Pedang tak bisa masuk, tapi terus datang seperti angin dan hujan.
Pedang besi di tangan Jun Mo yang mengayun dengan kekuatan Gunung Hijau, lebih dari 200 pedang yang tertancap di lumpur di depannya terbang pecah udara berturut-turut, melukis garis-garis di langit musim gugur.
Seluruh padang rumput bergema dengan deru pedang yang menyayat hati, angin musim gugur yang sejuk mengkerut ketakutan melarikan diri ke segala arah, pemandangan paling otoriter ini menggetarkan pikiran semua orang.
Kemenangan sulit atas Ye Su membuat tubuh dan pikiran Jun Mo sangat lelah, tapi sebagai peluang, makna pedangnya justru mencapai puncak kejayaan, saat yang paling sempurna ketika ia berada dalam kondisi terkuat.
Namun tetap tak bisa mengalahkan Liu Bai.
Liu Bai mengarahkan pedangnya secara horizontal di depan dada, raut wajah tetap tenang.
Tidak ada yang tahu apakah pedang di tangannya benar-benar bergerak. Secara kasat mata, pedang berkarat ini terus terbaring horizontal di depan tubuhnya, diam tak bergerak. Namun mungkin juga sudah bergerak ribuan kali.
Saat ini di udara depan tubuhnya, 200 lebih pedang melayang berjejal-jejal. Karena jumlah pedang yang terlalu banyak menutupi cahaya langit, suasana terasa sangat mencekam, bahkan agak sesak.
Gambaran ini benar-benar menggetarkan.
Liu Bai menarik kembali pedangnya.
Dua ratus lebih pedang di udara yang kehilangan tumpuan, berjatuhan ke padang rumput dengan gemuruh dahsyat, bagai tumpukan kayu bakar yang tidak diikat rapi, berhamburan ke kedua sisi.
Liu Bai menatap Jun Mo dalam keheningan.
Tidak ada lagi kilau kekaguman di matanya.
Kekaguman adalah apresiasi ahli terhadap yang lemah.
Setelah serangan hujan pedang tadi, Liu Bai mengonfirmasi bahwa Jun Mo sekarang memiliki kualifikasi dan kemampuan untuk bertarung setara dengannya. Maka ia tak bisa lagi mengagumi, hanya bisa menghargai.
Bentuk penghargaan tertinggi Liu Bai terhadap musuh adalah melalui pedang.
Namun ia tidak sempat mengeluarkan pedang.
Karena Jun Mo sudah lebih dulu menyerang.
Kali ini Jun Mo tetap tidak menggunakan pedang besinya sendiri, melainkan pedang-pedang rusak yang direbutnya.
Pedang-pedang yang berhamburan bagai kayu bakar di depan Liu Bai masih bergoyang, lalu tiba-tiba melesat ke atas.
Dua ratus lebih pedang berubah menjadi kilatan-kilatan cahaya, melesat ke udara, menari liar di atas padang rumput depan Ngarai Hijau, di bawah langit musim gugur, lalu terjun bagai kilat.
Menghujam langsung ke Liu Bai!
Liu Bai mengerutkan alisnya, kembali mengangkat pedangnya secara horizontal.
……
……
Kemampuan pedang terbang bergantung pada kekuatan pikiran yang mengendalikan energi alam semesta, kemudian menguasai pedang. Semakin banyak jumlah pedang yang ingin dikendalikan, persyaratan tingkat kekuatan pikiran akan meningkat secara eksponensial.
Membuat benda nasib adalah hal yang sangat sulit. Di dunia pertapaan, jarang ada praktisi kultivasi yang sekaligus melatih beberapa benda nasib. Bahkan Ahli Pedang Besar tingkat Pemahaman Mendalam hanya akan menguasai pedang nasib mereka sendiri.
Jika memaksa membagi pikiran untuk mengendalikan lebih banyak pedang terbang, itu adalah pilihan yang sangat tidak bijaksana. Ketidakbijaksanaan ini lebih terletak pada tingkat kesulitannya.
Pertempuran di Paviliun Angin Semi pada Malam Hujan tahun itu, Chao Xiaoshu menggunakan lima pedang tingkat Pemahaman Mendalam untuk membunuh musuh. Peristiwa ini memicu obrolan panjang di dunia pertapaan. Meski banyak yang memuji bakatnya, tetap muncul beberapa kebingungan.
Kini Chao Xiaoshu telah lama mencapai tingkat Zhi Ming. Jumlah pedang terbang yang bisa dikendalikan sudah jauh melebihi lima. Namun justru karena kehilangan fokus adalah pantangan besar dalam Jalan Pedang, ia jarang menggunakan cara ini.
Tapi Jun Mo hari ini sengaja melakukan hal tersebut.
Rombongan pedang beterbangan di langit depan Ngarai Hijau bagaikan kawanan burung. Terus-menerus menyambar dengan laju kencang, terpental oleh tembok penghalang di sekitar tubuh Liu Bai, lalu melesat cepat di udara sebelum kembali menyambar.
Ada jejak pedang terbang yang lurus bagai garis, kecepatannya luar biasa cepat seperti kilat. Ada pula pedang terbang yang bergerak melingkar di udara layaknya goresan kuas lembut di atas kertas. Beberapa lintasan pedang tak bisa ditebak, tiba-tiba di timur lalu pindah ke barat, menari liar bak naga mengamuk. Lebih dari dua ratus pedang terbang seolah memiliki nyawa sendiri.
Ratusan pedang terus menari-nari, meliuk antara langit dan bumi. Sinar mentari musim gugur yang terpantul dari bilah-bilah pedang menyebar ke seluruh penjuru padang rumput. Seluruh langit berkilauan, menciptakan pemandangan yang megah tiada tara.
Berbeda dengan pertarungan melawan Ye Su, penampilan Jun Mo kali ini penuh kemewahan dan terkesan sangat berani.
Kekuatan pikirannya mengamuk bagai angin topan. Dari jarak ratusan zhang, dia mengendalikan lebih dari dua ratus pedang dengan presisi yang mengagumkan, melukiskan adegan yang membuat semua yang menyaksikan terpana!
Pasukan sekutu Kuil Xiling yang menyaksikan pertarungan di padang selatan memandang langit yang dipenuhi kilatan pedang dengan perasaan terguncang. Para ahli pedang khususnya wajahnya pucat pasi, dalam hati bertanya: "Inikah masih disebut manusia?"
……
……
Kecenderungan pedang Liu Bai lebih dahsyat.
Dia bisa merebut kendali pedang-pedang terbang itu dengan kekuatan pikiran yang perkasa, seperti yang dilakukan Jun Mo terhadap para kultivator kemarin. Meski tidak semua berhasil, setidaknya sebagian besar bisa ditaklukkannya.
Tapi dia enggan menyisihkan sedikit pun konsentrasi untuk hal ini. Sebab dia hanya terbiasa menggunakan satu pedang. Sebab hanya kesederhanaan mutlak yang melahirkan kekuatan sejati - sebilah pedang mengalahkan sepuluh ribu bilah.
Dia menempatkan pedang secara horizontal di depan tubuhnya, sama sekali tak peduli mengulangi jurus-jurusnya sendiri.
Ratusan pedang yang beterbangan antara langit dan bumi tak bisa menembus area satu chi di depannya.
Berbeda dengan yang lain, Liu Bai tak tergoyahkan oleh pemandangan spektakuler ini. Sebaliknya, dia justru bingung mengapa Jun Mo menggunakan begitu banyak pedang.
Persis seperti kemarin ketika Jun Mo tak mengerti alasan Yeh Hongyu menggunakan ribuan pedang.
Meski sudah mencapai level keadaan meditasi tinggi mereka, kehilangan fokus saat mengendalikan pedang sebenarnya bukan lagi pantangan utama. Tapi Liu Bai yakin Jun Mo pasti paham prinsip kesederhanaan yang melahirkan kekuatan sejati.
Segala yang melawan logika biasa pasti memiliki alasan rasional di baliknya.
Yeh Hongyu kemarin meluncurkan ribuan pedang karena sedang menyusun formasi sangkar.
Apa tujuan Jun Mo? Atau jangan-jangan dia sengaja menggunakan cara ini untuk memancing Liu Bai berpikir lebih lama, bahkan berharap konsentrasinya goyah?
Liu Bai tetap tenang.
Dia melangkah mantap menuju Ngarai Hijau, pola langkahnya tetap stabil.
Saatnya berjalan, pedang di tangannya pun bergerak mengikuti. Demikianlah dunia satu chi di depannya terus bergerak bersamanya.
Deru pedang di Ngarai Hijau semakin menusuk telinga. Dua ratus lebih pedang bagai burung-burung rela mati terus menggempur bumi, dentuman keras bagai gemuruh petir bergema di padang rumput.
Langkah Liu Bai tetap tak goyah.
……
……
Dialah Legenda Pedang.
Ahli terkuat di dunia saat ini.
Penampilannya hanyalah pria paruh baya biasa.
Pedang di tangannya adalah pedang berkarat yang bahkan lebih buruk dari pedang biasa.
Ia mengarahkan pedang secara horizontal di depan tubuhnya, cara berjalannya bahkan terlihat konyol dan menggelikan.
Menghadapi tarian pedang indah Jun Mo, caranya menghadapi terlihat begitu kikuk.
Tapi... tak ada yang bisa menembusnya.
Bahkan jika kakak senior berdiri di depan Ngarai Hijau, hanya bisa menghindar, tak bisa menembus.
Karena ia membawa dunianya sendiri dalam setiap langkah, siapa pun yang masuk dalam radius satu chi di depannya pasti kalah.
Liu Bai bergerak maju menuju Ngarai Hijau langkah demi langkah.
Langkahnya mantap namun lambat, gerakannya terlihat kaku.
Kekakuan ini melambangkan kehati-hatian.
Sebagai ahli terkuat di zamannya, kekakuan ini adalah bentuk penghormatan.
Penghormatan pada Akademi, penghormatan pada Jun Mo.
Kekakuan ini mungkin juga menyimpan makna yang lebih dalam.
Dunia sejengkal Liu Bai tak bisa ditembus, tapi bisa dihindari, bisa ditinggalkan.
Langit Biru Maha Melihat, ini mungkin kesempatan terakhir para anggota Akademi untuk pergi.
Jika Jun Mo dan murid Akademi mau pergi, mereka tak perlu menghadapi dunia sejengkal Liu Bai, bisa bebas menjelajah langit dan bumi.
Tapi Jun Mo tak mau mundur. Ia mengangkat pedang besi di tangannya.
Pilihannya saat ini tak terkait Dinasti Tang, tak terkait Akademi.
Semangat sedang membara, jiwa pahlawan sedang berkobar.
Junzi tak melangkah di jalan buntu, biarlah sejengkal atau sejauh langit dan bumi.
Jangan bahas hal lain, biar kutebas dulu si brengsek ini.
……
……
（Akhirnya awalnya aku menulis kalimat: Dalam hidup manusia, yang dicari pada akhirnya hanyalah keindahan sesaat, tapi merasa terlalu lebay jadi tidak dimasukkan. Adapun kata 'ya' di akhir, setelah berpikir lama akhirnya tetap kumasukkan. Teman Beijing bilang, kata 'ya' seharusnya hanya dipakai di belakang 'kau', tapi urusan babi hutan!)
