"Ning Que menatap jalan. Bangunan di kanan-kirinya masih sama seperti dulu - terbuat dari tanah kuning yang mengeras. Tertiup angin bertahun-tahun, kini berubah menjadi pasir."
"Dulu di penginapan, Ning Que bertaruh dengan jurus cabul sementara Sang Sang jadi wasit. Tuannya dan pelayan itu bersama-sama mengumpulkan perak. Usai itu Ning Que berjalan dengan tangan di punggung, sementara Sang Sang membawa botol arak dan ayam panggang mengikuti di belakang dengan susah payah. Pasir kuning yang mereka injak waktu itu..."
"Bertahun kemudian, penginapan itu runtuh. Sahabat lama telah tiada. Pasir kuning kini menjadi darah - darah musuh yang diinjak Ning Que, tapi juga darah banyak kenangan."
"Sedikit kerinduan tak terhindarkan."
Saat ini bukan momen untuk mengenang masa lalu. Dari sudut pandang siapa pun, kemunculan kalimat ini sangat tidak masuk akal dan tidak selaras dengan atmosfer pertempuran besar yang sedang berlangsung, hingga membuat ekspresi wajah A Da berubah sangat suram.
Ia merasa Ning Que sengaja menghinanya.
Ia memusatkan pikiran, menghembuskan udara keruh perlahan, menginjak Dao Shi, lalu maju seraya melayangkan tinju ke depan.
Jurus yang sangat sederhana, bahkan sulit disebut sebagai teknik.
Namun dalam kesederhanaan itu terkandung kekuatan puncak, sehingga kecepatannya pun mencapai tingkat tertinggi.
Suara letupan kecil menggema di jalanan - konsekuensi udara yang terdesak secara tiba-tiba.
Tinju A Da melesat bagikan panah, menghampiri wajah Ning Que.
Seperti ucapannya sendiri, ia sangat mahir bertarung. Pukulan sederhana ini membawa kekuatan dahsyat khas padang rumput, bahkan mengingatkan pada kesan pedang Liu Bai di Sungai Besar.
Bagi praktisi kultivasi lain, menghadapi tinju seperti ini mungkin akan memilih mundur sementara, karena tubuh adalah bagian terlemah praktisi. Melawan musuh yang mempraktikkan metode Ming Zong - menyatukan alam semesta dalam tubuh dengan kekuatan luar biasa - hal pertama yang harus dilakukan adalah menjaga jarak.
Tapi Ning Que tidak mundur.
A Da tahu Ning Que takkan mundur. Ia tahu Ning Que telah lama terjun ke jalan iblis, dengan tubuh yang sama kuatnya.
Ning Que memiliki kemampuan cukup - baik kekuatan maupun ketahanan tubuh - untuk menghadapi langsung tinju ini.
A Da memang menunggu momen itu. Yang ingin dia ciptakan adalah lingkungan untuk bertempur langsung, karena dia punya strategi cadangan tak terhitung dan cara-cara tegas yang tak terbatas. Semua itu membutuhkan bidang penopang sebagai penyangga.
Seperti badai pasir mengerikan yang muncul di peralihan musim semi ke panas di padang rumput. Saat melintas di padang luas nan kosong, badai itu tak terlalu menakutkan asalkan menjaga jarak. Bahkan bisa dinikmati sebagai pemandangan langka nan indah. Tapi jika ada makhluk atau benda yang terjebak dalam badai itu dan mulai menanggung kekuatannya, seketika akan hancur berantakan bagai kepompong compang-camping.
Jurus tinju A Da, metode bertapanya, adalah personifikasi dari badai pasir itu sendiri.
Selama Ning Que tidak mundur, selama Ning Que nekat menghadapinya langsung, badai pasir ini akan menelannya bulat-bulat.
Namun di luar perkiraannya, Ning Que benar-benar tidak memilih menghindar atau mundur. Tapi dia juga tidak menggunakan teknik Sekte Iblis untuk menghadapinya. Dari depan, sepertinya... dia sama sekali tidak melakukan apa-apa.
Wajah Ning Que tetap datar tanpa ekspresi. Busur besi masih tergantung di bahu, pisau besi tetap menempel di punggungnya. Bahkan tangannya masih terlipat di belakang, seolah acuh tak acuh pada tinju yang sebentar lagi akan menghunjam.
Tak ada yang bisa benar-benar tak peduli. Tinju itu milik A Da, membawa kewibawaan ilahi yang ditinggalkan Langit Tak Berpelukan untuk padang rumput.
Sebenarnya Ning Que sudah menyiapkan responsnya, hanya saja A Da tidak melihatnya.
Kedua tangan yang selama ini terlipat di belakang punggungnya tiba-tiba terlepas. Tangan kanannya dengan gesit menulis sebuah karakter di udara.
Saat tulisan kusut itu selesai ditulis, wajahnya memucat beberapa tingkat. Bersamaan dengan itu, kekuatan pikiran dahsyat yang tak terbayangkan mulai memancar dari tubuhnya, menyebar ke alam semesta.
Energi alam semesta Kota Wei sedang mengalir deras ke dalam tubuh A Da, tiba-tiba terasa membeku.
Sesaat kemudian, energi-energi alam semesta itu seolah mendengar perintah tertentu, mulai menggila dan berkonsolidasi membentuk wujud.
Badai pasir yang mengamuk menerjang jalanan, mengaburkan pandangan semua orang.
Ning Que menulis sebuah karakter - karakter itu tak lain adalah jimat.
Badai pasir benar-benar datang, tapi bukan milik A Da, melainkan miliknya.
Pasir kuning yang tak terhitung melesat dari tanah, dari dinding, dari kursi-meja penginapan yang tak tersentuh, dengan kecepatan di luar imajinasi menyergap jalanan dan menghantam tinju A Da.
Setiap helai pasir adalah seutas tali pengikat, mengandung dosis energi alam semesta yang mencengangkan.
Ratusan helai pasir dari bangunan sepanjang jalan Kota Wei, menuruti perintah Ning Que, jatuh di kepalan tangan A Da membentuk lapisan-lapisan tali, seolah membalut tinjunya dengan berlapis-lapis perban.
Perban kuning yang lusuh, bernoda nanah.
Ning Que menggunakan karakter "Fu" (ikat).
Pasir Kota Wei adalah perwujudan makna jimatnya.
A Da tiba-tiba merasakan tinjunya menghantam gurun pasir tak berdasar, di bawahnya mengalir sesuatu yang menyeret-narik tangan dengan kekuatan mengerikan.
Cabik-cabik membawa sakit, Dia tidak gentar, malah semakin sadar.
Dia mengaum rendah, tinju terbuka, lima jari seperti lima pisau melengkung menyambar, dengan kekuatan tak tertandingi, langsung menyobek lapisan pasir kuning yang membelenggu tinjunya!
Ning Que menatap pasir kuning yang mulai retak, ekspresi tak berubah, mengangkat tangan kanan menulis beberapa guratan tinta.
Jelas, karakter tulisannya sangat sederhana.
Pukulan pertama A Da telah berakhir.
Setelah memaksa memecahkan jimat pengikat dan meraih kebebasan, langkah pertama yang diambilnya adalah melangkah maju lagi.
Kaki menginjak bumi, meminjam kekuatan alam semesta, pukulannya kembali berkobar.
Masih jurus sederhana yang sama, menghujam ke wajah Ning Que.
Yang dikejarnya sederhana, yang diinginkannya pun sederhana. Dia tak berharap pukulan ini bisa mengalahkan Ning Que, bahkan tak bermimpi melukai lawan. Dia hanya ingin Ning Que menghadapi langsung.
Asalkan Ning Que memilih bertahan, dia punya cara.
Ning Que tetap tak menghadapi langsung. Yang menahan pukulan kedua A Da adalah jimat kedua buatannya.
Saat menulis jimat ini, yang ditatapnya bukan tinju A Da, melainkan jalan-jalan di Kota Wei.
Kota Wei adalah kemah militer, kota kecil sejati. Daya tampung penduduknya minim, bangunannya jarang. Jalan utama sebenarnya cuma empat: dua melintang, dua membujur.
Bila dilihat dari langit, jalan utama Kota Wei membentuk sebuah karakter.
"Sumur"
Kebetulan yang unik.
Jimat terkuat Master Yan Se adalah karakter "sumur", dan jimat dewa pertama yang dipelajari Ning Que juga karakter "sumur".
Ini juga merupakan kebetulan yang menarik.
Ning Que menatap jalan-jalan di Kota Wei, lalu menulis karakter "sumur" yang sederhana itu.
Jimat ini pernah memotong dimensi di gunung tanpa nama di utara Kota Chang'an, mengubah cahaya tak terbatas yang dipanggil oleh orang tua Wei Guangming melalui Tianqi menjadi fragmen-fragmen di dalam cermin.
Bisa dibayangkan sekuat apa jimat karakter sumur ini sebenarnya.
A Da yang tubuh dan rohnya telah dicuci oleh hujan musim semi, menjadi sangat peka terhadap perubahan energi alam semesta. Meski tak paham ilmu jimat, ia langsung merasakan perubahan di alam semesta dan ekspresi wajahnya berubah drastis.
Menghadapi makna jimat yang begitu mengerikan dan mematikan ini, mana mungkin ia berani melanjutkan jurus pukulan.
Sebuah teriakan keras menggema di jalanan.
Dengan susah payah ia menghentikan langkah, menghancurkan jalan di depan kedai arak, mengalirkan seluruh kekuatan yang terkumpul kembali ke tanah, baru bisa menarik kembali kedua tinjunya dan menutupi wajahnya erat-erat!
Ning Que saat ini mungkin masih sedikit tertinggal dalam pemahaman ilmu jimat dibanding gurunya Yan Se, namun kedalaman cultivation jimatnya telah mencapai level yang sama.
Bahkan ahli sekelas Wei Guangming pun harus melampaui Lima Batas untuk menahan jimat karakter sumur ini. Cultivasi Sekte Iblis A Da yang setara dengan puncak Lima Batas, saat ini hanya bisa fokus pada pertahanan diri.
"Melindungi diri, hanya bisa menggunakan tubuh sendiri untuk menyelamatkan nyawa. Di Kota Wei saat ini, tak ada yang lebih layak dipercayainya selain tubuhnya sendiri, tak ada yang lebih kuat."
Di jalan raya angin mengamuk, pasir kuning memenuhi langit. Siluet A Da hampir tertelan, seolah setiap saat akan jatuh namun tetap tegak. Tinjunya nyaris menahan sebagian besar makna jimat! Pantas disebut hadiah Langit Tak Berpelukan untuk padang rumput, kekuatan tubuhnya benar-benar melampaui ahli Iblis Zong biasa!
Tak terasa berapa lama waktu berlalu, makna karakter sumur dan energi alam semesta yang dipanggil perlahan menghilang di antara langit bumi. Pasir kuning berangsur jatuh, angin pun reda.
A Da melepaskan tinjunya perlahan, menatap Ning Que kembali.
Tubuhnya dipenuhi luka mengerikan, darah segar mengalir bak air terjun. Tulang-tulang mencuat dari tinjunya yang dahulu paling kuat, membuat bulu kuduk merinding.
Yang paling krusial, kalung tulang di lehernya telah remuk menjadi debu.
Tubuh yang dulu jadi kebanggaannya kini compang-camping, jimat penyelamat terakhirnya telah diterbangkan angin.
Tapi nyatanya ia masih hidup. Selama masih bernafas, kemenangan tetap mungkin.
"Kupikir kau yang mengurung diri di Chang'an bertahun-tahun sudah kehilangan nyali bertarung dan keahlian membunuh. Tak kusangka kau masih menyimpan banyak trik. Rupanya aku meremehkan akademi."
A Da menatap Ning Que, kekanakan di wajaknya telah tercoreng darah menjadi kekejaman dan kejam, di pupil matanya memancar kilau dingin seperti serigala, serta niat membunuh yang tak berkesudahan.
"Sayangnya, kau tetap gagal membunuhku... Meski aku tak tahu bagaimana kau melihat melalui metode bertapaku, terus menolak menghadapi tinjuku secara langsung, yang lebih ingin kuketahui adalah—bahkan jimat sekuat ini pun gagal membatalkanku. Selain menerima pukulanku, apa lagi yang bisa kau lakukan?"
Penampilan A Da saat ini terlihat mengenaskan, namun nada suaranya seperti pemenang sejati. Ia menatap Ning Que tanpa menyembunyikan niat membunuh dan sikap meremehkannya, bagaikan melihat binatang tua yang hendak mati.
Ning Que memandangnya dengan tenang, berkata: "Aku masih bisa membunuhmu."
A Da menyeringai, senyumannya kejam: "Dunia ini mungkin pernah menjadi milik orang-orang sepertimu, tapi pada akhirnya pasti akan menjadi milik kami. Karena kami lebih muda."
Setelah mengucapkan kalimat itu, ia kembali mengangkat kepalan tangannya.
Tinjunya berlumuran darah, di bawah kegalauan langit, tulang putih yang tersembul terlihat sangat horor.
Seluruh kekuatannya terkonsentrasi pada kepalan tangan ini.
Ning Que mengulurkan tangan kanannya, kembali menulis sebuah karakter di jalanan Kota Wei.
Karakter ini lebih sederhana daripada karakter 'Jing', hanya setengah guratan.
Setengah dari karakter 'Jing' pastilah karakter 'Er'.
Ia menulis karakter 'Er' sebagai jimat.
……
……
Dua makna jimat yang tak terbayangkan kuatnya tiba-tiba menyelimuti seluruh Kota Wei.
Bahkan merambak hingga ke luar kota.
Papan nama kedai arak yang tinggal separuh tiba-tiba berayun ke tengah jalan, menggantung di udara enggan jatuh. Terlihat seperti pisau. Tiba-tiba tembok pagar sebuah rumah kecil berlubang, pisau berburu yang tersimpan bertahun-tahun menampakkan separuh bilahnya, seolah ingin melihat kembali dunia yang asing ini.
Pasukan kavaleri padang rumput yang sedang evakuasi di luar Kota Wei mendadak menemukan pisau melengkung mereka bergemeretak dalam sarungnya, ingin lepas. Sementara pasukan Tang yang bersiap mengejar tiba-tiba merasakan dorongan kuat untuk mencabut pedang dan membunuh musuh.
Dua makna jimat, semuanya adalah makna pedang.
Ekspresi A Da berubah pucat pasi karena mencium aroma kematian. Sama sekali tak terbayang olehnya Ning Que masih menyimpan cara yang lebih kuat, apalagi dirinya bahkan tak mampu membedakan apakah itu makna jimat atau makna pedang!
Dia mengeluarkan teriakan penuh kemarahan dan ketidakrelaan, terpaksa menarik kembali jurusnya. Energi alam semesta yang tersimpan di tubuhnya meledak keluar saat dia mundur terhuyung ke ujung jalan, hanya ingin keluar dari jangkauan dua makna jimat ini.
Tapi karakter dua Ning Que telah menyelimuti seluruh Kota Wei. Ke mana lagi dia bisa lari?
Angin kencang kembali bertiup. A Da menjerit kesakitan dan kebingungan. Pakaiannya terkoyak-koyak, diikuti kulit yang mulai retak. Darah yang baru saja berhenti kembali mengalir deras dari tubuhnya.
Dia berhenti mundur, menutupi muka dengan tinju, bertahan dengan susah payah di tengah amukan angin.
Akhirnya Ning Que bergerak, melesat maju.
……
……
Di luar Kota Wei, Guru Negara menatap angin hitam yang bergulung seperti Naga di bawah langit mendung, melihat pasir di sana, merasakan energi tajam makna jimat di tempat itu. Ekspresinya tetap tenang, namun pupil matanya memancarkan kekhawatiran dan kewaspadaan yang mendalam.
Menyaksikan pertanda langit aneh itu, wajah pasukan kavaleri padang rumput semakin pucat. Tiba-tiba orang-orang mendengar gemuruh petir menggelegar dari dalam Kota Wei, disusul rentetan gemuruh tak terhitung yang menyambar bertubi-tubi.
Guru Negara mengalihkan pandangannya dan kembali duduk di dalam kereta kuda.
……
……
Angin mereda, pasir berhenti berterbangan. Awan hitam itu pun menghilang tanpa jejak. Sinar matahari kembali menyinari jalan-jalan dan bangunan Kota Wei, langit biru nila kembali terlihat oleh pandangan orang-orang, membawa kedamaian yang menyenangkan.
Di jalan terpanjang dan terlurus Kota Wei, kini terdapat sebuah lubang besar.
A Da terbaring di dasar lubang, tubuhnya berlumuran darah dengan serpihan tulang mencuat dari dagingnya. Nyawanya nyaris punah, pemandangan yang sungguh mengenaskan. Tanpa berkah Langit Tak Berpelukan, mungkin ia sudah tewas.
Ning Que bangkit perlahan, dadanya naik turun halus. Tangan kanannya bergetar ringan, wajahnya sedikit pucat, namun raut mukanya tetap tenang seperti biasa - seolah tidak baru saja menghujamkan tiga ratus pukulan tinju dalam hitungan detik.
Rentetan gemuruh petir yang terdengar oleh semua orang di luar kota sebelumnya, ternyata adalah suara tinjunya yang menghantam tubuh A Da.
Kepucatan di wajahnya bukan karena kelelahan tenaga, melainkan akibat menulis tiga jimat suci berturut-turut. Meski memiliki kekuatan pikiran yang luar biasa dahsyat, ia tetap merasa ini merupakan perjuangan yang melelahkan.
A Da batuk dua kali dengan kesakitan, darah mengalir dari sudut bibirnya. Dengan susah payah ia menoleh, memandang Ning Que. Pupil matanya dipenuhi kebingungan dan ketakutan, atau mungkin untuk menyamarkan perasaan itu, akhirnya berubah menjadi tatapan meremehkan.
Ia sama sekali tak rela, karena masih banyak jurus andalannya yang belum sempat digunakan. Maka ia menatap Ning Que dengan tatapan mengejek: "Hingga akhirnya kau tetap tak berani menghadapi tinjuku langsung."
Ning Que diam. Bukan karena takut menghadapi tinju remaja padang rumput itu, tapi karena memang tak perlu melakukannya. Seperti saat ini, bukan tak bisa menjelaskan, tapi meremehkan untuk menjelaskan.
Yang ingin dijelaskannya adalah hal lain.
"Kau bilang jago bertarung, maka kunyatakan kematianmu dengan pukulan."
Ia menatap A Da yang sekarat: "Aku tahu ini kejam, tapi kata 'kejam' tak ada dalam kamus kalian orang barbar. Jadi tak masalah. Hanya ingin membuat saudara-saudaramu yang masih hidup semakin ketakutan."
Benar, banyak orang saat ini sedang ketakutan, gentar hingga seluruh tubuh menggigil.
Pasukan kavaleri padang rumput di luar kota, dengan gemetar mencambuk kuda mereka habis-habisan, berusaha kabur dari sini. Semakin cepat semakin baik, semakin jauh semakin bagus, hingga formasi Pasukan Dor yang terkenal disiplin pun mulai kacau.
Sedangkan pasukan kavaleri di dalam kota, gemetar tak berani bergerak. Dentuman tinju bagai gemuruh petir dalam badai pasir tadi telah membuat mereka melepaskan tali kekang, menutup telinga dengan panik.
Tak ada yang menyangka pertarungan ini akan berakhir seperti ini.
Di hati para kavaleri padang rumput, A Da adalah hadiah dari Langit Keabadian untuk padang rumput, prajurit tak terkalahkan abadi. Bagaimana mungkin dia dipukul seperti anjing yang menyedihkan oleh pasukan Tang itu?
Guru Negara dan Khan memahami kekuatan akademi. Mereka tak yakin A Da bisa mengalahkan Ning Que, tapi mengira dia bisa menghalangi lawan sejenak, bahkan mungkin menemukan kesempatan untuk pergi.
Siapa sangka, Ning Que menang dengan begitu santai dan dianggap wajar.
A Da sendiri sebelumnya pernah berkata, panah besi Ning Que telah kehilangan kekuatan terbesarnya. Lalu apa yang bisa dilakukan?
Dia memang kuat, tapi dia melupakan satu hal penting.
Dia hanya ingat panah besi Ning Que yang mengguncang dunia, ingat Ning Que yang terjun ke jalan iblis, tapi lupa bahwa setelah mulai bertapa, hal pertama yang dipelajari Ning Que bukan pedang, bukan iblis, bukan kekuatan pikiran - melainkan talisman.
Identitas sejati Ning Que selalu sebagai ahli talisman.
Sekarang dia adalah ahli jimat dewa.
Sejak Perayaan Cahaya di Gunung Persik, dia sudah lama tak menggunakan talisman sampai banyak yang lupa statusnya. Tapi tetaplah dia ahli jimat dewa - salah satu dari dua ahli jimat dewa terkuat di Dunia Manusia setelah Yan Se dan Master Wang Shusheng.
Ahli talisman, tak terkalahkan di tingkat yang sama.
Ahli jimat dewa, bisa disebut tak terkalahkan di bawah Lima Batas.
Kecuali bertemu jenius sejati seperti Liu Bai, Jun Mo, Ye Su yang tak mengikuti logika biasa.
"Genius sejati sebenarnya tidak ada hubungannya dengan 'Langit'. Bakat spiritual juga bukan anugerah dari Langit, melainkan diperoleh melalui pertapaan keras, bakat luar biasa, dan kehendak baja. Begitu dimiliki, mustahil hilang."
Bakat spiritual cultivation A Da dan segala yang dimilikinya berasal dari anugerah Langit Tak Berpelukan.
Karena itu dia bukan genius sejati.
Selama dia masih dalam Lima Batas - meski dalam waktu setahun berhasil menguasai teknik Iblis Zong hingga sempurna, yang dalam standar dunia pertapaan sudah mencapai puncak Lima Batas... Dia tetap tak mungkin bisa melawan Ahli Jimat Dewa.
Entah karena sadar ajal mendekat, A Da akhirnya memahami sesuatu. Tatapannya cepat memudar, di kedalaman matanya tersirat ketidakrelaan, kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan.
Karena dalam pertarungan ini, kesenjangan antara dirinya dengan Ning Que terlalu besar. Terlalu lebar untuk dikejar, hingga membuat putus asa. Bahkan jika diulang, tak ada kemungkinan menang.
"Mengapa..."
Kilas balik terakhir sebelum ajal memungkinkannya bersuara. Dengan bingung ia menatap langit biru nila, bergumam: "Mengapa... Mengapa..."
Pertanyaan yang masih menghantui remaja padang rumput ini hingga detik terakhir, membuat rohnya tak tenang, sudah bukan tentang tingkat meditasi lagi. Ini murni tentang keyakinan.
A Da sangat percaya diri karena yakin dirinya hadiah Langit untuk padang rumput. Yakin kekuatannya punya dasar ilahi. Yakin dirinya takkan pernah kalah.
Kekalahannya, bukankah berarti kekalahan Langit Tak Berpelukan?
"Ini adalah hal yang mustahil terjadi."
Namun, di hadapan pria ini, hal ini terjadi begitu saja secara wajar.
Ini, sebenarnya mengapa?
"Ini adalah kotaku."
Ning Que menatapnya berkata: "Aku meninggalkan Chang'an, tapi yang kudatangi tetap kotaku. Tak ada yang bisa mengalahkanku di Chang'an, juga tak ada yang bisa mengalahkanku di sini."
A Da menggeleng kesakitan, tersengal-sengal berkata: "Tapi Langit Keabadian..."
"Katanya kau dan Heng Mu adalah hadiah yang Ia berikan ke dunia...Meski urusan uang di rumah selalu Ia yang mengurus, tapi sebelum memberi hadiah seperti kalian, Ia tidak minta persetujuanku."
Ning Que terdiam sejenak, lalu berkata: "Mengingat sekarang Ia sementara tidak ada, kupikir wajar saja jika aku ingin menarik kembali hadiah-hadiah ini. Pasti Ia juga takkan berani menolak."
Baru sekarang A Da mengerti, 'Ia' yang disebut Ning Que sebelum perang tentang meninggalkan mayat utuh demi 'hubungan'-Nya itu siapa. Tatapannya menjadi kebingungan luar biasa, lalu menangis dalam keputusasaan dan kesakitan tanpa suara. Akhirnya, ia memejamkan mata untuk selamanya, tak lagi melihat langit itu.
