Longqing bisa selamat keluar dari jurang penderitaan tahun itu berkat mata abu dan pil Tongtian. Setiap mengingat proses mengerikan itu, rasa trauma dan kesombongan selalu muncul - bangga karena dialah mungkin orang pertama yang selamat keluar dari jurang. Siapa sangka kini ada orang lain yang keluar dengan mudahnya, seolah hanya berjalan-jalan santai di taman.
Dia menduga identitas lawan, tergetar tak bisa bicara, Kitab Langit di tangannya seakan kehilangan daya tarik. Ekspresi guru utama juga terlihat kompleks, menatap badai salju yang turun dari langit, setelah hening sejenak berkata dengan heran: "Jika ia benar-benar telah meninggalkan Gunung Persik, maka giliran kami untuk pulang."
Badai salju semakin ganas, menyelimuti kuil Tao dan pegunungan di sekitarnya. Dengan suara kreek, pintu gerbang kuil terdorong terbuka. Longqing dan praktisi spiritual paruh baya mendorong kursi roda keluar. Guru utama duduk di kursi roda, lututnya diselimuti karpet biasa. Dia mengulurkan tangan kurusnya membersihkan serpihan salju di karpet, lalu perlahan menutup mata.
……
……
Gunung Persik juga diterpa badai salju. Di tebing telah berkumpul ribuan petugas dan pendeta, namun sunyi senyap. Orang-orang menatap reruntuhan Kuil Cahaya Suci, teringat gemuruh yang sebelumnya bergema dari jurang di bawah tebing terjal, samar-samar menduga peristiwa yang terjadi, namun tak percaya sama sekali, ekspresi wajah mereka tertegun luar biasa.
Tak ada yang berani memasuki Kuil Cahaya Suci untuk menyelidiki. Para pendeta dan petugas berdiri pucat di depan kuil, sama sekali tak tahu harus berbuat apa. Mereka telah berdiri dalam badai salju semalaman penuh.
Situasi darurat, Pendeta Agung tadi malam tiba di depan Kuil Cahaya Suci tanpa sempat menaiki tandu suci. Tubuh kurusnya yang bungkuk terbuka di hadapan orang banyak, serpihan salju menggantung di alisnya yang menipis, terlihat agak konyol. Namun ekspresinya begitu serius, sama sekali tak peduli dengan hal yang dulu paling ia perhatikan.
Tak ada hal yang lebih serius daripada kejadian di Kuil Cahaya Suci. Saupun senja tiba, Pendeta Agung akhirnya tak bisa menunggu lebih lama. Ia memasuki kuil, dan setelah waktu yang lama keluar kembali. Ekspresi wajahnya membeku seperti gunung, dingin bagai salju.
Rombongan Kuil Xiling memperhatikan ekspresi Pendeta Agung, menyadari tebakan mereka hampir mendekati kenyataan. Wajah mereka dipenuhi ketakutan, beberapa pendeta tua bahkan pingsan putus asa - Benarkah Langit Tak Berpelukan telah meninggalkan Kuil Xiling? Apakah Ia akan menelantarkan pengikut-Nya yang paling setia?
Kuil Langit Tak Berpelukan kemudian sunyi senyap. Pendeta Agung berdiri di depan kelambu, tubuh kurusnya semakin bungkuk tak berdaya, terlihat menyedihkan.
Di dalam aula hanya ada trio mereka: Dia, Yeh Hongyu, dan Zhao Nanhai. Suaranya terdengar letih: "Aliran Tao harus menjaga rahasia ini. Pastikan tak ada pengikut di dunia fana yang tahu."
Zhao Nanhai menganggap khidmat lalu mengangguk, menyetujui tindakan Penjaga Agung. Ye Hongyu menatap tanpa ekspresi ke arah Penjaga Agung di anak tangga batu. Pedang tersembunyi di balik gaun merahnya memancarkan aura menggetarkan.
Penjaga Agung tak merasakan keanehan itu. Ia berkata dengan tergesa, "Kerahkan semua petugas Kuil Hakim! Pastikan untuk... membawa kembali ke Gunung Persik."
Emosinya tampak bingung, diliputi kecemasan akut. Sama sekali tak mencerminkan keluwesan ahli yang telah melampaui Lima Batas. Ia terlihat seperti anak kecil yang terpisah dari ibunya di keramaian pasar.
Menyaksikan alis Penjaga Agung yang bergetar halus, senyum sinis menguar di wajah Ye Hongyu. Perlahan ia mengangkat tangan kanan, cahaya mulai memancar dari tubuhnya yang disinari pancaran ilahi di balik kelambu.
Ia bersiap menghunus pedang. Begitu Jalan Tao dalam hatinya bergerak, pedang Tao itu akan segera menghujam udara. Walau tahu Penjaga Agung masih kuat meski terluka parah, ia tak sudi menunggu lebih lama.
Tiba-tiba, gemuruh samar terdengar dari jalan setapak di bawah kuil. Langkah kaki tergesa menyusul, beberapa pendeta masuk ke Kuil Langit Tak Berpelukan dengan suara gemetar: "Ada yang datang."
Tiga sosok tiba dari Kuil Penjagaan ke Kuil Xiling. Longqing berjalan di depan sebagai pelopor. Seorang praktisi spiritual paruh baya mendorong kursi roda, di dalamnya duduk Guru Utama dengan ketenangan jiwa. Jubah hijau di tubuhnya tampak jelas di balik rintikan salju tipis, warnanya murni bagai langit.
Ribuan petugas dan pendeta di tebing memandang trio yang perlahan mendaki dari kaki gunung. Mereka tertegun karena Formasi Sinar Jernih Kuil Xiling tak bereaksi sama sekali. Begitu mengenali Longqing di depan, serta menduga identitas pria di kursi roda, tak satu pun berani menghalangi.
Kerumunan hitam pekat berpisah bagai air bah. Sang Guru Utama di kursi roda memandang kuil-kuil yang lama tak ia saksikan dari dekat. Ekspresinya sulit terbaca—rindu atau acuh. Namun alisnya berkerut saat melihat Kuil Cahaya Suci yang setengah reruntuhan.
Puluhan pendeta tua bergegas mendekat, lalu bersujud dengan penuh hormat mengikuti ritual tertinggi aliran Tao. Usia mereka yang lanjut memungkinkan pengenalan wajah asli praktisi spiritual berjubah hijau tua.
Para petugas kuil di tebing yang awalnya hanya menduga-duga, kini paham setelah menyaksikan adegan ini. Mereka saling memandang bingung. Petugas generasi muda yang terpengaruh suasana di depan Kuil Cahaya Suci pun ikut bersujud.
Zhao Nanhai, Yeh Hongyu, dan perwakilan aliran Nanhai dari Kuil Nubuat berdatangan. Tokoh paling terhormat di Gunung Persik ini memberi salam pada praktisi spiritual berjubah hijau tua di kursi roda.
Kembalinya aliran Nanhai ke Kuil Xiling sebenarnya adalah pengaturan Guru Utama. Saat ini Guru Utama datang ke Gunung Persik, mereka secara alami harus menunjukkan sikap. Yeh Hongyu pernah tinggal di Kuil Penjagaan semasa kecil, kakak yang paling ia hormati adalah murid Guru Utama. Bagaimana mungkin ia tidak bersujud?
……
……
Di dalam Kuil Langit Tak Berpelukan, kini berkurang satu orang dibanding sebelumnya. Hanya ada dua orang di aula. Guru Utama duduk diam di kursi roda, sedangkan Pendeta Agung berdiri di hadapannya dengan ekspresi yang sangat kompleks.
Memandang Guru Utama di kursi roda, tubuh Pendeta Agung mulai bergetar halus.
Ia agak bingung: Sosok ini sudah dilumpuhkan Ning Que dengan Formasi Kejutan Pikiran, bahkan Langit Tak Berpelukan telah membuangnya. Bertahun-tahun ia tak menginjakkan kaki di Kuil Xiling, tapi mengapa hanya dengan kemunculannya di Gunung Persik, dirinya langsung mengalami pengkhianatan massal? Baru sekarang ia sadar, selama ini telah meremehkan pengaruh Kuil Penjagaan dalam aliran Tao.
Aula sunyi sepi. Cahaya ilahi di balik kelambu telah pudar entah sejak kapan, bagai lilin yang habis terbakar, menyisakan kesuraman yang penuh keputusasaan.
Pendeta Agung tahu, sedikit saja ia menggerakkan pikiran, Guru Utama di kursi roda akan mati. Tapi ia Tak Berani bertindak. Ketakutannya yang paling mencekam justru karena tak memahami: Mengapa sosok lumpuh ini bisa memberinya tekanan begitu besar?
Akhirnya dia tetap bersujud di depan kursi roda: "Sudah melihat Paman seperguruan."
Guru utama berkata: "Sejak kau menjadi Pendeta Agung, pernahkah kau memanggilku Paman seperguruan?"
Pendeta Agung menundukkan kepala: "Paman seperguruan telah lama Perjalanan Jauh ke Nanhai, sulit untuk bertemu."
Guru utama berkata: "Menurutmu, lebih baik tak bertemu."
Pendeta Agung diam membisu. Dia tahu di hadapan guru utama, segala penjelasan atau kata-kata adalah hal yang tak bermakna. Hanya saja dia tak paham apa yang hendak dilakukan lawannya.
