"Kemarahan berasal dari perbedaan: prinsip berbeda, nama berbeda, esensi kehidupan berbeda, tahu sutra asin atau manis, bakcang daging atau vegetarian, serta hidup atau mati."
"Karena pilihan berbeda, kau harus membunuh? Kau tahu aku dingin, kau bunuh warga Tang akan membuatku marah dan sakit hati, tapi takkan mengubah keputusanku."
Ning Que menatap pasar sayur yang telah menjadi lautan darah, memandangi anggota tubuh terpotong di sekitar gerobak sayur, berkata: "Kau terpilih oleh manusia, tanpa manusia kau takkan ada. Kau tak boleh memperlakukan mereka begini."
Sang Sang mengerutkan alis: "Aku bangun memang pilihan manusia. Apakah karena itu, hidup-matiku harus ditentukan manusia? Apakah orang tua berhak menentukan hidup-mati anaknya?"
Ning Que berkata: "Tak ada yang ingin kau mati."
Ia dengan tenang dan tegas berkata: "Saat aku lahir di Dunia Manusia dulu, nyonya rumah menyuruh kepala pelayan diam-diam membawaku keluar kediaman untuk ditenggelamkan di lubang tinja. Di hari yang sama, di gudang kayu, kepala pelayan lain mengarahkan golok padamu. Hidup-mati kita hampir ditentukan orang. Akhirnya kau rebut golok itu, dan setelah aku selamat, aku tak mau lagi hidup-mati ditentukan orang lain."
Ning Que hening sejenak: "Benar. Hidup-mati hanya boleh ditentukan sendiri."
Sang Sang berkata: "Selama aku hidup, tak ingin mati."
Kemarahan di hati Ning Que pelan-pelan berubah menjadi kebingungan. Ia tak tahu bagaimana menasihatinya untuk tenang. Tangan gemetarnya yang halus bisa membunuh, pikirannya yang bergerak pun bisa membunuh.
Dia berjalan melewati lautan darah, tiba di hadapannya, mengulurkan tangan menggenggam tangan perempuan itu, menariknya perlahan ke dalam pelukan lalu memeluk erat, berbisik sedih di dekat telinganya: "Aku juga tak ingin kau mati."
Tubuh Sang Sang awalnya kaku, perlahan mulai melunak, dengan canggung bersandar di pundaknya. Karena tinggi badan mereka hampir sama, posisi ini terlihat agak tidak selaras.
"Lebih baik aku yang mati daripada melihatmu meninggal."
Keduanya berdiri di antara lautan darah dan mayat-mayat yang tercabik, berpelukan erat dengan ekspresi tenang bahkan sakral. Ribuan titik cahaya samar seperti bintang berpendar keluar dari tubuh mereka, beterbangan ke segala penjuru.
Saat titik cahaya itu mendarat, noda darah kental di lantai pasar sayur mulai memudar hingga tak terlihat lagi. Mayat dalam genangan darah pun menghilang, seolah dimurnikan oleh kekuatan suci.
Bau anyir darah yang menusuk di pasar sayur telah lenyap, berganti aroma kotoran ayam, anyir lumpur ikan sungai, haru membawa air mata dari bawang bombay, serta kesegaran khas sayuran hijau.
Embun masih menempel pada sayuran hijau itu, berkilau seperti kristal yang mempertegas warna hijaunya yang segar dan menggoda. Rebung muda yang baru dipanen tertata rapi di atas lapak, masih berlumur tanah namun justru terlihat alami dan indah.
Pasar sayur kembali riuh oleh teriakan penjual, tawar-menawar, suara ibu memukul anak, anjing kecil berebut tulang, kucing liar yang kaget, plak-plak, guk-guk, meong-meong, ramai yang tak terkendali.
“Daun bawang segar ini, dua keping uang untuk Anda tidak mahal kan?”
Ning Que membuka mata, melihat si bibi penjual sayur mengulurkan setangkup daun bawang hijau segar ke hadapannya, ekspresi wajah penuh kepuasan diri seolah berkata "Tidakkah kau malu jika tidak membeli?"
Ia tersenyum sambil menggeleng, menepuk-nepuk Sang Sang di pelukannya untuk membangunkannya, lalu menggandeng tangannya keluar dari pasar sayur. Meski tangan mereka kosong tanpa beras atau sayuran, tak perlu khawatir tak ada makanan di rumah kecil berpagar itu.
Cinta bisa mengenyangkan meski hanya minum air.
……
……
Sang Sang tidak pergi. Bersama Ning Que, mereka terus menjalani hari-hari biasa di Kota Chao Yang, menghindari badai di luar, berjalan bolak-balik antara rumah kecil dan pasar sayur, serta bersantai di tepi sungai kecil.
Ning Que bertanggung jawab memasak, Sang Sang bertugas makan. Sesekali saat suasana hatinya baik, ia turun langsung ke dapur membuatkan mi telur dadar untuk Ning Que. Dalam mangkok sup bening itu, masih tetap hanya ada empat butir merica dan tiga puluh irisan daun bawang.
Dalam menjalani hari-hari, untuk menghindari kebosanan, perlu terus mencari hal-hal baru: menikmati pemandangan yang belum pernah dilihat, atau sesekali mengulang kenangan lama.
Ning Que yang cerdas itu, dengan mengandalkan memori rasanya, berhasil belajar membuat sup asam pedas dengan irisan daging. Menurut umpan balik ekspresi Sang Sang, rasanya setidaknya mencapai 70% level kedai di Gang Lin 47.
Di bawah pohon di halaman, Dia mengubur dua guci arak kuning. Di dapur, Dia membuat altar acar yang penuh dengan kedelai bubur, jahe muda, dan cabe rawit merah-hijau. Saat dibuka, air liur siapa pun akan menetes. Sang Sang puas dengan acar buatannya, tapi entah kenapa, Ia tetap paling suka makan tahu sayur asam yang direndam cuka - hidangan paling sederhana.
Mereka sering keluar kompleks untuk jalan-jalan, menikmati mentari terbenam di danau, mendengarkan bunyi lonceng kuil, menjelajahi setiap sudut Kota Chao Yang. Perlahan, mereka menjadi semalas kota malas itu sendiri.
Saat hujan musim semi seperti kabut, mereka menginjakkan kaki di 72 kuil legendaris. Saat udara musim gugur segar, mereka mengunjungi kota-kota besar lain di Yue Lun. Ketika salju dingin bertebaran, mereka pergi ke utara, memandang pemandangan kejam "Salju Mengepung Gerbang Biru" sepanjang malam. Dalam semua petualangan ini, tangan mereka tak pernah lepas bergandengan.
Mungkin karena terlalu lama berjalan, Sang Sang mulai kelelahan. Sejak kembali ke rumah kecil berpagar itu, Ia jadi sering tidur. Waktu tidurnya pun semakin lama.
Saat Ia terlelap, Ning Que berbaring di sampingnya sambil membaca buku. Satu tangan memegang jilid buku, tangan lainnya menyelinap ke dalam selimut menggenggam tangan Sang Sang. Kadang setelah membalik halaman, Ia lupa memasukkan kembali tangannya. Dengan reflek, Sang Sang yang tertidur pulas akan menarik tangan itu kembali ke selimut, memeluknya erat-erat di dada, tak mau melepas.
Pada suatu hari di musim gugur, kabar tentang biksu senior Kuil Putih yang melepas hewan ke alam tersebar di seluruh Chao Yang. Ning Que yang mendengar bahwa beberapa ember belut sawah dan berbagai jenis ikan akan dilepas ke danau - yang konon akan menciptakan adegan berdarah yang absurd - merasa penasaran. Awalnya ia ingin mengajak Sang Sang, tapi karena sang pelayan lelah dan tak ingin keluar, akhirnya ia pergi sendiri.
Prosesi pelepasan memang ramai. Perkelahian berdarah antar belut sawah, belut, dan berbagai ikan itu benar-benar mengerikan. Tindakan para biksu senior ini memang terkesan konyol. Setelah menyaksikan semuanya, Ning Que hendak pulang ketika tiba-tiba merasakan keanehan. Matanya menatap permukaan danau dan Pagoda Putih di seberang, merasa ada yang kurang dari pemandangan ini.
Kerumunan hitam pekat pengikut dan pelancong mulai bubar. Senja semakin pekat, Kuil Putih pun semakin hening. Ia berdiri di tepi sungai memandangi danau dan pagoda dalam diam. Perasaan ganjil itu tak kunjung hilang.
Persis pada saat itu, bunyi lonceng untuk ibadah malam bergema dari dalam kuil.
Dentang lonceng Buddhis itu seakan bergaung juga di relung hatinya.
Lonceng Buddhis memang bisa menjernihkan hati dan membantu meditasi. Di dasar laut kesadaran Ning Que tersimpan serpihan kesadaran Liansheng, membuat persepsi spiritualnya lebih tajam. Dengan reflek ia berjalan menuju area terdalam kuil.
Mengikuti sumber suara lonceng, ia tiba di depan aula utama Kuil Putih. Dari balik ambang pintu, terlihat ratusan biksu sedang khusyuk melantunkan sutra. Di dalam aula, patung Buddha tampak semakin berwelas asih mengikuti alunan doa.
Sang Buddha memandangnya dalam keheningan.
Setiap kata sutra yang masuk ke telinganya laksana mantra suci, terdengar begitu indah.
Ning Que berdiri di luar ambang pintu, perlahan terbuai dalamnya.
Di dalam rumah kecil berpagar, Sang Sang terbangun.
Gagak hitam di pucuk ranting menjerit aneh, mengepakkan sayap lalu terbang.
Pandangannya mengikuti gagak hitam, mendarat di langit.
Ia merasa langit itu agak dikenali, sangat indah.
Ia menatap lama sekali, ekspresinya perlahan menunjukkan keterikatan.
Keterikatan, bangkit dari cinta.
Dalam urusan asmara tak ada yang bijak.
Cinta tak tahu asal-muasalnya.
Keterikatan, adalah kebodohan.
