Kabut pekat menyelimuti awan, hanya suara yang terdengar tanpa wujud manusia. Saat yang tepat untuk obrolan hati ke hati, merefleksikan kehidupan, dan saling berbagi kekaguman. Bukan untuk melupakan dendam, setidaknya seharusnya saling mendampingi dengan nuansa sastra, menghela napas sejenak sebelum merapikan jubah dan mahkotanya, lalu saling berhadapan dengan pedang, menyelesaikan pertarungan seumur hidup dengan sikap setara.
Siapa sangka Ning Que tiba-tiba turun tangan, langsung melesatkan panah besi terkuat. Di momen indah ini, dia menggunakan cara licik penyerangan diam-diam. Seandainya ada penonton, pasti akan ternganga melihat kelicikannya.
Dengung halus berasal dari tali busur besi yang stabil bagai gunung. Panah besi pecah udara menghilang, sementara gemericik sungai tersamar kabut bergema. Lubang panah yang jelas dan mengerikan muncul di hamparan awan.
Seberang lubang panah itu kosong. Tak ada suara terdengar. Panah besi itu melesat melintasi bukit rendah seberang, terbang ke tempat yang amat jauh atau mungkin jatuh ke Laut Badai.
Serangan diam-diam Ning Que yang dingin bahkan kejam itu tak membuahkan hasil. Karena musuhnya hari ini adalah orang yang paling memahami sifat licik dan kekejamannya, pasti tak akan memberi kesempatan.
Masih ada teka-teki. Longqing terus berbicara di sana, sementara Ning Que tak lepas mengawasi sumber suara. Bagaimana dia bisa menentukan saat panah dilepas, lalu menghindar tepat waktu?
Lubang panah perlahan menghilang, Energi alam semesta yang terperangkap mengalir ke segala arah, menggulung angin sepoi-sepoi seperti kapas yang tak terhitung. Ribuan helai angin bersatu menjadi arus gila, dalam deru suara, kabut awan mulai menyebar.
Memandang tepi sungai yang semakin jelas, ekspresi Ning Que menjadi berat bagai timah.
Di seberang sungai muncul kerumunan manusia, berjejal seperti hantu yang bersembunyi di antara bebatuan. Dari tubuh mereka memancar napas perkasa, pupil mata suram dingin. Ratusan pasang mata menatapnya dengan dingin, membentuk gambaran yang aneh dan mengerikan.
Para praktisi kultivasi kuat yang mengikuti Longqing ini, kini sangat mirip kawanan serigala yang kelaparan selama bertahun-tahun.
Ning Que melihat Longqing.
Pria yang baru saja dengan tenang menyatakan ketidakpuasan, membuat semua orang mengira akan mencari pertarungan setara dengan Ning Que, kini berdiri di barisan paling belakang ratusan ahli kultivasi. Kehati-hatiannya yang ekstrem dan aura berbahaya yang dipancarkannya menciptakan perasaan kompleks yang sulit diungkapkan.
Panah besi meleset, namun bagai sinyal, pertempuran pun dimulai.
Ratusan praktisi kultivasi kuat menerjang ke dalam amukan sungai yang bergejolak, dihantam teriakan pembunuhan yang mengguncang langit. Air sungai di hulu tak dalam, baru sebatas lutut. Ombak berhamburan, gelombang energi yang tercipta sungguh menakutkan.
Ning Que tidak mencabut pisau besi. Tangannya menggenggam ujung busur besi, berdiri hening dalam penantian.
Yang paling cepat tiba tentu saja pedang terbang, beberapa bilah pedang Tao yang memancarkan cahaya aneh menembus udara yang agak dingin dan sisa-sisa serat kabut, dengan suara ciit-ciit menusuk tubuhnya.
Ning Que tidak melihat pedang-pedang Tao ini, hanya menatap ke arah Longqing yang perlahan mundur ke dalam hutan pegunungan. Bahkan ketika beberapa pedang Tao itu meninggalkan bekas cahaya di pupil matanya, dia tidak berkedip sedikitpun.
Beberapa pedang Tao hampir bersamaan menikam tubuhnya.
Suara "krak-krak" aneh bergema di tepi sungai.
Suara itu sangat keras, bahkan sejenak menenggelamkan gemuruh arus sungai yang marah. Suaranya seperti seorang anak yang mencoba membelah kaki babi asap yang sudah diawetkan selama sepuluh tahun dengan pisau tumpul, namun hanya bisa menyaksikan mata pisau meluncur di permukaan yang keras tanpa meninggalkan jejak.
Pedang-pedang Tao yang tajam itu sama sekali tidak mampu menembus kulitnya.
Dalam kontak sesaat, Ning Que menggunakan Haotian Shenhui membakar hubungan antara pedang-pedang Tao ini dengan Guru Pedang. Dengan suara aneh itu, pedang-pedang itu melengkung lalu jatuh seperti besi tak berguna.
Dia melangkah maju, tiba-tiba melihat di balik kabut yang tersisa di lembah terdapat jurang curam. Di bawahnya terbentang lautan berbentuk ginjal biru nila yang terasa sangat familiar - ya, dia pernah ke sana sebelumnya. Tempat itu adalah lokasi pertemuan pertamanya dengan Mo Shanshan dan gadis-gadis dari Kompleks Kolam Tinta.
Dia tiba-tiba merindukannya.
Sejak Sang Sang meninggalkan Dunia Manusia, sudah lama Ia tak memikirkan sang gadis maupun para perempuan lain di dunia fana. Tapi di saat kabut menghilang menampakkan Danau Hijau ini, tiba-tiba kerinduan itu muncul.
Ia sendiri pun tak mengerti mengapa.
Mungkin karena Ia tak yakin bisa mengalahkan Longqing, bahkan jika meninggalkan tepi sungai? Meski gunung hijau di mana-mana bisa jadi makam tulang, tapi jika mati di sini pun tak buruk. Maka tak ada salahnya sedikit bernostalgia.
Praktisi kultivasi kuat yang menyerang lewat sungai ini semuah ahli sejati aliran Tao. Bertahun-tahun menyusul Longqing berperang di Yan Timur, semangat tempur dan kehendak mereka luar biasa. Melihat tubuh Ning Que sekeras baja yang tak tergoyahkan oleh pedang Tao, mereka sama sekali tak gentar, langkah tak juga melambat.
Air sungai yang mengamuk terinjak-injak oleh langkah kaki. Ratusan ahli Tao dari Nirvana tiba di sini. Mereka memanggil kembali pedang-pedang yang menari anggun di udara, mencengkeram erat di tangan, lalu menusuk tubuh Ning Que.
Inilah prinsip yang diajarkan Ke Haoran dan Liu Bai pada semua praktisi kultivasi di dunia fana - pedang nasib harus sedekat mungkin dengan diri sendiri agar hubungannya benar-benar erat. Diri sendiri harus sedekat mungkin dengan musuh agar bisa mengabaikan semua pertahanan.
Seorang pria paruh baya berbaju kulit melompat ke udara di depan Ning Que dengan ekspresi datar. Pedangnya membelah udara tanpa gerakan sia-sia. Begitu cepatnya, bahkan udara yang terkoyak pun tak sempat bersuara.
Pedang ini cukup menarik, sangat kuat.
Sekuat apa pun Ning Que, mustahil bisa sepenuhnya mengabaikan pedang seperti ini.
Dia menatap pria paruh baya itu yang terasa familiar, teringat bahwa ini adalah komandan kavaleri yang dulu diusir Ye Hongyu dari Kuil Hakim, yang kemudian menjadi salah satu komandan merosot moral yang ditakuti di Dunia Manusia.
Ning Que langsung mengangkat busur besi, tangan kiri mencengkeram erat lengan busur, tangan kanan mengalir bak air terjun ke senar, ditariknya dengan santai hingga terdengar dengung ringan saat senar bergetar kembali.
Sang komandan kavaleri bingung, karena tak ada panah di busur besi itu, bagaimana cara membunuh?
Sebentar lagi, wajah komandan kavaleri itu memucat, pupil suramnya berkilat sesaat, teriakannya menggema saat mengangkat pedang untuk melindungi diri karena merasakan niat membunuh.
Senar busur besi itu tanpa panah, tapi sarat niat membunuh.
Ning Que melepas senar, pancaran niat membunuh yang tajam melesat pecah udara.
Ssss! Bekas korosi jelas muncul di badan pedang komandan kavaleri, plak! Pedang itu patah di tengah, sehelai garis darah tipis mengular di pergelangan tangannya.
Bak buah matang lepas dari dahan, tangan komandan kavaleri itu jatuh ke tanah.
Ning Que mengangkat busur besi, menghantam seorang praktisi kultivasi yang menyerang dari samping, tanpa jeda kembali menarik senar dan melepaskannya ke arah komandan kavaleri yang baru saja terjatuh.
Dengung halus terdengar, seseorang sedang bermain qin.
Sebuah garis darah muncul di tubuh komandan kavaleri itu.
Garis merah itu membentang dari bahu kiri hingga rusuk, terukir sangat dalam.
Sebentar kemudian, tubuh bagian atasnya meluncur dari tubuh bawahnya bagai gunung yang runtuh.
Di kedua tepi sungai yang deras dan ganas, tiba-tiba tercipta keheningan sejenak.
