Sang Khan keluar dari Kemah Emas. Tatapannya menyapu pemandangan sekitar. Senyum kepuasan mengembang di wajah tampan yang sedikit gelap itu - puas akan ketenangan pasukannya, lebih lagi puas akan hari ini yang telah direncanakan bertahun-tahun lamanya.
Dalam pandangannya, Pasukan Utara yang sangat kekurangan kavaleri sama sekali bukan tandingan Pasukan Berkuda Kemah Emas. Pertempuran sengit antara kedua belah pihak beberapa hari lalu terjadi karena beberapa faktor: pertama, ketangguhan Pasukan Utara yang luar biasa, persenjataan Tang dan praktisi kultivasi yang menunjukkan kekuatan di luar perkiraan. Namun alasan utama adalah Pasukan Berkuda Kemah Emas sengaja menahan serangan penuh, lebih banyak melakukan uji coba dan pengurasan stamina.
Dalam pertempuran infanteri melawan kavaleri, terlepas dari keunggulan bawaan, secara psikologis kavaleri pasti lebih unggul. Pasukan infantri yang ingin menghadang serbuan kavaleri harus membayar harga lebih mahal dalam stamina fisik dan mental.
Beberapa hari terakhir, Pasukan Berkuda Kemah Emas sengaja menguras stamina fisik-mental pasukan infantri Tang. Yang lebih penting, mereka secara bertahap meruntuhkan kehendak dan keberanian lawan sambil meningkatkan moral pasukan sendiri serta memperkuat keyakinan akan kemenangan mutlak.
Hari ini adalah hari Pertempuran Penentuan.
Pasukan Berkuda Kemah Emas akan melancarkan serangan total tanpa menyisakan strategi cadangan, tanpa memberi jalan hidup, untuk membalas penghinaan ratusan tahun kepada warga Tang, dan menghancurkan pasukan inti Pasukan Utara hingga ke akar-akarnya.
Taktik ini sangat berisiko, namun bagi Sang Khan justru menjamin kemenangan. Melalui uji coba beberapa hari terakhir, dia yakin bangsa Tang tidak menyembunyikan trik khusus. Maka saatnya menghancurkan mereka dengan serangan frontal terhormat.
Fajar mulai merekah, warna putih keperakan seperti perut ikan di ufuk timur mulai mencaplak sepersepuluh langit. Cahaya samar menyinari padang rumput dan wajah Sang Khan, membuat garis tajam pipinya terlihat semakin kokoh dan perkasa.
Ia menatap padang rumput di selatan, memandang ke arah perkemahan Tang yang samar-samar di kejauhan. Seolah melihat pasukan berkuda Kemah Emas yang hitam pekat bak air bah menyembur deras, mengguncang seluruh permukaan tanah padang rumput. Lalu seperti hari-hari sebelumnya, berbagai persenjataan di perkemahan Tang akan meluncur serentak - dentuman berat mesin pelontar batu, ketajaman tombak di depan pagar perkemahan, duri besi yang menusuk dingin dalam parit. Kilatan pedang praktisi kultivasi dari wilayah tengah berpendar, formasi energi terus bermunculan. Energi alam semesta antara langit dan bumi akan bergejolak dahsyat, namun semua itu... akhirnya akan diterpa hempasan pasukan berkudanya.
Jenderal Lebu menghampiri, menatap Khan paling bijaksana dalam sejarah padang rumput sekaligus pria yang paling ia takzimi sepanjang hidup. Suaranya gemetar: "Setelah hari ini, Anda akan menjadi junjungan seluruh dunia manusia."
Khan tak lagi tersenyum, tetap tenang seperti biasa. Karena keyakinannya, barulah ia bisa setenang ini. Pandangannya menembus perkemahan Tang di selatan, tertuju pada suatu titik di sebelah lebih selatan. Menurut Guru Negara, di sanalah Chang'an berada.
Kaisar yang lembut namun menakutkan itu telah mati enam tahun silam, tapi putrinya masih hidup. Khan dalam diam berpikir: Begitu Kota Chang'an ditaklukkan, ia harus membunuh perempuan itu, lalu menyelipkan organ genital pria ke dalam mayatnya.
A Da juga muncul di luar Kemah Emas. Semalam ia tak mandi, darah yang mengering di tubuhnya mengeluarkan bau amis samar, mengundang gerombolan lalat dari rerumputan liar.
Para orang berkuasa menatap mantan budak remaja ini, yang kini menjadi prajurit terkuat Kemah Emas, dengan mata penuh kebencian dan ketakutan, sama sekali tidak ingin berdiri terlalu dekat dengannya.
A Da beberapa hari sebelumnya terluka di medan perang. Untuk mengingat luka ini, dia sengaja tidak membersihkan darah di tubuhnya. Bukan untuk mengingat penghinaan itu, tapi untuk mengingat bahwa dia harus belajar dari lawannya.
Saat itu dia bersembunyi di antara pasukan berkuda Kemah Emas yang menyerbu formasi, menerobos parit dan pagar tombak pasukan Tang, lalu menyamar di balik mayat rekan-rekannya, berusaha membunuh diam-diam komandan utama garda depan Pasukan Utara, Hua Ying setelah pertempuran.
A Da selalu ingin membunuh Hua Ying. Awalnya hanya ingin membalas tindakan berdarah Ning Que dalam pembunuhan tawanan di Chang'an. Kemudian karena kegagalannya berulang kali membunuh Hua Ying, ketidakrelaan itu seperti ular berbisa yang menyiksanya dan memaksanya mengambil risiko melakukan pembunuhan diam-diam ini.
Usaha pembunuhannya gagal. Sejak awal, lebih tepatnya sejak dia bersembunyi di antara pasukan berkuda yang menyerbu perkemahan Tang, tujuan dan keberadaannya telah dihitung dengan jelas oleh seseorang.
Hua Ying tak kunjung muncul. Yang datang adalah palu besi, lalu sebuah formasi sihir.
A Da yang diserang mendadak langsung terluka. Tapi sebagai ahli sejati Kemah Emas Pangeran, akhirnya dia berhasil menerobos kepungan ketat pasukan Tang dan melarikan diri kembali ke Kemah Emas, meski dalam keadaan sangat memalukan.
Dia mengabaikan lukanya, mengunjungi Guru Negara di tengah malam, baru mengetahui identitas orang-orang itu.
Yang menembus rencananya adalah Guru keempat Akademi, Fan Yue yang mengayunkan palu besi, prajurit perkasa tak tertandingi adalah Guru keenam Akademi, sementara perempuan yang menggunakan formasi seolah-olah hidup itu adalah Guru ketujuh Akademi.
Tingkat meditasi ketiga guru Akademi ini berada di puncak Pemahaman Mendalam. Di dunia pertapaan, tentu mereka termasuk figur hebat, tapi bagi ahli sejati seperti A Da, dia bisa melawan sepuluh lawan sekaligus. Namun kekalahannya yang begitu mengenaskan membuatnya bingung.
Setelah merenung sepanjang malam, A Da tidak semakin marah atau linglung oleh amarah, malah menjadi lebih tenang. Ini pertama kalinya dia berhadapan langsung dengan Akademi di medan perang. Banyak pelajaran yang didapat. Rasa hormatnya pada Akademi bertambah, tekad untuk memusnahkannya juga semakin kokoh.
Karena itu saat menatap perkemahan Tang di bawah cahaya fajar, ekspresinya tetap tenang. Meski dibenci dan ditakuti para pejabat, dia yakin Kemah Emas akan menang hari ini tanpa perlu turun tangan.
Keyakinan yang sama akan kemenangan Kemah Emas membuat Khan dan A Da tenang, sementara lebih banyak pria padang rumput terlihat fanatik. Mereka menatap pasukan Tang di selatan dengan kilau dingin seperti serigala di mata.
Asalkan bisa mengalahkan Tang, Kemah Emas Pangeran akan menjadi penguasa seluruh dunia manusia. Di dunia baru, mereka akan menduduki kota-kota terkaya di wilayah tengah, mengenakan sutra paling halus, memiliki wanita tercantik, meneguk arak terkuat, meminum air sungai terjernih, menyantap roti putih lembut terlezat...
Semua ini adalah anugerah Langit Keabadian. Menolaknya berarti mengundang hukuman langit.
……
……
Khan dan A Da bersama pasukan berkuda Kemah Emas tak terhitung jumlahnya menatap perkemahan Tang di selatan.
Di dalam perkemahan Tang, Jenderal Hua Ying dan bawahannya juga mengawasi utara. Di kediaman sementara jenderal yang lebih jauh, Xu Chi pun menatap utara, mengamati serigala-serigala lapar yang berkeliaran dalam cahaya fajar dan angin pagi.
Orang-orang merasakan bahaya mengintai.
Pertempuran selama lebih dari sepuluh hari terakhir sudah sangat mengenaskan. Pasukan berkuda Kemah Emas tidak bisa dikatakan tidak mengerahkan seluruh tenaga, hanya saja pertahanan Pasukan Utara sangat kokoh sehingga pertempuran berimbang. Namun hari ini berbeda.
Hari ini Kemah Emas jelas akan bertarung habis-habisan. Sang Khan dan rakyatnya telah mempersiapkan diri, mempertaruhkan takdir seluruh suku pada pertempuran yang akan segera dimulai ini.
Ekspresi wajah Hua Ying pucat pasi.
Dengan bantuan teropong, ia bisa melihat semua gerak-gerik di Kemah Emas Pangeran. Ia menyaksikan orang-orang padang rumput itu memberi makan kuda-kuda mereka, memberi minum, memberi garam, bahkan melihat tulang domba yang sedang direbus di dalam panci.
Sebagai jenderal Tang berpengalaman, dia sangat paham kebiasaan bertempur kavaleri padang rumput. Paling lama satu jam lebih lagi, kuda-kuda perang yang sudah kenyang itu akan membawa gerombolan barbar bagaikan serigala menerjangnya.
Inilah hukum perang paling resmi kavaleri padang rumput. Alasan wajahnya pucat dan kemarahannya yang meluap adalah—Khan dan pasukan berkudanya sama sekali tidak takut memperlihatkan gambaran ini kepada pasukan Tang. Ini sama saja dengan mereka telah menentukan waktu mulai pertempuran hari ini dan memberitahukannya kepada pasukan Tang.
Betapa luar biasa kepercayaan diri mereka! Bagi pasukan Tang, ini adalah penghinaan yang tak tertahankan!
Jika ini sepuluh tahun lalu, Hua Ying pasti sudah mengirim pasukan berkuda untuk melakukan serangan kilat begitu melihat gambaran pertama, menyerang saat musuh lengah, dan pasti meraih kemenangan yang cukup berarti.
Tapi sekarang tidak bisa. Karena dia tidak memiliki cukup pasukan berkuda, apalagi meniru masa kejayaan Pasukan Utara yang mempersiapkan kuda perang secara bertahap sesuai waktu untuk siap menyerang kapan saja...
Jika.
Kalimat itu, penilaian itu, kembali muncul di benak Hua Ying.
Andai saat ini Kekaisaran Tang masih memiliki pasukan berkuda sejati, masih memiliki kuda perang dalam jumlah memadai, beranikah Khan bertindak semena-mena seperti ini? Tidak. Hari ini yang menanti Kemah Emas Pangeran pasti adalah kehancuran total.
"Jika jika, jika benar-benar ada 'jika', lalu mengapa masih ada begitu banyak 'jika' di dunia fana? Sejak awal tak pernah ada 'jika', maka Kemah Emas Pangeran takkan binasa hari ini. Baru karena itu Khan dan kavaleri padang rumputnya berani menyerbu dengan sombang dan kejam, Pasukan Utara pun menghadapi akhir seperti ini. Bahkan ia sudah melihat warna menyedihkan pada DUA karakter 'akhir' itu, mencium aroma keputusasaan yang melekat padanya."
Berbeda dengan Jenderal Hua Ying, prajurit biasa Pasukan Utara tetap berwajah tegas dan tenang. Mereka tak tahu rahasia urusan militer, tak paham hasil simulasi perang di peta pasir, juga malas mengurus perhitungan kemenangan dalam perang ini. Yang mereka tahu hanyalah bertarung, dan seperti puluhan tahun silam, tetap takkan gentar.
Menatap pasukan Tang di sekelilingnya yang diam-diam bersiap tempur, Situ Yilan menundukkan pelupuk matanya menutupi kesedihan, lalu segera mengangkat kepalanya. Ia menyegarkan kembali semangatnya, tak ingin sedikitpun memengaruhi moral pasukan walau yang terkecil.
Tiba-tiba ia menyadari seorang prajurit Tang dekat tungku masak. Semua prajurit lain sudah menghabiskan sarapan dengan cepat, mulai mengayuh busur silang, merapikan panah, mengasah pisau. Hanya prajurit ini masih berdiri di dekat panci, tangan kiri memegang mangkok besar, tangan kanan memegang sendok kayu, lahap menyantap bubur sayur. Ketika menemukan potongan daging di dalamnya, ia bahkan berseru gembira sambil bergumam sesuatu.
"Siapa namamu?"
Situ Yilan mendekati tungku masak, menatap prajurit Tang itu sambil berkata.
"Prajurit Tang itu usianya tak terlalu tua, namun dari kapalan di sela jari yang menahan mangkok bubur dan ekspresi acuh di alisnya, terlihat jelas ini seorang veteran yang telah melalui ratusan pertempuran."
Prajurit Tang itu menatapnya sejenak terdiam, meletakkan mangkok bubur di tepi tungku, lalu memberi hormat ala tentara sambil melapor: "Komandan Regu Empat dari Pengintai Barisan Depan, Wang Wu, menghadap Jenderal."
"Wang Wu? Nama yang sangat murni dan lugas."
Situ Yilan berkata: "Hanya saja tindakanmu agak kurang gesit. Takkah kau lihat semua sudah kembali ke perkemahan mempersiapkan perang? Mengapa kau belum bergabung dengan regumu?"
Wang Wu memperlihatkan sikap hormat, namun tanpa ketakutan. Dengan tulus namun jenaka ia menjelaskan: "Pengintai sementara tak perlu bertempur. Lagipula, suku biadab itu setidaknya butuh satu jam lebih baru menyerang. Buat apa terburu-buru? Bubur hari ini diberi banyak daging, sayang kalau tak dihabiskan."
Situ Yilan sedikit mengangkat alis: "Benar-benar veteran."
Wang Wu menggaruk lehernya yang gatal dengan ujung sendok kayu, terkekeh: "Anda terlalu memuji."
Situ Yilan berkata: "Nafsu makan pagi-pagi sudah segini bagus, sepertinya kau sangat yakin akan kemenangan hari ini. Jika semua orang bisa sepertimu, atau..."
Saat menyebut kata "atau", ia berhenti tiba-tiba.
Senyuman nakal dan licik Wang Wu tiba-tiba menghilang. Dengan tenang bahkan dingin ia menatapnya: "Jenderal, 'atau' apa? Atau mungkin ada keajaiban? Anda tahu sendiri, tak ada keajaiban."
Situ Yilan menatapnya dengan mata agak dingin, setelah terdiam sejenak berkata: "Apa yang ingin kau katakan?"
"Daging dalam bubur hari ini sangat banyak, bahkan sayur hijau lebih banyak dari daging... Meski ransum Pasukan Utara kami selalu istimewa, perlakuan ini terlalu berlebihan. Ini membuatku curiga."
Wang Wu tak gentar menghadapi tatapannya, dengan tenang berkata: "Atau mungkin, ini makanan terakhir sebelum ajal, jadi Sang Jenderal ingin kami makan enak?"
Situ Yilan bergumam dingin: "Sebenarnya apa maksudmu?"
Wang Wu menunjuk ke arah prajurit Tang yang sedang mempersiapkan diri dalam kemah tak jauh: "Aku tahu pertempuran hari ini pasti kalah. Sebenarnya banyak yang tahu, hanya tak berani bicara."
Situ Yilan terdiam cukup lama mendengar ini.
Wang Wu berkata: "Jika Tuan merasa aku merusak semangat pasukan, eksekusi aku seketika."
Situ Yilan berkata: "Yang lebih ingin kuketahui, mengapa kau mengatakan semua ini padaku?"
Wang Wu menjawab: "Karena aku ingin memberitahu Jenderal Xu, pemerintah, akademi... Aku tak rela. Aku tak mau kalah. Aku tak paham kenapa Pasukan Utara sampai seperti ini."
Situ Yilan bergumam berat: "Menjaga perbatasan adalah tugas tentara Tang. Apa yang tak kau relakan?"
"Masalahnya, kenapa Jenderal Xu mengirim kami ke luar Lembah Sungai? Kenapa harus bertempur di sini? Aku tak takut mati, tapi tak mau dikirim seperti ternak ke pembantaian."
"Wang Wu tiba-tiba dipenuhi kemarahan, melemparkan sendok kayu di tangannya ke dalam panci bubur dengan kasar, berteriak pada Situ Yilan: 'Xiangwanyuan adalah wilayah yang diserahkan pejabat, medan perang ini dipilih Kediaman Jenderal, mengapa kami yang harus mati? Mengapa kami harus mati dalam kekalahan? Kalian para jenderal ini, bahkan jika memaksa kami mati, tak bisakah setidaknya menang?!'"
Situ Yilan menghentikan prajurit pengawal di sampingnya yang hendak menghunus pisau, terdiam cukup lama. Ia tak tahu bagaimana menjawab tuduhan penuh amarah dari veteran ini. Benar, pejabat ingin pasukan Tang mengusir musuh dari perbatasan. Pasukan Tang rela mengorbankan kepala dan menumpahkan darah panas untuk itu. Tapi setidaknya pejabat harus memastikan kemenangan mereka. Bagaimana bisa tenang di alam baka jika mati dalam kekalahan?
"Lalu apa sebenarnya yang kau inginkan? Apa yang harus kami lakukan?" Ia menatap Wang Wu sambil bertanya dengan sangat serius.
Wang Wu tak menyangka akan mendapat jawaban seperti ini. Ia terdiam lama, tersenyum getir tanpa berkata-kata, lalu berbalak menuju perkemahannya.
Situ Yilan memandang punggungnya tanpa mengejar penjelasan. Ia mulai memahami apa yang diinginkan veteran muda ini - keinginan yang sama dimiliki seluruh Pasukan Utara, bahkan seluruh Kekaisaran Tang.
Wang Wu kembali ke tendanya. Ia tertegun lama memandangi setengah kantong jerami kering di luar tenda.
Dia adalah pengintai, salah satu pasukan berkuda langka di Pasukan Utara. Namun dua tahun lalu, kudanya mati di luar Kota Wei. Sejak itu, tak pernah lagi ia punya kesempatan memiliki kuda tunggangan sendiri.
Pengintai tanpa kuda tak setara anjing, sering dipikir Wang Wu. Dalam dua tahun ini, hidupnya memang lebih buruk dari anjing. Anjing masih bisa menggonggong, tapi apa yang bisa dia lakukan?
Wang Wu menendang jerami kering, bersiap cuci muka. Tatap wajah pucatnya dalam ember air, alisnya mengerut. Tiba-tiba ia muak dengan perasaan hatinya sekarang.
Tarik napas dalam-dalam. Tekan semua keputusasaan dan kemarahan di dasar hati. Cabut pedang besar dari sarung yang dibawa dari Kota Wei. Bentak anak buahnya mempersiapkan pertempuran nanti.
Pengintai tanpa kuda... tetap prajurit Tang. Sekalipun pertempuran tanpa harapan, harus bertarung sampai akhir.
Pandangannya tertuju ke perkemahan Kemah Emas di bawah cahaya fajar utara. Tiba-tiba teringat Kota Wei.
Tahun itu Kota Wei dibantai pasukan berkuda Kemah Emas. Hanya segelintir yang lolos. Dia salah satunya.
Kembali ke Pasukan Utara, setelah verifikasi identitas, ia dapat kuda lagi. Lalu kehilangan lagi. Persis seperti dulu pernah memiliki Kota Wei, tapi akhirnya tak ada yang tersisa.
Wang Wu sering merindukan hari-hari saat mengikuti Jenderal Ma berburu di padang rumput, lebih-lebih hari saat membunuh perampok berkuda dan merampas emas-perak di Danau Shubi bersama para senior garang. Hari-hari itu takkan kembali.
Di balik ekspresi nakal yang tak peduli, api kemarahan tak pernah padam dan dendam seperti ular berbisa menggerogoti jantungnya. Setiap saat dia memikirkan bagaimana menghancurkan suku nomaden biadab itu bersama Pasukan Utara dan merebut kembali Kota Wei.
Tapi itu sulit.
Dan melihat situasi hari ini, sepertinya hari itu takkan pernah tiba.
Dia ingin seekor kuda perang gagah, menunggangnya menerjang musuh. Jika dia dan rekan-rekannya memiliki kuda perang, keinginannya akan terwujud.
Obsesi ini terus menyiksanya. Melihat kawanan kuda Kemah Emas Pangeran yang sebanyak awan, dia hampir gila. Saat ini, asal ada yang memberinya kuda, dia rela menyerahkan semua harta bahkan nyawanya. Dia bahkan mau mencuci kaki orang padang rumput busuk itu, lalu membunuh mereka nanti.
Jika ada yang memberinya seekor kuda, dia mau menjadi budak sapi dan kuda untuk lawannya.
Sayang, tetap tak ada "jika".
Wang Wu menunduk bersiap untuk mencuci muka. Tak lama lagi akan terjadi pertempuran paling berdarah dan mengenaskan dalam ribuan tahun. Pertempuran ini akan terdiri dari tak terhitung pertarungan, dan akan banyak nyawa melayang. Jika Pasukan Utara mungkin kalah, maka seluruh pasukan Tang pasti akan gugur sebagai pahlawan. Dia tak ingin saat mati masih ada makhluk kotor di wajah, atau daun sayur hijau tersangkut di mulut.
Sebentar kemudian, tiba-tiba dia merasa penglihatannya berkunang-kunang. Air jernih di baskom mulai bergetar. Alisnya yang terpantul di air berubah menjadi bentuk aneh, tidak muram seperti sebelumnya, malah terlihat agak menggelikan.
Yang merasakan getaran dari kejauhan juga adalah orang-orang di Kemah Emas Pangeran puluhan li jauhnya. Lebih dari seratus ribu kesatria padang rumput sedang tegang mempersiapkan perang, memberi minum kuda tunggangan mereka. Tiba-tiba mereka menyadari kuda perang yang gagah namun jinak itu menjadi sangat gelisah. Beberapa kuda menggelengkan kepala tak mau menunduk minum atau makan pakan, sementara yang lain menatap penuh ketakutan ke suatu arah sambil terus-menerus mengais tanah dengan kuku depan, seolah hanya dengan begitu mereka bisa meyakinkan diri bahwa getaran dari tanah itu palsu, bukan makhluk yang paling mereka takuti secara instingtif.
Seluruh padang rumput mulai bergetar. Dari Kota Wei di utara hingga padang rumput di seberang Sungai Gu. Roda-roda gerbong di perkemahan militer kedua belah pihak berderit nyaring. Beberapa prajurit yang kurang waspada bahkan sampai tak bisa berdiri tegak akibat guncangan.
A Da melompat ke atas gerbong besar, menyipitkan matanya menatap sumber getaran. Dengan ketajaman mata yang luar biasa, dialah yang pertama melihat gerakan di kejauhan. Ekspresi wajah kekanak-kanakannya yang biasanya angkuh dan dingin itu kini dipenuhi keheranan tak terucapkan.
Secara bertahap, semakin banyak orang yang memahami penyebab getaran. Alis Wu Wu tiba-tiba terangkat tinggi. Sudut bibirnya berkerenyit, tangannya mulai gemetar. Handuk basah terjatuh ke baskom, memercikkan air ke segala arah.
Seperti dirinya, para pengintai di dalam dan luar perkemahan, serta prajurit Pasukan Utara di kejauhan, semua merasakan getaran ini. Mereka menatap ke barat laut. Kemah militer menjadi sunyi senyap. Wajah-wajah yang tercengang dipenuhi ketertegunan dan kebingungan...
Namun yang lebih dominan adalah gelora harap yang tersamar.
Di bawah mentari pagi, padang rumput terbentang jernih. Tanpa angin kencang, debu tak beterbangan. Pandangan terbentang jelas hingga ke garis cakrawala barat laut di mana segumpal awan hitam perlahan bergerak mendekat.
Gerakan yang terkesan lambat ini bukan karena kecepatan awan, melainkan akibat luasnya area yang tertutpi hingga menciptakan ilusi optik.
Awan hitam itu melesat sepanjang belasan li, tiba di tepi padang dekat Sungai Gu. Semua kini menyadari: itu bukan awan, melainkan gumpalan debu raksasa!
Debu-debu itu terlempar oleh derap kuku-kuda!
Kawanan kuda liar yang tak terhitung jumlahnya sedang menerjang dengan dahsyat!
Matahari pagi memerahkan langit, sinar hangat menembus debu, bak memetik mega merah dari angkasa ke bumi. Kawanan kuda liar yang berlari kencang itu seolah terbakar, memancarkan keindahan yang menyilaukan!
Tak seorangpun bisa menghitung berapa kuda liar yang tersembunyi dalam mega merah itu. Tak ada yang ingin memecahkan teka-teki: berapa ekor kuda liar diperlukan untuk menciptakan energi yang menggegerkan alam semesta!
Orang-orang hanya tahu, tiba-tiba di antara langit dan bumi muncul kawanan kuda liar dalam jumlah yang tak terbayangkan.
Kawanan kuda liar ini... sedang melesat menuju pasukan Tang!
Padang rumput masih sunyi senyap, membuat derap kaki kuda liar di kejauhan terdengar semakin jernih. Seperti guntur yang menghunjam telinga semua orang, menggetarkan hati manusia.
Seluruh prajurit Barisan Depan Tang berhenti dari persiapan perang. Seketat apapun disiplin militer, sekuat apapun mental baja, tak mampu menyurutkan tatapan mereka pada mega merah yang dipenuhi gelombang kuda liar tak berujung itu.
Beberapa prajurit menggosok-gosok mata, ragu apakah ini khayalan. Dalam hati mereka bergumam: "Pasti bukan halusinasi", tapi tetap sulit mempercayai pemandangan di luar nalar ini.
Sebagian lain seperti Wang Wu tak mau berkedip. Seperti saat menatap gadis kecil di kedai Kota Wei, matanya terpaku pada kawanan kuda liar dalam mega merah itu. Takut seandainya ia berkedip, seluruh kawanan itu akan lenyap.
Situ Yilan mengatupkan bibirnya erat-erat, wajahnya pucat. Tangannya yang mencengkeram hulu pedang bergetar. Ia tahu ini bukan halusinasi, tapi tak yakin apakah kawanan kuda liar itu benar-benar menuju perkemahan Tang. Bagaimana jika... bagaimana jika nanti kawanan itu tiba-tiba berbelok ke padang rumput luas di timur, menghilang secepat kedatangannya? Bagaimana jika mereka hanya lewat?
Ekspresi warga Tang mencerminkan perasaan campur aduk: ketegangan, hasrat membara, keterkejutan, kekhawatiran bahkan kepanikan. Mereka menyaksikan mega merah semakin mendekat, mengamati kawanan kuda liar yang memenuhi cakrawala semakin dekat, semakin membuat degup jantung berdesir.
Mega merah akhirnya pudar, kembali menjadi debu biasa. Padang rumput di luar Sungai Gu tertutup badai pasir. Ratusan ribu kuda perang di perkemahan suku Kemah Emas Pangeran meringkik panik. Sinar matahari terhalang, penglihatan menjadi samar.
Situ Yilan memejamkan mata, lalu membukanya kembali.
Tiba-tiba ia melihat seekor kuda cokelat sedang menatapnya dari dekat. Mata sang kuda penuh keingintahuan seperti bayi manusia, memancarkan keluguan yang jernih sempurna.
Debu mulai mengendap. Sorak-sorai menggema di perkemahan Tang. Teriakan para prajurit begitu bergelora, sulit diungkapkan dengan kata-kata, bahkan terdengar seperti teriakan pelampiasan yang nyaris histeris!
Semua ini benar-benar nyata.
Menapaki mega merah, yang datang ke perkemahan Tang memang kuda, kuda liar, kuda liar yang tak terhitung jumlahnya.
Kuda-kuda liar itu berjalan santai di perkemahan pasukan Tang, bebas bagai merumput di padang ilalang. Surai panjangnya menari-nari dalam hembusan angin pagi, sangat gagah dengan tatapan penuh keingintahuan.
Seperti kuda liar cokelat itu yang tak paham, mengapa wanita di hadapannya ini berkaca-kaca matanya.
Kuda-kuda liar tak mengerti, mengapa manusia-manusia ini bersorak sorai dengan suara serak, memeluk leher mereka sambil terus mengusap-usap, tertawa lalu menangis.
Karena mereka tak paham, bagi warga Tang, kedatangan mereka adalah mukjizat ilahi yang sesungguhnya.
Sepuluh hari terakhir, setahun belakangan, tiga tahun ini... Dari kaisar hingga pejabat, rakyat jelata hingga prajurit berlumuran darah - semua terus memohon kuda perang yang cukup. Tapi mereka tahu itu harapan kosong: Padang Xiangwan sudah tiada, aliran Tao takkan memberi kesempatan pada Tang.
Menyaksikan pertempuran besar yang akan menentukan nasib seluruh dunia fana ini, jenderal seperti Hua Ying, Situ Yilan, Wang Wu masih bergumam dalam hati. Mereka bahkan rela mengorbankan nyawa dan harga diri, memohon pada Langit Tak Berpelukan yang sudah tak mereka imani lagi.
Tang butuh kuda. Kuda perang.
Langit Tak Berpelukan bak benar-benar mendengar suara hati seluruh warga Tang, seolah Ia melupakan pengkhianatan mereka. Berdiri di dasar mega merah, Ia mengucapkan tiga kata ke arah rawa Nitan di pedalaman padang gurun.
"Harus ada kuda."
Maka, warga Tang pun memiliki kuda.
……
……
Perkemahan Tang seketika dilanda euforia histeris, kontras mencolok dengan puluhan suku Kemah Emas Pangeran yang masih sunyi senyap. Ekspresi wajah seluruh suku padang rumput memucat pucat.
Keberanian Kemah Emas Pangeran menyerbu ke selatan dan berperang melawan Tang berlandaskan fakta kokoh bagai besi: Pasukan Tang kekurangan kuda.
Tapi tepat sebelum pertempuran besar, ribuan kuda liar berlarian dari jantung padang rumput. Apa...sebenarnya yang terjadi? Dari mana asalnya? Mengapa suku-suku yang hidup puluhan tahun di padang rumput sama sekali tak paham keberadaan mereka? Padang rumput mana yang sanggup menopang populasi sebesar ini?
Beberapa sesepuh suku dan segelintir pelancong pemberani teringat legenda yang beredar sejak puluhan tahun silam: Di rawa besar Barat Jauh yang bahkan kawanan serigala enggan masuki, hidup sekumpulan kuda langit yang bisa menginjak air dan memakan awan - tunggangan Langit Keabadian yang turun ke dunia fana.
Mungkinkah kawanan hitam pekat di selatan itu adalah kuda langit legenda?
Jika benar tunggangan Langit Keabadian, mengapa mereka menuju perkemahan Tang?
Orang tua itu pucat bak hendak pingsan, tubuh sang pengembara terus bergetar, prajurit suku nyaris tak mampu menggenggam hulu pisau melengkung, para wanita mulai melantunkan mantra dengan suara ketakutan, berharap mendapat perlindungan Langit Keabadian.
Memandang kawanan kuda liar yang membentang luas di selatan, tiba-tiba suku padang rumput merasa ditelantarkan oleh Langit Keabadian.
Tak seorangpun mengerti mengapa hal ini terjadi, bahkan Pendeta Besar Kemah Emas yang berada di kereta kuda belakang pun tak paham. Namun dia tahu segalanya telah berubah, lalu menghela napas panjang.
Beberapa pendeta telah diperintahkan menuju Kemah Emas, sementara dia bersama pendeta besar tersisa membentuk formasi gerobak. Dia sengaja tak muncul di medan perang karena masih segan pada Yu Lian dan Tang. Terus-menerus menasihati Khan agar tak terburu-buru, karena yakin akademi dan negara Tang takkan mudah dikalahkan. Sayangnya, bujukannya tak berhasil.
Sepertinya akhir dari perang hari ini telah ditakdirkan.
Tapi ada yang berpikir lain.
Memandang perkemahan Tang yang berdebu di selatan, wajah tampan Khan tetap dingin. Sebagai penguasa padang rumput sejati, dengan tenaga Po yang luar biasa dia menggerakkan seluruh Kemah Emas Pangeran untuk menyerbu selatan. Meski berisiko terjebak dalam jangkauan pasukan Tang, dia nekad bertarung frontal dalam perang negara ini, karena yakin akan meraih kemenangan akhir.
“Dia ingin membalas dendam untuk kakaknya, yang terpenting, dia ingin menguasai seluruh Dunia Manusia, ingin mengubah bawahannya menjadi bangsawan di setiap negara Zhongyuan, ingin keturunannya selamanya menguasai pegunungan dan sungai indah di selatan. Maka dia harus menang - ini janji guru utama padanya, dan janjinya pada guru utama.”
“Hingga kini, meski menyaksikan ribuan kuda liar menginjak mega merah fajar, keyakinannya tak pudar. Lebih tepatnya, selain ekspresi wajahnya yang sedikit masam, kehendaknya sama sekali tak tergoyahkan.”
“Jenderal Lebu bergumam: 'Kabarnya dari aliran Tao... Langit Keabadian menghilang. Orang Zhongyuan sedang mencarinya. Jangan-jangan karena kami melanggar kehendaknya, sehingga dia mengirim kuda langit ini untuk membantu warga Tang?'”
“Khan memancarkan kilau dingin di matanya, menatapnya tajam: 'Benda bodoh.'”
“Lebur tak berani membantah, mundur dalam hening. Dia pikir sudah paham isi hati Khan... Pertempuran terbuka di Padang Rumput Guhe yang akan segera dimulai ini menjadi penentu. Kemah Emas tak mampu menanggung kegagalan, juga tak sanggup membayar harga mundur - karena kavaleri Kemah Emas sudah terlalu jauh ke selatan, jalan pulang pun terlampau jauh.”
“Bila tak bisa mengaku kalah maupun mundur, hanya tinggal terus bertarung. Lalu bagaimana mungkin di saat seperti ini menggoyahkan semangat pasukan? Lebur mengerti prinsip ini, makanya ketika dimaki 'benda bodoh' pun diam seribu bahasa.”
“Ini bukan soal semangat pasukan... Orang Tang mustahil menang.”
“Mengapa?”
“Apa yang rela orang Tang tumpahkan darah dan membungkuk hina untuk dapatkan?”
“Kuda.”
“Salah.”
Khan menatap ke selatan dengan ekspresi dingin yang ekstrem, penuh kepercayaan diri, "Orang Tang tidak butuh kuda biasa, mereka butuh kuda perang."
Benar, meski Situ Yilan dan Wang Wu setiap hari diam-diam berpikir kuda apa pun boleh asalkan ada kuda, namun kenyataannya kavaleri hanya bisa menggunakan kuda perang.
Kuda perang harus melalui latihan intensif dalam waktu lama.
Tapi yang ada di padang rumput sekarang hanyalah kawanan kuda liar...
Kuda liar belum pernah melihat darah, belum pernah ke medan perang, tanpa pelana, tanpa kekang, bagaimana bisa ditunggangi? Bagaimana bisa bertempur?
Tak ada yang bisa melatih puluhan ribu kuda liar menjadi kuda perang siap tempur dalam waktu sesingkat ini.
Subuh baru tiba, tapi segera harus ke medan perang, kuda-kuda liar itu... selain untuk tontonan, apa gunanya?
Mendengar ucapan Khan, wajah Jenderal Lebu langsung cerah. Sebagai komandan pasukan kavaleri Istana Raja, alasan dia tak memikirkan masalah ini murni karena terpana oleh pemandangan kawanan kuda yang berlarian itu.
Kemah Emas Pangeran mulai mempercepat persiapan serangan. Kuda-kuda perang yang sebelumnya gelisah karena kawanan kuda liar mulai tenang setelah dibujuk tuannya, mulai mengenakan baju kulit dan tabung panah. Tapi saat menatap ke arah selatan tempat kawanannya berada, kuda-kuda Kemah Emas masih tampak gelisah, formasi mereka agak kacau.
Namun sebagaimana penilaian Khan yang dingin namun akurat, situasi di perkemahan Tang selatan kini lebih kacau. Pasukan Tang yang akhirnya sadar dari histeria dan air mata, mendengar kabar intelijen dari pengintai di kejauhan, bersiap tempur dengan cepat. Tapi mereka menemukan kemah depan Pasukan Utara kekurangan perlengkapan kuda... Setelah tiga tahun tanpa tunggangan, tak ada prajurit Pasukan Utara yang mengantisipasi masalah ini sebelumnya.
Masalah lebih besar muncul. Pasukan Tang menemukan kuda-kuda liar yang bersikap ramah namun menolak keras diberi tali kekang, apalagi dipasangi pelana... Perkemahan Tang dipenuhi kuda liar yang berlarian liar, rambut pelipis berterbangan, bahkan ada kuda yang menabrak prajurit lalu kabur...
Meski tak melihat langsung kekacauan di perkemahan Tang, deru debu dan suara riuh yang terdengar sudah cukup bagi kavaleri padang rumput untuk membuktikan kebijaksanaan Khan. Mereka menyoraki arah perkemahan Tang sambil melambaikan pisau melengkung, mengekspresikan sikap meremehkan.
Tiba-tiba, terdengar lengkingan sangat parau membelah langit.
Suara itu mirip gesekan dua batu kasar, atau bellow yang bocor. Terdengar lemah seperti napas orang sakit, namun terus-menerus tak putus-putus.
Lengkingan parau itu merobek angkasa.
Ejekan puluhan ribu kavaleri padang rumput Kemah Emas Pangeran, ditekan dengan paksa.
Suara meringkik tak puas kuda liar di perkemahan Tang dan suara hembusan hidung aneh yang menggelikan, lenyap seketika.
Puluhan ribu kuda liar, seolah mendengar suara paling mengerikan, tak berani bergerak lagi, serentak menatap ke arah sumber ringkikan itu, mengangkat leher tinggi-tinggi bak prajurit yang menanti inspeksi.
Debu di barat laut padang rumput, hampir sepenuhnya mengendap.
Sesuatu samar-samar berjalan keluar dari dalamnya.
Delapan kuda liar gagah nan langka dari Dunia Manusia, menarik sebuah tandu rusak.
Di dalam tandu rusak itu duduk seekor keledai hitam. Bulu-bulunya banyak yang rontok, terlihat memprihatinkan. Tapi ekspresinya justru riang, mungkin karena sifat heroik bawaan, atau mungkin karena sedang asyik menyantap anggur dan meneguk wine.
Si keledai hitam itu memandang angkuh semua kuda di padang - baik kuda liar maupun kuda perang - bak penguasa sejati.
Kuda-kuda liar di perkemahan Tang, menundukkan kepala.
Kuda perang Kemah Emas Pangeran, gemetar ketakutan.
Mu You dan Shixiong keenam keluar dari perkemahan, berjalan menuju tandu rusak itu.
Baru sekarang mereka melihat Da Hei menarik gerbong hitamnya, mengikuti di belakang tandu. Posturnya gemuk berisi, ekspresi lugu dan bahagia - jelas tiga tahun berguru pada seniornya membuahkan hasil yang memuaskan.
Mu You tersenyum, karena udara padang rumput terlalu kering, sudut bibirnya pecah-pecah mengeluarkan darah.
Ia bersama Shixiong keenam memberi hormat pada keledai hitam di dalam gerbong kereta.
Keledai hitam itu mengangguk penuh wibawa lalu membalas hormat.
Kuda Da Hei berlari terengah-engah mendekati Mu You, menunduk hendak menggesekkan badannya ke dada sang nyonya, tiba-tiba teringat sosok yang kini hanya tinggal satu lengan itu, memaksa memutar arah.
Mu You mengelus lehernya.
Da Hei dengan khidmat mundur beberapa langkah, menunduk memberi hormat pada mereka berdua.
Tak lama kemudian, suara roda bergema dari belakang perkemahan Tang.
Ratusan gerbong kereta keluar dari kamp logistik menuju barisan depan, sarat dengan perlengkapan berkuda dan pedang kavaleri. Di barisan terdepan berjalan Shixiong keempat Fan Yue.
Para murid gunung belakang akademi akhirnya bertemu di padang gurun.
……
……
Pelana terpasang rapi di punggung kuda, tali kekang mulai ditarik, kuda liar itu tenang.
Pasukan kavaleri Utara mengelus perlengkapan tunggangan yang pernah mereka kenal, perasaan campur aduk - kuda-kuda mereka dulu telah menua dan pergi, hanya perlengkapan ini yang masih bertahan walau usang tapi tetap andal.
Wang Wu membawa air jernih mendekati kuda tunggangannya, menyuapinya sambil memandang kuda liar yang masih gelisah itu, dalam hati berbisik: "Aku benar-benar akan menjadi sapi dan kudamu seumur hidup..."
Sekarang, mari kita pergi membunuh musuh terlebih dahulu.
Ya, mari kita pergi membunuh musuh.
Pasukan kavaleri Kemah Emas Pangeran telah memulai serangan pertama, bergerak seperti air bah.
Kuda perang padang rumput yang sangat gelisah, di bawah cambukan kulit majikan dan tekanan siksaan taji kuda, meledak keluar darah dan keberanian, melupakan rasa hormat instingtif, memulai serangan.
Namun pasukan Tang tampak lebih hening dari sebelumnya.
Mereka tidak menunggang kuda, mereka menggandeng kuda liar...tidak, mulai saat ini menjadi kuda perang, menginjak tanah agak keras di padang rumput, berjalan perlahan dan teguh ke utara.
Mereka adalah pasukan Tang.
Pasukan kavaleri terkuat di dunia, tak pernah terkalahkan.
Kuda perang yang mereka gandeng, telah merajalela selama puluhan tahun di rawa utara Barat Jauh, sama tak terkalahkannya.
Meski kuat, apa artinya pasukan kavaleri Kemah Emas Pangeran di hadapan mereka?
Debu menutupi langit di atas padang rumput.
Akhirnya tiba saatnya menunggang kuda.
Situ Yilan berguling naik ke kuda liar cokelat, perlahan mencabut pisau dingin dari sarungnya.
Ia mengangkat mata pedang, menunjuk ke pasukan kavaleri padang rumput yang bergerak seperti air bah di seberang.
Wajahnya tanpa ekspresi, tidak bersuara.
Prajurit pengawal di sampingnya tiba-tiba mengaum keras.
Seluruh pasukan Tang bersamaan mengaum keras pada saat ini.
Kegalauan selama bertahun-tahun, bersama teriakan ini, berubah menjadi semangat tempur.
Lalu dimulailah serangan diam.
Serangan diam yang mencekik.
Banyak kavaleri Pasukan Utara yang sudah agak asing dengan serangan gelombang, namun saat mereka mengangkat pisau, menekan perut kuda dengan lembut dan mendorong kuda tunggangan untuk berlari kencang ke depan, perasaan familiar itu segera kembali.
Perasaan itu disebut tak terkalahkan.
Ribuan debu membelah padang rumput, ribuan pasukan berkuda lapis baja berlari menuju Kemah Emas.
Seketika, teriakan pembunuhan telah mengguncang langit.
Arah Kota Qilian.
Sisi Sungai Gu.
Seluruh kavaleri Pasukan Utara tiba-tiba muncul berlarian dari sana entah sejak kapan.
Pasukan berkuda lapis baja berwarna hitam berkumpul dalam hening dari tiga arah menuju Kemah Emas. Seandainya ada yang melihat dari langit ke bumi padang rumput, pasti akan tergetar tak bisa bersuara oleh gambar megah ini.
Angin dingin menerpa helai rambut di pipi Situ Yilan.
Ia berpikir, demi kemenangan.
Wang Wu menggigit bibirnya sendiri hingga terkoyak, tatapannya penuh tekad yang luar biasa.
Dia berpikir, demi Kota Wei.
Di bawah bendera Khan Kemah Emas.
Wajah Khan pucat pasi.
Lebur panik menasihatinya untuk segera mundur menyambung dengan Guru Negara di belakang.
Khan diam seribu bahasa, entah sedang memikirkan apa.
Baru pada momen inilah dia paham mengapa Guru Negara selalu tak menyetujui keputusannya yang nekat.
Akademi... Ning Que... Kejam sekali.
Kemah Emas kalah.
Dia sangat paham hal ini.
Bruk! Darah muntahan keluar dari mulutnya, tubuhnya goyah-goyang sebelum terjatuh dari punggung kuda.
Di padang rumput Sungai Gu.
Ning Que meletakkan teropong, memikirkan gambar yang dilihatnya sebelumnya, terdiam tak bisa bicara.
Ia menyerahkan teropong itu kepada Jenderal Xu Chi yang berdiri di sampingnya.
Xu Chi menatapnya dan bertanya: "Bertahun-tahun menahan diri, hanya untuk hari ini? Tidakkah kau merasa ini terlalu berisiko?"
Ning Que berpikir sejenak, lalu berkata: "Hanya dengan cara ini bisa berhasil."
Xu Chi berkata: "Andai kau menyerahkan kuda-kuda ini lebih awal padaku, kita tetap bisa menang."
"Tapi tak bisa membunuh semua mereka."
Setelah mengucapkan kalimat itu, ia berjalan menuruni padang rumput.
Situ Yilan demi kemenangan.
Wang Wu demi Kota Wei.
Ia pun demikian adanya.
Maka sejak awal, yang dipikirkannya adalah... membunuh semua mereka.
