Bab Tiga Puluh: Gadis Nanhai

　　Tak ada rahasia yang bisa disembunyikan selamanya di dunia fana. Sebaliknya, tambahan kata "rahasia" justru mempercepat penyebarannya. Seperti yang diduga Ning Que, Kota Chang'an bahkan telah menerima informasi terkait perayaan Cahaya sebelum dirinya, mengetahui kabar bahwa Chen Pipi akan dibakar hidup-hidup. 　　Perayaan Cahaya sudah terlalu lama tak diadakan. Meski gua koleksi buku di gunung belakang akademi memiliki literatur sebanyak lautan, catatan relevan yang ditemukan masih sedikit. Orang-orang tak paham mengapa Kuil Xiling menjadikan Chen Pipi sebagai persembahan, namun mereka sangat menyadari niat jahat yang tersembunyi di baliknya - aliran Tao menggunakan nyawa Chen Pipi untuk memaksa anggota akademi meninggalkan Chang'an, dengan target utama tentu Ning Que. 　　Bahan-bahan langka dari berbagai wilayah Kekaisaran Tang terus mengalir masuk ke istana. Kereta kuda hitam berat itu masih tetap terparkir di dalam istana. Semua kabar dari berbagai pihak membuktikan Ning Que masih berada di istana, bersama kakak senior memimpin perbaikan Formasi Kejutan Pikiran. Mampukah ia hanya berdiam diri menyaksikan Chen Pipi menemui ajalnya? 　　Orang-orang di gunung belakang akademi tentu tahu ke mana Ning Que pergi. Hanya saja karena jarak yang sangat jauh antara kedua tempat, mereka tidak tahu keputusan apa yang akan dibuat Ning Que, dan tidak mungkin terus menunggu. Sebelum surat Ning Que tiba di Chang'an, seseorang di gunung belakang telah membuat keputusannya sendiri, bahkan tanpa sempat merenung. 　　Kakak senior menatap gadis yang masih terlihat kekanak-kanakan dan menggemaskan di depan aula, memperhatikan sepatu kulit kecil usang di kakinya, dan pisau darah raksasa yang lebih mirip tongkat besi di tangannya. Setelah berpikir sejenak, ia berkata: "Gurumu tidak ada di Chang'an, saya tak bisa membatasi Anda. Tapi saya ingin kau mengerti makna dari keputusan ini." 　　Yu Lian diam-diam meninggalkan akademi. Tidak banyak yang tahu ke mana ia pergi, kecuali Tang Xiaotang. Ia menyadari mustahil menunggu kedatangan guru atau kakaknya. Dengan penuh hormat dan keteguhan ia berkata: "Paman Seperguruan, saya mengerti maksud Anda. Hanya saja jika tidak pergi melihat, sulit mencapai ketenangan hati." 　　Di dalam sepatu kulitnya terdapat banyak kerikil kecil. Bajunya dipenuhi debu. Selama enam bulan terakhir, ia terus memperlebar anak tangga batu di tebing terjal gunung belakang akademi. Baik guru ada maupun tidak, ia tetap jongkok di anak tangga batu yang curam, mengucurkan keringat, tanpa lelah bertarung melawan batu keras dengan tongkat besi di tangannya. 　　Dulu di tebing salju padang gurun, perbedaan kemampuan teknis antara dirinya dengan Yeh Hongyu hampir seimbang. Kini Yeh Hongyu telah menjadi pertapa besar di puncak Zhi Ming, sementara dia seolah masih bertahan di tingkat yang sama seperti dulu. Alasan utamanya bukan karena kurang bakat, melainkan perbedaan mendasar antara kultivasi Sekte Iblis dengan aliran Tao. 　　Yu Lian memaksanya terus menerus terjun air terjun dan menanggung penderitaan. Ini adalah tugas harian yang diberikan guru kepada murid, sekaligus proses pengasahan Patriark Iblis Zong terhadap generasi muda. Bertahun-tahun belajar giat dan pengasahan yang kejam membuat jati diri esensial gadis Sekte Iblis ini terkonsolidasi ke tingkat yang tak terbayangkan. Namun keadaan meditasinya belum mengalami perubahan kualitatif, karena dia masih membutuhkan momen untuk melepaskan akumulasi tersebut. 　　Tang Xiaotang yakin sekarang adalah waktu terbaik untuk meningkatkan keadaan meditasinya - Dia harus pergi ke Gunung Persik, menemui Chen Pipi, dan akan menghadapi ribuan pertempuran berbahaya dan kejam. Bagi kultivasi Sekte Iblis, pertempuran adalah satu-satunya jalan meningkatkan kemampuan. Hanya pertempuran yang benar-benar mengenaskan yang bisa melahirkan ahli sejati. 　　“Dia adalah gadis yang ingin menjadi wanita terkuat di dunia, karena itu tak pernah gentar menghadapi pertarungan. Hanya saja ketika berpamitan dari akademi, sepertinya dia tak menyangka—bahkan jika kini sekuat Yeh Hongyu sekalipun, tetap mustahil menyerbu langsung Gunung Persik untuk menyelamatkan Chen Pipi. Meski bisa menemukan hakikat sejati keahlian dalam pertarungan, yang menanti bukan tatapan menggetarkan dunia pertapaan, melainkan kematian membeku.” 　　“Semua itu tak penting. Seperti ucapannya sebelumnya, yang dia cari adalah ketenangan hati, yang dia kejar adalah pertarungan. Jika tak berani bertarung, bagaimana mungkin hati tenang?” 　　Kakak senior menatapnya, seolah melihat bayangan adik seperguruan perempuan bertahun silam—yang dulu mengikuti mentor ke akademi dengan rok hijau dan tatapan matang yang mengerikan... 　　“Jika menghadapi masalah, ikuti semua instruksi Paman Sepurguruanku.” Pesannya. 　　“Jika Paman Sepurguruanku punya alasan, aku akan menuruti.” Tang Xiaotang menjawab. 　　Dia merapikan tongkat besinya, membersihkan debu di tubuh, mengibaskan bebatuan dari sepatu. Dengan begitu, ia meninggalkan Kota Chang'an menuju Kerajaan Suci Xiling yang jauh, menyusuri jejak si bodoh gemuk. 　　…… 　　…… 　　Angin berhembus di laut, gelombang pun bergulung. Air laut biru nila terus mengaduk resah, hingga langit biru yang memantulkan warna air itu dipenuhi awan gelisah. 　　Sebuah perahu kayu berwarna hitam legam menembus ombak dari jantung samudera. Para nelayan di tepi sungai dan kuli di dermaga tak ada yang bisa melihat dari mana perahu hitam ini muncul sebelumnya, menimbulkan perasaan yang teramat kuat seolah perahu ini tiba-tiba melompat ke permukaan dari dunia bawah. 　　Perahu itu merapat ke dermaga dengan perlahan. Para wanita penjual air jernih dan makanan terus berteriak—rasa aneh itu tetaplah tak lebih penting dari bertahan hidup—namun tak ada jawaban dari perahu. Beberapa saat kemudian, belasan orang turun membawa air jernih dan bahan pangan, mulai membagikannya pada orang-orang miskin di darat. 　　Mereka terdiri dari pria-wanita, tua-muda, dengan ciri khusus kulit wajah yang sangat gelap dan topi lebar khas nelayan Laut Selatan. Namun yang menyilaukan mata adalah jubah suci merah yang melekat di tubuh mereka! 　　Orang-orang di darat tidak salah lihat. Desain jubah itu memang terlihat usang, kainnya pun lusuh, tetapi lambang kerajaan yang tak berani dipalsukan siapapun itu sungguh nyata. Satu-satunya perbedaan dengan jubah Kuil Xiling biasa hanyalah pita hitam yang melingkar di pinggang mereka. 　　Hierarki di antara petugas dan pendeta di Kuil Xiling sangat ketat. Pendeta berbaju merah adalah orang yang sangat penting, terutama di negara-negara sekuler di mana status mereka sangat mulia. Biasanya hanya ada satu Pendeta berbaju merah yang bertugas di negara kecil. Di Negara Dahe tempat kota kecamatan ini berada, hanya ada tiga Pendeta berbaju merah. Namun belasan pria dan wanita yang berpenampilan seperti nelayan di perahu ini ternyata mengenakan jubah suci berwarna merah asli. Apakah mungkin mereka semua adalah Pendeta berbaju merah? Bagaimana bisa ada begitu banyak orang penting di Laut Selatan yang terpencil? Orang-orang di kota kecalaman sulit mempercayainya. Yang lebih tak terduga, para Pendeta berbaju merah ini bahkan merendahkan diri untuk membagikan bahan pangan kepada orang miskin dengan tangan mereka sendiri! 　　Kapan pernah pendeta kuil melakukan hal seperti ini? 　　Kabar tentang belasan Pendeta berbaju merah yang muncul di kota kecamatan Laut Selatan dengan cepat menyebar ke seluruh Negara Dahe. Ketika raja Dahe dan perwakilan dari Kompleks Kolam Tinta bergegas siang-malam sampai di pantai, mereka menemukan para Pendeta berbaju merah itu telah pergi, dan tidak ada yang tahu kemana tujuan mereka. 　　Para Pendeta berbaju merah yang mirip nelayan ini mulai berjalan ke utara dalam keheningan setelah mendarat. Mereka sengaja memilih jalan-jalan kecil yang terpencil, terkadang langsung menembus gunung dan hutan, seolah khawatir mengganggu rakyat biasa. 　　Mereka menginap di tepi sungai kecil, makan ikan asin kecil yang dibawa, meski mengambil beras dari rakyat selalu membayar uang, bahkan ketika bertemu pengikut Langit Tak Berpelukan paling khusyuk di perjalanan, tetap tidak menerima emas dan perak yang dipersembahkan. 　　Meski mengenakan jubah suci, mereka sama sekali tak mirip dengan pendeta sombong dari Kuil Xiling, malah lebih menyerupai biksu pertapa dari Yuelun, menjaga kesombongan dalam kesunyian perjalanan. 　　Suatu hari, rombongan ini tiba di tepi Danau Shaoming tak jauh dari Kompleks Kolam Tinta untuk beristirahat. Seorang gadis mengangkat kepalanya, memandang Gunung Mo Gan yang indah: "Inikah Kompleks Kolam Tinta yang legenda itu?" 　　Mungkin karena bertahun-tahun memancing di Nanhai, diterpa angin dan terik matahari, warna kulit orang-orang berbaju merah jubah suci ini gelap dan kasar. Gadis ini relatif lebih muda, kulitnya lebih terang dan halus, alis tebal lurus seperti pisau, memancarkan aura sehat dan perkasa. 　　Seorang pria paruh baya kurus tinggi berkata: "Bagus." 　　Gadis itu menatap paviliun samar-samar di lereng Gunung Mo Gan: "Waktu kecil dengar paman bilang, di sini ada Ahli Jimat Dewa terhebat. Kabarnya murid perempuannya baru saja jadi Ahli Jimat Dewa. Kalau begitu, sekte ini layak. Mau kita musnahkan Kompleks Kolam Tinta sekalian?" 　　Ahli Jimat Dewa adalah keberadaan yang luar biasa kuat di dunia pertapaan, bahkan di Kuil Xiling status mereka sangat tinggi. Mengalahkan seorang Ahli Jimat Dewa bukanlah hal mudah, apalagi Kompleks Kolam Tinta memiliki Sang Guru Kaligrafi Agung, dan sekarang ada Mo Shanshan. Gadis itu yang terlihat baru 17-18 tahun itu, berani mengatakan akan sekalian memusnahkan Kompleks Kolam Tinta! 　　Meski dia mulai bertapa sejak dalam kandungan, bahkan bisa merasakan energi spiritual sebelum lahir, tetap tak masuk akal berani mengeluarkan pernyataan bombastis seperti ini. Yang lebih mengejutkan, saat mengatakan akan memusnahkan Kompleks Kolam Tinta, ekspresinya biasa saja seperti sedang membicarakan siapa yang tidur di tenda mana malam ini! 　　Jika praktisi kultivasi lain mendengar ucapan gadis nelayan ini, mungkin akan terdiam terpana atau malah menertawakannya. Tapi orang-orang di tepi danau tak menunjukkan ekspresi aneh, seolah memusnahkan Kompleks Kolam Tinta adalah hal mudah. Beberapa bahkan memandang gadis itu dengan tatapan memanjakan, seakan siap berangkat ke sana kapanpun gadis itu mau. 　　Pria paruh baya tinggi kurus itu menggelengkan kepala melihat gadis nelayan, "Xiao Yu, jangan berisik. Sekarang urusan penting dulu, kita kembali ke Gunung Persik dulu." 　　Mendengar kata "kembali ke Gunung Persik", wajah gelap pemuda itu bersinar kegembiraan dan kebanggaan. Bahkan orang tua paling pendiam pun tersenyum tipis. 　　…… 　　…… 　　Perayaan Cahaya adalah ritual persembahan paling megah di Kuil Xiling, sekaligus perayaan terbesar di dunia Haotian. Perayaan Cahaya terakhir sudah begitu lama hingga menghilang dari ingatan orang-orang. Kini, Perayaan Cahaya tak diragukan lagi memikat perhatian semua pengikut, dan akan menyambut tamu-tamtu termulia dari Dunia Manusia. 　　Persembahan dari berbagai negara terus mengalir masuk ke Kerajaan Suci Xiling. Meski harta berharga itu tak layak menjadi persembahan utama dalam Perayaan Cahaya, mereka cukup untuk memuaskan kuil. 　　Beberapa pengikut Langit Tak Berpelukan paling khusyuk telah tiba di Kerajaan Suci Xiling sejak mendengar kabar Perayaan Cahaya, terus melakukan penghormatan di gunung sejak musim semi. Selain mereka, grup musik Hong Xiu Zhao dari Chang'an dan kelompok seni lainnya termasuk yang pertama tiba. Mereka ditempatkan kuil di sebuah taman, setiap hari selain berlatih tarian juga menjalani latihan etiket. Yang terpentung, pertunjukan musik dan tari mereka harus melalui berbagai pemeriksaan ketat. 　　Sepucuk surat dari Kota Chang'an masuk ke taman, lalu menuju toko ubi merah di kota kecamatan, dibawa Ning Que ke Perpustakaan Akademi Tianyu. Setelah membaca surat tulisan tangan kakak senior itu, dia tak melakukan apapun lagi, juga tak lagi mengunjungi tebing untuk menemui Chen Pipi. Seperti semua orang di dunia fana, dia diam-diam menunggu kedatangan Perayaan Cahaya.