Sejak perang meletus, asap mesiu mengepung seluruh wilayah Tang.
Paling mengenaskan di perbatasan utara, pasukan kavaleri Kemah Emas Pangeran yang menyerbu dari padang gurun terus bertempur dengan Pasukan Utara. Setiap petak padang rumput dan kota pertahanan dibasahi lautan darah.
Yang paling heroik adalah perbatasan timur. Pasukan perbatasan timur laut Kekaisaran Tang di Chengjing menjadi sasaran penyergapan pasukan Yan dan kavaleri Donghuang. Meski dengan semangat luar biasa membuat musuh membayar mahal, setelah pertempuran ini tak ada lagi pasukan tersisa. Perbatasan terbuka lebar, membiarkan kuku kuda penjajah menginjak-injak tanah subur.
Yang paling berbahaya adalah wilayah selatan. Kabupaten Qinghe memberontak, Jenderal Besar Xu Shi gugur dalam pertempuran. Pasukan Zhennan yang bergegas kembali dari jarak seribu li terlambat waktu. Para murid akademi yang bertarung satu lawan seribu semuanya terluka parah. Pasukan utama Kuil Xiling setiap saat bisa menembus Ngarai Hijau dan masuk ke jantung wilayah.
Daerah Sungai Wei-Si yang paling makmur dan strategis di Tang sementara belum tersentuh perang. Pemerintah Tang yang terkenal efisien telah mempersiapkan skenario terburuk sejak beberapa hari sebelumnya. Cadangan makanan dari berbagai kabupaten terus dikirim ke Chang'an dengan gerbong kereta, sementara warga pinggiran ibu kota telah dievakuasi ke dalam kota.
Meski evakuasi berjalan tertib dan pengungsi tidak terlalu menderita, tetaplah mereka korban perang yang tak mungkin menikmati hidup nyaman.
Ratusan ribu pengungsi yang masuk Chang'an memilih tinggal dengan kerabat jika punya. Yang tak punya saudara diatur paksa oleh Kantor Walikota untuk tinggal di rumah penduduk kota.
Kabupaten Haichuan di Komanderian Tianbao sangat dekat dengan Kota Chang'an. Pemuda dari kecamatan bersama ibu dan adik perempuannya yang masih kecil adalah penduduk Haichuan. Karena tidak memiliki sanak saudara di kota, mereka diatur oleh pemerintah untuk tinggal di keluarga San Yuan Li. Lokasi ini berdekatan dengan Jalan Utama Zhu Que, di mana penghuni biasanya memiliki kamar kosong. Pengaturan ini bisa dikatakan cukup tepat.
Pemuda desa itu telah tinggal di keluarga tersebut selama beberapa hari. Setiap hari ia mendapat dua kali makan nasi hangat. Meskipun tinggal di gudang kayu, tuan rumah menyediakan beberapa lapis selimut. Namun sebagai tamu yang menumpang di bawah atap orang lain, tetap ada banyak ketidaknyamanan. Siapa yang tak merindukan kang* hangat, asinan kubis, dan tubuh gemuk di rumah saat mengungsi?
Ini adalah pengaturan pejabat. Kantor pemerintah daerah berjanji akan mengganti semua biaya setelahnya. Di masa krisis seperti ini, keluarga di Kota Chang'an ini tentu tak berkeberatan. Hanya saja kehadiran tiga pengungsi secara tiba-tiba membuat rumah terasa sempit, terutama si pemuda kota yang masih muda itu sering menunjukkan ketidakpuasan.
Terhadap sikap pemuda kota itu, si pemuda desa telah lama menyimpan kemarahan. Dalam hati ia berpikir: "Jika bukan karena kami para petani yang hidup hemat mengirimkan bahan pangan ke Kota Chang'an, kalian pasti sudah mati kelaparan!"
Sang ibu memahami perasaan anaknya, namun tetap menasihati: "Dengan tinggal di Kota Chang'an, setidaknya kita punya nasi hangat dan tempat berteduh. Tak perlu khawatir disakiti suku biadab itu. Masih bisa mengharapkan kehidupan seperti apa lagi?"
Anak desa yang tadinya sudah diyakinkan, tak menyangka salju tiba-tiba semalam membuat suhu Kota Chang'an turun drastis sejak pagi, sampai sekarang dinginnya hampir tak tertahankan. Ia pergi ke halaman depan meminta air panas pada tuan rumah, tak disangka si remaja itu pelit hanya memberinya satu kendi, tak mau memberi lebih. Memikirkan betis ibunya yang sering sakit karena dingin, amarahnya semakin tak terbendung.
Tak disangka sebelum sempat mencari masalah, si senjata itu malah menyergap masuk ke gudang kayu.
"Zhang San, kau mau apa?!"
Anak desa itu menatap sosok bersenjata dua pisau itu dengan ekspresi tegang, mengira lawannya benar-benar berniat jahat. Tangannya diam-diam meraih bangku di samping baskom api sambil kaki mundur perlahan, dalam hati bertekad: Jika benar-benar disakiti, bertarung habis-habisanlah!
Bangku itu dibawanya dari Kecamatan Haichuan, terbuat dari kayu keras asli dilapisi vernis jernih, sungguh berat dan kokoh. Waktu kecil saat diejek punya banyak ayah, pernah mencoba bertarung dengan bangku ini, membuktikan keampuhannya dengan membuat tiga kepala anak desa pecah.
Anak kota bersenjata dua pisau yang nyelonong masuk gudang kayu ini memang marga Zhang, tapi tentu bukan bernama Zhang San. Nama lengkapnya Zhang Nianzu, juga bukan anak ketiga.
"Li Si, ada urusan denganmu." Zhang San menatap anak desa itu berkata.
Anak dari kecamatan ini bermarga Li, bernama Li Guangdi, bukan anak keempat. Panggilan antara dua remaja ini sebenarnya hanya lanjutan dari saling mengejek dan bertengkar beberapa hari sebelumnya.
Li Guangdi mengawasi tangan Zhang Nianzu yang memegang pisau dengan waspada. Tapi sebentar kemudian, dia menyadari situasinya tidak seperti yang dibayangkannya, karena tangan Zhang Nianzu bergetar dan wajahnya terlihat pucat mengerikan.
Li Guangdi sangat meremehkan anak kota yang pengecut dan tak berguna. Tapi setelah bertarung selama beberapa hari ini, dia tahu Zhang Nianzu bukan tipe orang seperti itu. Baik saat berkelahi maupun mengintimidasi, tak mungkin dia sampai pucat wajahnya.
Karena jelas itu akibat ketakutan.
Zhang Nianzu menatap Li Guangdi sambil berkata: "Aku melihat siluman."
Wajahnya pucat, pisau dapur dan golok di tangannya bergetar hebat bahkan sampai menimbulkan suara desiran angin.
Zhang Nianzu menelan ludah dengan susah payah, lalu melanjutkan: "Keluarga sangat ketakutan, tak ada yang berani pergi ke jalan untuk melawan siluman itu. Tapi... aku ingin mencoba."
Li Guangdi tampak bingung dan bertanya: "Siluman seperti apa?"
Zhang Nianzu menjawab: "Makhluk berbaju hijau, tangan kirinya hanya punya dua jari. Tapi satu langkahnya bisa menempuh setengah jalan, dan bisa memanggil angin dan hujan. Jelas-jelas siluman!"
Mendengar ini, Li Guangdi langsung paham maksudnya. Wajahnya langsung berubah suram.
“Sejak beberapa hari lalu, Pemerintah Kota Chang'an beserta para lurah di berbagai kelurahan dan anggota Gang Naga Ikan telah membagikan peringatan ke setiap rumah. Meski tinggal di gudang kayu bersama ibu dan adik perempuannya, dia tahu apa yang akan terjadi hari ini.”
“Salju pagi turun tanpa asap dapur. Kota Chang'an hari ini tampak kosong, namun sebenarnya semua orang di rumah menunggu dengan tegang dan gelisah hasil akhir perang ini.”
“Li Guangdi terbangun sangat pagi. Berdiri di tengah badai salju di halaman belakang, dia menyaksikan pemandangan yang sebelumnya hanya ada dalam cerita dan legenda: celah di awan salju yang terkoyak, ribuan kilat menyambar dari langit, hujan di puncak musim dingin, serta awan yang membara.”
“Dia sangat takut sehingga berhenti memandang. Mulai mengeluh pada ibunya tentang tidak ada air panas, mencoba menekan rasa takutnya dengan kebencian yang tertahan pada remaja di halaman depan kota.”
“Meski masih remaja, sebagai warga Tang, dia merasa rasa takut itu sangat memalukan.”
“Li Guangdi tidak menyangka Zhang Nianzu berani mengintip pertarungan di jalan. Mengingat ketakutannya sendiri sebelumnya, pipinya terasa panas karena malu.”
“Ngapain kau ceritain ini ke aku?”
“Untuk menutupi rasa malunya, dia melototi Zhang Nianzu sambil berkata kasar.”
“Zhang Nianzu tidak menyukai logat Haichuan-nya, tapi sambil memikirkan hal yang akan dilakukannya nanti, dia menahan keinginan untuk menertawakannya dan menelan ludah yang terus keluar karena gugup.”
“Siluman jubah hijau itu sangat mengerikan, Guru-guru Akademi sepertinya tak ada yang bisa mengalahkannya.”
Dia berkata: "Aku hendak ke sana, tapi para pria tua di halaman depan itu terlalu pengecut, tak berani ikut aku... Kurasa setidaknya kau masih punya nyali, Berani tidak kau ikut aku?"
Li Guangdi bertanya: "Mau melakukan apa?"
Zhang Nianzu menjawab: "Pergi membantu."
Li Guangdi bertanya lagi: "Bagaimana cara membantu?"
Zhang Nianzu mengangkat dua pisau di tangannya: "Golok dan Pisau Dapur, silahkan pilih dulu."
