Deklarasi berdarah panas yang penuh semangat dan berwibawa, tiba-tiba berubah menjadi makian bermakna ganda. Kakek Chao berteriak keras akan menghantam nenek guru utama, lalu menghujamkan tongkatnya.
Orang biasa maupun luar biasa tetaplah manusia. Setelah mati akan berubah menjadi tanah dan abu. Tapi selama masih hidup, perbedaan mereka sangat besar. Tongkat orang tua itu tentu tak mampu menjatuhkan guru utama.
Orang-orang di jalan salju mengira Kakek Chao sudah mati. Tapi kenyataannya patriark itu masih hidup, karena guru utama sama sekali tak bereaksi, hanya berjalan tenang melewatinya.
Kakak senior samar-samar menangkap maksud guru utama. Aliran Tao ingin menembus Kota Chang'an sekaligus menghancurkan jiwa warganya. Pembantaian di jalan raya ini adalah cara terkuat untuk menghancurkan cangkang keras warga Tang, menginjak-injak kesombongan mereka ke lumpur. Jika pembunuhan tak menyelesaikan masalah, maka dia memilih mengabaikan.
Namun guru utama masih belum sepenuhnya memahami orang Tang. Kakek Chao yang nyaris mati di ujung tanduk tak menjadi bingung atau ragu karena pengabaian ini, apalagi sampai takut.
Gagal memukul ya sudah, lain kali coba lagi. Tak mati lebih baik daripada mati. Untuk apa ragu-ragu? Kakek Chao bertongkat berjalan ke pinggir jalan sambil memaki-maki. Makiannya begitu kotor, bahkan melebihi kekotoran hal-hal najis di hamparan salju.
“Guru Utama sedikit mengerutkan alis, lalu melanjutkan perjalanan menuju Ning Que, tak lama kemudian adalah istana.”
“Kakak senior berkata: "Ini tidak benar."”
“Guru Utama berkata: "Meski Tang kuat, Langit akan menghancurkan Tang, apa yang bisa kau lakukan?"”
……
……
“Di depan Ngarai Hijau.”
“Ye Hongyu menatap Jun Mo di seberang, darah mengalir dari lengan bajunya tak henti ke tanah, bercampur dengan darah busuk yang mengendap selama berhari-hari.”
“Ia tenang, karena tahu luka Jun Mo jauh lebih parah darinya. Lawannya kini sedang membakar sisa kekuatan pikiran bahkan nyawanya, meski menghadapi ajal.”
“Melihat wajah Jun Mo yang tetap datar, murid Akademi yang berlumuran darah di belakangnya, mengingat pertempuran beruntun mencekam selama tujuh hari di Ngarai Hijau - bagaimana beberapa orang ini bisa menghadang pasukan sekutu Kuil Suci yang besar di selatan Tang...”
“Melihat orang seperti Jun Mo yang bertaruh nyawa, bahkan ia pun tersentuh. Di kedalaman pupilnya berkilau cahaya suci, tercampur belas kasihan dan hormat.”
“"Langit akan menghancurkan Akademimu, apa yang bisa kau lakukan?"”
“Ia menatap Jun Mo berkata.”
“Jun Mo menengadah ke langit. Hujan telah reda, awan belum sepenuhnya sirna, beberapa bagian langit biru terlihat seperti pecahan keramik.”
“Bahkan jika awan menghilang dan langit cerah, di siang hari mustahil melihat bulan purnama. Sebelum gugur, ia hanya ingin memandang mentornya sekali lagi.”
"Dia tidak langsung menjawab pertanyaan Yeh Hongyu, melainkan berkata: 'Chao Xiaoshu adalah orang yang luar biasa. Seandainya tidak ada kejadian tak terduga waktu itu, seharusnya dia menjadi adik seperguruanku.'"
Yeh Hongyu tahu siapa Chao Xiaoshu, hanya saja tidak mengerti mengapa Jun Mo tiba-tiba menyebut namanya saat ini.
Jun Mo menatap langit, mencari jejak bulan purnama yang tertinggal dalam tujuh malam sebelumnya, lalu melanjuttkan: "Hanya karena dia lebih memilih mengikuti Kaisar sebelumnya, akhirnya tidak masuk akademi."
"Dulu Kaisar sebelumnya memutuskan membersihkan istana, maka terjadilah peristiwa Paviliun Angin Semi semalam itu."
Yeh Hongyu tahu legenda Malam Paviliun Angin Semi yang termasyhur. Nama Chao Xiaoshu dan Ning Que mulai masuk dalam radar Kuil Xiling justru setelah malam hujan itu.
Jun Mo mengalihkan pandangan, menatapnya seraya berkata: "Sebelum malam itu, Chao Xiaoshu pernah mengucapkan dua kalimat saat bernegosiasi dengan lawan di Hong Xiu Zhao. Dua kalimat itu kemudian tersebar luas di Kota Chang'an."
"Dua kalimat yang diucapkannya waktu itu adalah seperti ini."
Jun Mo berkata: "Langit jika bisa merangkul, aku akan hidup. Manusia jika tak bisa menerima, aku akan membunuh."
Yeh Hongyu tiba-tiba merasa tubuhnya dingin, karena dia tahu apa yang akan didengar selanjutnya.
Meski kini seluruh dunia menyerang Tang, Gerbang Tao Haotian dan negara Tang sudah tak mungkin berdamai, tetap saja dia tak menyangka di dunia Langit Tak Berpelukan ini, ada yang bisa menyebut masalah ini dengan tenang dan teguh.
Tepat seperti dugaannya, Jun Mo menggoyangkan lengan kanannya dengan lembut. Pedang besi persegi yang lebar itu menyiramkan percikan darah.
"Dia menggenggam pedang besi, menatap Yeh Hongyu, seolah melihat langit di atas kepalanya, berkata: 'Aku selalu merasa dua kalimat ini tidak tepat, karena langit tak menerimaku, aku juga harus hidup.'"
"Jika langit pencuri ini benar-benar tak mengizinkanku hidup, maka... aku juga tak akan membiarkannya hidup."
"Akhirnya dia berkata: 'Setidaknya jangan biarkan ia hidup terlalu nyaman.'"
……
……
Di jalan bersalju Kota Chang'an.
Kakak senior menatap guru utama sambil berkata: "Guru pernah mengatakan, ke mana hati manusia berpaling, langit pasti mengikuti."
"Jika langit tak mengikuti, jika langit tak menerima, lalu apa yang akan kau lakukan?"
Guru utama berhenti melangkah, memandang langit yang terus menurunkan salju. Setelah terdiam sejenak, dia berkata dengan nada melankolis: "Coba kalian tengadahkan kepala. Pernahkah Langit Biru mengampuni siapapun?"
Hening menyelimuti. Tak ada yang berbicara, karena tak ada yang bisa menjawab pertanyaan guru utama.
Di hadapan kekuatan mutlak, keberanian patut dipuji namun tak berdaya. Di bawah tatapan dingin langit, keinginan manusia seolah tak pernah menjadi hal penting.
Praktisi spiritual kurus diam. Nenek Chu diam. Yang terluka diam. Yang mati tak bisa lagi bersuara. Bahkan bibir Chao Erbai yang bergetar sesaat pun tak mengeluarkan kata.
Akhirnya, sebuah suara menerobos keheningan dunia manusia.
Suara itu serak dan kering, mungkin karena lama tak minum dan kehilangan terlalu banyak Darah dalam tubuh, terdengar menyakitkan telinga.
Suara ini terdengar sangat lelah, bahkan agak lemah, namun mengandung keteguhan yang luar biasa. Yang dimaksud 'nyaring menusuk telinga' bukanlah suara seperti benda tajam menggesek permukaan cermin, melainkan lebih mirip suara pecahnya cermin.
Suara itu berkata: "Kalau begitu musnahkan itu."
……
……
Guru utama menatap ke belakang kerumunan, melihat wajah Ning Que yang penuh darah.
Kemudian dia melihat mata Ning Que.
Untuk pertama kalinya tatapan mereka saling bertemu dengan keaslian yang begitu nyata.
Ning Que menatapnya sambil berkata: "Hati manusia merindukan, langit pasti menuruti. Jika langit tidak menuruti, musnahkan saja. Menurutku ini prinsip yang sangat sederhana."
Guru utama melihat keteguhan dan keyakinan yang terpancar dari mata Ning Que, perlahan mengangkat alisnya.
……
……
Jari Dewa Sungai Dunia membuat Ning Que terluka parah, keyakinannya hancur berantakan. Namun saat itu, dunia spiritualnya tetap teguh. Tapi kemudian, dia mulai menjadi linglung secara bertahap.
Dia menyaksikan dua remaja itu menangis histeris sambil melakukan percobaan paling tak terbayangkan di dunia manusia. Maka diputuskanlah untuk berdiri, dan benar-benar berhasil bangkit.
Tapi dia hanya bisa menyandarkan tubuh lemahnya pada pisau tajam.
Kemudian ribuan orang biasa berlari melewatinya, menuju lautan hitam kematian.
Dia melihat banyak orang mati di depan matanya.
Menurutnya ini salah.
Pilihan orang-orang biasa ini sepenuhnya bertentangan dengan pemahamannya tentang dunia, melanggar aturannya. Meski dia pernah menyaksikan adegan serupa di medan perang, pemandangan yang dilihatnya hari ini tetap memberikan guncangan mental yang sulit ditanggung dan sangat menggetarkan.
Karena sebelumnya, dia selalu menempatkan diri di luar jebakan.
Kini, di jalan ini, dia berada di dalam jebakan.
Tubuh dan rohnya, bersama semburan darah segar, tubuh-tubuh yang berjatuhan, dan roh-roh yang tercerai-berai, akhirnya perlahan mendarat di dunia ini.
Dulu dia rela mati untuk Kota Chang'an karena tanggung jawab dan emosi - tanggung jawab pada Akademi, Sang Guru, Guru Yan Se, dan Kaisar. Dia bersikeras itu bukan karena darah panas.
Dia mengira darahnya dingin. Saat darah dalam tubuhnya mulai memanas bahkan mendidih, kebingungan menyergapnya, kondisi mentalnya menjadi linglung.
Samar-samar dia merasakan suatu kekuatan.
Dia pernah menyaksikan kekuatan itu, bahkan berkali-kali.
Tapi tak satu pun seautentik yang dirasakannya di jalan bersalju ini.
Pada saat itu, suara parau mulai bergema di telinga dan hatinya.
Dia tak tahu itu adalah suara Chao Erbai yang sedang berbicara.
Suara parau itu bergema di seluruh negeri Tang. Kesadarannya seolah melayang mengikuti panorama alam indah ini, menyaksikan berbagai jenis manusia di setiap penjuru.
Orang-orang itu sedang bertarung, berbaris, bertarung habis-habisan, MENUJU KEMATIAN, bertahan, atau hanya menunggu, tetapi penantian itu dipenuhi keteguhan yang menggetarkan.
Dia melihat banyak orang, semuanya orang-orang yang terhebat.
Kemudian banyak gambar muncul, melintasi cepat di depan matanya.
Dia melihat golok berdarah di gudang kayu, sawah retak di Hebei, orang-orang kelaparan seperti hantu, Gunung Min yang luas, pemburu berpengalaman, tanah Kota Wei, lentera megah Kota Chang'an di malam hari, danau di padang belantara, serta makam berlumut di Kuil Rotten Ke.
Dia melihat banyak manusia, mungkin bukan yang terhebat, tapi mereka tetaplah manusia.
Seolah kembali ke samadi di patung batu Kuil Rotten Ke, masih berdialog terakhir dengan Liansheng di gunung tulang pintu gerbang gunung Iblis Zong. Seperti melihat ahli talisman dari suku primitif yang pernah disaksikannya saat pertama memasuki ilmu jimat di musim panas itu.
Manusia purba bertarung dengan binatang buas di padang belantara, mulai memakai kulit binatang, memakan daging, tinggal di gua. Lalu mulai menggarap sawah, memelihara ternak, makan lebih banyak daging. Manusia terus makan daging, menciptakan berbagai metode memasak, memastikan daging harum agar bisa makan lebih banyak - karena makan daging membuat manusia menjadi kuat.
Dia melihat manusia membangun rumah-rumah, membentuk desa dan jalan, akhirnya menyaksikan benteng megah berdiri di dataran, seolah hendak menusuk langit - itulah Kota Chang'an.
Dia berjalan di Kota Chang'an, melihat kedai bakpao yang pernah dilihatnya beberapa hari lalu, batu hijau itu, teringat pada napas yang pernah dirasakannya hari itu - kekuatan yang hanya dimiliki Dunia Manusia.
Kekuatan ini bisa mengubah tatanan dunia.
Kekuatan ini bisa mengalahkan waktu.
Kekuatan ini yang paling biasa namun tak biasa, paling menyilaukan namun tak menarik perhatian, berupa kabut panas kedai bakpao atau sebatang bata biru di tembok kota, namun juga merupakan warisan kecerdasan dan perlawanan pantang menyerah.
Ning Que tiba-tiba merasa sangat tersentuh.
Kekuatan ini begitu mulia.
Tapi jaraknya dengan 'itu' begitu dekat, bisa merasakan dengan begitu nyata.
Dia merasakan dirinya yang kecil, tapi tidak seperti saat menghadapi Langit Tak Berpelukan yang membuatnya marah karena kekerdilannya, kini justru muncul rasa hormat dan kerinduan.
Karena sekecil apapun dirinya, dia adalah bagian dari kekuatan ini.
Sehebat apapun kekuatan ini, berasal dari berjuta-juta dirinya yang kecil.
