ribu kavaleri berat, diiringi bunyi drum perang, bergerak keluar dari barisan lalu membentuk puluhan kelompok. Mereka menjaga jarak antar unit seperti awan hitam yang bergerak menyerbu Ngarai Hijau.
Di mulut ngarai, tiga ratus kuda perang terluka parah tergeletak sementara prajurit yang tersisa saling menopang untuk mundur. Gambaran ini membuktikan bahwa serangan frontal terhadap Ngarai Hijau sia-sia.
Tapi pasukan sekutu Kuil Xiling tak punya pilihan lain.
Jika mereka bertempur dengan infanteri atau menggunakan pasukan lapis baja, mereka hanya akan menjadi mayat yang dipanen oleh pedang Shixiong kedua. Satu-satunya yang bisa menandingi pedang besi lurus itu adalah kekuatan tumbukan.
Untuk menembus pertahanan akademi secara frontal, ini satu-satunya metode sekaligus cara terbaik.
Seperti dikatakan Imam Besar Tianyu: selama ada manusia, kelelahan pasti datang.
Pasukan sekutu Kuil Xiling berjumlah lebih dari 200.000 orang. Dengan sistem bergantian, mereka takkan pernah lelah.
……
……
Derap kaki kuda yang padat itu sekali bergema, tak pernah lagi terputus.
Lebih dari dua ribu pasukan berkuda, mempertahankan formasi paling efisien, melancarkan serangan gelombang ke Ngarai Hijau. Setiap gelombang tidak mengerahkan banyak kekuatan, tetapi memastikan murid Akademi harus menghadapi dengan sepenuh tenaga.
Yang terpenting, di bawah tekanan perintah militer yang ketat, pasukan berkuda ini harus menjaga serangan mereka terus-menerus tanpa jeda sejenak, tidak memberi kesempatan murid Akademi untuk beristirahat.
Gelombang pasukan berkuda hitam pekat tak henti menghantam jalan keluar Ngarai Hijau. Di sana seolah ada tembok penghalang tak kasat mata, karang yang tak terlihat.
Sekumpulan awan hitam melayang dan menghantam ngarai, hancur menjadi serpihan awan yang buyar. Gelombang hitam bergulung dan menabrak ngarai, pecah menjadi buih yang jatuh tanpa suara.
Erangan kesakitan kuda perang dan suara patah tulang bergema jelas di telinga semua orang, bahkan lebih nyaring daripada derap kaki kuda yang bergemuruh bagai petir.
Namun betapa pun mengerikan nasib pasukan depan, pasukan belakang tetap melancarkan serangan dengan wajah tanpa ekspresi. Misi mereka hari ini adalah mati sia-sia, tujuan mereka membuat murid Akademi lelah dengan kematian mereka sendiri.
……
……
Beigong Weiyang tidak merasa lelah, atau lebih tepatnya saat ini ia sama sekali tidak memahami arti kelelahan.
Seluruh perhatiannya tertumpu pada guqin di hadapannya. Ia menunduk, fokus mengamati getaran paling halus pada senar qin. Rambut hitamnya yang terurai berayun-ayun di depan mata.
Baju di tubuhnya sudah lama basah kuyup oleh keringat, bahkan rambutnya pun sudah lembap tak karuan. Saat jari-jarinya menari di senar, setetes keringat menggelantung dari ujung helai rambutnya.
Ssss—suara lembut terdengar saat butiran keringat itu jatuh menyentuh senar qin, dalam sekejap menguap menjadi asap kehijauan.
Tapi sama sekali tak ia hiraukan. Jari-jarinya terus bergerak lincah membangkitkan melodi bisu dari qin.
Ujung jari yang terbungkus kain katun sudah compang-camping, darah segar mengintip dari balik sobekan. Gerakannya secepat kilat—menjentik, memetik, memutar, menekan—seolah menciptakan simfoni tanpa suara.
Ximen Bukou juga tidak merasa lelah. Hanya ada rasa perih yang menggelitik.
Tangannya terasa nyeri.
Lapisan pelindung di bantalan jari sudah terkikis habis oleh gesekan tak terhitung kali saat menutup lubang seruling. Serpihannya beterbangan di sekitar seruling bambu, bagai kabut tipis.
Permukaan seruling yang awalnya mulus kini dihiasi bercak-bercak darah kering.
Warna merah tua alami seruling itu menyatu dengan noda darah, menciptakan gradien yang estetis.
Dua saudara seperguruan yang mahir di bidang musik ini biasanya paling cerewet dan suka melucu di gunung belakang akademi. Tapi begitu larut dalam dunia nada, aura mereka berubah—anggun bagai aliran air di lereng gunung.
Kini, semua pesona itu sirna. Wajah mereka pucat seperti mayat, bibir pecah-pecah, rambut acak-acakan. Penampilannya mengingatkan pada pemusik tua yang mangkal di pinggir jalan.
Ekspresi wajah mereka saat ini sangat serius, sangat berat, sangat khidmat.
Keberatan ini memancarkan aura yang memukau dari tubuh mereka.
